Selasa, 11 Juni 2013


Hakikat dan Pengertian Mitos

            Mitos berasal dari bahasa Yunani mythos yang berarti kata yang diucapkan. Pada awalnya, mitos selalu dilawankan dengan kata logos. Mitos adalah cerita seorang penyair sedangkan logos adalah laporan yang dapat dipercaya sesuai dengan kenyataan. Mitos juga diartikan sebagai cerita mengenai dewa-dewa, pahlawan-pahlawan dari zaman lampau. Melalui tradisi lisan yang panjang mitos akhirnya mengendap dalam berbagai macam jenis sastra. Dalam hal ini mitos dibedakan menjadi tiga yaitu (a) mitos simbolis, (b) mitos aetologis, dan (c) diidentikan dengan sage (Hartoko dan Rahmato, 1986:88).
            Pada perkembangan selanjutnya mitos mempunyai makna lebih luas. Mitos tidak selalu berkaitan dengan cerita tentang usul-usul, cerita tentang dewa-dewa atau simbol-simbol masa lalu. Pada kehidupan masyarakat modern pun mitos selalu ada. Barthes (1981:93) menyatakan bahwa  orang modern pun selalu dikerumuni oleh mitos-mitos, orang modern juga produsen sekaligus konsumen mitos.
            Mitos adalah   suatu sistem komunikasi yang memberikan pesan berkenaan dengan aturan masa lalu, ide, ingatan, dan kenangan atau keputusan-keputusan yang diyakini. Dengan demikian mitos bukanlah suatu benda, konsep atau gagasan melainkan sebauh lambang dalam bentuk wacana (discourse) (Barthes, 1981: 93). Lambang mitos tidak selalu tertulis, tetapi dapat berupa film, benda atau peralatan-peralatan tertentu, gambar dan lain sebagainya. Perlu ditegaskan bahwa mitos bukanlah suatu benda tetapi dapat dilambangkan dengan benda (Hasanudin, 1998:2).
             Dalam kehidupan sehari-hari mitos bukanlah perkara benar atau salah. Kebenaran dan ketidakbenaran tersebut berkaitan dengan proses terjadinya suatu mitos. Mitos pada hakikatnya merupakan suatu generalisasi dari suatu peristiwa yang dianggap pernah terjadi dan dianggap selalu terjadi (Yunus, 1981:95).
            Sebagaimana disebutkan di atas bahwa mitos tidak selalu berkaitan dengan salah benar. Demikian juga halnya dalam kegiatan generalisasi. Generalisasi pada prinsipnya tidak dapat dikenakan pada semua orang atau semua masalah. Oleh karena itu, prosedur generalisasi cenderung mengandung unsur kesalahan. Akan tetapi, dalam mitos kesalahan tersebut sering terabaikan. Sebagai contoh dapat dikemukakan mitos tentang ibu tiri. Menurut hukum mitos, ibu tiri identik dengan perilaku jahat. Dalam realitas mungkin saja ditemui seorang ibu tiri yang tidak jahat, bahkan lebih baik daripada ibu kandung.
            Kebenaran dari suatu hasil generalisasi yang diabaikan  menyebabkan mitos selalu berada pada posisi yang berlawanan atau berhadapan dengan realitas. Mitos yang ber­muatan generalisasi akan berhadapan dengan realitas yang berisi fakta konkret. Selan­jutnya mitos yang dihadapkan kepada suatu realitas akan memunculkan dua kemungkinan reaksi. Reaksi yang dimaksud yaitu mitos semakin diperkuat sehingga makin kukuh, dan mitos dinyatakan tidak berlaku.
            Dalam perspektif  Barthesian, manusia selalu dikerumuni oleh mitos. Bahkan, dapat disimpulkan bahwa mitos tidak selalu terkait dengan manusia primitif. Manusia modern juga merupakan produsen sekaligus konsumen mitos. Mitos-mitos yang mengelilingi kehidupan manusia tidak hanya didengar dan dipahami dari  orang-orang tua atau buku-buku tentang cerita lama melainkan ditemukan setiap hari di televisi, radio, pidato, percakapan dan obrolan, dan tingkah laku manusia (Sunardi, 2002:103).
            Di atas dikemukakan bahwa kehidupan manusia dan dengan sendirinya hubungan antarmanusia, dikuasai oleh mitos-mitos. Sikap manusia terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam dirinya. Mitos menyebabkan seseorang menyukai atau tidak menyukai apa yang ada di hadapannya, apa yang sedang dialaminya, dan apa yang ada dalam pikirannya.
            Pemahaman atas mitos akan menyebabkan manusia mempunyai suatu prasangka tertentu terhadap hal yang dinyatakan dalam mitos. Hanya melalui persentuhan dengan hal tertentu tersebut kita selanjutnya dapat mengetahui ketepatan dan kekeliruan pemahaman terhadap mitos tersebut. Persentuhan dengan mitos yang terus menerus itulah yang menjadi penyebab munculnya dua kemungkinan. Kemungkinan yang dimaksud yaitu (a) persentuhan yang memperkuat mitos atau mitos pengukuhan (myth of concern) dan (b) persentuhan yang meniadakan mitos atau mitos pembebasan (myth of freedom). Yang pertama, berusaha mempertahankan apa yang telah terwujud, sedangkan yang kedua menginginkan sesuatu yang baru dengan melepaskan diri dari apa yang telah ada (Junus, 1981:92).

