Sabtu, 08 Juni 2013

BAB III
DEFINISI KONSEP DAN ASAS YANG DIGUNAKAN
DALAM PENYUSUNAN NORMA

A.   Definisi Konsep
Keuangan mikro didefinisikan sebagai layanan jasa keuangan berupa penghimpun dana dan pemberian pinjaman dalam jumlah kecil, dan penyediaan jasa-jasa keuangan terkait, yang ditujukan untuk kelompok masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Sedangkan pengertian umum Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga keuangan penyedia jasa keuangan mikro. Dengan demikian, dalam pengertian umum tersebut, lembaga penyedia jasa keuangan mikro dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu 1) Badan hukum bank (seperti BPR, BRI Unit, dsb.); 2) Badan hukum Koperasi (seperti KSP, USP, dsb.); dan 3) Belum berbadan hukum tetap berdasarkan undang-undang, dimana kelompok ini sering disebut sebagai LKM.
Total LKM yang ada sebanyak 77.422 unit diluar Kelompok Masyarakat (Pokmas) sebagai pendukung berbagai program pemerintah[1]. LKM yang berbentuk bank, seperti BPR, BRI Unit, Danamon Simpan Pinjam (DSP), dan unit-unit pelayanan dari bank umum, berjumlah sebanyak 8.239 unit. LKM yang berbadan hukum Koperasi, baik dalam bentuk Koperasi Simpan Pinjam (KSP) maupun Unit Simpan Pinjam (USP), berjumlah 37.820 unit. Adapun LKM seperti BMT, BKD, LDKP, dan sebagainya, diluar Pokmas, sebanyak 31.363 unit.
Sementara itu, jumlah Pokmas pendukung program pemerintah yang juga melaksanakan kegiatan LKM, seperti PPK, P2KP, P4k, UPPKS, KUBE, dan sebagainya hingga saat ini berjumlah 606.475 unit[2] .  Dengan demikian, totall LKM saat ini berjumlah 637.838 unit. LKM pada umumnya beroperasi dalam lingkup wilayah tertentu yang cakupannya sangat kecil, seperti dalam satu desa / kelurahan atau kecamatan. Namun sayang, hingga kini belum ada jumlah pasti berapa orang yang mendapatkan pelayanan dari LKM tersebut, termasuk nilai pelayannya. Namun, apabila diasumsikan masing-masing unit LKM tersebut mampu menyalurkan pembiayaan kepada 30 orang miskin dan atau usaha mikro, masing-masing sebesar Rp. 100 ribu, maka LKM akan menjangkau sekitar 19 juta orang, dengan total pembiayaan yang dapat disalurkan sebanyak hampir Rp. 64 trilyun.
Melihat besarnya potensi LKM tersebut, maka LKM dapat dijadikan salah satu instrumen strategis yang efektif untuk menjangkau usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, guna meningkatkan kaspasitas usaha, serta menurunkan tingkat kemiskinan secara struktural dan berkelanjutan. Jumlah LKM yang sangat besar dan beragam tersebut, merupakan salah satu aset bangsa yang sangat bernilai. Bahkan menurut Gonzalez-Vega, Chaves (1992), Indonesia merupakan laboratorium keuangan mikro terbesar di dunia, yang telah melakukan berbagai pengujian terhadap beragam LKM. Dengan kata lain, apabila LKM di Indonesia ditata kembali dengan baik, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi kiblat bagi LKM di seluruh dunia, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan citra bangsa.

