BAB III
DEFINISI KONSEP DAN ASAS YANG DIGUNAKAN
DALAM PENYUSUNAN NORMA
A. Definisi
Konsep
Keuangan mikro didefinisikan sebagai
layanan jasa keuangan berupa penghimpun dana dan pemberian pinjaman dalam
jumlah kecil, dan penyediaan jasa-jasa keuangan terkait, yang ditujukan untuk
kelompok masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan
rendah. Sedangkan pengertian umum Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga
keuangan penyedia jasa
keuangan mikro. Dengan demikian, dalam pengertian umum tersebut, lembaga
penyedia jasa keuangan mikro dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu 1) Badan
hukum bank
(seperti BPR, BRI Unit, dsb.); 2) Badan hukum Koperasi (seperti KSP, USP,
dsb.); dan
3) Belum berbadan hukum tetap berdasarkan undang-undang, dimana kelompok ini sering disebut sebagai
LKM.
Total LKM yang ada sebanyak 77.422 unit diluar Kelompok
Masyarakat (Pokmas) sebagai pendukung berbagai program pemerintah[1].
LKM yang berbentuk bank, seperti BPR, BRI Unit, Danamon Simpan Pinjam (DSP),
dan unit-unit pelayanan dari bank umum, berjumlah sebanyak 8.239 unit. LKM yang
berbadan hukum Koperasi, baik dalam bentuk Koperasi Simpan Pinjam
(KSP) maupun Unit Simpan Pinjam (USP), berjumlah 37.820 unit. Adapun LKM
seperti BMT, BKD, LDKP,
dan sebagainya, diluar Pokmas, sebanyak 31.363 unit.
Sementara itu, jumlah Pokmas pendukung
program pemerintah yang juga melaksanakan kegiatan LKM, seperti PPK, P2KP, P4k,
UPPKS, KUBE, dan sebagainya hingga saat ini berjumlah 606.475 unit[2] . Dengan demikian, totall LKM saat ini
berjumlah 637.838 unit. LKM pada umumnya beroperasi dalam lingkup wilayah
tertentu yang cakupannya sangat kecil, seperti dalam satu desa / kelurahan atau
kecamatan. Namun
sayang, hingga kini belum ada jumlah pasti berapa orang yang mendapatkan
pelayanan dari LKM tersebut, termasuk nilai pelayannya. Namun, apabila
diasumsikan masing-masing unit LKM tersebut mampu menyalurkan pembiayaan kepada
30 orang miskin dan atau usaha mikro, masing-masing sebesar Rp. 100 ribu, maka
LKM akan menjangkau sekitar 19 juta orang, dengan total pembiayaan yang dapat
disalurkan sebanyak hampir Rp. 64 trilyun.
Melihat besarnya potensi LKM tersebut,
maka LKM dapat dijadikan salah satu instrumen strategis yang efektif untuk
menjangkau usaha mikro, masyarakat miskin
dan/atau berpenghasilan rendah, guna meningkatkan
kaspasitas usaha, serta menurunkan tingkat kemiskinan secara struktural dan
berkelanjutan. Jumlah LKM yang sangat besar dan beragam tersebut, merupakan
salah satu aset bangsa yang sangat bernilai. Bahkan menurut Gonzalez-Vega,
Chaves (1992), Indonesia merupakan laboratorium keuangan mikro terbesar di
dunia, yang telah melakukan berbagai pengujian terhadap beragam LKM. Dengan
kata lain, apabila LKM di Indonesia ditata kembali dengan baik, maka bukan
tidak mungkin Indonesia akan menjadi kiblat bagi LKM di seluruh dunia, yang
pada akhirnya akan dapat meningkatkan citra bangsa.
1. Karakteristik Usaha
Mikro dan Lembaga Keuangan yang Tepat
Pengguna jasa layanan LKM pada umumnya
berasal dari masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah yang secara ekonomi masih aktif.
Golongan masyarakat ini juga sering disebut sebagai pelaku usaha mikro.
Jenis usaha mikro sangat beragam, namun
secara umum dapat dikelompokkan menjadi:
· Aktivitas
usaha untuk pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder, seperti pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan yang kesemuanya itu dilaksanakan dalam skala
terbatas dan subsisten, pengrajin kecil, penjahit, produsen makanan kecil, dan
semacamnya.
