Minggu, 02 Juni 2013

Konsep Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia
 dan 
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

1.   Konsep Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional
            Pelanggaran berat hak asasi manusia dalam hukum internasional berkaitan dengan  beberapa ketentuan yang berkembang pasca perang dunia kedua, yang bisa dilihat dalam antara lain  Nurenberg Trial yang meliputi genocide, War Crime, Crime against humanity, diatur dalam International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia dan International Crriminal Tribunal for Rwanda yang meliputi war crime, crime againt humanity dan genocide.
           Seiring dengan berdirinya International Criminal Court sebagai pengadilan internasional yang sifatnya permanen, yang mempunyai yurisdiksi atas 4 macam kejahatan yang meliputi genocide,war Crime, Crime against humanity dan agresi menegaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang termaksud diatas adalah kejahatan-kejahatan yang dikatagorikan dalam pelanggaran hak asasi manusia berat.
Setelah perang dunia ke II yang dahsyat itu Hukum Internasional Hak Asasi Manusia (HIHAM) mengalami perkembangan yang pesat dan signifikan serta dengan sendirinya menjadi rujukan berbagai aktor seperti, negara, organisasi internasional, nasional, dan individu ketika menanggapi banyak peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hubungan antar bangsa di dunia meliputi tidak saja kepentingan ekonomi, politik dan militer, tapi juga kepentingan sosial dan budaya. Hubungan antar bangsa di berbagai bidang kegiatan itu tak terelakkan wajib menghormati dan mematuhi HAM. Dalam konteks ini Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) secara umum menyebutkan, bahwa “PBB akan memajukan penghormatan dan kepatuhan terhadap HAM dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua bangsa tanpa pembedaan suku bangsa, kelamin, bahasa atau agama.” (Pasal 55 c Piagam PBB). Selain itu pada bulan Desember tahun 1948 Majelis Umum PBB menerima dan mengesahkan Deklarasi Umum HAM PBB (DUHAM PBB). DUHAM PBB memuat norma-norma HAM di bidang-bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Norma-norma HAM itu dinyatakan dalam suatu deklarasi dan berlaku sebagai standar atau baku pelaksanaan HAM bagi semua bangsa dan semua negara.
Piagam dan DUHAM PBB tersebut di atas merupakan salah satu sumber awal bagi lahirnya HIHAM seperti, Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Genosida tahun l948, Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi Internasional Tentang Hak-hak Anak, dan lain sebagainya. Konvensi-konvensi internasional tersebut perlu dikemukakan untuk menggambarkan tahapan perkembangan Undang-undang HAM Internasional (International Bill of Rights).
J.G. Starke menyebutkan secara kronologis tiga tahapan penyusunan International Bill of Rights sebagai berikut: pertama, sebuah Deklarasi yang menetapkan bermacam-macam hak manusia yang seharusnya dihormati; kedua, serangkaian ketentuan Konvensi yang mengikat negara negara untuk menghormati hak-hak yang telah ditetapkan tersebut; dan ketiga, langkah-langkah dan perangkat kerja untuk pelaksanaannya. Sebagian dari Konvensi konvensi internasional itu sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia dan karena itu sudah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Konvensi konvensi internasional yang telah diratifikasi itu, antara lain Konvensi internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi Internasional Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi Internasional Tentang Hak Anak, dan berbagai Konvensi International Labour Organization (ILO) yang tidak disebutkan disini.
Substansi konvensi konvensi internasional HAM tersebut, tidak akan ditemukan suatu difinisi tunggal yang menjelaskan secara memadai pengertian pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat pada umumnya difahami sebagai suatu perbuatan pelanggaran HAM yang membawa dampak buruk yang luar biasa dahsyat pada jiwa, raga dan peradaban manusia. Salah satu bentuk pelanggaran HAM berat adalah genosida. Menurut Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Genosida Tahun l949 genosida berarti tindakan dengan kehendak menghancurkan sebagian atau keseluruhan kelompok nasional, etnis, ras atau agama; atas salah satu dari lima tindakan berikut ini yaitu:
a.      Membunuh anggota kelompok;
b.      Menyebabkan cacat tubuh atau mental yang serius terhadap anggota kelompok;
c.      Secara sengaja dan terencana mengkondisikan hidup kelompok ke arah kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian ;
d.      Memaksakan langkah-langkah yang ditujukan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut ;
e.      Dengan paksa memindahkan anak-anak kelompok tersebut ke kelompok lain.

