HUBUNGAN
ANTARA UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI
DENGAN POLITIK
DI INDONESIA
0leh
: Anton Suparno,SH
I.
PENDAHULUAN
Perkembangan
tindak pidana korupsi baik dilihat dari sisi kuantitas maupun sisi kualitas
dewasa ini dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi merupakan
kejahatan biasa (ordinary crimes),
akan tetapi sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes).[1]
Secara
Internasional, korupsi diakui sebagai masalah yang sangat kompleks, bersifat
sistemik, dan meluas. Centre for Crime
Prevention (CICP) sebagai salah satu organ PBB secara luas mendefinisikan
korupsi sebagai “missus of (public) power
for private gain”. Menurut CICP korupsi mempunyai dimensi perbuatan yang
luas meliputi tindak pidana suap (bribery),
penggelapan (emblezzlement),
penipuan (fraud), pemerasan yang
berkaitan dengan jabatan (exortion),
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power), pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk
kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict interest, insider trading), nepotisme,
komisi illegal yang diterima oleh pejabat publik (illegal commission) dan kontribusi uang secara illegal untuk
partai politik. Sebagai masalah dunia, korupsi sudah bersifat kejahatan lintas
negara (trans national border crime),
dan mengingat kompleksitas serta efek negatifnya, maka korupsi yang
dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) memerlukan upaya pemberantasan dengan
cara-cara yang luar biasa (extra ordinary
measure).
Bagi
Indonesia, korupsi adalah penyakit kronis hampir tanpa obat, menyelusup di
segala segi kehidupan dan tampak sebagai pencitraan budaya buruk bangsa
Indonesia. Secara sinis orang bisa menyebut jati diri Indonesia adalah perilaku
korupsi[2].
Pencitraan tersebut tidak sepenuhnya salah, sebab dalam realitanya kompleksitas
korupsi dirasakan bukan masalah hukum semata, akan tetapi sesungguhnya
merupakan pelanggaraan atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat. Korupsi
telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar. Masyarakat
tidak dapat menikmati pemerataan hasil pembangunan dan tidak menikmati hak yang
seharusnya diperoleh. Dan secara keseluruhan, korupsi telah memperlemah
ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Korupsi
di Indonesia yang sudah diyakini meluas dan mendalam (widespread and deep-rooted) akhirnya akan menggerogoti habis dan
menghancurkan masyarakatnya sendiri (self
destruction). Korupsi sebagai parasit yang mengisap pohon akan menyebabkan
pohon itu mati dan di saat pohon itu mati maka para koruptor pun akan ikut mati
karena tidak ada lagi yang bisa di hisap.[3]
Pemberantasan
korupsi bukanlah sekedar aspirasi masyarakat luas melainkan merupakan kebutuhan
mendesak (urgent needs) bangsa
Indonesia untuk mencegah dan menghilangkan sedapatnya dari bumi pertiwi ini
karena dengan demikian penegakan hukum pemberantasan korupsi diharapkan dapat
mengurangi dan seluas-luasnya menghapuskan kemiskinan. Pemberantasan tindak
pidana korupsi tersebut tidak lain adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dari
masyarakat Indonesia yang sudah sangat menderita karena korupsi yang semakin
merajarela.
Dalam
rangka pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut sangat berkaitan erat
dengan politik di Indonesia. Dan oleh sebab itu, mengenai hubungan antara upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan politik di Indonesia akan diuraikan
pada bagian selanjutnya, yaitu pada pembahasan di bawah ini.
II.
PEMBAHASAN
Sebelum
menguraikan mengenai hubungan antara upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
dengan politik di Indonesia, alangkah baiknya apabila diketahui terlebih dahulu
mengenai politik apakah yang dianut bangsa Indonesia dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi tersebut.
Berbicara
mengenai politik yang dalam hal ini dikaitkan dengan upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi, maka harus dilihat dari aspek hukumnya, mengingat negara
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Menurut Mochtar
Kusumaatmadja[4],
hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, berfungsi sebagai penyalur
kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki pembangunan.
Setiap
masyarakat yang teratur, yang dapat menemukan pola-pola hubungan yang bersifat
tetap antara para anggotanya adalah masyarakat yang mempunyai tujuan yang
jelas. Sedangkan politik adalah bidang dalam masyarakat yang berhubungan dengan
tujuan masyarakat tersebut. Mempunyai tujuan didahului oleh proses memilih
tujuan di antara berbagai tujuan yang mungkin. Oleh karena itu politik adalah
juga aktivitas memilih suatu tujuan tertentu. Hal ini sesuai dengan pemikiran Satjipto Rahardjo[5]
yang memberikan pengertian bahwa politik hukum adalah aktivitas untuk
menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai
untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat. Berbicara mengenai tujuan yang
hendak dipilih, L. J. Van Apeldorn mengartikan
politik hukum sebagai politik perundang-undangan, yang maksudnya adalah bahwa
Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan.
Pengertian politik hukum seperti ini lebih terbatas hanya pada hukum tertulis
saja.
