Konsep Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia
dan
Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi
1. Konsep Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia
dalam Hukum Internasional
Pelanggaran
berat hak asasi manusia dalam hukum internasional berkaitan dengan beberapa ketentuan yang berkembang pasca
perang dunia kedua, yang bisa dilihat dalam antara lain Nurenberg Trial yang meliputi genocide, War Crime, Crime against humanity,
diatur dalam International Criminal
Tribunal for the former Yugoslavia dan
International Crriminal Tribunal for Rwanda yang meliputi war crime, crime againt humanity dan genocide.
Seiring
dengan berdirinya International Criminal Court sebagai pengadilan internasional
yang sifatnya permanen, yang mempunyai yurisdiksi atas 4 macam kejahatan yang
meliputi genocide,war Crime, Crime against
humanity dan agresi menegaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang termaksud
diatas adalah kejahatan-kejahatan yang dikatagorikan dalam pelanggaran hak
asasi manusia berat.
Setelah
perang dunia ke II yang dahsyat itu Hukum Internasional Hak Asasi Manusia
(HIHAM) mengalami perkembangan yang pesat dan signifikan serta dengan
sendirinya menjadi rujukan berbagai aktor seperti, negara, organisasi
internasional, nasional, dan individu ketika menanggapi banyak peristiwa
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hubungan antar bangsa di dunia meliputi
tidak saja kepentingan ekonomi, politik dan militer, tapi juga kepentingan
sosial dan budaya. Hubungan antar bangsa di berbagai bidang kegiatan itu tak
terelakkan wajib menghormati dan mematuhi HAM. Dalam konteks ini Piagam
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) secara umum menyebutkan, bahwa “PBB akan
memajukan penghormatan dan kepatuhan terhadap HAM dan kebebasan-kebebasan dasar
bagi semua bangsa tanpa pembedaan suku bangsa, kelamin, bahasa atau agama.”
(Pasal 55 c Piagam PBB). Selain itu pada bulan Desember tahun 1948 Majelis Umum
PBB menerima dan mengesahkan Deklarasi Umum HAM PBB (DUHAM PBB). DUHAM PBB
memuat norma-norma HAM di bidang-bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan
budaya. Norma-norma HAM itu dinyatakan dalam suatu deklarasi dan berlaku sebagai
standar atau baku pelaksanaan HAM bagi semua bangsa dan semua negara.
Piagam
dan DUHAM PBB tersebut di atas merupakan salah satu sumber awal bagi lahirnya
HIHAM seperti, Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Genosida tahun l948,
Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi Internasional
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan
Martabat Manusia, Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan, Konvensi Internasional Tentang Hak-hak Anak, dan lain sebagainya.
Konvensi-konvensi internasional tersebut
perlu dikemukakan untuk menggambarkan tahapan perkembangan Undang-undang HAM
Internasional (International Bill of Rights).
J.G. Starke menyebutkan secara kronologis tiga tahapan
penyusunan International Bill of Rights
sebagai berikut: pertama, sebuah Deklarasi yang menetapkan bermacam-macam hak
manusia yang seharusnya dihormati; kedua, serangkaian ketentuan Konvensi yang
mengikat negara negara untuk menghormati hak-hak yang telah ditetapkan
tersebut; dan ketiga, langkah-langkah dan perangkat kerja untuk pelaksanaannya.
Sebagian dari Konvensi konvensi internasional itu sudah diratifikasi oleh
Republik Indonesia dan karena itu sudah menjadi bagian dari hukum nasional
Indonesia. Konvensi konvensi internasional yang telah diratifikasi itu, antara
lain Konvensi internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, Konvensi
Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi
Internasional Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,
Konvensi Internasional Tentang Hak Anak, dan berbagai Konvensi International Labour Organization (ILO)
yang tidak disebutkan disini.
Substansi konvensi konvensi internasional HAM tersebut, tidak
akan ditemukan suatu difinisi tunggal yang menjelaskan secara memadai
pengertian pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat pada umumnya difahami
sebagai suatu perbuatan pelanggaran HAM yang membawa dampak buruk yang luar
biasa dahsyat pada jiwa, raga dan peradaban manusia. Salah satu bentuk
pelanggaran HAM berat adalah genosida. Menurut Konvensi Pencegahan dan
Penghukuman Genosida Tahun l949 genosida berarti tindakan dengan kehendak
menghancurkan sebagian atau keseluruhan kelompok nasional, etnis, ras atau
agama; atas salah satu dari lima tindakan berikut ini yaitu:
a.
Membunuh anggota
kelompok;
b.
Menyebabkan cacat tubuh
atau mental yang serius terhadap anggota kelompok;
c.
Secara sengaja dan
terencana mengkondisikan hidup kelompok ke arah kehancuran fisik secara
keseluruhan atau sebagian ;
d.