1. Karakteristik Usaha Mikro dan Lembaga Keuangan yang Tepat
Pengguna jasa layanan LKM pada umumnya berasal dari masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah yang secara ekonomi masih aktif. Golongan masyarakat ini juga sering disebut sebagai pelaku usaha mikro.
Jenis usaha mikro sangat beragam, namun secara umum dapat dikelompokkan menjadi:
·      Aktivitas usaha untuk pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan yang kesemuanya itu dilaksanakan dalam skala terbatas dan subsisten, pengrajin kecil, penjahit, produsen makanan kecil, dan semacamnya.
·      Aktivitas usaha pemenuhan kebutuhan tersier, seperti transportasi (baik darat maupun air, misalnya ojek, angkot, delman, dsb.), kegiatan sewa menyewa baik rumah, tanah, maupun alat produksi.
·      Aktivitas usaha terkait dengan distribusi, seperti perdagangan, baik di pasar maupun dalam bentuk warung kelontong, kaki lima, penyalur / agen, serta usaha sejenisnya.
·      Aktivitas usaha jasa lainnya, seperti pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, montir, tukang sampah, juru potret jalanan, dan sebagainya.

Karakteristik usaha mikro juga sangat beragam, namun dapat dikelompokan dalam karakteristik dasar sebagai berikut:
·      informal
Sebagian besar pelaku usaha mikro berusaha di luar kerangka legal dan pengaturan (legal and regulatory framework) yang ada. Ketiadaan maupun kelemahan aturan yang ada atau ketidakmampuan pemerintah untuk mengefektifkan peraturan yang ada (yang seringkali merugikan pelaku usaha kecil), menjadi ruang yang membuat ekonomi rakyat justru bisa berkembang. Informalitas inilah yang sering menyebabkan mereka tidak bisa mengakses lembaga keuangan formal dan terpaksa harus berhubungan dengan sumber pinjaman informal yang mudah, cepat dan fleksibel, walaupun dikenakan suku bunga yang sangat tinggi.
·      mobilitas tinggi
Aspek informalitas usaha mikro membawa konsekuensi tiadanya jaminan keberlangsungan aktivitas yang dijalani. Berbagai kebijakan pemerintah dapat secara dramatis mempengaruhi keberlangsungan suatu aktivitas ekonomi rakyat. Dalam merespon kondisi yang demikian, sektor ekonomi rakyat merupakan sektor yang relatif mudah dimasuki dan ditinggalkan. Apabila pada aktivitas ekonomi tertentu terdapat banyak peluang, maka dengan segera akan banyak pelaku yang menerjuninya, sebaliknya apabila terjadi perubahan yang mengancam keberlangsungan jenis usaha tertentu maka dengan segera para pelakunya akan berpindah ke jenis usaha yang lain. Situasi ini tentu saja tidak terjadi dengan aktivitas primer, seperti pertanian di mana para pelakunya jarang meninggalkan aktivitas pertaniannya.
·      usaha keluarga dan tidak fokus
Usaha mikro pada umumnya dimiliki dan dijalankan oleh satu keluarga secara bersama-sama, sebagai kesadaran mereka atas optimalisasi sumber daya dan asas manfaat bersama. Misal, sebuah keluarga yang memiliki usaha bertani, mereka juga pada umunya memiliki usaha ternak, kambing atau lembu, yang dipelihara oleh anaknya. Usaha itu dijalankan selain untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya, juga sebagai sering diguanakan sebagai instrumen simpanan yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan ketika usaha taninya sedang gagal panen.
·      mandiri
Bagi lembaga keuangan formal, usaha mikro pada umumnya masih diyakini sebagai usaha yang unbankable dan high risk. Oleh karenanya, bantuan modal terhadap usaha mikro masih sangat kecil dibandingkan dengan skala usaha menengah besar yang jumlah pelakunya jauh lebih sedikit. Kondisi inilah yang menyebabkan usaha mikro mampu mandiri dalam hal penyediaan modal.