Menurut Geoffrey Robertson QC pengertian genosida tersebut di atas cukup luas di mana termasuk didalamnya perbuatan pembersihan etnis dan pembersihan massal agama. Akan tetapi difinisi itu tidak menyentuh pembantaian terhadap suatu kelas ekonomi tertentu (kaum Kulaks) dan jutaan orang yang dianggap pengkhianat yang dilakukan oleh Stalin. Definisi genosida tersebut di atas juga tidak menjangkau pembunuhan ribuan orang yang mempunyai keyakinan politik tertentu yang dilakukan oleh para penguasa militer. Misalnya, atas dasar itu pemerintah Kerajaan Inggris menolak untuk memenuhi tuntutan Jaksa Spanyol yang menuduh Jenderal Pinochet telah melakukan genosida karena membantai kelompok sayap kiri di Chili.
Sebagaimana telah disebutkan di atas tidak ada satu difinisi tunggal yang memadai untuk menjelaskan perbuatan yang dapat dikatagorikan pelanggaran HAM berat. Berbagai bentuk pelanggaran HAM berat tidak cukup diterangkan dalam satu difinisi hukum. Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg menyebutkan kejahatan yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran HAM berat sebagai berikut:
1. Kejahatan terhadap perdamaian (Crimes against peace). Termasuk kejahatan terhadap perdamaian ialah: merencanakan, mempersiapkan, memulai, atau menjalankan perang agresi, atau perang yang melanggar perjanjian-perjanjian internasional, persetujuan-persetujuan atau jaminan-jaminan; atau turut serta di dalam rencana bersama atau komplotan untuk mencapai salah satu daripada tujuan perbuatan-perbuatan tersebut di atas.
2. Kejahatan Perang (War Crimes). Termasuk kejahatan perang ialah: pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang, seperti pembunuhan (murder), perlakuan kejam terhadap penduduk sipil dengan mengasingkan mereka, mengerjakan mereka secara paksa, atau di wilayah pendudukan memperlakukan tawanan-tawanan perang dengan kejam, membunuh mereka, atau memperlakukan orang di laut secara demikian; merampas milik Negara atau milik perseorangan, menghancurkan kota atau desa dengan secara berkelebihan atau semau-maunya, atau membinasakannya tanpa adanya keperluan militer.
3. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes against humanity). Termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan ialah: pembunuhan (murder) membinasakan, memperbudak, mengasingkan dan lain-lain kekejaman di luar perikemanusiaan terhadap penduduk sipil, yang dilakukan sebelum atau sesudah perang; perkosaan hak-hak dasar berdasarkan alasan-alasan politik, ras atau agama. Pemimpin atau orang yang mengorganisir, menghasut dan membantu mereka yang turut serta dalam membentuk atau melaksanakan rencana bersama komplotan untuk melakukan kejahatan-kejahatan tersebut bertanggungjawab atas perbuatan orang-orang yang melakukan rencana tersebut.
Menurut Pasal 6 Piagam Pengadilan Militer Internasional tersebut para pemimpin, organisator, instigator (agitator) dan pembantu yang berpartisipasi untuk merencanakan atau melaksanakan atau berkonspirasi untuk melakukan kejahatan tersebut di atas tetap bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang yang melaksanakan rencana tersebut.
Pengadilan Internasional untuk penuntutan orang-orang yang yang diduga bertanggungjawab atas pelanggaran serius hukum humaniter internasional di wilayah bekas Yugoslavia sejak tahun l991 (International Tribunal For The Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of International Humanitarian Law Committed In The Territory Of The Former Yugoslavia Since l991 (ICTY) dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.827 Tahun 1993 menyebutkan berbagai bentuk pelanggaran serius atau berat HAM, yang berada di bawah kompetensi pengadilan tersebut, yaitu: 1. Kejahatan Genosida; 2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Statuta Pengadilan Pidana Internasional Untuk Rwanda (ICTR) menyebutkan pula kompetensinya atas kejahatan genosida dan kejahatan terhadap Kemanusiaan. Dua bentuk kejahatan ini dinilai sebagai suatu pelanggaran serius atau berat HAM oleh masyarakat internasional karena dampak buruknya yang luar biasa dahsyat bagi jiwa, raga dan peradaban manusia.