Memaksakan langkah-langkah
yang ditujukan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut ;
e.
Dengan paksa
memindahkan anak-anak kelompok tersebut ke kelompok lain.
Menurut Geoffrey Robertson QC pengertian genosida tersebut di
atas cukup luas di mana termasuk didalamnya perbuatan pembersihan etnis dan
pembersihan massal agama. Akan tetapi difinisi itu tidak menyentuh pembantaian
terhadap suatu kelas ekonomi tertentu (kaum Kulaks) dan jutaan orang yang
dianggap pengkhianat yang dilakukan oleh Stalin. Definisi genosida tersebut di
atas juga tidak menjangkau pembunuhan ribuan orang yang mempunyai keyakinan
politik tertentu yang dilakukan oleh para penguasa militer. Misalnya, atas
dasar itu pemerintah Kerajaan Inggris menolak untuk memenuhi tuntutan Jaksa
Spanyol yang menuduh Jenderal Pinochet telah melakukan genosida karena
membantai kelompok sayap kiri di Chili.
Sebagaimana telah disebutkan di atas tidak ada satu difinisi
tunggal yang memadai untuk menjelaskan perbuatan yang dapat dikatagorikan
pelanggaran HAM berat. Berbagai bentuk pelanggaran HAM berat tidak cukup
diterangkan dalam satu difinisi hukum. Piagam Pengadilan Militer Internasional
Nuremberg menyebutkan kejahatan yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran
HAM berat sebagai berikut:
1. Kejahatan terhadap perdamaian (Crimes
against peace). Termasuk kejahatan terhadap perdamaian ialah: merencanakan,
mempersiapkan, memulai, atau menjalankan perang agresi, atau perang yang
melanggar perjanjian-perjanjian internasional, persetujuan-persetujuan atau
jaminan-jaminan; atau turut serta di dalam rencana bersama atau komplotan untuk
mencapai salah satu daripada tujuan perbuatan-perbuatan tersebut di atas.
2. Kejahatan Perang (War Crimes).
Termasuk kejahatan perang ialah: pelanggaran terhadap hukum atau
kebiasaan-kebiasaan perang, seperti pembunuhan (murder), perlakuan kejam
terhadap penduduk sipil dengan mengasingkan mereka, mengerjakan mereka secara
paksa, atau di wilayah pendudukan memperlakukan tawanan-tawanan perang dengan
kejam, membunuh mereka, atau memperlakukan orang di laut secara demikian;
merampas milik Negara atau milik perseorangan, menghancurkan kota atau desa
dengan secara berkelebihan atau semau-maunya, atau membinasakannya tanpa adanya
keperluan militer.
3. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes
against humanity). Termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan ialah:
pembunuhan (murder) membinasakan, memperbudak, mengasingkan dan
lain-lain kekejaman di luar perikemanusiaan terhadap penduduk sipil, yang
dilakukan sebelum atau sesudah perang; perkosaan hak-hak dasar berdasarkan
alasan-alasan politik, ras atau agama. Pemimpin atau orang yang mengorganisir,
menghasut dan membantu mereka yang turut serta dalam membentuk atau
melaksanakan rencana bersama komplotan untuk melakukan kejahatan-kejahatan
tersebut bertanggungjawab atas perbuatan orang-orang yang melakukan rencana
tersebut.
Menurut Pasal 6 Piagam Pengadilan Militer Internasional
tersebut para pemimpin, organisator, instigator (agitator) dan pembantu
yang berpartisipasi untuk merencanakan atau melaksanakan atau berkonspirasi
untuk melakukan kejahatan tersebut di atas tetap bertanggungjawab atas tindak
pidana yang dilakukan oleh setiap orang yang melaksanakan rencana tersebut.
Pengadilan Internasional untuk penuntutan orang-orang yang
yang diduga bertanggungjawab atas pelanggaran serius hukum humaniter
internasional di wilayah bekas Yugoslavia sejak tahun l991 (International
Tribunal For The Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of
International Humanitarian Law Committed In The Territory Of The Former
Yugoslavia Since l991 (ICTY) dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan
PBB No.827 Tahun 1993 menyebutkan berbagai bentuk pelanggaran serius atau berat
HAM, yang berada di bawah kompetensi pengadilan tersebut, yaitu: 1. Kejahatan
Genosida; 2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Statuta Pengadilan Pidana
Internasional Untuk Rwanda (ICTR) menyebutkan pula kompetensinya atas kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap Kemanusiaan. Dua bentuk kejahatan ini dinilai
sebagai suatu pelanggaran serius atau berat HAM oleh masyarakat internasional
karena dampak buruknya yang luar biasa dahsyat bagi jiwa, raga dan peradaban
manusia.