2. Karakteristik Kebutuhan Masyarakat Miskin dan Usaha Mikro terhadap Jasa   Keuangan
Masyarakat miskin atau usaha mikro pada umunya membutuhkan jasa keuangan untuk memenuhi 3 hal berikut ini:
·      Memenuhi Siklus Hidup (life cycle needs)
Siklus hidup, seperti kelahiran anak, menyekolahkan anak, menikahkan anak, pemakaman sering membutuhkan biaya yang relatif tinggi bagi masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, sehingga tidak jarang mereka harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan ini.
·      Memenuhi Kebutuhan Darurat (emergency needs)
Pengeluaran tak terduga sebelumnya, juga sering menjadi alasan mengapa masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah harus berhutang. Misal kejadian tak terduga tersebut berupa kejadian sakit, gagal panen, adanya penggusuran tempat usaha, sumbangan kepada tetangga atau sanak saudara yang sedang hajatan, kejadian pencurian, dan sebagainya.
·      Memenuhi Kebutuhan untuk Memanfaatkan Peluang (opportunity needs)
Sesuai dengan karakteristik usaha mikro yang memiliki mobilitas tinggi dan informal, pada umumnya mereka sangat mudah untuk menangkap peluang usaha. Dengan karakteristik tersebut, maka layanan keuangan mikro yang cepat, mudah persyaratannya, dan fleksibel penggunaannya merupakan kebutuhan masyarakat miskin/usaha mikro untuk menajalankan usaha dalam rangka menangkap adanya peluang.

3. Karakteristik LKM
Berdasarkan pengamatan, tujuan utama didirikannya LKM pada umumnya dimaksudkan untuk memobilisasi dana dari masyarakat di pedesaan dan disalurkan kepada masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah serta untuk membiayai usaha mereka yang berskala mikro. Dengan demikian, LKM ini berkonsentrasi pada kegiatan simpan pinjam. Namun demikian, beberapa LKM juga melakukan aktivitas penempatan dana di bank umum, simpan pinjam keliling, berperan sebagai agen asuransi (tidak ikut menjamin), ikut dalam asosiasi (perkumpulan) yang mendukung operasinya atau skema penjaminan simpanan di antara mereka (seperti tabaru’), dan aktivitas terkait lainnya yang dianggap tidak melanggar tata susila dan peraturan. Keseluruhan transaksi pada umunya dilakukan dengan menggunakan mata uang rupiah.
Wilayah operasinya pada umumnya di pedesaan sebagai respons terhadap adanya gap antara kebutuhan dan ketersediaan layanan keuangan mikro. Namun demikian, beberapa LKM ini juga beroperasi di perkotaan masih yang memiliki gap layanan finansial bagi masayarakat miskin perkotaan.
Dari sisi kepemilikan, LKM ini pada umumnya dimiliki oleh individu secara berkelompok, masyarakat dalam satu wilayah, seperti desa, kampung, dan ada juga yang dimiliki oleh pemerintahan desa, atau yayasan. Beberapa LKM memiliki kantor cabang, baik dalam wilayah operasinya maupun terkadang menyeberang di luar batas wilayah operasinya. Selain pembukaan kantor cabang, untuk memperluas jangkauan layanan kepada masyarakat LKM pada umumnya juga mengoperasikan layanan keliling, baik untuk penghimpunan dana maupun untuk penagihan pinjaman.
Struktur tata kelola yang diterapkan LKM ini pada umumnya dipimpin oleh seorang manajer, dan dibantu oleh tenaga pemasaran yang sekaligus sebagai kolektor, dan tenaga pembukuan. Pembukuan dan laporan keuangan yang dikeluarkan tidak standar dan cenderung sangat sederhana. Pengawasan biasanya dilakukan oleh Dewan Pengawas, namun pada umumnya dewan ini tidak aktif melakukan pengawasan. Ketidakjelasan entitas hukum LKM ini, juga tidak jarang dimanfaatkan oleh rentenir (seorang pemodal pelepas uang) yang beroperasi seolah-olah resmi seperti lembaga keuangan.
Di lihat dari sisi volume usaha, LKM ini memiliki varian yang sangat lebar, dimana terdapat LKM yang memiliki total aset dan atau keuntungan jauh melebihi BPR atau KSP. Namun sebagian besar lainnya memiliki aset yang sangat kecil. Imbal hasil yang ditetapkan oleh LKM ini relatif sangat tinggi dibandingkan dengan LKM formal, baik imbal hasil terhadap simpanan maupun imbal hasil pinjaman. Tingginya imbal hasil tersebut, selain secara alamiah untuk menutup risiko yang tinggi, juga dikarenakan pada umumnya belum tercapaikan skala ekonomis usaha LKM pada tingkat yang efisien.