· Aktivitas
usaha pemenuhan kebutuhan tersier, seperti transportasi (baik darat maupun air,
misalnya ojek, angkot, delman, dsb.), kegiatan sewa menyewa baik rumah, tanah,
maupun alat produksi.
· Aktivitas
usaha terkait dengan distribusi, seperti perdagangan, baik di pasar maupun
dalam bentuk warung kelontong, kaki lima, penyalur / agen, serta usaha
sejenisnya.
· Aktivitas
usaha jasa lainnya, seperti pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, montir,
tukang sampah, juru potret jalanan, dan sebagainya.
Karakteristik usaha mikro juga sangat
beragam, namun dapat dikelompokan dalam karakteristik dasar sebagai berikut:
· informal
Sebagian
besar pelaku usaha mikro berusaha di luar kerangka legal dan pengaturan (legal
and regulatory framework) yang ada. Ketiadaan maupun kelemahan aturan yang
ada atau ketidakmampuan pemerintah untuk mengefektifkan peraturan yang ada
(yang seringkali merugikan pelaku usaha kecil), menjadi ruang yang membuat
ekonomi rakyat justru bisa berkembang. Informalitas inilah yang sering
menyebabkan mereka tidak bisa mengakses lembaga keuangan formal dan terpaksa
harus berhubungan dengan sumber pinjaman informal yang mudah, cepat dan
fleksibel, walaupun dikenakan suku bunga yang sangat tinggi.
· mobilitas
tinggi
Aspek
informalitas usaha mikro membawa konsekuensi tiadanya jaminan keberlangsungan
aktivitas yang dijalani. Berbagai kebijakan pemerintah dapat secara dramatis
mempengaruhi keberlangsungan suatu aktivitas ekonomi rakyat. Dalam merespon
kondisi yang demikian, sektor ekonomi rakyat merupakan sektor yang relatif
mudah dimasuki dan ditinggalkan. Apabila pada aktivitas ekonomi tertentu
terdapat banyak peluang, maka dengan segera akan banyak pelaku yang
menerjuninya, sebaliknya apabila terjadi perubahan yang mengancam
keberlangsungan jenis usaha tertentu maka dengan segera para pelakunya akan
berpindah ke jenis usaha yang lain. Situasi ini tentu saja tidak terjadi dengan
aktivitas primer, seperti pertanian di mana para pelakunya jarang
meninggalkan aktivitas pertaniannya.
· usaha
keluarga dan tidak fokus
Usaha mikro pada umumnya dimiliki dan
dijalankan oleh satu keluarga secara bersama-sama, sebagai kesadaran mereka
atas optimalisasi sumber daya dan asas manfaat bersama.
Misal, sebuah keluarga yang memiliki usaha bertani, mereka juga pada umunya
memiliki usaha ternak, kambing atau lembu, yang dipelihara oleh anaknya. Usaha
itu dijalankan selain untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya, juga sebagai
sering diguanakan sebagai instrumen simpanan yang sewaktu-waktu dapat
dimanfaatkan ketika usaha taninya sedang gagal panen.
· mandiri
Bagi lembaga keuangan
formal, usaha mikro pada umumnya masih diyakini sebagai usaha yang unbankable
dan high risk. Oleh karenanya, bantuan modal terhadap usaha mikro
masih sangat kecil dibandingkan dengan skala usaha menengah besar yang jumlah
pelakunya jauh lebih sedikit. Kondisi inilah yang menyebabkan usaha mikro mampu
mandiri dalam hal penyediaan modal.
2. Karakteristik
Kebutuhan Masyarakat Miskin dan Usaha Mikro terhadap Jasa Keuangan
Masyarakat miskin atau usaha mikro pada
umunya membutuhkan jasa keuangan untuk memenuhi 3 hal berikut ini:
· Memenuhi
Siklus Hidup (life cycle needs)
Siklus hidup, seperti kelahiran anak,
menyekolahkan anak, menikahkan anak, pemakaman sering membutuhkan biaya yang
relatif tinggi bagi masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, sehingga
tidak jarang mereka harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan ini.
