Sabtu, 08 Juni 2013

BAB II
LANDASAN PEMIKIRAN

A.   Filosofis
Secara filosofis pembentukan LKM dijiwai oleh semangat yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945. Dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pembentukan LKM, pada prinsipnya ditujukan sebagai upaya untuk memberikan dorongan pembiayaan bagi usaha mikro.
Semangat yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, pada prinsipnya ingin menjadikan LKM sebagai lembaga pembiayaan terhadap Usaha Mikro yang merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Selain itu, LKM ini pun diharapkan berperan sebagai lembaga pembiayaan bagi Usaha Mikro sebagai salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa mengabaikan peranan Usaha Besar dan Badan Usaha Milik Negara.

B.   Sosiologis
Sejarah LKM di Indonesia dimulai dari pendirian “Bank Priyayi Purwokerto” oleh Raden Wiriaatmadja pada tahun 1895. Satu tahun kemudian didirikan didirikan “Poerwokertosche Hulp-Spaar en Landbouwcredietbank” oleh kepala pemerintahan Belanda pada saat itu, Sieburgh dan rekannya De Wolff van Westerrode. LKM tersebut lebih dikenal sebagai Lumbung Desa, yang fungsinya adalah untuk membantu para petani yang mengalami kegagalan panen.
Pada tahun 1905 mulai didirikan Bank Desa dengan modal dari Lumbung Desa dengan tujuan untuk membantu permodalan masyarakat pedesaan agar tidak terjerat para lintah darat (rentenir) dan para pengijon. Lumbung Desa dan Bank Desa kemudian berubah nama dengan Bank Kredit Desa (BKD). Kemudian pada tahun 1908 Pemerintah Pusat mengeluarkan buku pedoman untuk mendirikan, mengatur dan mengurus serta mengawasi BKD, dan terakhir Ordonansi BKD termuat dalam Staatsblad No. 357 tahun 1929 untuk daerah Jawa dan Madura, Rijksblad No. 9 tahun 1937 untuk daerah Kadipaten Paku Alaman, dan Rijksblad No. 3/H tahun 1938 untuk daerah Kasultanan. Pada tahun 1972, 1973 dan 1974 Menteri Keuangan memberikan izin usaha bagi BKD.
Keberhasilan BKD disusul dengan pendirian Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) oleh Pemerintah Daerah sejak awal tahun 1970an yang dimulai dari pembentukan Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) di Jawa Barat, Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat, hingga pada akhir tahun 1980an Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur. Pada awal tahun 1984 Menteri Dalam Negeri mendesiminasikan model LDKP yang ada saat itu kepada beberapa gubernur, hasilnya di Bali terbentuk Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Kecamatan (BKK) dan Lembaga Pembiayaan Usaha Kecil (LPUK) di Kalimantan Selatan, BKK di Bengkulu, dan di Riau, Lembaga Kredit Pedesaan (LKP) di Nusa Tenggara Barat, Badan Usrusan Kredit Pedesaan (BUKP) di Yogyakarta, serta Lembaga Kredit Kecamatan (LKK) di Aceh.
LPD dan LPN dimiliki oleh masyarakat desa, dan beroperasi berdasarkan hukum adat yang berlaku. Sedangkan LDKP lainnya dimiliki, diatur dan diawasi oleh Pemerintah Daerah. Namun demikian Pemerintah Daerah banyak yang mendelegasikan kepada Bank Permerintah Daerah (BPD) untuk melakukan supervisi dan bantuan teknis terhadap kepada LDKP.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BKD dan LDKP serta lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat (BPR) wajib menyesuaikan diri menjadi BPR. Selanjutnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992, lembaga-lembaga tersebut harus mengajukan izin usaha sebagai BPR sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahu 1992 selambat-lambatnya tanggal 30 Oktober 1997. Namun hingga batas waktu tersebut, masih banyak BKD dan LDKP yang masih belum memenuhi sebagai BPR. Selanjutnya, berdasarkan kesepakatan dalam rangka Pengukuhan LDKP menjadi BPR antara Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri, Direktur Bank Indonesia, dan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan, dinyatakan bahwa LKDP yang tidak mengajukan permohonan izin usaha setelah tanggal 30 Oktober 1997 dan LDKP yang telah mengajukan permohonan izin usaha tetapi tidak memperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan, tetap dapat meneruskan usahanya sebagai LDKP, dan dalam status ini dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan. (Nasution, 2003).