B.   Asas Yang Digunakan Dalam Penyusunan Norma
Regulasi terkait yang mengatur lembaga yang dapat menyelenggarakan layanan keuangan mikro hingga saat ini adalah UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, serta Peraturan Pemerintah Nomor 103/2000 tentang Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian. Karena lembaga Pegadaian hanya dimiliki Pemerintah, maka lembaga yang dapat dimiliki publik pada dasarnya hanya memiliki dua kerangka hukum, yakni Perbankan dan Koperasi. Walaupun regulasi yang ada saat ini tersebut telah diupayakan untuk sedapat mungkin mewadahi berbagai lembaga penyedia layanan keuangan mikro yang jumlahnya sangat banyak, namun hal itu secara nyata belum mampu menjadi tempat yang sesuai dengan karakteristik lembaga penyedia layanan keuangan mikro itu sendiri, khususnya lembaga penyedia layanan keuangan mikro yang tidak berbentuk bank atau koperasi, atau disebut sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K) – LKM B3K.

1.    Kerangka Hukum Bank
Undang-undang perbankan yang mengharuskan BKD dan LDKP menjadi BPR, ternyata tidak mampu mengakomodasi seluruh BKD dan LDKP yang dipersamakan sebagai BPR[3] . Kemungkinan, tidak terakomodasinya BKD dan LDKP yang dipersamakan dengan BPR tersebut dengan undang-undang perbankan, dikarenakan karena: 1) ketidak-mampuan memenuhi berbagai persyaratan perbankan yang telah ditentukan, atau 2) ketidak-mauan para pengelola lembaga-lembaga tersebut terikat dengan undang-undang perbankan yang relatif akan membatasi fleksibilitas pelayanannya, sehingga pelayannya tidak lagi sesuai dengan kebutuhan usaha mikro, masyarakat miskin dan masyarakat pedesaan.
Besarnya modal disetor[4]  bagi pendirian BPR juga menghambat perkembangan BPR di pedesaan, terutama daerah yang tingkat populasinya relatif sedikit. Hal ini juga sebagai salah satu yang mendorong masyarakat mendirikan lembaga keuangan alternatif yang fokus melayani usaha mikro.