Upaya masyarakat internasional untuk memperbaiki sistem
perlindungan HAM dengan cara mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran
HAM berat mencapai puncaknya ketika pada tanggal 17 Juli l998 Konferensi
Deplomatik PBB mengesahkan Statuta Roma Tentang Pengadilan Kejahatan
Internasional. Mukadimah Statuta Roma memuat pandangan dasar sebagai berikut:
“Menyadari bahwa semua orang dipersatukan oleh ikatan
bersama, kebudayaan mereka bertaut kembali dalam suatu warisan bersama, dan
keprihatinan bahwa mosaik yang rapuh ini dapat hancur setiap saat, Menyadari
bahwa dalam abad ini berjuta-juta anak, perempuan, dan laki-laki telah menjadi
korban dari kekejaman tak terbayangkan yang sangat mengguncang nurani
kemanusiaan, Mengakui bahwa kejahatan yang sangat keji tersebut mengancam
perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia, Menegaskan bahwa kejahatan paling
serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan tidak
boleh dibiarkan tak dihukum dan bahwa penuntutan mereka secara efektif harus
dijamin dengan mengambil langkah-langkah ditingkat nasional dan dengan
memajukan kerjasama internasional, bertekad untuk memutuskan rantai kekebalan
hukum (impunity) bagi para pelaku kejahatan ini dan dengan demikian
memberi sumbangan kepada dicegahnya kejahatan tersebut,Mengingat bahwa
merupakan tugas setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksi kejahatannya
terhadap orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan internasional,”
Pengadilan Kejahatan Internasional yang dibentuk berdasarkan
Statuta Roma mempunyai yurisdiksi atas kejahatan paling serius yang merupakan
pelanggaran HAM berat yaitu:
1. Kejahatan genosida;
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan;
3. Kejahatan Perang;
4. Kejahatan agresi.
Statuta Roma, Statuta ICTY, Statuta ICTR, dan Piagam
Pengadilan Militer Internasional Nuremberg menganut asas pertanggungjawaban
individu. Yang berarti tanpa memandang kedudukan atau jabatan seseorang
bertanggungjawab atas keterlibatannya dalam perbuatan pelanggaran HAM berat.
Perihal pertanggungjawaban individu itu telah dirumuskan oleh Komisi Hukum
Internasional (International Law Commission) pada tanggal 29 Juli 1950
sebagai berikut:
1. Setiap orang yang melakukan
suatu perbuatan yang merupakan suatu kejahatan internasional bertanggungjawab
atas perbuatannya dan harus dihukum.
2. Fakta bahwa hukum internal (nasional) tidak
mengancam dengan pidana atas perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut
hukum internasional tidaklah membebaskan orang yang melakukan perbuatan itu
dari tanggungjawab menurut hukum internasional.
3. Fakta bahwa orang tersebut
melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional
bertindak sebagai Kepala Negara atau Pejabat Pemerintah yang bertanggungjawab,
tidak membebaskannya dari tanggungjawab menurut hukum internasional.
4. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan
itu untuk melaksanakan perintah dari Pemerintahnya atau dari atasannya tidaklah
membebaskannya dari tanggungjawab menurut hukum internasional, asal saja
pilihan moral (moral choice) yang bebas dimungkinkan olehnya.
Dalam upaya untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan
pelanggaran HAM berat itu Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg dan
Statuta ICTY menerapkan asas retroaktif. Yang berarti Statuta itu diperlakukan
terhadap kejahatan yang dilakukan sebelum adanya Statuta tersebut. Berbeda dari
Piagam Nuremberg dan Statuta ICYTY, Statuta Roma menganut asas tidak berlaku
surut (non-retroactive).
Ide, nilai dan norma yang terkandung dalam HAM, khususnya
yang berkenaan dengan pencegahan dan penghukuman pelanggaran HAM berat tak
terhindarkan membawa pengaruh yang cukup dalam pada perkembangan hukum HAM di
Indonesia. Berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa
rezim otoriter Orde Baru tidak ada presedennya dalam sejarah Indonesia merdeka.
Pembantaian massal yang terjadi pada tahun l965, pelanggaran-pelanggaran HAM di
Timor-Timur, Tanjung Priok, Papua, Aceh dan di tempat-tempat lain merupakan
pelanggaran berat HAM yang sampai hari ini belum tuntas diselesaikan.
Negara dan masyarakat Indonesia tidak punya pengalaman yang
memadai untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Selain itu
perangkat hukum pidana dan HAM tidak memadai untuk menangani kasus-kasus
tersebut secara benar dan adil. Oleh karena itu wajar bila para perancang
pembaharuan hukum di Indonesia melihat dan belajar pada negeri lain dan
masyarakat internasional, khususnya berkaitan dengan pencegahan dan penghukuman
para pelaku pelanggaran HAM berat. Dalam hal ini tak dapat di bantah bahwa idea
perlunya pengadilan HAM yang khusus memeriksa dan memutus pelanggaran HAM berat
merupakan salah satu tujuan pendirian Pengadilan Pidana Internasional.