Upaya masyarakat internasional untuk memperbaiki sistem perlindungan HAM dengan cara mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran HAM berat mencapai puncaknya ketika pada tanggal 17 Juli l998 Konferensi Deplomatik PBB mengesahkan Statuta Roma Tentang Pengadilan Kejahatan Internasional. Mukadimah Statuta Roma memuat pandangan dasar sebagai berikut:
“Menyadari bahwa semua orang dipersatukan oleh ikatan bersama, kebudayaan mereka bertaut kembali dalam suatu warisan bersama, dan keprihatinan bahwa mosaik yang rapuh ini dapat hancur setiap saat, Menyadari bahwa dalam abad ini berjuta-juta anak, perempuan, dan laki-laki telah menjadi korban dari kekejaman tak terbayangkan yang sangat mengguncang nurani kemanusiaan, Mengakui bahwa kejahatan yang sangat keji tersebut mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia, Menegaskan bahwa kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan tak dihukum dan bahwa penuntutan mereka secara efektif harus dijamin dengan mengambil langkah-langkah ditingkat nasional dan dengan memajukan kerjasama internasional, bertekad untuk memutuskan rantai kekebalan hukum (impunity) bagi para pelaku kejahatan ini dan dengan demikian memberi sumbangan kepada dicegahnya kejahatan tersebut,Mengingat bahwa merupakan tugas setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksi kejahatannya terhadap orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan internasional,”

Pengadilan Kejahatan Internasional yang dibentuk berdasarkan Statuta Roma mempunyai yurisdiksi atas kejahatan paling serius yang merupakan pelanggaran HAM berat yaitu:
1. Kejahatan genosida;
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan;
3. Kejahatan Perang;
4. Kejahatan agresi. 
Statuta Roma, Statuta ICTY, Statuta ICTR, dan Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg menganut asas pertanggungjawaban individu. Yang berarti tanpa memandang kedudukan atau jabatan seseorang bertanggungjawab atas keterlibatannya dalam perbuatan pelanggaran HAM berat. Perihal pertanggungjawaban individu itu telah dirumuskan oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) pada tanggal 29 Juli 1950 sebagai berikut:
1. Setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu kejahatan internasional bertanggungjawab atas perbuatannya dan harus dihukum.
2.  Fakta bahwa hukum internal (nasional) tidak mengancam dengan pidana atas perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional tidaklah membebaskan orang yang melakukan perbuatan itu dari tanggungjawab menurut hukum internasional.
3. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional bertindak sebagai Kepala Negara atau Pejabat Pemerintah yang bertanggungjawab, tidak membebaskannya dari tanggungjawab menurut hukum internasional.
4.  Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan itu untuk melaksanakan perintah dari Pemerintahnya atau dari atasannya tidaklah membebaskannya dari tanggungjawab menurut hukum internasional, asal saja pilihan moral (moral choice) yang bebas dimungkinkan olehnya.
Dalam upaya untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pelanggaran HAM berat itu Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg dan Statuta ICTY menerapkan asas retroaktif. Yang berarti Statuta itu diperlakukan terhadap kejahatan yang dilakukan sebelum adanya Statuta tersebut. Berbeda dari Piagam Nuremberg dan Statuta ICYTY, Statuta Roma menganut asas tidak berlaku surut (non-retroactive).
Ide, nilai dan norma yang terkandung dalam HAM, khususnya yang berkenaan dengan pencegahan dan penghukuman pelanggaran HAM berat tak terhindarkan membawa pengaruh yang cukup dalam pada perkembangan hukum HAM di Indonesia. Berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa rezim otoriter Orde Baru tidak ada presedennya dalam sejarah Indonesia merdeka. Pembantaian massal yang terjadi pada tahun l965, pelanggaran-pelanggaran HAM di Timor-Timur, Tanjung Priok, Papua, Aceh dan di tempat-tempat lain merupakan pelanggaran berat HAM yang sampai hari ini belum tuntas diselesaikan.
Negara dan masyarakat Indonesia tidak punya pengalaman yang memadai untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Selain itu perangkat hukum pidana dan HAM tidak memadai untuk menangani kasus-kasus tersebut secara benar dan adil. Oleh karena itu wajar bila para perancang pembaharuan hukum di Indonesia melihat dan belajar pada negeri lain dan masyarakat internasional, khususnya berkaitan dengan pencegahan dan penghukuman para pelaku pelanggaran HAM berat. Dalam hal ini tak dapat di bantah bahwa idea perlunya pengadilan HAM yang khusus memeriksa dan memutus pelanggaran HAM berat merupakan salah satu tujuan pendirian Pengadilan Pidana Internasional.