· Memenuhi
Kebutuhan Darurat (emergency needs)
Pengeluaran tak terduga sebelumnya, juga
sering menjadi alasan mengapa masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah
harus berhutang. Misal kejadian tak terduga tersebut berupa kejadian sakit,
gagal panen, adanya penggusuran tempat usaha, sumbangan kepada tetangga atau
sanak saudara yang sedang hajatan, kejadian pencurian, dan sebagainya.
· Memenuhi
Kebutuhan untuk Memanfaatkan Peluang (opportunity needs)
Sesuai dengan karakteristik usaha mikro
yang memiliki mobilitas tinggi dan informal, pada umumnya mereka sangat mudah
untuk menangkap peluang usaha. Dengan karakteristik tersebut, maka layanan
keuangan mikro yang cepat, mudah persyaratannya, dan fleksibel penggunaannya
merupakan kebutuhan masyarakat miskin/usaha mikro untuk menajalankan usaha
dalam rangka menangkap adanya peluang.
3.
Karakteristik LKM
Berdasarkan pengamatan, tujuan utama
didirikannya LKM pada umumnya dimaksudkan untuk memobilisasi dana dari
masyarakat di pedesaan dan disalurkan kepada masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah
serta untuk membiayai usaha mereka yang berskala mikro. Dengan demikian, LKM
ini berkonsentrasi pada kegiatan simpan pinjam. Namun demikian, beberapa LKM
juga melakukan aktivitas penempatan dana di bank umum, simpan pinjam keliling,
berperan sebagai agen asuransi (tidak ikut menjamin), ikut dalam asosiasi
(perkumpulan) yang mendukung operasinya atau skema penjaminan simpanan di antara mereka (seperti
tabaru’), dan aktivitas terkait lainnya yang dianggap tidak melanggar tata
susila dan peraturan. Keseluruhan transaksi pada umunya dilakukan dengan
menggunakan mata uang rupiah.
Wilayah operasinya pada umumnya di
pedesaan sebagai respons terhadap adanya gap antara kebutuhan dan
ketersediaan layanan keuangan mikro. Namun demikian, beberapa LKM ini juga
beroperasi di perkotaan masih yang memiliki gap layanan finansial bagi
masayarakat miskin perkotaan.
Dari sisi kepemilikan, LKM ini pada
umumnya dimiliki oleh individu secara berkelompok, masyarakat dalam satu
wilayah, seperti desa, kampung, dan ada juga yang dimiliki oleh pemerintahan
desa, atau yayasan. Beberapa LKM memiliki kantor cabang, baik dalam wilayah
operasinya maupun terkadang menyeberang di luar batas wilayah operasinya.
Selain pembukaan kantor cabang, untuk memperluas jangkauan layanan kepada
masyarakat LKM pada umumnya juga mengoperasikan layanan keliling, baik untuk
penghimpunan dana maupun untuk penagihan pinjaman.
Struktur tata kelola yang diterapkan LKM
ini pada umumnya dipimpin oleh seorang manajer, dan dibantu oleh tenaga
pemasaran yang sekaligus sebagai kolektor, dan tenaga pembukuan. Pembukuan dan
laporan keuangan yang dikeluarkan tidak standar dan cenderung sangat sederhana.
Pengawasan biasanya dilakukan oleh Dewan Pengawas, namun pada umumnya dewan ini
tidak aktif melakukan pengawasan. Ketidakjelasan entitas hukum LKM ini, juga
tidak jarang dimanfaatkan oleh rentenir (seorang pemodal pelepas uang) yang
beroperasi seolah-olah resmi seperti lembaga keuangan.
Di lihat dari sisi volume usaha, LKM ini
memiliki varian yang sangat lebar, dimana terdapat LKM yang memiliki total aset
dan atau keuntungan jauh melebihi BPR atau KSP. Namun sebagian besar lainnya
memiliki aset yang sangat kecil. Imbal hasil yang ditetapkan oleh LKM ini
relatif sangat tinggi dibandingkan dengan LKM formal, baik imbal hasil terhadap
simpanan maupun imbal hasil pinjaman. Tingginya imbal hasil tersebut, selain
secara alamiah untuk menutup risiko yang tinggi, juga dikarenakan pada umumnya
belum tercapaikan skala ekonomis usaha LKM pada tingkat yang efisien.