Di Indonesia Undang-undang (UU) No. 26 Tahun 2000 menyatakan,
bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM yang berat. Tak pula dapat dibantah konsep pelanggaran HAM
berat yang terkandung dalam UU tersebut mengadopsi sebagian konsep pelanggaran
HAM berat yang tertuang dalam Statuta Roma. Menurut UU No. 26 Tahun 2000,
pelanggaran HAM berat meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap
kemanusiaan. Oleh UU Pengadilan HAM tersebut genosida diartikan sebagai “setiap
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,
dengan cara:
a.
membunuh anggota
kelompok;
b.
mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c.
menciptakan kondisi
kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh
atau sebagiannya;
d.
memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e.
memindahkan secara
paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pengertian genosida yang termuat dalam pasal 8 UU No. 26
Tahun 2000 hampir sama dengan pengertian genosida yang terkandung dalam pasal 6
Statuta Roma. UU Pengadilan HAM mendifinisikan kejahatan kemanusiaan sebagai
salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas
atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a.
pembunuhan;
b.
pemusnahan;
c.
perbudakan;
d.
pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa;
e.
perampasan kemerdekaan
atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar
(asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f.
penyiksaan;
g.
perkosaan, perbudakan , pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau
sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan lain yang setara;
h.
penganiayaan terhadap
suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik,
ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang
telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
i.
penghilangan orang
secara paksa; atau
j.
kejahatan apartheid.
Pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang tertuang dalam
pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 itu jelas sama dengan pengertian kejahatan
terhadap kemanusiaan yang dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1 Statuta Roma. Baik
pasal 9 UU Pengadilan HAM maupun pasal 7 ayat 1 Statuta Roma tidak menjelaskan
pengertian serangan yang meluas atau sistematik sebagaimana yang dirumnuskan
oleh kedua pasal tersebut. Pengertian serangan yang meluas atau sistematik
dirumuskan oleh pengadilan yang mengadili dan memutus kasus kejahatan terhadap
kemanusiaan. Berikut ini akan disampaikan pengertian serangan meluas atau
sistematik menurut putusan Hakim pengadilan HAM Ad Hoc Indonesia dalam kasus
pelanggaran Ham berat sebagai berikut:
1. Putusan No.01/PID.HAM/AD.HOC/2002/PH. JKT.PST. atas nama
Terdakwa Abilo Jose Osorio Soares. Majelis hakim berpendapat sebagai berikut:
a. yang dimaksud dengan serangan
adalah bahwa serangan tersebut tidak harus selalu merupakan serangan militer,
seperti yang diartikan oleh International Humanitarian Law dalam arti bahwa
serangan tersebut tidak perlu harus mengikutsertakan kekuatan militer atau
penggunaan senjata, dengan perkataan lain apabila terjadi pembunuhan sebagai
hasil dari suatu pengerahan kekuatan atau operasi yang dilakukan terhadap
penduduk sipil. Keadaan bentrokan semacam ini dapat masuk ke dalam terminology
serangan (attack);
b. bahwa yang dimaksud dengan
serangan terhadap penduduk sipil tidak berarti bahwa serangan harus ditujukan
terhadap penduduk (population) secara keseluruhan, tetapi cukup kepada
sekelompok penduduk sipil tertentu yang mempunyai keyakinan politik tertentu;
c. yang dimaksud “meluas“ karena
pada peristiwa-peristiwa yang didakwakan terbukti terjadi pembunuhan secara
besar-besaran, berulang-ulang, dalam skala yang besar (massive, frequent,
large scale), yang dilakukan secara kolektif dengan akibat yang sangat
serius berupa jumlah korban nyawa yang besar;
d. yang dimaksud dengan sistematik
adalah terbentuknya sebuah ide atau prinsip berdasarkan penelitian atau
observasi yang terencana dengan prosedur yang sudah umum. Dalam kaitannya
dengan pelanggaran berat HAM, definisi sistematik dapat berarti kegiatan yang
berpola sama dan konsisten (berulang-ulang). Pola disini berarti struktur atau
desain yang saling berhubungan. Sedangkan konsisten di sini berarti sebuah
gagasan yang ditandai dengan tidak berubahnya posisi atau saling berhubungan,
bisa juga karakter tertentu yang sudah terbentuk dan ditunjukan secara
berulang-ulang.”
Selanjutnya menurut Majelis Hakim, pengertian sistematik
memiliki 4 (empat) elemen sebagai berikut:
1.
