Hak-hak Bagi
Pekerja Yang di PHK
Apabila
PHK tidak dapat dihindari, maka sesuai dengan alasan yang mendasari terjadinya
PHK maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan
masa kerja yang disesuaikan dengan masa kerja serta uang penggantian hak.
Ketentuan
uang pesangon berdasarkan pasal 156 ayat (2) Undang-Undang 13 Tahun 2003 yaitu
:
- Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah
:
- Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang
dari 2 tahun, 2 bulan upah;
- Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang
dari 3 tahun, 3 bulan upah;
- Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang
dari 4 tahun, 4 bulan upah;
- Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang
dari 5 tahun, 5 bulan upah;
- Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang
dari 6 tahun, 6 bulan upah;
- Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang
dari 7 tahun, 7 bulan upah;
- Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang
dari 8 tahun, 8 bulan upah;
- Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Ketentuan
uang penghargaan masa kerja berdasarkan pasal 156 ayat (3) Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 yaitu :
- Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang
dari 6 tahun, 2 bulan upah;
- Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang
dari 9 tahun, 3 bulan upah;
- Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang
dari 12 tahun, 4 bulan upah;
- Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang
dari 15 tahun, 5 bulan upah;
- Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang
dari 18 tahun, 6 bulan upah;
- Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang
dari 21 tahun, 7 bulan upah;
- Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang
dari 24 tahun, 8 bulan upah;
- Masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan
upah.
Uang
penggantian hak yang seharusnya diterima berdasarkan pasal 156 ayat (4)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 meliputi :
- Cuti tahunan yang belum diambil dan belum
gugur;
- Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh
dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
- Penggantian perumahan serta pengobatan dan
perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa
kerja yang memenuhi syarat;
- Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
IV. Bentuk Perlindungan Hukum
bagi Pekerja yang di PHK karena melakukan kesalahan berat
Berdasarkan
ketentuan pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengusaha dapat
memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh
telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
- melakukan penipuan, pencurian atau
penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
- memberikan keterangan palsu atau yang
dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
- mabuk,meminum minuman keras yang memabukkan,
memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika dan zat aditiktif
lainnya di lingkungan kerja;
- melakukan perbuatan asusila atau perbuatan
perjudian di lingkungan kerja;
- menyerang, menganiaya, mengancam, atau
mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
- membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan;
- dengan ceroboh atau sengaja merusak atau
membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik milik perusahaan yang
menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
- dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman
sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
- membongkar atau membocorkan rahasia
perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara
atau
- melakukan perbuatan lainnya di lingkungan
perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Sebelas
kriteria kesalahan berat yang diatur dalam pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun
2003 itu pada dasarnya dapat disejajarkan dengan delict (perbuatan
melanggar hukum) kejahatan, yang diatur dalam Buku kedua Wetboek van
starfrecht.
Diputuskannya
pekerja telah melakukan kesalahan berat, haruslah didasarkan pada prosedur yang
diatur dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu :
- pekerja / buruh tertangkap tangan;
- ada pengakuan dari pekerja/ buruh yang
bersangkutan, atau ;
- bukti lain berupa laporan kejadian yang
dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan
didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Tiga
syarat yang ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 harus
bersifat kumulatif, tidak boleh alternatif. Maksudnya adalah kesemua syarat
yang ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu harus ada,
tidak adanya salah satu syarat dari ketiga syarat itu menjadikan putusan
pengusaha / majikan bahwa pekerja telah melakukan kesalahan berat tidak dapat
diterima.
Syarat
pertama yang menyebutkan bahwa pekerja / buruh telah tertangkap tangan
maksudnya adalah pekerja telah dapat dibuktikan bersdasarkan adanya bukti awal
bahwa ia telah melakukan salah satu perbuatan yang telah ditetapkan dalam pasal
158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Ada bukti awal yang cukup untuk dinyatakan
bahwa pekerja telah melakukan kesalahan berat.
Syarat
yang kedua yaitu adanya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan bahwa
ia telah melakukan perbuatan yang telah dituduhkan berdasarkan bukti awal pada
saat tertangkap tangan. Pengakuan dari pekerja atau buruh itu dapat dibuat
dalam bentuk lisan maupun bentuk tertulis. Untuk menjamin adanya
kepastian hukum sebaiknya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan dibuat
dalam bentuk tertulis, lebih baik lagi apabila yang membuat adalah pekerja
sendiri (dalam arti tidak dibuatkan oleh personalia sepertia yang terjadi di
dalam praktek). Tentunya pembuatan surat pernyataan pengakuan telah melakukan
salah satu dari perbuatan yang termasuk dalam kriteria kesalahan berat
itu harus dibuat dengan kesadaran sendiri tidak dalam keadaan adanya
paksaan, tekanan, atau tipu muslihat dari pengusaha/ majikan ataupun dari pihak
personalia. Intinya tidak boleh dibuat atas dasar adanya kebohongan.