B. Asas Yang Digunakan Dalam Penyusunan Norma
Regulasi terkait yang mengatur lembaga
yang dapat menyelenggarakan layanan keuangan mikro hingga saat ini adalah UU
No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan UU No. 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, serta Peraturan Pemerintah Nomor 103/2000 tentang Perusahaan
Umum (PERUM) Pegadaian. Karena lembaga Pegadaian hanya dimiliki Pemerintah,
maka lembaga yang dapat dimiliki publik pada dasarnya hanya memiliki dua
kerangka hukum, yakni Perbankan dan Koperasi. Walaupun regulasi yang ada saat
ini tersebut telah diupayakan untuk sedapat mungkin mewadahi berbagai lembaga
penyedia layanan keuangan mikro yang jumlahnya sangat banyak, namun hal itu
secara nyata belum mampu menjadi tempat yang sesuai dengan karakteristik
lembaga penyedia layanan keuangan mikro itu sendiri, khususnya lembaga penyedia
layanan keuangan mikro yang tidak berbentuk bank atau koperasi, atau disebut
sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K) – LKM B3K.
1.
Kerangka
Hukum Bank
Undang-undang perbankan yang
mengharuskan BKD dan LDKP menjadi BPR, ternyata tidak mampu mengakomodasi
seluruh BKD dan LDKP yang dipersamakan sebagai BPR[3] . Kemungkinan, tidak
terakomodasinya BKD dan LDKP yang dipersamakan dengan BPR tersebut dengan
undang-undang perbankan, dikarenakan karena: 1) ketidak-mampuan memenuhi
berbagai persyaratan perbankan yang telah ditentukan, atau 2) ketidak-mauan
para pengelola lembaga-lembaga tersebut terikat dengan undang-undang perbankan
yang relatif akan membatasi fleksibilitas pelayanannya, sehingga pelayannya
tidak lagi sesuai dengan kebutuhan usaha mikro, masyarakat miskin dan
masyarakat pedesaan.
Besarnya modal disetor[4] bagi pendirian BPR juga menghambat
perkembangan BPR di pedesaan, terutama daerah yang tingkat populasinya relatif
sedikit. Hal ini juga sebagai salah satu yang mendorong masyarakat mendirikan
lembaga keuangan alternatif yang fokus melayani usaha mikro.
2.
Kerangka
Hukum Koperasi
Kerangka hukum koperasi sebagai
alternatif pilihan dasar hukum lembaga keuangan mikro ternyata tidak selalu
sesuai dengan karakter kebutuhan seluruh usaha mikro, atau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada
umumnya. Di satu sisi, para pelaku usaha mikro atau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada
umumnya membutuhkan jasa layanan keuangan untuk mendukung pengembangan usaha
atau memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa harus memiliki sendiri lembaga
keuangan tersebut. Di sisi lain, koperasi yang bersifat ekslusif dengan
ditetapkannya ketentuan pelayanan diberikan kepada anggotanya atau calon
anggota yang memenuhi persyaratan, maka untuk dapat memperoleh jasa layanan
keuangan dari koperasi, seseorang harus menjadi anggota koperasi yang
dipersyaratkan harus membayar simpanan pokok dan wajib sebagai bagian modal
dari koperasi itu sendiri. Hal itu tidak selamanya dapat diterima oleh usaha
mikro, atau masyarakat miskin pada umumnya, untuk menjadi anggota / pemilik
koperasi karena kepentingan masingmasing dari mereka sangat beragam.
Berangkat dari kenyataan yang ada,
dimana usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah
membutuhkan LKM karena fleksibilitasnya, kemudahan dan kecepatan pelayanan,
maka regulasi yang diperlukan LKM agar dapat memberikan pelayanannya secara sustain
(berkelanjutan) adalah regulasi yang memungkinkan LKM tetap dapat melakukan
kegiatan usahanya sesuai dengan karakteristik kebutuhan usaha mikro dan
masyarakat miskin pada umumnya.
Undang-undang
perbankan yang memungkinkan perbankan melayani usaha mikro, dalam kenyataannya
masih belum mampu memberikan pelayanan sebagaimana yang diinginkan oleh usaha
mikro dan masyarakat miskin
dan/atau berpenghasilan rendah.