“adanya tujuan politik,
rencana dilakukannya penyerangan, suatu ideologi, dalam arti luas menghancurkan
atau melemahkan suatu komunitas;
2.
melakukan tindak pidana
dengan skala yang besar terhadap suatu kelompok penduduk sipil, atau
berulang-ulang dan terus menerusnya tindakan tidak manusiawi yang saling
berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya;
3.
adanya persiapan dan
penggunaan yang signifikan dari milik atau fasilitas publik atau perorangan;
4.
adanya implikasi
politik tingkat tinggi atau otoritas militer dalam mengartikan atau mewujudkan
rencana yang metodologis.”
2. Putusan No.08 / PID.HAM / AD.HOC / 2002 / PN.JKT.PST atas
nama Terdakwa Letkol Inf. Soedjarwo. Majelis Hakim berpendapat sebagai berikut:
- “yang dimaksud dengan serangan meluas tidaklah harus selalu
merupakan serangan militer seperti yang diartikan oleh International
Humanitarian Law sehingga pengertian serangan tersebut tidak perlu harus
mengikut sertakan kekuatan militer atau senjata, dengan perkataan lain apabila
terjadi pembunuhan sebagai hasil dari suatu pengerahan kekuatan atau operasi
yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Keadaan bentrokan semacam ini adalah
termasuk dalam terminology serangan (attack);
- Bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap “penduduk
sipil“ bukan berarti serangan harus ditujukan terhadap penduduk (population)
secara keseluruhan, akan tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu
yang mempunyai keyakinan politik tertentu;
- Bahwa salah seorang Hakim Pengadilan Pidana Internasional
untuk Yugoslavia, Jean Jaques Heintz menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
“serangan meluas” adalah serangan yang bersifat massal,tindakan dalam skala
besar, dilakukan secara bersama-sama dengan niat yang sungguh-sungguh dan
ditujukan terhadap korban dalam jumlah besar, sedangkan menurut Arne Willy Dahl
(Hakim Advocate General Norwegia) menyatakan “serangan meluas” itu harus
diarahkan terhadap korban yang berjumlah besar (widespread attack is one
that is directed against a multiplicity of victims);“
3. Putusan No.02 / PID.HAM / AD. HOC / 2002 / PN. JKT. PST atas
nama Terdakwa Drs. G.M. Timbul Silaen. Majelis Hakim dengan merujuk pada
pendapat Arne Willy Dahl (Hakim Advocate General) menyatakan sebagai berikut:
-“bahwa pengertian serangan yang meluas adalah serangan yang diarahkan
terhadap korban yang berjumlah besar (Widespread attack is one that is
directed against a multiplicity of victims). Selanjutnya menurut Majelis
Hakim “ ada juga yang berpendapat bahwa arti serangan yang meluas adalah
merujuk kepada jumlah korban (massive), skala kejahatan dan sebaran
tempat (geografis), dan dalam kejahatan kemanusiaan, perbuatan meskipun
dilakukan secara individual namun ada sebagai hasil dari aksi kolektif (Collective
action-M Charief Bassioni, Crime
Against Humanity in the International Law ).”
Menurut Majelis Hakim “Pengertian serangan yang sistematik
berkaitan dengan suatu kebijakan atau rencana yang mendasari atau melatar
belakangi terjadinya tindak pidana tersebut. Pengertian kebijakan tidak selalu
berkonotasi tertulis tetapi dapat merupakan tindakan yang berulang dan
terus-menerus diikuti dan telah menjadi pola yang diikuti oleh aparat negara;
Selanjutnya Majelis Hakim menyatakan, bahwa “Pengertian
serangan yang sistematik adalah suatu serangan yang dilaksanakan sesuai dengan
kebijakan yang telah disusun terlebih dahulu atau terencana (a systematic an
attack means carried out pursuant to a preconceive policy or plan - Arne
Willy Dahl, Judge Advocate General Norway);”Berbeda dari Statuta Roma yang
menganut asas non-retroactive, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
menerapkan asas retroactive. Yang berarti pelanggaran HAM berat yang
terjadi sebelum diundangkannya UU tersebut, dapat diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Ham Ad Hoc. Pengadilan Ham Ad Hoc tersebut dibentuk atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan
Keputusan Presiden. (Pasal 43 (1) (2)). Asas retroactive sebagaimana
kita ketahui dianut oleh Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg dan
ICTY. Ini sekali lagi menunjukkan pengaruh konsep dan praktek hukum
interrnsional berkaitan dengan pencegahan dan penghukuman pelanggaran HAM berat
pada hukum yang sama di Indonesia.