2.    Kerangka Hukum Koperasi
Kerangka hukum koperasi sebagai alternatif pilihan dasar hukum lembaga keuangan mikro ternyata tidak selalu sesuai dengan karakter kebutuhan seluruh usaha mikro, atau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya. Di satu sisi, para pelaku usaha mikro atau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya membutuhkan jasa layanan keuangan untuk mendukung pengembangan usaha atau memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa harus memiliki sendiri lembaga keuangan tersebut. Di sisi lain, koperasi yang bersifat ekslusif dengan ditetapkannya ketentuan pelayanan diberikan kepada anggotanya atau calon anggota yang memenuhi persyaratan, maka untuk dapat memperoleh jasa layanan keuangan dari koperasi, seseorang harus menjadi anggota koperasi yang dipersyaratkan harus membayar simpanan pokok dan wajib sebagai bagian modal dari koperasi itu sendiri. Hal itu tidak selamanya dapat diterima oleh usaha mikro, atau masyarakat miskin pada umumnya, untuk menjadi anggota / pemilik koperasi karena kepentingan masingmasing dari mereka sangat beragam.
Berangkat dari kenyataan yang ada, dimana usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah membutuhkan LKM karena fleksibilitasnya, kemudahan dan kecepatan pelayanan, maka regulasi yang diperlukan LKM agar dapat memberikan pelayanannya secara sustain (berkelanjutan) adalah regulasi yang memungkinkan LKM tetap dapat melakukan kegiatan usahanya sesuai dengan karakteristik kebutuhan usaha mikro dan masyarakat miskin pada umumnya. Undang-undang perbankan yang memungkinkan perbankan melayani usaha mikro, dalam kenyataannya masih belum mampu memberikan pelayanan sebagaimana yang diinginkan oleh usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.
Kendatipun BPR diatur secara berbeda daripada bank umum, namun tidak semua usaha mikro mampu memenuhi berbagai ketentuan bank practice dan penerapan prinsip kehati-hatian bank yang diterapkan BPR. Misal banyak usaha mikro yang tidak dapat mengakses pembiayaan dari BPR karena tidak memiliki jaminan, tidak memenuhi syarat administrasi yang rumit yang dibutuhkan untuk kebutuhan informasi debitur, pembayaran / pengembalian dilakukan ketika saat panen (atau diistilahkan “yarnen”), dan sebagainya.
Menurut GTZ Undang-undang Perbankan bersifat sangat mengatur terlalu ketat (too restrictive), hal itu menyebabkan kurangnya fleksibilitas bagi LKM yang harus menjadi BPR. Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian Sumantoro (2002) yang dilakukan terhadap 100 BKD dan LDKP yang berubah menjadi BPR menunjukan bahwa sekitar 90% dari seluruh BKD mengalami marjin negatif akibat dari perubahan sistem akuntansi, struktur organisasi, dan peningkatan biaya yang sukar diadaptasi. Selain itu, hal tersebut juga tidak mendorong efektivitas LKM tersebut sebagai lembaga pelayanan keuangan bagi masyarakat miskin di pedesaan karena kriteria CAMEL tidak memperhatikan penyediaan sarana dan “pendalaman” akses pelayanan. Pada awal pemberlakuan CAMEL di tahun 1991/1992, jumlah pemimjam BKK menurun 11,6% jumlah peminjaman baru berkurang 23%, sebaliknya jumlah pinjaman rata-rata naik sebesar 26,8%.
Sementara itu, rencana implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API), dimana pengaturan BPR cenderung lebih ketat, misal persyaratan modal disetor yang lebih besar, pembukaan kantor cabang sangat selektif, perizinan pendirian BPR baru dibatasi, dan sebagainya berakibat pada semakin sulitnya LKM untuk meng-upgrade dirinya menjadi BPR.
Di sisi lain, undang-undang perkoperasian sebagai alternatif pilihan regulasi bagi LKM dianggap kurang sesuai karena perkembangannya lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan LKM itu sendiri. Misal koperasi tidak mudah untuk menangkap peluang pendanaan melalui penghimpunan dana atau pembiayaan dari dan ke luar anggota, karena hal tersebut akan melanggar undang-undang yang ada. Selain itu, dari aspek usaha pembiayaan yang dibatasi kepada anggota koperasi, yang relatif memiliki kesamaan karakteristik usaha (homogen), sangat bertentangan dengan prinsip penyebaran risiko pembiayaan (diistilahkan “menempatkan telor pada satu keranjang”). Untuk itu, memaksakan LKM untuk memiliki badan hukum koperasi dikhawatirkan akan menurunkan kinerja LKM.
Kesenjangan ini pun belum juga dapat sepenuhnya dicukupi oleh LKM berbentuk koperasi di pedesaan, antara lain karena adanya prinsip / persyaratan keanggotaan untuk mendapatkan layanan koperasi. Hal ini mengingat sebagian besar usaha mikro atau masyarakat miskin ingin mendapatkan layanan keuangan mikro tanpa harus menjadi pemilik LKM tersebut.