Di Indonesia Undang-undang (UU) No. 26 Tahun 2000 menyatakan, bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat. Tak pula dapat dibantah konsep pelanggaran HAM berat yang terkandung dalam UU tersebut mengadopsi sebagian konsep pelanggaran HAM berat yang tertuang dalam Statuta Roma. Menurut UU No. 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM berat meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh UU Pengadilan HAM tersebut genosida diartikan sebagai “setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a.      membunuh anggota kelompok;
b.      mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c.      menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d.      memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e.      memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pengertian genosida yang termuat dalam pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 hampir sama dengan pengertian genosida yang terkandung dalam pasal 6 Statuta Roma. UU Pengadilan HAM mendifinisikan kejahatan kemanusiaan sebagai salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a.      pembunuhan;
b.      pemusnahan;
c.      perbudakan;
d.      pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e.      perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f.       penyiksaan;
g.      perkosaan, perbudakan , pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan  lain yang setara;
h.      penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i.        penghilangan orang secara paksa; atau
j.        kejahatan apartheid.
Pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang tertuang dalam pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 itu jelas sama dengan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1 Statuta Roma. Baik pasal 9 UU Pengadilan HAM maupun pasal 7 ayat 1 Statuta Roma tidak menjelaskan pengertian serangan yang meluas atau sistematik sebagaimana yang dirumnuskan oleh kedua pasal tersebut. Pengertian serangan yang meluas atau sistematik dirumuskan oleh pengadilan yang mengadili dan memutus kasus kejahatan terhadap kemanusiaan. Berikut ini akan disampaikan pengertian serangan meluas atau sistematik menurut putusan Hakim pengadilan HAM Ad Hoc Indonesia dalam kasus pelanggaran Ham berat sebagai berikut:
1. Putusan No.01/PID.HAM/AD.HOC/2002/PH. JKT.PST. atas nama Terdakwa Abilo Jose Osorio Soares. Majelis hakim berpendapat sebagai berikut:
a. yang dimaksud dengan serangan adalah bahwa serangan tersebut tidak harus selalu merupakan serangan militer, seperti yang diartikan oleh International Humanitarian Law dalam arti bahwa serangan tersebut tidak perlu harus mengikutsertakan kekuatan militer atau penggunaan senjata, dengan perkataan lain apabila terjadi pembunuhan sebagai hasil dari suatu pengerahan kekuatan atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Keadaan bentrokan semacam ini dapat masuk ke dalam terminology serangan (attack);
b. bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap penduduk sipil tidak berarti bahwa serangan harus ditujukan terhadap penduduk (population) secara keseluruhan, tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu yang mempunyai keyakinan politik tertentu;
c. yang dimaksud “meluas“ karena pada peristiwa-peristiwa yang didakwakan terbukti terjadi pembunuhan secara besar-besaran, berulang-ulang, dalam skala yang besar (massive, frequent, large scale), yang dilakukan secara kolektif dengan akibat yang sangat serius berupa jumlah korban nyawa yang besar;
d. yang dimaksud dengan sistematik adalah terbentuknya sebuah ide atau prinsip berdasarkan penelitian atau observasi yang terencana dengan prosedur yang sudah umum. Dalam kaitannya dengan pelanggaran berat HAM, definisi sistematik dapat berarti kegiatan yang berpola sama dan konsisten (berulang-ulang). Pola disini berarti struktur atau desain yang saling berhubungan. Sedangkan konsisten di sini berarti sebuah gagasan yang ditandai dengan tidak berubahnya posisi atau saling berhubungan, bisa juga karakter tertentu yang sudah terbentuk dan ditunjukan secara berulang-ulang.”

Selanjutnya menurut Majelis Hakim, pengertian sistematik memiliki 4 (empat) elemen sebagai berikut:
1.   “adanya tujuan politik, rencana dilakukannya penyerangan, suatu ideologi, dalam arti luas menghancurkan atau melemahkan suatu komunitas;
2.   melakukan tindak pidana dengan skala yang besar terhadap suatu kelompok penduduk sipil, atau berulang-ulang dan terus menerusnya tindakan tidak manusiawi yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya;
3.   adanya persiapan dan penggunaan yang signifikan dari milik atau fasilitas publik atau perorangan;
4.   adanya implikasi politik tingkat tinggi atau otoritas militer dalam mengartikan atau mewujudkan rencana yang metodologis.”