Konvensi Internsasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat
Manusia, Konvensi Internasional Pencegahan dan Penghukuman Genosida, Kejahatan
HAM berat yang dilarang oleh Statuta Roma, Konvensi Anti Internasional
Diskriminasi Rasial, Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan merupakan jus cogens. Sebagaimana dikemukakan oleh
Starke kaidah-kaidah jus cogens meliputi:
“kaidah-kaidah fundamental mengenai pemeliharaan perdamaian …
kaidah-kaidah fundamental dari suatu kodrat kemanusiaan (larangan genocide,
perbudakan dan diskriminasi rasial, perlindungan hak-hak dasar manusia pada
masa damai maupun perang), kaidah yang melarang setiap pelanggaran terhadap
kemerdekaan dan persamaan kedaulatan negara-negara, kaidah-kaidah yang menjamin
semua anggota masyarakat internasional untuk menikmati sumber-sumber daya alam
bersama ( laut lepas, ruang angkasa dan lain-lain )“.
Pasal 53 Konvensi Wina tentang Perjanjan Internasional
berkenaan dengan jus cogen menyatakan:
“Suatu traktat batal apabila, pada waktu penutupannya,
bertentangan dengan norma hukum internasional umum yang tidak dapat diubah.
Untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, suatu norma hukum internasional yang tidak
dapat diubah adalah suatu norma yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat
internasional negara-negara secara keseluruhan sebagai suatu norma yang tidak
boleh diabaikan dan yang hanya dapat diubah dengan suatu norma hukum
internasional umum yang timbul kemudian yang mempunyai karakter yang sama.”
Tak dapat dipungkiri, bahwa idea, nilai dan norma yang
terkandung dalam konvensi internasional HAM seperti, Konvensi Pencegahan dan
Penghukuman Genosida, Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan, Statuta Roma
yang merupakan jus cogen, praktek pengadilan HAM ad hoc internasional, pendapat
para ahli hukum internasional telah memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap reformasi hukum HAM dan praktek hukum HAM di Indonesia, khususnya
berkaitan dengan penyelesaian melalui pengadilan HAM kasus-kasus pelanggaran
HAM berat.
Apa yang dimaksud dengan Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia,
belum ada satu definisi yang dapat diterima secara umum. Kata “berat” digunakan
untuk menenerangkan kata pelanggaran
untuk menggambarkan betapa parahnya
pelanggaran yang dilakukan. Selain itu kata berat juga juga berhubungan dengan
jenis-jenis hak asasi manusia yang dilanggar.Pelanggaran berat
hak asasi manusia terjadi apabila hak hak asasi manusia yang dilanggar
adalah hak-hak berjenis non derogable rights.
Cecilia Meidina Quiroga menjelaskan
istilah Pelanggaran berat Ham sebagai
suatu pelanggaran yang mengarah kepada
pelanggaran-pelanggaran, sebagai alat bagi pencapaian dari kebikakan-kebijakan
pemerintah, yang dilakukan dalam kualitas tertentu dalam suatu cara untuk
menciptakan situasi hak untuk hidup, hak atas integritas Pribadi atau hak atas
kebebasan pribadi dari penduduk secara keseluruhan atau satu atau lebih
sektor-sektor dari penduduk suatu negara
secara terus menerus dilanggar atau diancam.
Istilah pelanggaran berat HAM yang telah dikenal dan digunakan pada saat
ini belum dirumuskan secara jelas,baik di dalam resolusi,deklarasi maupun dalam
perjanjian HAM. Secara umum dapat diartikan sebagai pelanggaran secara
sitematis terhadap norma-norma HAM tertentu yang sifatnya lebih
serius,sebagaimana yang dinyatakan oleh H Victor Conde:
GrossViolation(s) of Human Rights
: a term used but not well defined in
human rights resolution,declarations,and treaties but generally meaning
systematic violation of certain human rights normas of a more serious nature.such
as apartheid,racial discrimination, murder, slavery, genocide, religious
persecution on a massive scale,committed as a matter of official practice.Gross Violations result in
irreparable harms to victims.
Dalam Lingkup
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengakui
adanya Pelanggaran HAM yang
berkategori berat dan sistematis, seperti dinyatakan Dinah Shelton.
International Human Rights
Law,especially as developed within the United Nation,recognizes a category of
situation of gross and systematic violation of human rights, Though never
exactly defined, it constitutes the jurisdictional threshold for consideration
of human rights complaints,submitted pursuant to Ecosoc Resolution 1503.
Menurut Peter Baehr,
pelanggaran berat hak asasi manusia akan menyangkut masalah-masalah yang meliputi the prohibition of slavery, the right to life, torture and
cruel,inhuman or degrading treatment or punishment, genocide, disappearances
and ethnic cleansing.