Syarat
yang ketiga adalah adanya bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh
pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan di dukung olh
sekurang-kurangnya dua orang saksi. Syarat ketiga ini pada dasarnya
merupakan kelanjutan dari telah dipenuhinya syarat pertama dan syarat kedua.
Syarat ketiga pada hakekatnya memperkuat sayarat pertama dan syarat kedua.
Hal
ini berlainan dengan rumusan dari ketentuan pasal 158 ayat 2 yang dapat
ditafsirkan hanya menentukan ketiga syarat itu sebagai syarat alternatif
dan bukan sebagai syarat kumulatif (garis bawah dari penulis).
Dikatakan secra penafsiran bahwa itu menunjukkan sebagai syarat alteranatif
karena antara pasal 158 ayat (2) b dan pasal 158 ayat (2) c UU No. 13
Tahun 2003 menyebutkan kata atau bukan dan.
Penggunaan
kata dan dengan kata atau dalam konteks bahasa hukum membawa akibat yang
berlainan. Seharusnya redaksional pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu
tertulis dan.
Kekhawatiran
akan terjadinya penyalahgunaan yang akan terjadi di masyarakat dapat
dipahami. Mengingat apabila syarat yang terdapat dalam pasal 158 ayat (2)
UU No. 13 Tahun 2003 dapat hanya dipakai salah satu saja. Misalnya A pekerja di
PT X, pada saat akan pulang dan menjalani check body ( pemeriksaan oleh petugas
keamanan di pintu keluar tempat kerja) kedapatan telah membawa barang milik
perusahaan tanpa alas hak yang dapat dibenarkan. Atas dasar telah terpenuhinya
syarat pertama yaitu pekerja telah tertangkap tangan dengan tanpa diikuti
syarat kedua dan ketiga maka A saat itu juga dapat diPHK secara sepihak.
Misalnya kenyataannya A tidak pernah mengambil barang milik perusahaan. Atau
karena ada orang lain yang sengaja ingin mencelakakan A supaya ia dapat di PHK.
Tidak adan gunanya apabila A bersikeras menolak tuduhan itu. Begitu juga
apabila A tidak pernah mau mengakui bahwa ia telah mencuri apalagi mau membuat
surat pengakuan bahwa ia telah mencuri.
Kekurang
cermatan dalam merumuskan norma hukum tanpa memahami konsep bahasa hukum memang
dapat berpengaruh pada keberlakuan hukum. Apabila dilakukan analisis maka
ketentuan pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu tidak memenuhi syarat
keberlakuan yuridis dari Bruggink.
Sebagai
bahan telaah dapat diteliti kembali norma hukum PHK yang diatur dalam UU No. 12
Tahun 1964 tentang PHK di perusahaan swasta, yang dengan tegas menetapkan
bahwa PHK termasuk juga PHK karena telah melakukan kesalahan berat harus dengan
izin P4D atau P4P. Hal itu tidak terdapat di dalam ketentuan UU No. 13 Tahun
2003, yang tidak mensyaratkan adanya izin bagi PHK karena pekerja telah
melakukan kesalahan berat.
Apabila
pekerja mengalami PHK karena telah melakukan kesalahan berat maka pekerja
itu mempunyai hak sesuai dengan ketentuan pasal 158 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :
Pekerja
/ buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasrkan alasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam
pasal 156 ayat (4)
Bagi
pekerja / buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya
tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian
hak sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang
besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.
Ketentuan
uang pisah memang belum ada peraturan pelaksananya. Dalam hal ini Apindo
(Asosiasi Pengusaha Indonesia) menghimbau agar anggotanya yang terdiri dari
para pengusaha memberikan uang pisah minimal sebesar satu bulan upah. Hal ini
dilakukan dengan tujuan memberikan masukan pada pengusaha untuk segera
merumuskan besarnya uang pisah yang dapat diberikan kepada pekerja bersama
dengan serikat pekerja / buruh. Rumusan kesepakatan tentang besarnya uang pisah
itu dapat dituangkan dalam perjanjian kerja bersama.