Sebagai alternatif layanan keuangan mikro dengan prinsip syariah, awal tahun 1990an lahirlah Gerakan BMT yang dipelopori oleh Yayasan PINBUK. Pada awalnya ruang lingkup BMT mencakup penerimaan zakat, infaq dan shadaqoh, serta menyalurkannya kepada orang yang berhak. Dalam perkembangannya, pada tahun 1995 BMT dijadikan gerakan nasional dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat.
Pertumbuhan BMT yang sangat pesat, hingga akhir tahun 2000 jumlahnya sekitar 2.938 unit. Dikarenakan pada akhirnya sebagian besar kegiatan BMT banyak bergerak di bidang simpan pinjam dengan prinsip syariah, maka sebagian BMT memiliki izin pendirian Koperasi. Melihat jumlah BMT yang semakin besar dan memiliki perkembangan yang baik, maka untuk menertibkan dan malakukan pembinaan pada tahun 2005 Pemerintah, melalui Menteri Koperasi & UKM mengeluarkan Keputusan Menteri tentang Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Namun hingga kini tidak semua BMT mengikuti keputusan menteri tersebut.
Selain BMT, pada awal tahun 1970an mulai didirikan LKM yang diinisiasi oleh masyarakat sendiri, yaitu Credit Union, yang kemudian pada tahun 1980an diubah namanya menjadi Koperasi Kredit (Kopdit). Walaupun memiliki nama Koperasi Kredit, namun tidak semua Kopdit, yang pada akhir 1999 berjumlah lebih dari 1.100 unit, memiliki izin pendirian koperasi. Selain BMT, dan Kopdit, sesungguhnya masih ada lagi LKM yang merupakan hasil inisiatif masyarakat, seperti Dakabalarea di Jawa Barat, serta LSM dan KSM lainnya yang didirikan untuk memberikan pelayanan keuangan mikro.
Berbagai program pemberdayaan masyarakat yang banyak dilakukan oleh departemen-departemen teknis, juga menghasilkan LKM baru yang memiliki tujuan khusus. Misal, Unit Ekonomi Desa-Simpan Pinjam (UED-SP) yang dibentuk untuk mendukung program pembangunan desa melalui Inpres Bantuan Pembangunan Desa dengan Departemen Dalam Negeri sebagai departemen teknisnya. Jumlah UED-SP hingga pada akhir 1999 kurang lebih mencapai sekitar 52 ribu.
Selain itu, Departemen Dalam Negeri masih memiliki P2K (bekerjasama dengan Departemen Pekerjaam Umum), KUBE (bekerjasama dengan Departemen Sosial), sedangkan Departemen Pekerjaan Umum sendiri memiliki Badan Keswadayaan Masyarakat (KSM), BKKBN memiliki UPPKS, Departemen Kelautan dan Perikanan memiliki LEPM3, Departemen Pertanian memiliki P4K, dan sebagainya. Hampir seluruh LKM ini, yang didirikan berdasarkan keputusan menteri terkait, melakukan kegiatan usaha utamanya dalam bentuk simpan pinjam.
Selanjutnya terkait hasil studi dan pengalaman dari 31 lembaga agen bantuan pembangunan, baik yang dimiliki swasta maupun pemerintah dari negara-negara maju, yang tergabung kedalam Consultative Group to Assist the Poor (CGAP), menetapkan 11 prinsip keuangan mikro untuk memperluas akses masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah terhadap jasa keuangan. Kesebelas prinsip adalah sebagai berikut:
  1. Masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah tidak hanya membutuhkan pinjaman saja, tetapi juga membutuhkan jasa keuangan lainnya, seperti jasa simpanan/tabungan, asuransi, anjak piutang, sewa guna, dan jasa pengiriman uang.