3.    Kerangka Hukum LKM
Pada kenyataannya di masyarakat telah berkembang LKM yang tidak mengikuti kedua regulasi tersebut di atas, atau yang disebut sebagai LKM, atau juga biasa disebut sebagai “3rd window,” sebagai alternatif upaya agar usaha mikro tetap memperoleh pelayanan keuangan. LKM tersebut kini beroperasi tanpa landasan hukum yang jelas, dan bahkan sebagian besar dari mereka secara nyata melanggar undang-undang perbankan (UU No. 10/98), khususnya pasal 16 yang mengatur bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha menghimpun dana terlebih dahulu wajib memperoleh izin usaha sebagai bank umum atau BPR dari Bank Indonesia.
Di satu sisi, kehadirannya LKM secara riil di lapangan sangat diperlukan oleh pelaku usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah serta masyarakat pedesaan pada umumnya. Di lain pihak, pemerintah tidak mengatur keberadaan mereka sebagai bentuk perlindungan kepada para pelaku LKM beserta pengguna jasanya, yang sebagian besar adalah usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Ketidaktegasan pemerintah dalam penegakan hukum terhadap LKM yang melanggar hukum, seperti melakukan penghimpunan dana dari masyarakat (melakukan “praktek bank gelap”), yang dapat berpotensi merugikan masyarakat berpenghasilan rendah. Dampak buruk yang potensi timbul tersebut adalah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh orang atau kelompok tertentu dengan mengatasnamakan LKM untuk mencari keuntungan sendiri, melalui penghimpunan dana dari masyarakat, pencucian uang, dan sebagainya yang pada akhirnya akan merugikan usaha mikro dan masyarakat miskin pada umumnya.
Namun demikian, apabila pemerintah melakukan penegakan hukum secara tegas, dengan memaksakan LKM untuk masuk kedalam sistem regulasi yang ada saat ini, atau secara ekstrim harus membubarkan / melikuidasi keberadaan mereka, maka biaya yang harus ditanggung pemerintah akan sangat besar, terutama untuk menghadapi berbagai masalah sosial yang timbul, seperti terjadinya keresahan masyarakat usaha mikro dan masyarakat miskin yang jumlahnya sangat besar beserta ekses-ekses negatifnya.
Contoh kasus penegakan hukum tersebut pernah terjadi di Lampung dan Kendal – Jawa Tengah[5], dimana polisi menangkap dan memeriksa beberapa pengurus BMT dengan tuduhan melakukan praktek bank gelap –yaitu melakukan penghimpunan dana dari masyarakat sebagai calon anggota. Hal ini jelas sangat meresahkan masyarakat, khususnya para pelaku BMT, serta akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan LKM yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Kesenjangan antara kebutuhan dan penawaran jasa layanan keuangan mikro yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah timbul akibat kurangnya keberpihakan regulasi yang ada saat ini terhadap usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah sesuai karakteristiknya. Namun demikian, pemaksaan terhadap regulasi yang saat ini ada untuk berubah dan mengakomodasi kebutuhan usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah bukanlah tindakan yang bijak, karena perbankan secara internasional mengikuti prinsip Basle II. Sedangkan keuangan mikro secara internasional memiliki prinsip-prinsip tersendiri. Misal, perbankan tetap wajib menerapkan segala prinsip kehati-hatiannya, walaupun hal ini sebagai penyebab sulitnya akses masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah terhadap pelayanan jasa keuangan, namun hal itu semata-mata ditempuh agar bank dapat sustainable untuk mendukung perkonomian nasional. Sebaliknya ketika perbankan dipaksakan untuk melonggarkan implementasi prinsip kehati-hatian agar dapat melayani usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, sangat dikhawatirkan justru akan menimbulkan penurunan kinerja.
Oleh karena itu, pemberian payung hukum atau azas legalitas bagi LKM merupakan langkah konkrit keberpihakan semua pihak kepada masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah di Indonesia yang belakangan ini jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun, tanpa harus mengorbankan tatanan industri lembaga keuangan yang ada saat ini. Pemberian payung hukum bagi LKM ini bukan saja sebagai bentuk pengakuan terhadap keberadaan mereka yang secara nyata sangat dibutuhkan masayarakat misikin sesuai dengan karakteristiknya, namun juga diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, baik bagi para pelaku maupun penggunanya, serta untuk mendorong terciptanya industri LKM yang berkelanjutan (sustainable) dalam memberikan pelayanan jasa keuangan kepada usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya.

0 komentar:

Posting Komentar