Contoh Kasus
A
bekerja di PT X di bagian produksi dengan upah perbulan satu juta. Masa
kerja A bekerja di PT X adalah selama 8 tahun 9 bulan. Akhir bulan lalu A
tertangkap tangan telah mencuri barang milik perusahaan. Akhirnya diputuskan A
harus di PHK karena melakukan kesalahan berat.
Adapun
hak yang diperoleh A dari PT X saat itu adalah uang penggantian hak yang
sesuai dengan Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan uang pisah
berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.
Dari
ketentuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan X, maka A berhak menerima uang
pisah sebesar Rp 1 juta di tambah dengan uang penggantian hak , yaitu
penggantian pengobatan dan perumahan sebesar 15 % x Rp 1 juta = Rp 150.0000.
Jadi A mendapatkan hak karena adanya PHK dengan alasan telah melakukan
kesalahan berat sebesar Rp. 1. 150.000 ditambah penggantian hak lainnya yang
belum diterima (misalnya cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur ;
biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja ;
Keseluruhan
hak itu tentu saja dapat diberikan oleh pengusaha apabila kesalahan berat yang
dituduhkan kepada pekerja secara formil maupun secara material memang
benar.
V Upaya Hukum Bagi
Pekerja yang di PHK Karena melakukan kesalahan berat.
Apabila
ternyata pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan pasal 161
ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003. Sebelum terbentuknya lembaga penyelesaian
perselisian hubungan Industrial, berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004
lembaga yang dimaksud adalah Pengadilan hubungan industrial maka dapat
dilakukan upaya administratif atau upaya perdata.
Upaya
hukum melalui upaya administratif, penyelesaiannya dapat melalui: upaya
bipartid yang dilakukan antara pekerja dan pengusaha sebagai pihak yang terikat
dalam hubungan kerja. Apabila perundingan itu berhasil mencapai kesepakatan
maka hasil persetujuan itu mempunyai kekuatan hukum. Tetapi apabila perundingan
tidak mencapai kesepakatan maka dapat minta anjuran ke Dinas Tenaga Kerja
setempat .
Apabila
anjuran dari Dinas Tenaga Kerja tidak diterima oleh salah sat atau kedua belah
pihak maka dapat diajukan ke P4D atau ke P4P. Hal ini dapat diteruskan ke
Menteri Tenaga Kerja guna memohon veto. Veto Menaker didasarkan pada
pertimbangan keamanan dan stabilitas nasional.
Apabila
diantara putusan P4D, atau P4P sudah dapat diterima oleh kedua belah pihak dan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka dapat dimintakan fiat eksekusi ke
Pengadilan Negeri, supaya putusan itu dapat dijalankan.
Upaya
hukum secara perdata, dapat dilakukan oleh pekerja, apabila putusan pengusaha
dalam menjatuhkan PHK karena efisiensi tidak dapat dibenarkan. Dalam arti belum
dilakukan langkah awal untuk menghindari ehfisiensi jumlah tenaga kerja. Secara
perdata , pekerja dapat mengajukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri
berdasarkan pasal 1365 BW yaitu “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Sejak
adanya UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan
industrial (PPHI), yang disahkan pada tanggal 4 Januari 2003 (LN. Tahun 2004,
no. 6, TLN. No. 4356) upaya hukum bagi pekerja yang mengalami perselisihan
hubungan industrial akan dilakukan secara bipartid, mediasi, konsiliasi,
arbitarsi atau ke pengadilan hubungan industrial.
Bipartid,
yaitu musyawarah antara pekerja dan pengusaha. Apabila tidak tercapai
kesepakatan dengan cara bipartid maka pihak-pihak dapat memilih penyelesaian
secara mediasi, konsiliasi, atau arbitrasi. Apabila pihak-pihak memilih mediasi
atau konsiliasi dan tidak tercapai kesepakatan, maka dapat membawa perkaranya
ke pengadilan hubungan industrial. Apabila pihak-pihak memilih arbitrasi maka
kesepakatan dituangkan dalam akta perdamaian yang merupakan keputusan arbitrasi
dan harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
Apabila
isi keputusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka dapat dimohonkan
pembatalannya kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak
ditetapkannya putusan arbiter . Permohonan pembatalan dilakukan apabila
mengandung unsur-unsur berdasarka ketentuan pasal 52 ayat (1) UU No.2 Tahun
2004 yaitu :
- Surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
- Setelah putusan diambil ditemukan dokumen
yang ebrsifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
- Putusan diambil dari tipu muslihat yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
- Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan
industrial; atau
- Putusan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan
ketentuan pasal 126 UU No. 2 Tahun 2004, masa berlakunya adalah satu tahun
sejak diundangkan. Ketentuan ini diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004. Jadi
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini akan menggantiikan
kedudukan P4D atau P4P sejak tanggal 14 Januari 2005.