  2. Keuangan mikro merupakan alat yang sangat tepat untuk memerangi kemiskinan, karena masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya menggunakan jasa keuangan untuk meningkatkan pendapatannya, menambah asetnya, dan untuk berjaga-jaga (melindungi diri) apabila terjadi suatu kejadian tak terduga, seperti bencana alam, gagal panen, dan sebagainya.
  3. Keuangan mikro akan jauh lebih bermanfaat secara optimal apabila terintegrasi dengan sistem keuangan nasional.
  4. Keuangan mikro harus dapat menghidupi diri sendiri, agar dapat menjangkau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah lebih banyak lagi. Apabila lembaga keuangan mikro tidak mampu menghidupi sendiri (minimal mampu menutupi seluruh biaya), maka keberadaan mereka akan sangat terhambat, dan akan sangat tergantung dari bantuan pemerintah atau donor yang juga sangat terbatas.
  5. Keuangan mikro mampu membangun lembaga keuangan lokal yang berkelanjutan, dimana lembaga tersebut dapat menghimpun dana dari masyarakat suatu wilayah tertentu dan diputarkan kembali dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat di wilayah yang sama. Dalam konteks Indonesia, hal ini juga akan mengurangi pelarian uang dari daerah ke pusat, atau dari desa ke kota seperti yang terjadi selama ini. Selain itu, prinsip ini juga sejalan dengan semangat membangun daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah.
  6. Keuangan mikro bukanlah segalanya dalam mengatasi kemiskinan, oleh karenanya dukungan program lainnya juga diperlukan, khususnya program yang ditujukan kepada masyarakat yang sangat miskin yang tidak memiliki penghasilan dan tidak memiliki kemampuan untuk membayar kembali pinjamannya.
  7. Pembatasan ambang atas terhadap tingkat suku bunga justru akan menyulitkan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk memperoleh pinjaman dalam jangka panjang. Apabila ambang atas tingkat suku bunga dibatasi yang menyebabkan tidak tertutupinya seluruh biaya, maka lembaga keuangan mikro itu akan punah cepat atau lambat. Ketika lembaga keuangan mikro banyak yang punah, maka masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah akan kembali mengalami kesulitan dalam mengakses pinjaman.
  8. Peran pemerintah adalah menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi terselenggaranya layanan jasa keuangan bagi masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, dan bukan bertindak sendiri lembaga keuangan yang menyediakan jasanya secara langsung. Dari berbagai pengalaman menyatakan bahwa tidak pernah ada pemerintah yang berhasil mengelola pinjaman. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah cukup membuat kebijakan yang mendukung iklim usaha.
  9. Dana dari donor seharusnya hanya dijadikan pelengkap saja, bukan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan modal usaha lembaga keuangan mikro. Dana dari donor sebaiknya diberikan untuk membantu sementara pada tahapan start-up sampai pada titik tertentu, dan ditempatkan dalam bentuk simpanan (bukan modal).
  10. Pertumbuhan dan perkembangan keuangan mikro terhambat pada kapasitas kelembagaan dan kurangnya tenaga profesional. Oleh karena itu, lembaga donor seharusnya fokus untuk mendukung pengembangan kapasitas kelembagaan.
  11. Keuangan mikro akan dapat bekerja baik apabila kinerjanya terukur dan terbuka bagi masyarakat. Lembaga keuangan mikro perlu membuat laporan kinerja keuangan yang akurat dan mudah dibandingkan agar meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut, serta perlunya membuat laporan kinerja sosial (misal jumlah nasabah yang terlayani, sektopr usaha, dan sebaginya) untuk mengukur manfaatnya bagi pengentasan kemiskinan.