Korupsi
dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha pembangunan yang diinginkan,
sedangkan proses birokrasi relaif lambat, sehingga setiap orang atau badan
menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan imbalan-imbalan dengan
cara memberikan uang pelicin (uang sogok). Praktek ini akan berlangsung terus
menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah dan masyarakat, sehingga
timbul golongan pegawai yang termasuk OKB-OKB (orang kaya baru) yang memperkaya
diri sendiri (ambisi material). Agar tercapai tujuan pembangunan nasional, maka
mau tidak mau korupsi harus diberantas. Ada beberapa cara penanggulangan
korupsi, dimulai yang sifatnya preventif maupun yang represif. Upaya
penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :
a. Preventif.
- Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
- Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negerisesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
- Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
- Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
- menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
- Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
b. Represif.
1.
Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
2.
Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.
Arah politik hukum yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia
terfokus pada upaya pemberantasan korupsi dan percepatan pelaksanaan reformasi
birokrasi. Mengingat praktik korupsi sangat merugikan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara
sistematis sehingga tidak memberikan peluang sekecil apa pun bagi pelaku
korupsi untuk mencuri hak rakyat. Melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, upaya-upaya perbaikan sistem
hukum harus merupakan perwujudan percepatan dari pemberantasan korupsi itu
sendiri.
Dalam
rangka percepatan pemberantasan korupsi perlu dilakukan upaya harmonisasi
peraturan perundang-undangan sehingga pembagian tugas dan kewenangan dari
aparat penegak hukum dapat dilakukan secara terkoordinasi dengan baik. Dengan
demikian, upaya-upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum diharapkan tidak
akan terbentur pada perangkat peraturan teknis yang tumpang tindih dan
menghambat proses penegakan hukum. Perangkat peraturan perundangan yang
sistematisasi dengan baik akan mendukung kerja sama untuk mencapai hasil yang
maksimal. Adanya ratifikasi Konvensi PBB Anti-Korupsi Tahun 2003 (United
Nation Convention Against Corruption) yang mengatur hal-hal baru dalam
rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi membawa konsekuensi berupa upaya
harmonisasi dan revisi peraturan perundang-undangan Indonesia sesuai dengan isi
Konvensi PBB Anti-Korupsi tersebut. Penyempurnaan dan pembaharuan peraturan
perundang-undangan yang progresif diharapkan dapat membantu percepatan
pemberantasan korupsi yang sudah merupakan extraordinary crime, sehingga
diperlukan kajian hukum, sosial, politik dan budaya tersendiri untuk menjawab
tantangan upaya pemberantasan korupsi secara global dan nasional. Penanganan
dan penyelesaian kasus korupsi yang membutuhkan penanganan secara cepat dan
tepat perlu ditunjang dengan sistem hukum acara yang mengakomodasi kepentingan
proses tersebut, karena sistem hukum acara yang berlaku (KUHAP) belum
memungkinkan dalam pelaksanaannya. Kejahatan transnasional terorganisir (transnational
organized crime) yang jumlahnya semakin meningkat pada era globalisasi ini
juga perlu mendapatkan perhatian karena juga terkait dengan upaya-upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia.
Korupsi
telah menyelusup di segala aspek kehidupan masyaraakat, sehingga hampir tidak
ada ruang yang tidak terjamah korupsi. Korupsi ini tidak hanya merugikan
keuangan Negara dan perekonomian Negara tetapi juga telah melanggar hak-hak
ekonomi dan sosial (economic and social
rights) masyarakat secara luas. Bahayanya korupsi itu digambarkan secara
tegas oleh Atnol Noffit seorang kriminolog dari Australia sebagaimana dikutip
oleh Baharuddin Lopa[6],
bahwa “sekali korupsi dilakukan oleh apalagi kalau dilakukan oleh
pejabat-pejabat yang lebih tinggi, maka korupsi itu akan tumbuh lebih subur”. Tiada
kelemahan yang lebih besar pada suatu bangsa daripada korupsi yang merembes ke
semua tingkat pelayanan umum. Korupsi melemahkan garis belakang baik dalam
damai maupun dalam perang.
Korupsi
terkait dengan berbagai permasalahan, tidak hanya permasalahan hukum dan
penegakannya, tetapi juga menyangkut masalah moral/sikap mental, masalah pola
hidup serta budaya dan lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan
kesenjangan sosial-ekonomi, masalah struktur/sistem ekonomi, masalah sistem
budaya/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya
birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan
dan pelayanan publik.