VI
Kesimpulan
Setiap
pekerja/buruh yang di PHK oleh majikan karena melakukan kesalahan beratsesuai
dengan ketentuan pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, harus disertai tiga
syarat secara kumulatif. Syarat itu adalah bukti tertangkap tangan, pengakuan
dari pekerja yang bersangkutan dan laporan pengusaha yang didukung 2 orang
saksi.
Apabila keputusan perusahaan melakukan PHK karena pekerja melakukan kesalahan
berat dibenarkan oleh hukum maka pekerja harus mendapatkan uang penggantian hak
dan uang pisah.
Apabila
hak diatas tidak dapat diperoleh oleh pekerja maka pekerja dapat melakukan
upaya penyelesaian hukum secara sukarela melalui bipatrid atau secara wajib yang
didahului lapor ke pegawai perantara untuk mendapatkan anjuran Depnaker
diteruskan ke P4D, P4P atau Hak Veto Menaker untuk dapat dilakukan fiat
eksekusi di Pengadilan Negeri. Apabila tidak dilaksanakan maka dapat banding ke
PTTUN atau cara lainnya dapat dilakukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri
berdasarkan pasal 1365 BW.
Apabila
pengadilan hubungan industrial yang dibentuk berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004
sudah terbentu maka upaya hukum dapat dilakukan meliputi upaya bipartid,
mediasi, konsiliasi, arbitrasi atau ke kepadilan hubungan industrial.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin,
Zainal, et.al. 1993, Dasar-dasar hukumperburuhan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Asri
Wijayanti, 2002, “ Perlindungan Hukum bagi Buruh yang di PHK di Perusahaan
Swasta”, Prespektif Hukum, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Hang
Tuah, vol.2 no. 2.
-------,
2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Diktat Kuliah Hukum
Ketenagakerjaan, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya.
Bruggink,
JJH, alih bahasa Arief Sidharta, 1996, Refleksi tentang hukum, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Djumadi,
1995, Perjanjian Kerja Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Raja Grafindo
Perkasa, Banjarmasin.
Djumialdji,
FX, dan Soejono, Wiwoho, 1987, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan
Pancasila, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Halim,
A Ridwan dan Gultom, Sri Subiandini, 1987, Sari Hukum Perburuhan Aktual,
Pradnya Paramita, Jakarta.
Hartono
Widodo dan Judiantoro, 1992, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta.
Iman
Soepomo, 1974, Pengantar HukumPerburuhan, Djambatan, Jakarta.
-------,1994,
Hukum Perburuhan buidang hubungan kerja, Djambatan , Jakarta.
Kartasapoetra,
G, 1992, Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, Sinar
Grafindo, Jakarta.
-------,
1983, Hukum Perburuhan Pancasila Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja,
Armico, Bandung.
Kartasapoetra,
G, dan Widianingsih, G, Rience, 1982, Pokok-pokok Hukum Perburuhan,
Armico, Bandung.
Philipus
M Hadjon, 1994, “ Perlindungan hukum dalam negara hukum Pancasila, makalah
disampaikan pada symposium tentang politik, hak asasi dan pembangunan hukum
dalam rangka Dies Natalis XV/ Lustrum VIII, Universitas Airlangga, 3 November
1994
Rajagukguk,
HP., 2000, “Peran serta pekerja dalam pengelolaan perusahaan
(co-determination), makalah disampaikan pada orasi dan panel diskusi
tanggal 20 September 2000, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Sandjun
H. Manullang, 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rineka
Cipta, Jakarta
Sukarno,
1982, Pembaharuan Gerakan Buruh di Indonesia dan Hubungan Perburuhan
Pancasila, Bandung.
Sunindhia, YW, dan Widayanti, Ninik, 1988, Masalah
PHK dan Pemogokan, PT. Bina
Aksara, Jakarta .
Toha,
Halili, dan Pramono, Hari, 1987, Hubungan Kerja Antara Majikan dan Buruh,
PT. Bina Aksara, Jakarta.
Undang-Undang,
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LN. Tahun 2003, No. 39, TLN,
No. 4279).
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial. (LN Tahun 2004 No. 6, TLN No.
4356).
Burgerlijk Wetboek..
Adikusuma, S. 1992, Kamus lengkap populer, Pustaka
Tinta Mas, Surabaya.
0 komentar:
Posting Komentar