Kendatipun BPR diatur secara berbeda
daripada bank umum, namun tidak semua
usaha
mikro mampu memenuhi berbagai ketentuan bank practice dan penerapan
prinsip kehati-hatian bank yang diterapkan BPR. Misal banyak usaha mikro yang
tidak dapat mengakses pembiayaan dari BPR karena tidak memiliki jaminan, tidak
memenuhi syarat administrasi yang rumit yang dibutuhkan untuk kebutuhan
informasi debitur, pembayaran / pengembalian dilakukan ketika saat panen (atau
diistilahkan “yarnen”), dan sebagainya.
Menurut GTZ Undang-undang Perbankan
bersifat sangat mengatur terlalu ketat (too restrictive), hal itu
menyebabkan kurangnya fleksibilitas bagi LKM yang harus menjadi BPR. Hal
tersebut dibuktikan dengan penelitian Sumantoro (2002) yang dilakukan terhadap
100 BKD dan LDKP yang berubah menjadi BPR menunjukan bahwa sekitar 90% dari
seluruh BKD mengalami marjin negatif akibat dari perubahan sistem akuntansi,
struktur organisasi, dan peningkatan biaya yang sukar diadaptasi. Selain itu,
hal tersebut juga tidak mendorong efektivitas LKM tersebut sebagai lembaga
pelayanan keuangan bagi masyarakat miskin di pedesaan karena kriteria CAMEL
tidak memperhatikan penyediaan sarana dan “pendalaman” akses pelayanan. Pada
awal pemberlakuan CAMEL di tahun
1991/1992,
jumlah pemimjam BKK menurun 11,6% jumlah peminjaman baru berkurang 23%,
sebaliknya jumlah pinjaman rata-rata naik sebesar 26,8%.
Sementara itu, rencana implementasi
Arsitektur Perbankan Indonesia (API), dimana pengaturan BPR cenderung lebih
ketat, misal persyaratan modal disetor yang lebih besar, pembukaan kantor
cabang sangat selektif, perizinan pendirian BPR baru dibatasi, dan sebagainya
berakibat pada semakin sulitnya LKM untuk meng-upgrade dirinya menjadi
BPR.
Di sisi lain, undang-undang
perkoperasian sebagai alternatif pilihan regulasi bagi LKM dianggap kurang
sesuai karena perkembangannya lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan
kebutuhan LKM itu sendiri. Misal koperasi tidak mudah untuk menangkap peluang
pendanaan melalui penghimpunan dana atau pembiayaan dari dan ke luar anggota,
karena hal tersebut akan melanggar undang-undang yang ada. Selain itu, dari
aspek usaha pembiayaan yang dibatasi kepada anggota koperasi, yang relatif
memiliki kesamaan karakteristik usaha (homogen), sangat bertentangan dengan
prinsip penyebaran risiko pembiayaan (diistilahkan “menempatkan telor pada satu
keranjang”). Untuk itu, memaksakan LKM untuk memiliki badan hukum koperasi
dikhawatirkan akan menurunkan kinerja LKM.
Kesenjangan ini pun belum juga dapat
sepenuhnya dicukupi oleh LKM berbentuk koperasi di pedesaan, antara lain karena
adanya prinsip / persyaratan keanggotaan untuk mendapatkan layanan koperasi.
Hal ini mengingat sebagian besar usaha mikro atau masyarakat miskin ingin
mendapatkan layanan keuangan mikro tanpa harus menjadi pemilik LKM tersebut.
3. Kerangka
Hukum LKM
Pada kenyataannya di masyarakat telah
berkembang LKM yang tidak mengikuti kedua regulasi tersebut di atas, atau yang
disebut sebagai LKM, atau juga biasa disebut sebagai “3rd window,” sebagai alternatif
upaya agar usaha mikro tetap memperoleh pelayanan keuangan. LKM tersebut kini
beroperasi tanpa landasan hukum yang jelas, dan bahkan sebagian besar dari
mereka secara nyata melanggar undang-undang perbankan (UU No. 10/98), khususnya
pasal 16 yang mengatur bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha
menghimpun dana terlebih dahulu wajib memperoleh izin usaha sebagai bank umum
atau BPR dari Bank Indonesia.