Pencanangan “The International Year of Microcredit” oleh Koffi Anan sebagai Sekjen PBB pada tanggal 18 November 2004, di Markas Besar PBB – New York, merupakan sebuah pengakuan internasional terhadap eksistensi dan esensi keuangan mikro, terutama dalam kerangka pengentasan kemiskinan dunia. Dalam pidatonya, dinyatakan bahwa keuangan mikro selama ini telah terbukti sebagai alat yang sangat efektif untuk memerangi kemiskinan dalam kerangka Millenium Development Goals. Kemajuan di bidang keuangan mikro antara lain ditandai dengan kesuksesan pengelolaan LKM oleh Grameen Bank dari Bangladesh. Hal ini juga merupakan pengakuan internasional, bahwa pengentasan kemiskinan dapat efektif diperangi melalui LKM.
Kebijakan dan strategi yang dibuat untuk LKM di beberapa negara pada umumnya untuk memfasilitasi kemudahan bagi LKM dalam melakukan usahanya, terutama dalam penghimpunan dana dari masyarakat dengan pembatasan tertentu, seperti batas wilayah dan jumlah dana yang dapat dihimpun, atau lainnya.
Dari berbagai riset yang dilakukan World Bank (1999) menemukan kebanyakan negara memberikan izin penghimpunan dana dari masyarakat hanya kepada lembaga keuangan formal (yang mendapatkan izin). Hal ini menunjukan perlu adanya pembedaan izin yang jelas kepada LKM informal, dengan menekankan perlu adanya treshholds yang menentukan pendekatan regulasi yang akan diambil. Sebagai contoh, LSM menghimpun dan menggunakan dana dari pihak lain, terutama dari donor, koperasi menghimpun dan menggunakan dana hanya dari anggota, dan bank menghimpun dan menggunakan dana dari masyarakat.
LKM yang menghimpun dana dari masyarakat seharusnya diatur dengan regulasi yang menerapkan prinsip kehati-hatian. Sedangkan hasil riset yang dilakukan CGAP (2002) menyimpulkan bahwa kebanyakan regulasi kekuangan mikro bertujuan positif, yaitu baik memfasilitasi kemudahan pelaku baru untuk masuk kedalam industri keuangan mikro maupun kegiatan-kegiatan keuangan mikro itu sendiri. Namun demikian, ketika LKM dimungkinkan untuk menghimpun dana dari masyarakat, maka regulasi dengan prinsip kehati-hatian harus diberlakukan dengan tujuan untuk melindungi penyimpan dana / penabung. Selain itu, apabila skala usaha LKM sudah sangat besar dan memberikan dampak yang signifikan kepada sektor keuangan sebuah negara, maka risiko sistemik harus menjadi pertimbangan penting dalam penetapan regulasi.
Sementara hasil studi yang dilakukan GTZ (2003) menjelaskan bahwa penekanan regulasi keuangan mikro adalah pada masalah kelembagaan dan fungsi. Di kebanyakan negara regulasi bagi LKM dengan bentuk lembaga khusus diatur tersendiri dengan Undang-Undang Keuangan Mikro. Sedangkan regulasi dengan pendekatan fungsi mengatur tentang pasar sasaran sesuai dengan fungsinya. Dengan demikian, keuangan mikro lebih dilihat sebagai aktivitas keuangan daripada jenis lembaganya.
Pelajaran yang dapat diambil dari praktek penerapan regulasi di beberapa negara, seperti Bangladesh, Bolivia, Kamboja, Ghana, India, Philipina, Sri Lanka dan beberapa negara Amerika Latin adalah bahwa negara-negara berkembang masih terus mengembangkan kerangka hukum bagi keuangan mikro. Di sejumlah negara telah menerapkan kerangka hukum bagi keuangan mikro berdasarkan tingkatan, dan mengizinkan adanya LKM “new window” (jenis LKM yang tidak masuk dalam regulasi yang ada saat ini). Jenis-jenis LKM ini menciptakan banyak lembaga baru, dengan modal disetor berkisar antara US$ 20 ribu hingga US$ 1 juta. Di beberapa negara LSM diperbolehkan melakukan aktivitas penghimpunan dana dan penyaluran kredit.
a.    Kerangka Hukum LKM di Philipina
Philipina merupakan negara yang relatif telah memiliki kerangka hukum keuangan mikro yang baik, yang mengatur berbagai jenis LKM kedalam tingkatan (tiering) berikut:
·      Thrift Banks, dengan modal minimum US$ 1 juta hingga US$ 6,5 juta jika kantor pusatnya berada di Ibukota Negara, Manila. Bank ini dimiliki oleh masyarakat / swasta, dan diberikan izin berdasarkat Undang-undang Thrift Banks. Bank ini diperkenankan menghimpun dana dari masyarakat, di bawah supervisi bank sentral, serta memperoleh penjaminan simpanan dari Perusahaan Asuransi Simpanan. Dana yang terhimpun disalurkan kedalam pembiayaan jangka menengah-panjang untuk sektor usaha mikro, kecil, menengah dan umum.
·      Rural Bank (Bank Pedesaan), dan Bank Koperasi diatur dengan Undangundang Rural bank. Modal disetor minimal antara US$ 50 ribu hingga US$ 260 ribu tergantung pada lokasinya. Wilayah operasinya dibatasi untuk daerah tertentu, sedangkan jenis layanan yang diberikan berupa tabungan, deposito berjangka dan kredit. Bank ini dimiliki oleh masyarakat / swasta. Bank ini juga memiliki mendapatkan penjaminan simpanan dari Perusahaan Asuransi Simpanan, serta memiliki target pasar yang sama dengan Trift Banks.
·      Koperasi Lembaga Keuangan (CFI), seperti Credit Union (Koperasi Kredit), dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP), didaftarkan berdasarkan Undangundang Pengembangan Koperasi, dan disupervisi oleh Otorita Pengembangan Koperasi (CDA). Seperti di beberapa negara lain, CFI berada di luar wilayah yuridis bank sentral, serta di luar sistem penjaminan simpanan. CFI tidak diperbolehkan menghimpun dana dari masyarakat.
·      LSM, atau lembaga swasta lainnya yang beroperasi sebagai yayasan yang berorientasi nir-laba yang dibiayai dengan dana hibah dan kredit komersial diatur dengan Undang-undang Trusts dan Yayasan Nir-laba. Lembagalembaga ini tidak memiliki lembaga supervisi, walaupun mereka diwajibkan untuk melaporkan kegiatannya kepada Securities Exchange Commission (regulasi non-prudential).