2. Putusan No.08 / PID.HAM / AD.HOC / 2002 / PN.JKT.PST atas nama Terdakwa Letkol Inf. Soedjarwo. Majelis Hakim berpendapat sebagai berikut:
- “yang dimaksud dengan serangan meluas tidaklah harus selalu merupakan serangan militer seperti yang diartikan oleh International Humanitarian Law sehingga pengertian serangan tersebut tidak perlu harus mengikut sertakan kekuatan militer atau senjata, dengan perkataan lain apabila terjadi pembunuhan sebagai hasil dari suatu pengerahan kekuatan atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Keadaan bentrokan semacam ini adalah termasuk dalam terminology serangan (attack);

- Bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap “penduduk sipil“ bukan berarti serangan harus ditujukan terhadap penduduk (population) secara keseluruhan, akan tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu yang mempunyai keyakinan politik tertentu;

- Bahwa salah seorang Hakim Pengadilan Pidana Internasional untuk Yugoslavia, Jean Jaques Heintz menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “serangan meluas” adalah serangan yang bersifat massal,tindakan dalam skala besar, dilakukan secara bersama-sama dengan niat yang sungguh-sungguh dan ditujukan terhadap korban dalam jumlah besar, sedangkan menurut Arne Willy Dahl (Hakim Advocate General Norwegia) menyatakan “serangan meluas” itu harus diarahkan terhadap korban yang berjumlah besar (widespread attack is one that is directed against a multiplicity of victims);“
3. Putusan No.02 / PID.HAM / AD. HOC / 2002 / PN. JKT. PST atas nama Terdakwa Drs. G.M. Timbul Silaen. Majelis Hakim dengan merujuk pada pendapat Arne Willy Dahl (Hakim Advocate General) menyatakan sebagai berikut:
-“bahwa pengertian serangan yang meluas adalah serangan yang diarahkan terhadap korban yang berjumlah besar (Widespread attack is one that is directed against a multiplicity of victims). Selanjutnya menurut Majelis Hakim “ ada juga yang berpendapat bahwa arti serangan yang meluas adalah merujuk kepada jumlah korban (massive), skala kejahatan dan sebaran tempat (geografis), dan dalam kejahatan kemanusiaan, perbuatan meskipun dilakukan secara individual namun ada sebagai hasil dari aksi kolektif (Collective action-M Charief Bassioni, Crime Against Humanity in the International Law ).”
Menurut Majelis Hakim “Pengertian serangan yang sistematik berkaitan dengan suatu kebijakan atau rencana yang mendasari atau melatar belakangi terjadinya tindak pidana tersebut. Pengertian kebijakan tidak selalu berkonotasi tertulis tetapi dapat merupakan tindakan yang berulang dan terus-menerus diikuti dan telah menjadi pola yang diikuti oleh aparat negara;
Selanjutnya Majelis Hakim menyatakan, bahwa “Pengertian serangan yang sistematik adalah suatu serangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang telah disusun terlebih dahulu atau terencana (a systematic an attack means carried out pursuant to a preconceive policy or plan - Arne Willy Dahl, Judge Advocate General Norway);”Berbeda dari Statuta Roma yang menganut asas non-retroactive, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM menerapkan asas retroactive. Yang berarti pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU tersebut, dapat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Ham Ad Hoc. Pengadilan Ham Ad Hoc tersebut dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. (Pasal 43 (1) (2)). Asas retroactive sebagaimana kita ketahui dianut oleh Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg dan ICTY. Ini sekali lagi menunjukkan pengaruh konsep dan praktek hukum interrnsional berkaitan dengan pencegahan dan penghukuman pelanggaran HAM berat pada hukum yang sama di Indonesia.
Konvensi Internsasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, Konvensi Internasional Pencegahan dan Penghukuman Genosida, Kejahatan HAM berat yang dilarang oleh Statuta Roma, Konvensi Anti Internasional Diskriminasi Rasial, Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan merupakan jus cogens. Sebagaimana dikemukakan oleh Starke kaidah-kaidah jus cogens meliputi:
“kaidah-kaidah fundamental mengenai pemeliharaan perdamaian … kaidah-kaidah fundamental dari suatu kodrat kemanusiaan (larangan genocide, perbudakan dan diskriminasi rasial, perlindungan hak-hak dasar manusia pada masa damai maupun perang), kaidah yang melarang setiap pelanggaran terhadap kemerdekaan dan persamaan kedaulatan negara-negara, kaidah-kaidah yang menjamin semua anggota masyarakat internasional untuk menikmati sumber-sumber daya alam bersama ( laut lepas, ruang angkasa dan lain-lain )“.

