Minggu, 02 Juni 2013

Konsep Partikular Hak Asasi Manusia

“Menghadapi persoalan universalismepartikularisme ini, banyak negara di kawasan-kawasan regional mencoba mendefinisikan ulang hak-hak asasi manusia dengan mencoba menampung keragaman konsep-konsep lokal itu dalam konteksnya yang lebih umum dan universal. Di kawasan ASEAN, misalnya, pada tahun 1984 pernah dideklarasikan suatu  pernyataan mengenai "Kewajiban- Kewajiban Dasar bagi Masyarakat dan Pemerintah di Negara-Negara ASEAN".
Salah satu pernyataan umum yang dihasilkan oleh pertemuan Kairo  menegaskan konsep hak-hak asasi manusia yang universal menurut versi Islam.  menyebutkan  bahwa negara-negara yang wakil-wakilnya bersidang di Kairo ini bersepakat untuk pada asasnya akan selalu menjunjung tinggi  pelaksanaan penegakan hak-hak asasi manusia, namun dengan catatan sejauh hak-hak manusia yang asasi itu tidak bertentangan dengan syariah Islam.Tentu saja statemen-statemen atau deklarasi-deklarasi yang selalu dinyatakan dalam rumusan-rumusan umum itu dalam praktiknya yang konkrit nantinya masih menuntut penjabaran lebih lanjut. Kesepakatan-kesepakatan, tidak hanya pada forum internasional akan tetapi juga pada forum nasional itu sendiri, masih diperlukan. Banyak wacana masih perlu dikembangkan orang untuk mempertanyakan dan menemukan jawab mengenai luas-sempitnya hak-hak warga negara dalam eksistensinya sebagai mahluk yang berkodrat dan bermartabat sebagai  manusia.
Manakah yang harus didahulukan untuk diikuti sebagai pegangan; konsep humanistik yang universal ataukah konsep lokal-nasional yang partikular? Kongres Dunia tentang hak-hak asasi manusia yang diselenggarakan di Wina pada bulan Juni 1993 mencoba menjawab dengan jelas pertanyaan ini. Dalam Kongres itu dicapai kesepakatan untuk mengatasi persoalan universalisme-partikularisme itu dengan menyatakan bahwa "sekalipun diakui adanya keragaman sosial dan budaya setempat, akan tetapi semua saja harus tetap mengupayakan berlakunya universalitas hak-hak asasi manusia berikut upaya-upaya penegakannya".
Kesepakatan dalam Kongres Wina itu memang boleh dikatakan merupakan refleks mayoritas wakil-wakil Negara peserta untuk bertekad mengakui hak-hak asasi manusia sebagai hak-hak yang kodrati, yang karena itu benar-benar bersifat universal, dan yang karena itu pula bukanlah sekali-kali merupakan hak-hak yang diperoleh karena kebajikan yang  partikular dari para penguasa. Manakala keragaman sosial-budaya setempat toh masih harus diakui keberadaan dan kekuatan berlakunya, maka pengakuan itu hanyalah “demi fakta” saja sifatnya, yang  tidaklah akan mengganggu esensi  normatifnya. Pada prinsipnya, tak ayal lagi hak-hak asasi manusia itu tetap universal jugalah sifatnya, sedangkan keragaman  dalam hal pemahamannya itu -- yang sering terkesan masih sering bertahan pada saat ini -- hanyalah akibat pengalaman cultural berbagai bangsa yang berbeda-beda dari masa lalu. Perbedaan tradisi yang  partikular dari suku ke suku dan dari bangsa ke bangsa tidaklah harus menghalangi pengakuan bahwa pada prinsipnya hak-hak asasi manusia itu bersifat kodrati dan universal.Lebih lanjut, bertolak dari kesepakatan Wina ini, orang dapatlah menyimpulkan bahwa hanya dalam keadaan-keadaan dan kenyataan-kenyataan tertentu sajalah usaha merealisasi prinsip-prinsip yang universal itu boleh ditangguhkan atau direservasi.
Apabila berdasarkan pertimbangan-pertimbangan khusus yang bersifatsementara dan tak terelakkan suatu usaha penegakan hak-hak asasi manusia  atas dasar klaim universalitasnya  itu akan menimbulkan akibat yang lebih berkualifikasi mudarat daripada manfaat,maka tidaklah bijak untuk memaksakan terteruskannya usaha itu. Di negeri-negeri berkembang, misalnya, kalaupun anak-anak berdasarkan prinsip-prinsip universalisme harus diakui juga sebagai pengemban hak-hak (katakan saja untuk memperoleh pendidikan seperti yang dituliskan di Pasal 26 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia), namun dalam praktik dan menuruti moral kultural di negeri-negeri berkembang yang miskin anak-anak itu mestilah berbakti pada orang-tuanya dengan cara ikut membantu orang tua bekerja, yang kalau perlu dengan meninggalkan bangku sekolahnya.”[1]