Keterkaitan
korupsi dengan bidang politik atau jabatan atau kekuasaan menyebabkan Dionysius
Spinellis memasukkan korupsi dalam salah satu kategori “crimes of politicians in office” atau yang beliau sebut juga
dengan sebutan “Top hat crimes”, yang
di dalamnya mengandung “twin phenomena”
yang dapat menyulitkan dalam penegakan hukum.[7]
Di
Indonesia, masalah penanggulangan korupsi sudah lama diupayakan. Pada tahun
1957 dibuat Peraturan Penguasa Militer-Angkatan Darat dan Laut RI- Nomor:
PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi yang mencantumkan istilah korupsi
secara yuridis. Dan untuk melengkapi peraturan tersebut, maka dikeluarkan
peraturan No. PRT/PM/08/1957 tentang Penilikan Harta Benda. Peraturan ini
memberi wewenang kepada Penguasa Militer untuk mengadakan penilikan terhadap
harta benda seseorang atau suatu badan yang kekayaannya diperoleh secara
mendadak dan mencurigakan. Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Penguasa Militer
Nomor PRT/PM/011/1957, yang memberi dasar hukum kepada Penguasa Militer untuk
mensita dan merampas barang-barang dari seseorang yang diperoleh secara
mendadak dan mencurigakan. Pada masa itu, korupsi dianggap sebagai penyakit masyarakat
yang menggerogoti kesejahteraan dan menghambat pelaksanaan pembangunan,
merugikan perekonomian, dan mengabaikan moral. Peraturan dibuat karena Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) saat itu tidak mampu menanggulangi meluasnya
korupsi.
Peraturan
tersebut dapat dikatakan sebagai upaya awal pemerintah dalam menanggulangi
korupsi sebelum Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dikeluarkan. Namun, dalam perjalanannya, korupsi semakin
bertambah parah dan berkembang luas. Pelopor Orde Baru yang semula berteriak
paling lantang untuk memberantas korupsi pada akhirnya justru menjadi sumber
tumbuh suburnya korupsi dengan berbagai kebijakan penyelenggaraan pemerintahan
yang penuh dengan unsur korupsi, kolusi dan nepotisme. Dan hal ini menunjukkan
bahwa keberadaan UU No. 3 Tahun 1971 tersebut belum dapat memuaskan banyak
pihak sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru.
Undang-undang
baru yang dimaksud yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam perjalanannya pun ternyata undang-undang ini
menimbulkan permasalahan karena tidak ada pasal yang mengatur tentang peraturan
peralihan, sehingga menimbulkan pro dan kontra mengenai keberadaan
undang-undang tersebut. Akibat dari tidak adanya pasal tentang peraturan
peralihan, maka pelaku korupsi pada Orde Baru, sebelum Undang-Undang ini
berlaku tidak bisa dijerat dengan pasal korupsi karena undang-undang sebelumnya
yaitu UU No. 3 Tahun 1971 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.[8]
Hal ini menimbulkan sangkaan bahwa UU No. 31 Tahun 1999 merupakan konspirasi
dari penguasa untuk melindungi pelaku korupsi di masa lalu. Karena kelemahan
itu, maka UU No. 31 tahun 1999 perlu untuk diubah hingga pada akhirnya keluar
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dari
undang-undang yang baru tersebut, pemerintah diberikan amanat untuk membentuk
Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi yang independent dengan tugas dan
wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dasar hukum pembentukan
lembaga independent itu adalah UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam perjalanannya, dikeluarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disingkat TIMTASTIPIKOR untuk mendukung
pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi yang memang sudah semakin
parah.
Dan
untuk mewujudkan tujuan nasional yang telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
Alinea IV yang meliputi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka strategi yang digunakan untuk memberantas
tindak pidana korupsi haruslah tepat. Adapun strategi yang dimaksud adalah
dilakukan dengan 3 (tiga) macam, yaitu:[9]
- Strategi persuasive, yaitu upaya menghilangkan penyebab korupsi dan peluang korupsi;
- Strategi detektif, yaitu menampilkan dan mengidentifikasi tindak pidana korupsi dalam waktu sesingkat mungkin;
- Strategi represif, yaitu upaya memproses tindak pidana korupsi yang telah diidentifikasi sebelumnya dengan cara melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan putusan pengadilan.
III.
PENUTUP
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemberantasan tindak pidana
korupsi tidak dapat dipisahkan dari aspek politik di Indonesia. Mengingat
Indonesia adalah sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, maka segala sikap
tindak bangsa harus berdasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Hukum itu
diberlakukan tidak lain adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan tujuan nasional bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945
Alinea IV.
Korupsi
tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai
tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan
menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari
jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu
ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab.
Perubahan
peraturan perundang-undangan tentang pemberantaan tindak pidana korupsi yang
telah berlangsung mulai tahun 1957 hingga sekarang berakhir dengan UU No. 20
Tahun 2001, merupakan suatu bentuk kebijakan dari pemerintah dalam rangka
melakukan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sekalipun
pergantian undang-undang sebanyak itu akan tetapi filosofi, tujuan dan misi
pemberantasan korupsi tetap sama. Secara filosofis, peraturan
perundang-undangan pemberantasan korupsi menegaskan bahwa, kesejahteraan bangsa
Indonesia merupakan suatu cita-cita bangsa yang harus diwujudkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Mochtar
Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, (Bandung:
Bina Cipta , 1976)
Nyoman
Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem
Peradilan Pidana (Criminal Justice System), (Semarang: Program Magister
Ilmu Hukum, 2008)
______________________, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2005)
Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2007)
Satjipto
Rahardjo, Membedah Hukum Progresif,
(Jakarta: Kompas, 2006)
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986)
0 komentar:
Posting Komentar