Medina Quiroga memberikan pengertian mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang
berkategori berat dan sistematik, dimana jenis hak yang dilanggar adalah hak
untuk hidup,hak atas integritas pribadi dan hak atas kebebasan pribadi.
Konsep pelanggaran hak
asasi manusia termasuk dalam konsep yang selalu menimbulkan perdebatan apabila
berbicara mengenai hak asasi manusia.
“Klaim
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa kondisi hak asasi manusia di tanah air membaik yang
dibuktikan dengan tidak terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dan
diratifikasinya International Covenant on
Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic Social and
Cultural Rights, yang mendapat tanggapan dari kalangan pegiat hak asasi
manusia menunjukan tidak adanya pemahaman konsep HAM, maupun kesamaan konsep
pelanggaran hak asasi manusia serta konsep perlindungan dan penegakan hak asasi
manusia.”
Satu
hal penting adalah bahwa pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi apabila
dua syarat terpenuhi yaitu syarat negara dan kekuasaan. Dan pelanggaran hak asasi manusia hanya bisa dilakukan
oleh negara. Mengapa peneliti katakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia hanya
bisa dibayangkan bahwa hal tersebut dilakukan oleh negara,dikarenakan negara sebagai suatu otoritas yang berkuasa
disuatu wilayah mempunyai kewenangan untuk memasukkan hak yang melekat dalam diri manusia yang tanpa
itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia ke dalam peraturan
perundang-undangannya.
Termasuk dalam hak asasi manusia adalah hak
untuk hidup, hak untuk tidak
dianiaya, hak untuk tidak mendapatkan
perlakuan yang merendahkan harkat martabat manusia, dan hak untuk mendapatkan peradilan yang fair, hak untuk bebas berbicara dan mengeluarkan
pendapat, serta hak untuk bebas berkumpul berserikat dan mengeluarkan pendapat
didalam aturan hukum nasional sehingga dengan kata lain negara telah melaksanakan tanggungjawab melaksanakan hak
asasi manusia dengan mengatur dalam aturan hukum dalam ketentuan nasional yang
harus dipatuhi oleh individu warga negaranya. Sehingga apabila individu warga
negaranya melakukan pelanggaran aturan hukum yang di dalamnya termuat hak asasi
manusia maka negara yang akan melakukan tindakan hukum.
Persoalan baru timbul ketika aparatur negara sebagai
personifikasi negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum ketika
sedang melaksanakan tugasnya dan tidak ada upaya penegakan hukum terhadap
pelanggaran hukum tersebut pada saat itulah timbul konsep pelanggaran hak asasi
manusia, karena hukum memerlukan otoritas yang kuat untuk bisa ditegakan dan
apabila individu melakukan pelanggaran hukum maka negara sebagai otoritas yang kuat yang akan
melakukan penegakan hukum tersebut. Pertanyaannya adalah bagaimana kalau
otoritas negara yang melakukan pelanggaran hukum tersebut tidak ada upaya
penegakan hukum pada saat itulah timbul konsep pelanggaran hak asasi manusia,
yang pada dasarnya merupakan harapan warga negara agar aparatur negara yang
merupakan personifikasi negara dihukum, karena tidak tersentuh hukum, pada saat
itulah yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia timbul.
Pelanggaran dapat dibedakan atas dua hal pelanggaran hak
asasi manusia, yaitu pelanggaran hak asasi manusia dengan berbuat atau violence by act dan pelanggaran HAM
dengan tidak berbuat atau violence by
ommission. Pelanggaran hak asasi manusia dengan berbuat adalah suatu
tindakan yang bertentangan dengan hukum yang dilakukan oleh aparatur negara
dalam melaksanakan tugasnya tetapi tidak diambil tindakan oleh negara.
Pelanggaran hak asasi manusia dengan tidak berbuat adalah apabila perbuatan
yang bertentangan dengan hukum tersebut dilakukan oleh warga negara terhadap
warga negara yang lain dan negara tidak mengambil tindakan terhadap perbuatan
yang bertentangan dengan hukum tersebut, sehingga diartikan negara telah
melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan tidak berbuat.
Harus dipahami bahwa dengan penjelasan tersebut maka
pelanggaran hak asasi manusia hanya bisa dibayangkan dilakukan oleh negara.
Sehingga dengan demikian kita bisa membedakan antara pelanggaran hak asasi
manusia dengan pelanggaran hukum, dimana pelanggaran hukum dilakukan oleh
individu terhadap individu, dan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh
negara terhadap individu, atau ketika negara tidak berbuat apa-apa terhadap
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh negara. Sekalipun hukum hak asasi manusia Internasional adalah Hukum
Internasional yang meletakan tanggung jawab pidana pada individu, tetapi negara
mempunyai kewajiban untuk menghukum pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia, sebagai sebuah kewajiban
internasional.