Sekalipun seringkali dikemukakan dengan penuh semangat bahwa agama-agama besar di dunia ini tak ada satu pun yang  mengingkari hak-hak manusia untuk hidup, bekerja dan menguasai milik demi keselamatannya di dunia dan akhirat,namun toh tak dapat diingkari hal berikut ini. Ialah bahwa banyak tradisi lama – juga yang mengklaim kebenarannya dari ajaran  agama -- yang masih mendakwakan bahwa hak dan kewenangan itu ada di tangan para penguasa, dan tidak di tangan rakyat. Para penguasa -- dan bukan individu-individu yang hidup sebagai bagian dari massa rakyat -- inilah yang eksis dalam statusnya  sebagai representasi kepentingan kolektif suatu kolektiva, entah yang berformat suku entah yang berformat bangsa.
Tradisi lama ini umumnya juga mengenal pembeda-bedaan peran dan hak diantara golongan penduduk, dengan akibat bahwa sesiapapun yang terbilang kaum minoritas akan termarjinalisasi dan terdiskriminasi secara tak sepatutnya. Maka, manakala oleh sesuatu sebab dan berdasarkan suatu argumen orang membenar-benarkan berlakunya prinsip relativisme kultur seperti itu, ini akan berarti bahwa orang yang berargumen seperti itu – sadar atau tidak – sebenarnya akan tidak berkeberatan untuk menangguhkan berlakunya suatu kaidah tertentu dalam suatu deklarasi  internasional tentang universalitas hak-hak asasi manusia. Manakala pendapat seperti  ini memperoleh dukungan yang luas, maka tak ayal lagi, itu akan berarti terjadinya toleransi untuk memperpanjang praktik diskriminasi dan mungkin juga kriminalisasi di berbagai belahan bumi ini. Mengupayakan perubahan dengan langkah-langkah yang bergaya memaksakan, namun demikian, adalah pula bukan langkah yang  bijaksana, dan salah-salah malah dapat diprasangkakan sebagai langkah pelanggaran hak-hak manusia yang asasi untuk hidup dalam suasana kebudayaannya sendiri.
Bukankah Pasal 27 Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia menjamin bahwa “setiap orang berhak untuk secara bebas mengambil bagian dalam kehidupan kultural komunitasnya sendiri”? Bukankah pula sementara itu pasal 15 ayat 1(a) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Kultural juga menjanjikan bahwa “setiap negara peserta Kovenan mengakui hak setiap orang untuk mengambil bagian dalam kehidupan kultural”?
Berkeyakinan akan sifat universalitas hak-hak asasi manusia di satu pihak, akan tetapi di lain pihak juga mengakui realitas betapa masih kuatnya partikularitas dan relativitas kultur yang bertahan di berbagai negeri,kesepakatan yang dicapai dalam Kongres Wina pada tahun 1993 dapatlah dinilai sebagai kompromi yang realistis tanpa meninggalkan prinsip. Universalitas hak-hak asasi manusia adalah sesuatu yang  masih dalam tataran alam ideal, yang realisasinya masih akan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh guna mengefektifkan perubahan tradisi dan keyakinan. Semua usaha ini harus dikerjakan melalui suatu proses berjangka panjang, yang tidak akan lain daripada usaha pendidikan guna “memberantas buta hak di kalangan rakyat”.
Kongres di Wina Perserikatan Bangsa-Bangsa mencanangkan tahun 1995- 2004 sebagai “Dasawarsa untuk Pendidikan Hak-Hak Asasi Manusia”. Pencanangan “Dasawarsa untuk Pendidikan Hak-Hak Asasi Manusia, 1995-2004” ini boleh dikatakan sebagai suatu pernyataan yang tak meragukan lagi akan adanya kesepakatan bulat negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai pentingnya pendidikan untuk memajukan pemahaman khalayak ramai di kalangan bangsa-bangsa dunia mengenai hak-hak asasi. Pendidikan akan berpotensi menyadarkan jutaan manusia di bumi ini akan pentingnya menyamakan visi mengenai masa depan kehidupan manusia di bumi yang kian menyatu ini. Kalaupun orang masih merasa perlu demi kesejahteraannya untuk mengukuhi tradisi lokalnya dan ideologi kebangsaannya, dalam kehidupan masa depan di bumi yang kian menyatu ini orang pun mestilah harus mulai sanggup menerima apa yang disebut the third culture of human kind sebagai idom baru. Inilah prasyarat yang diperlukan demi dimungkinkannya kehidupan bersama yang damai tanpa sekatan-sekatan yang melambangkan adanya diskriminasi di antara sesama manusia di tengah kehidupan yang tidak hanya bersifat multikultural melainkan juga telah kian plural”

0 komentar:

Posting Komentar