Di satu sisi, kehadirannya LKM secara
riil di lapangan sangat diperlukan oleh pelaku usaha mikro dan masyarakat
miskin dan/atau berpenghasilan rendah serta
masyarakat pedesaan pada umumnya. Di lain pihak, pemerintah tidak mengatur
keberadaan mereka sebagai bentuk perlindungan kepada para pelaku LKM beserta
pengguna jasanya, yang sebagian besar adalah usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah. Ketidaktegasan pemerintah dalam
penegakan hukum terhadap LKM yang melanggar hukum, seperti melakukan
penghimpunan dana dari masyarakat (melakukan “praktek bank gelap”), yang dapat
berpotensi merugikan masyarakat berpenghasilan rendah. Dampak buruk yang
potensi timbul tersebut adalah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh orang
atau kelompok tertentu dengan mengatasnamakan LKM untuk mencari keuntungan
sendiri, melalui penghimpunan
dana dari masyarakat, pencucian uang, dan sebagainya yang pada akhirnya akan
merugikan usaha mikro dan masyarakat miskin pada umumnya.
Namun demikian, apabila pemerintah
melakukan penegakan hukum secara tegas, dengan memaksakan LKM untuk masuk
kedalam sistem regulasi yang ada saat ini, atau secara ekstrim harus
membubarkan / melikuidasi keberadaan mereka, maka biaya yang harus ditanggung
pemerintah akan sangat besar, terutama untuk menghadapi berbagai masalah sosial
yang timbul, seperti terjadinya keresahan masyarakat usaha mikro dan masyarakat
miskin yang jumlahnya sangat besar beserta ekses-ekses negatifnya.
Contoh kasus penegakan hukum tersebut
pernah terjadi di Lampung dan Kendal – Jawa Tengah[5],
dimana polisi menangkap dan memeriksa beberapa pengurus BMT dengan tuduhan
melakukan praktek bank gelap –yaitu melakukan penghimpunan dana dari masyarakat
sebagai calon anggota. Hal ini jelas sangat meresahkan masyarakat, khususnya
para pelaku BMT, serta akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan LKM yang
sangat dibutuhkan masyarakat.
Kesenjangan antara kebutuhan dan
penawaran jasa layanan
keuangan mikro yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah timbul akibat kurangnya
keberpihakan regulasi yang ada saat ini terhadap usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah sesuai karakteristiknya. Namun
demikian, pemaksaan terhadap regulasi yang saat ini ada untuk berubah dan
mengakomodasi kebutuhan usaha mikro,
masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah bukanlah tindakan yang bijak,
karena perbankan secara internasional mengikuti prinsip Basle II. Sedangkan
keuangan mikro secara internasional memiliki prinsip-prinsip tersendiri. Misal,
perbankan tetap wajib menerapkan segala prinsip kehati-hatiannya, walaupun hal
ini sebagai penyebab sulitnya akses masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah terhadap
pelayanan jasa keuangan, namun hal itu semata-mata ditempuh agar bank dapat sustainable
untuk mendukung perkonomian nasional. Sebaliknya ketika perbankan
dipaksakan untuk melonggarkan implementasi prinsip kehati-hatian agar dapat
melayani usaha mikro, masyarakat
miskin dan/atau berpenghasilan rendah,
sangat dikhawatirkan justru akan menimbulkan penurunan kinerja.
Oleh karena itu, pemberian payung hukum atau azas legalitas bagi
LKM merupakan langkah konkrit
keberpihakan
semua pihak kepada masyarakat miskin
dan/atau berpenghasilan rendah
di Indonesia yang belakangan ini jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun,
tanpa harus mengorbankan tatanan industri lembaga keuangan yang ada saat ini.
Pemberian payung hukum bagi LKM ini bukan saja sebagai bentuk pengakuan
terhadap keberadaan mereka yang secara nyata sangat dibutuhkan masayarakat
misikin sesuai dengan karakteristiknya, namun juga diharapkan dapat memberikan
kepastian hukum, baik bagi para pelaku maupun penggunanya, serta untuk
mendorong terciptanya industri LKM yang berkelanjutan (sustainable) dalam
memberikan pelayanan jasa keuangan kepada usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada
umumnya.
0 komentar:
Posting Komentar