“Hukum
Internasional telah memberikan landasan yang kokoh untuk mengefektifkan penghukuman bagi pelaku
pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human rights) yang dikategorikan ke dalam
pertanggungjawaban pidana dan perdata. Kewajiban negara untuk menghukum pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia telah dikembangkan di dalam berbagai instrument hukum hak
asasi manusia baik internasional
maupun regional. Bahkan hukum kebiasaan internasional secara tegas melarang
segala bentuk pembebasan hukuman terhadap
pelanggaran berat hak asasi
manusia yang dilakukan secara sistematis.
Berdasarkan konsep
tanggung jawab negara, suatu negara bertanggung jawab apabila melanggar
kewajiban hukum internasional.Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) kemudian menyatakan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban negara yang digolongkan sebagai International Wrongful Act, di dalamnya
mencakup pelanggaran berat terhadap hak
asasi manusia, yang juga dikatagorikan sebagai kejahatan internasional (international crimes).
Penjelasan dari Rudi M Rizki peneliti menarik suatu pandangan bahwa negara yang
personalitasnya terwujud dalam individu-individu bertanggung jawab atas
pelaksanaan hak asasi manusia dalam hal ini pelaksanaan kewajiban internasional
dalam kaitannya dengan hak asasi
manusia, sehingga peneliti mengatakan pelanggaran hak asasi manusia hanya bisa
dibayangkan apabila unsur negara terlibat sekalipun tanggung jawab pidana melekat pada individu.
Pada sisi lain selain dari apa yang telah dikemukakan di atas
perlu diketahui pula bahwa dalam hukum hak asasi manusia dikenal adanya
hak negara untuk membatasi hak asasi
manusia apabila negara dalam keadaan bahaya. Akan tetapi yang harus mendapatkan
perhatian ialah sekalipun negara dalam keadaan bagaimanapun ada hak yang tidak
bisa dibatasi dalam segala keadaan yang pada prinsipnya meliputi adalah hak
untuk hidup, kebebasan dari tindakan penyiksaan, bebas dari tindakan yang tidak
manusiawi dan merendahkan martabat, kebebasan dari perbudakan dan penghambaan,
kebebasan dari undang-undang berlaku surut, serta kebebasan berpikir, berhati
nurani dan beragama.
Artinya itulah hak
asasi manusia yang utama yang tidak boleh hilang dalam diri manusia dan
hak inilah yang selalu dipertahankan
dari diri manusia.
Pada sisi lain dalam kajian penulis terdapat pemahaman
yang salah tertuang dalam UU No 39 tahun
1999 dimana pada pasal 1 ayat 6 dikatakan bahwa:
“Pelanggaran hak
asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, atau membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.”[19]
Peneliti
menggaris bawahi pengertian pelanggaran
hak asasi manusia yang terdapat dalam UU No 39 tahun 1999 ini berbeda dengan
konsep pelanggaran hak asasi manusia dalam literatur hak asasi manusia, artinya
apabila pelanggaran hukum tersebut dilakukan oleh individu-terhadap individu
sudah semestinya negara mengambil tindakan hukum terhadap individu tersebut,
masalahnya seperti apa yang sudah peneliti kemukakan di atas bahwa apabila
negara diam saja atau aparatur negara sebagai personifikasi negara dan negara
tidak mengambil tindakan hukum maka pada saat itu terjadi pelanggaran hak asasi
manusia.
Konsep
lain yang juga menurut peneliti perlu pengkajian lebih lanjut adalah jurisdiksi
dari Undang-Undang No 26 Tahun 2000 mengenenai Pengadilan HAM, dimana
yurisdiksi dari Pengadilan HAM berdasarkan Undang-Undang No 26 Tahun 2000
meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.Dalam
hal ini Undang-Undang No 26 mendorong pemikiran setiap orang kepada setiap
peristiwa yang terjadi adalah pelanggaran hak asasi manusia berat yang terdiri
atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida, tanpa memulai dengan suatu
langkah yang sistematik dengan
memungkinkan Pengadilan HAM menjangkau pelanggaran hak asasi manusia
dimana unsur negara dan kekuasaan terlibat, yang mungkin saja tidak termasuk
katagori pelanggaran hak asasi manusia berat, sehingga idealnya konsep yang
tertuang dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2000 memulai yurisdiksi Pengadilan HAM
dari pelanggaran hak asasi manusia yang terdapat unsur negara dan kekuasaan,
dimana negara tidak mampu terjangkau oleh hukum (Praktek Impunity oleh Negara), lalu secara sistematik mengatur pelanggaran
hak asasi manusia berat, sehingga undang-undang Pengadilan HAM berisi konsep
yang sistematis mengenai kewenangan Pengadilan HAM.
0 komentar:
Posting Komentar