Kewajiban Perlindungan dan
Pemajuan HAM
Konsepsi HAM yang pada awalnya menekankan pada hubungan
vertikal, terutama dipengaruhi oleh sejarah pelanggaran HAM yang terutama
dilakukan oleh negara, baik terhadap hak sipil-politik maupun hak ekonomi,
sosial, dan budaya. Sebagai konsekuensinya, disamping karena sudah merupakan
tugas pemerintahan, kewajiban utama perlindungan dan pemajuan HAM ada pada
pemerintah. Hal ini dapat kita lihat dari rumusan-rumusan dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik, serta Konvenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang merupakan pengakuan negara
terhadap hak asasi manusia sebagaimana menjadi substansi dari ketiga instrumen
tersebut. Konsekuensinya, negara-lah yang terbebani kewajiban perlindungan dan
pemajuan HAM. Kewajiban negara tersebut ditegaskan dalam konsideran “Menimbang”
baik dalam Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam hukum nasional,
Pasal 28I ayat (4) UUD 1945[1] menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.
Dengan berkembangnya konsepsi HAM yang juga meliputi hubungan-hubungan
horisontal mengakibatkan perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor
pelanggarnya. Hak atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya
tidak hanya menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab
korporasi-korporasi yang dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan
masyarakat. Keberadaan perusahaan-perusahaan mau tidak mau membawa dampak dalam
kehidupan masyarakat yang sering kali mengakibatkan berkurangnya hak asasi
manusia.
Persinggungan antara Korporasi dengan Hak Asasi Manusia
paling tidak terkait dengan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, hak atas
ketersediaan dan aksesibilitas terhadap sumber daya alam dan hak-hak pekerja.
Secara lebih luas struktur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara
produsen juga memiliki potensi dan peluang terjadinya tindakan-tindakan
sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan
sewenang-wenang dan tidak adil.
Maka pelanggaran HAM tidak hanya dapat dilakukan oleh
negara. Dalam pola relasi kekuasaan horisontal peluang terjadinya pelanggaran
HAM lebih luas dan aktor pelakunya juga meliputi aktor-aktor non negara, baik
individu maupun korporasi. Karena itulah memang sudah saatnya kewajiban dan
tanggungjawab perlindungan dan pemajuan HAM juga ada pada setiap individu dan
korporasi. Hal ini juga telah dinyatakan dalam “Declaration on the Right and
Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and
Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom”[2]
pada tahun 1998.
Kewajiban dan tanggungjawab tersebut menjadi semakin
penting mengingat masalah utama yang dihadapi umat manusia bukan lagi sekedar
kejahatan kemanusiaan, genosida, ataupun kejahatan perang. Permasalahan yang
dihadapi umat manusia saat ini lebih bersifat mengakar, yaitu kemiskinan dan
keterbelakangan, yang mau tidak mau harus diakui sebagai akibat eksploitasi
atau paling tidak ketidakpedulian sisi dunia lain yang mengenyam kekayaan dan
kemajuan. Kewajiban dan tanggungjawab korporasi dalam bentuk Corporate Social Responsibility terutama
dalam Community Development, tidak
seharusnya sekedar dimaknai sebagai upaya membangun citra. Kewajiban dan
tanggungjawab tersebut lahir karena komitmen kemanusiaan. Kewajiban tersebut
juga lahir karena kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun
tidak, telah ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan.
Tanpa peran serta korporasi, upaya menciptakan dunia yang lebih baik, dunia
yang bebas dari kelaparan dan keterbelakangan akan sulit dilakukan mengingat
kekuasaan korporasi yang sering kali melebihi kemampuan suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie,
Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi.
Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
__________,
Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Ferejohn,
John, Jack N. Rakove, and Jonathan Riley (eds). Constitutional Culture and Democratic Rule. Cambridge: Cambridge
University Press, 2001.
Fukuyama,
Francis. Memperkuat Negara: Tata
Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21. Judul Asli: State Building: Governance and World Order in the 21st
Century. Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2005.
Giddens,
Anthony. The Constitution of Society:
Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Judul Asli: The Constitution of Society: The Outline of the Theory of Structuration.
Penerjemah: Adi Loka Sujono. Pasuruan; Penerbit Pedati, 2003.
Huntington,
Samuel P. The Third Wave: Democratization
in the Late Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma Press, 1991.
Republik
Indonesia, Himpunan Ketetapan MPRS dan
MPR Tahun 1960 s/d 2002, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002.
Sabine,
George H. A History of Political Theory.
Third Edition. New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London: Holt, Rinehart
and Winston, 1961.
Suseno,
Franz Magnis. Etika Politik:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1999.
0 komentar:
Posting Komentar