Pasal 53 Konvensi Wina tentang Perjanjan Internasional berkenaan dengan jus cogen menyatakan:
“Suatu traktat batal apabila, pada waktu penutupannya, bertentangan dengan norma hukum internasional umum yang tidak dapat diubah. Untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, suatu norma hukum internasional yang tidak dapat diubah adalah suatu norma yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional negara-negara secara keseluruhan sebagai suatu norma yang tidak boleh diabaikan dan yang hanya dapat diubah dengan suatu norma hukum internasional umum yang timbul kemudian yang mempunyai karakter yang sama.”

Tak dapat dipungkiri, bahwa idea, nilai dan norma yang terkandung dalam konvensi internasional HAM seperti, Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Genosida, Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan, Statuta Roma yang merupakan jus cogen, praktek pengadilan HAM ad hoc internasional, pendapat para ahli hukum internasional telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap reformasi hukum HAM dan praktek hukum HAM di Indonesia, khususnya berkaitan dengan penyelesaian melalui pengadilan HAM kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Apa yang dimaksud dengan Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, belum ada satu definisi yang dapat diterima secara umum. Kata “berat” digunakan untuk  menenerangkan kata pelanggaran untuk menggambarkan betapa  parahnya pelanggaran yang dilakukan. Selain itu kata berat juga juga berhubungan dengan jenis-jenis hak asasi manusia yang dilanggar.Pelanggaran  berat hak asasi manusia terjadi apabila hak hak asasi manusia yang dilanggar adalah  hak-hak berjenis non derogable rights.
Cecilia  Meidina Quiroga menjelaskan istilah Pelanggaran  berat Ham sebagai suatu pelanggaran yang mengarah  kepada pelanggaran-pelanggaran, sebagai alat bagi pencapaian dari kebikakan-kebijakan pemerintah, yang dilakukan dalam kualitas tertentu dalam suatu cara untuk menciptakan situasi hak untuk hidup, hak atas integritas Pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari penduduk secara keseluruhan atau satu atau lebih sektor-sektor dari penduduk  suatu negara secara terus menerus dilanggar atau diancam.
Istilah pelanggaran berat HAM yang telah dikenal dan digunakan pada saat ini belum dirumuskan secara jelas,baik di dalam resolusi,deklarasi maupun dalam perjanjian HAM. Secara umum dapat diartikan sebagai pelanggaran secara sitematis terhadap norma-norma HAM tertentu yang sifatnya lebih serius,sebagaimana  yang dinyatakan  oleh H Victor Conde:
GrossViolation(s) of Human Rights :  a term used but not well defined in human rights resolution,declarations,and treaties but generally meaning systematic violation of certain human rights normas of a more serious nature.such as apartheid,racial discrimination, murder, slavery, genocide, religious persecution on a massive scale,committed as a matter of  official practice.Gross Violations result in irreparable harms to victims.
Dalam Lingkup Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengakui  adanya Pelanggaran HAM  yang berkategori berat dan sistematis, seperti dinyatakan Dinah Shelton.
International Human Rights Law,especially as developed within the United Nation,recognizes a category of situation of gross and systematic violation of human rights, Though never exactly defined, it constitutes the jurisdictional threshold for consideration of human rights complaints,submitted pursuant to Ecosoc Resolution 1503.
Menurut Peter Baehr, pelanggaran berat hak asasi manusia akan menyangkut masalah-masalah  yang meliputi the prohibition of slavery, the right to life, torture and cruel,inhuman or degrading treatment or punishment, genocide, disappearances and ethnic cleansing.
Medina Quiroga  memberikan pengertian mengenai  pelanggaran hak asasi manusia yang berkategori berat dan sistematik, dimana jenis hak yang dilanggar adalah hak untuk hidup,hak atas integritas pribadi dan hak atas kebebasan pribadi.
Konsep pelanggaran hak asasi manusia termasuk dalam konsep yang selalu menimbulkan perdebatan apabila berbicara mengenai hak asasi manusia.