b.   Kerangka Hukum LKM di Ghana
Sementara di Ghana, kerangka hukum bagi LKM dibagi kedalam dua jenis, yaitu LKM dibawah Undang-undang Perbankan (1989) dan dibawah Undangundang Lembaga Keuangan Bukan Bank (1993). Seluruh LKM yang ada wajib berbadan hukum (legal entities), dengan sistem tiering sebagai berikut:
·      Rural Banks (Bank Pedesaan), dengan modal disetor minimum US$ 20 ribu. LKM ini dapat dimiliki oleh masyarakat, dan diatur dengan Undangundang Perbankan. Operasionalnya dibatasi dengan tidak diperbolehkan membuka cabang, aktivitasnya hanya diperbolehkan untuk daerah pedesaan tertentu, dan kegiatan usahanya terbatas pada layanan tabungan, deposito berjangka dan pembiayaan. Pengambilan keputusan sama dengan keputusan koperasi, dimana satu pemegang saham memiliki  satu suara.
·      Perusahaan simpan pinjam, dengan modal disetor minimal US$ 50 ribu. Perusahaan ini dibawah Undang-undang Lembaga Keuangan Bukan Bank, dengan cakupan usaha terbatas pada layanan tabungan, deposito berjangka, dan pembiayaan (termasuk sewa beli), tetapi lembaga ini diberikan hak untuk memiliki kantor cabang. Perusahaan ini dapat dimiliki oleh individu dalam bentuk kepemilikan saham (seperti perseroan terbatas).
·      Credit Union, didaftarkan berdasarkan Undang-undang Koperasi, dan diatur dengan Badan Pengawasan Credit Union – instansi pemerintah. Berdasarkan Undang-undang Perbankan, Credit Union juga harus didaftar dan mendapatkan izin dari Bank of Ghana. LKM ini hanya boleh memberikan layanan kepada anggotanya saja, walaupun operasionalnya menggunakan prinsip kehati-hatian dan panduan yang dikeluarkan oleh Bank of Ghana.
·      Lembaga Swadaya Masyarakat yang terlibat dalam aktivitas kredit dapat diberi izin berdasarkan Undang-undang Trust & Charitable Institution, yaitu kerangka hukum yang memfasilitasi transformasi menjadi LKM yang legal (termasuk penghimpunan dana masyarakat).