“Klaim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa kondisi hak  asasi manusia di tanah air membaik yang dibuktikan  dengan tidak terjadinya  pelanggaran hak asasi manusia dan diratifikasinya International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights, yang mendapat tanggapan dari kalangan pegiat hak asasi manusia menunjukan tidak adanya pemahaman konsep HAM, maupun kesamaan konsep pelanggaran hak asasi manusia serta konsep perlindungan dan penegakan hak asasi manusia.”
Satu hal penting adalah bahwa pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi apabila dua syarat terpenuhi yaitu syarat negara dan kekuasaan. Dan pelanggaran hak asasi manusia hanya bisa dilakukan oleh negara. Mengapa peneliti katakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia hanya bisa dibayangkan bahwa hal tersebut dilakukan oleh negara,dikarenakan negara sebagai suatu otoritas yang berkuasa disuatu wilayah mempunyai kewenangan untuk memasukkan hak  yang melekat dalam diri manusia yang tanpa itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia ke dalam peraturan perundang-undangannya.
Termasuk dalam hak asasi manusia adalah  hak  untuk hidup, hak  untuk tidak dianiaya, hak  untuk tidak mendapatkan perlakuan yang merendahkan harkat martabat manusia, dan hak  untuk mendapatkan peradilan yang fair, hak  untuk bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat, serta hak untuk bebas berkumpul berserikat dan mengeluarkan pendapat didalam aturan hukum nasional sehingga dengan kata lain negara telah  melaksanakan tanggungjawab melaksanakan hak asasi manusia dengan mengatur dalam aturan hukum dalam ketentuan nasional yang harus dipatuhi oleh individu warga negaranya. Sehingga apabila individu warga negaranya melakukan pelanggaran aturan hukum yang di dalamnya termuat hak asasi manusia maka negara yang akan melakukan tindakan hukum.
Persoalan baru timbul ketika aparatur negara sebagai personifikasi negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum ketika sedang melaksanakan tugasnya dan tidak ada upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum tersebut pada saat itulah timbul konsep pelanggaran hak asasi manusia, karena hukum memerlukan otoritas yang kuat untuk bisa ditegakan dan apabila individu melakukan pelanggaran hukum maka negara  sebagai otoritas yang kuat yang akan melakukan penegakan hukum tersebut. Pertanyaannya adalah bagaimana kalau otoritas negara yang melakukan pelanggaran hukum tersebut tidak ada upaya penegakan hukum pada saat itulah timbul konsep pelanggaran hak asasi manusia, yang pada dasarnya merupakan harapan warga negara agar aparatur negara yang merupakan personifikasi negara dihukum, karena tidak tersentuh hukum, pada saat itulah yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia timbul.
Pelanggaran dapat dibedakan atas dua hal pelanggaran hak asasi manusia, yaitu pelanggaran hak asasi manusia dengan berbuat atau violence by act dan pelanggaran HAM dengan tidak berbuat atau violence by ommission. Pelanggaran hak asasi manusia dengan berbuat adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum yang dilakukan oleh aparatur negara dalam melaksanakan tugasnya tetapi tidak diambil tindakan oleh negara. Pelanggaran hak asasi manusia dengan tidak berbuat adalah apabila perbuatan yang bertentangan dengan hukum tersebut dilakukan oleh warga negara terhadap warga negara yang lain dan negara tidak mengambil tindakan terhadap perbuatan yang bertentangan dengan hukum tersebut, sehingga diartikan negara telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan tidak berbuat.
Harus dipahami bahwa dengan penjelasan tersebut maka pelanggaran hak asasi manusia hanya bisa dibayangkan dilakukan oleh negara. Sehingga dengan demikian kita bisa membedakan antara pelanggaran hak asasi manusia dengan pelanggaran hukum, dimana pelanggaran hukum dilakukan oleh individu terhadap individu, dan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh negara terhadap individu, atau ketika negara tidak berbuat apa-apa terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh negara. Sekalipun hukum hak  asasi manusia Internasional adalah Hukum Internasional yang meletakan tanggung jawab pidana pada individu, tetapi negara mempunyai kewajiban untuk menghukum pelaku pelanggaran berat hak  asasi manusia, sebagai sebuah kewajiban internasional.
“Hukum Internasional telah memberikan landasan yang kokoh  untuk mengefektifkan penghukuman bagi pelaku pelanggaran berat  hak  asasi manusia (gross violation of human rights) yang dikategorikan ke dalam pertanggungjawaban pidana dan perdata. Kewajiban negara untuk  menghukum pelaku pelanggaran berat hak  asasi manusia telah dikembangkan  di dalam berbagai instrument hukum  hak  asasi manusia  baik internasional maupun regional. Bahkan hukum kebiasaan internasional secara tegas melarang segala bentuk pembebasan hukuman terhadap  pelanggaran berat hak  asasi manusia yang dilakukan secara sistematis.
Berdasarkan konsep tanggung jawab negara, suatu negara bertanggung jawab apabila melanggar kewajiban hukum internasional.Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) kemudian menyatakan  bahwa pelanggaran terhadap kewajiban  negara yang digolongkan sebagai International Wrongful Act, di dalamnya mencakup pelanggaran berat terhadap hak  asasi manusia, yang juga dikatagorikan sebagai kejahatan internasional (international crimes).

Penjelasan dari Rudi M Rizki peneliti  menarik suatu pandangan bahwa negara yang personalitasnya terwujud dalam individu-individu bertanggung jawab atas pelaksanaan hak asasi manusia dalam hal ini pelaksanaan kewajiban internasional dalam kaitannya dengan hak  asasi manusia, sehingga peneliti mengatakan pelanggaran hak asasi manusia hanya bisa dibayangkan apabila unsur negara terlibat sekalipun tanggung jawab pidana  melekat pada individu.
Pada sisi lain selain dari apa yang telah dikemukakan di atas perlu diketahui pula bahwa dalam hukum hak asasi manusia dikenal adanya hak  negara untuk membatasi hak asasi manusia apabila negara dalam keadaan bahaya. Akan tetapi yang harus mendapatkan perhatian ialah sekalipun negara dalam keadaan bagaimanapun ada hak yang tidak bisa dibatasi dalam segala keadaan yang pada prinsipnya meliputi adalah hak untuk hidup, kebebasan dari tindakan penyiksaan, bebas dari tindakan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat, kebebasan dari perbudakan dan penghambaan, kebebasan dari undang-undang berlaku surut, serta kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama.
Artinya itulah hak  asasi manusia yang utama yang tidak boleh hilang dalam diri manusia dan hak  inilah yang selalu dipertahankan dari diri manusia.
Pada sisi lain dalam kajian penulis terdapat pemahaman yang salah  tertuang dalam UU No 39 tahun 1999 dimana pada pasal 1 ayat 6 dikatakan bahwa:
“Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, atau membatasi, dan atau mencabut hak  asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”[19]

Peneliti menggaris bawahi pengertian  pelanggaran hak asasi manusia yang terdapat dalam UU No 39 tahun 1999 ini berbeda dengan konsep pelanggaran hak asasi manusia dalam literatur hak asasi manusia, artinya apabila pelanggaran hukum tersebut dilakukan oleh individu-terhadap individu sudah semestinya negara mengambil tindakan hukum terhadap individu tersebut, masalahnya seperti apa yang sudah peneliti kemukakan di atas bahwa apabila negara diam saja atau aparatur negara sebagai personifikasi negara dan negara tidak mengambil tindakan hukum maka pada saat itu terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Konsep lain yang juga menurut peneliti perlu pengkajian lebih lanjut adalah jurisdiksi dari Undang-Undang No 26 Tahun 2000 mengenenai Pengadilan HAM, dimana yurisdiksi dari Pengadilan HAM berdasarkan Undang-Undang No 26 Tahun 2000 meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.Dalam hal ini Undang-Undang No 26 mendorong pemikiran setiap orang kepada setiap peristiwa yang terjadi adalah pelanggaran hak asasi manusia berat yang terdiri atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida, tanpa memulai dengan suatu langkah yang sistematik dengan  memungkinkan Pengadilan HAM menjangkau pelanggaran hak asasi manusia dimana unsur negara dan kekuasaan terlibat, yang mungkin saja tidak termasuk katagori pelanggaran hak asasi manusia berat, sehingga idealnya konsep yang tertuang dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2000 memulai yurisdiksi Pengadilan HAM dari pelanggaran hak asasi manusia yang terdapat unsur negara dan kekuasaan, dimana negara tidak mampu terjangkau oleh hukum (Praktek Impunity oleh Negara), lalu secara sistematik mengatur pelanggaran hak asasi manusia berat, sehingga undang-undang Pengadilan HAM berisi konsep yang sistematis mengenai kewenangan Pengadilan HAM.



0 komentar:

Posting Komentar