c.   Kerangka Hukum LKM di Bolivia
Sementara itu, di Bolivia lembaga yang menyediakan layanan kredit berupa Bank, Perusahaan Mutual Saving and Loan (terutama untuk pembiayaan perumahan) dan Credit Union (yang juga banyak bergerak di bidang pembiayaan perumahan). Pada tahun 1995, dengan mengikuti rekomendasi dari GTZ, dibentuk kategori lembaga keuangan baru yang khusus melayani keuangan mikro, dengan sebutan Dana Keuangan Swasta (Private Financial Funds). Lembaga ini dibatasi jumlah kewajibannya, dan membutuhkan modal disetor sebesar US$ 1 juta (sedangkan modal disetor bank sebesar US$ 3,2 juta). Rasio kecukupan modal (CAR) minimal harus 10%, dan kegiatan usahanya dibatasi dengan tidak boleh menghimpun dana masyarakat, terlibat dalam pembiayaan piutang atau investasi. Untuk memastikan orientasi mereka pada keuangan mikro, maka besaran kreditnya dibatasi maksimal 3% dari total modal. Kerangka hukum ini juga meliputi pengaturan bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang memberikan layanan keuangan mikro.

C.   Yuridis
Saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai Lembaga Keuangan Mikro. Secara yuridis  keberlakukan Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia didasarkan pada Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Menengah, Dan Gubernur Bank Indonesia Nomor: 351.1/KMK.010/2009, Nomor: 900-639A Tahun 2009, Nomor: 01/SKB/M.KUKM/IX/2009, dan Nomor: 11/43A/KEP.GBI/2009 tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (SKB LKM).
Dalam SKB LKM terdiri dari 8 (delapan) pengaturan yang meliputi:
  1. Pembatasan istilah LKM menurut SKB ini meliputi LKM yang belum berbadan hukum, dibentuk atas inisiatif Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat seperti Usaha Ekonomi Desa-Simpan Pinjam (UED-SP), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), kelompok Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) PNPM Mandiri Perkotaan, kelompok Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM Mandiri Pedesaan, Kelompok Unit Program Pelayanan Keluarga Sejahtera (UPPKS), Unit Pengelola Keuangan Desa (UPKD), Kelompok Tani Pemberdayaan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM), Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dan/atau lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu.
  2. Sasaran pelaksanaan Strategi Pengembangan LKM, yaitu beralihnya LKM yang belum berbadan hukum menjadi Bank Perkreditan Rakyat atau Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa, atau lembaga keuangan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Proses peralihan atau transformasi LKM, yang diawali dengan terlebih dahulu melakukan pendataan, edukasi dan sosialisasi terhadap LKM belum berbadan hukum.
  4. Kesepakatan yang berisi:

  • Bank Indonesia memberikan konsultasi kepada LKM yang akan menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S) sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam pendirian dan perizinan BPR/S.
  • Departemen Dalam Negeri, bersama-sama dengan Pemerintah Daerah, melakukan pembinaan terhadap LKM yang akan menjadi Badan Usaha Milik Desa.
  • Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah bersama-sama dengan pemerintah daerah memfasilitasi, memberdayakan, dan membina LKM yang akan menjadi Koperasi
  • Departemen Keuangan memberikan konsultasi kepada LKM yang kegiatan usahanya menyerupai lembaga keuangan yang berada dalam pembinaan dan pengawasan Departemen Keuangan menjadi lembaga keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

5.    Rincian dari pelaksanaan tugas masing-masing instansi selama proses dan pasca transformasi LKM.
6.    Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dan Bank Indonesia melakukan kegiatan inventarisasi, edukasi, sosialisasi, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan strategi pengembangan LKM.
7.  Menko Perekonomian membentuk Tim yang beranggotakan Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Bank Indonesia, serta instansi terkait lainnya.

8.  Biaya yang timbul dalam pelaksanaan Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro dibebankan pada anggaran masing-masing kementerian/ lembaga, yang diproses sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku. 

0 komentar:

Posting Komentar