 2.2 Mitos dalam Perspektif  Semiotik
            Pada bagian sebelumnya diuraikan bahwa mitos bukan suatu benda, melainkan dapat dilambangkan dengan benda. Oleh karena mitos selalu muncul dalam bentuk perlam­bangan, oleh Barthes mitos dianggap sebagai bagian dari sistem semiotik. Sebagai sistem semiotik mitos selalu berkenaan  dengan tiga hal yaitu, tanda, penanda, dan yang ditandai.
            Dalam sistem semiotik mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur, yaitu: signifier, signified, dan sign. Untuk membedakan istilah-istilah yang sudah dipakai dalam sistem semiotik tingkat pertama (linguistik) Barthes menggunakan istilah yang berbeda untuk ketiga unsur tersebut yaitu,   form, concepts, dan signification. Signifier sejajar dengan form, signified sejajar dengan concept dan sign sejajar dengan signification. Pembedaan istilah tersebut sebagai salah satu upaya menjelaskan perbedaan proses signification dalam sistem semiotik tingkat pertama dan tingkat kedua. Sistem semiotik tingkat pertama adalah linguistik, sistem semiotik tingkat kedua adalah sistem mitis yang mempunyai keunikan (Sunardi, 2002:104).
            Sebagai sistem semiotik tingkat kedua, mitos mengambil sistem semiotik tingkat pertama sebagai landasannya. Dengan demikian, mitos merupakan sejenis sistem ganda dalam semiotik yang terdiri atas sistem linguistik dan sistem semiotik. Untuk menghasilkan sistem mitis, sistem semiotik tingkat dua mengambil seluruh sistem tanda tingkat pertama dan dijadikan sebagai signifier (form). Sign diambil alih oleh sistem kedua menjadi form. Adapun concept diciptakan oleh pembuat atau pengguna mitos. Sign yang diambil untuk dijadikan form diberi nama lain, yaitu meaning. Meaning memberi penegasan bahwa kita mengetahui tanda hanya dari maknanya. Dalam pemahaman mitos, meaning berdiri di atas dua kaki, yakni di atas tingkat kebahasaan (sebagai sign),  dan di atas tingkat sistem mitis (sebagai form) (Sunardi, 2002: 105).

3.2 Mitos dalam Karya Sastra
            Penggunaan mitos dalam karya sastra bertujuan untuk menanggapi kenyataan saat ini, yaitu anggapan bahwa masyarakat saat ini percaya bahwa apa yang ada dalam mitos dianggap seuatu kebenaran. Padahal dunia mitos pada dasarnya bukan persoalan benar dan tidak benar, terjadi atau tidak terjadi. Dunia mitos sebenarnya merupakan suatu sugesti untuk menjaga keseimbangan sosial (Hasanudin, 1998:4). Oleh karena  kondisi sosial suatu masyarakat terus berubah dan berkembang, mitos sebagai bagian integral dari masyarakat tentu mengalami perubahan dan perkembangan.
            Secara umum pengarang mengganggap bahwa mitos itu penting. Oleh karena itu, ia menuntut adanya proses pembaharuan. Pembaharuan yang dimaksud bisa dilakukan melalui upaya menghadirikan mitos baru. Mitos baru itulah yang pada awalnya dimaknai sebagai kontramitos. Menurut Junus (1982:85), bagaimana­pun dominannya suatu mitos ia akan selalu didampingi oleh mitos lain sebagai kontramitos. Kemutlakan suatu mitos hanya akan ditemui dalam masyarakat yang betul-betul tertutup.
            Pengarang merupakan salah satu elemen msyarakat yang berperan dalam proses dialektika mitos dan kontramitos. Melalui karya-karyanya,  pengarang memberi interpretasi dan pemahaman baru terhadap suatu “kebenaran” yang terkandung dalam mitos. Dengan demikian, akan lahir alternatif baru yang berkenaan dengan mitos yang diarahkan untuk menjalankan fungsi kontrol sosial.
            Terdapat sejumlah cara yang berbeda-beda yang digunakan pengarang untuk mengungkapkan interpretasi baru terhadap mitos lama. Dari segi genre, pengarang dapat memilih bentuk naratif seperti novel, cerpen, dan teks drama. Sementara itu, gaya yang dipilih dalam pengung­kapan ekspresinya dapat dilakukan secara parodis, satiris, dan dialektis (Hasa­nudin, 1998:5).
            Parodi adalah cara yang digunakan oleh pengarang untuk memberikan interpretasi baru dengan menampilkan aspek-aspek kejenakaan dalam karyanya. Aspek kejenakaan dapat dilakukan melalui pembalikan karakter secara ironis. Suatu karakter yang telah dikenal dan dipahami masyarakat ditampilkan dalam bentuk yang berbeda secara kontras. Parodi, intinya mengajak masyarakat menertawakan diri sendiri. Dengan demikian masyarakat tidak akan merasa  diejek, digurui, atau dilecehkan berkaitan dengan hal-hal yang diyakini selama ini. 
Untuk mengingkari mitos lama, pengarang dapat pula menggunakan cara mengejek melalui sindiran. Ejekan melalui sindiran tersebut biasanya tertuju pada cara, sikap, dan perilaku masyarakat dalam menyikapi suatu kebiasaan. Hal itulah yang disebut cara satir. Melalui cara ini pengarang ingin mengajak pembaca untuk mempertanyakan kembali sikap yang selama ini diyakini.
            Sementara itu, pengingkaran mitos secara dialektis dilakukan dengan menam­pilkan pertentangan tajam antara dua konsep yang bertolak dari ide yang berlawanan. Pertentangan yang tajam itu sengaja dilakukan unuk menghasilkan suatu pemikiran atau konsep baru yang dapat mewadahi dan menampung hal-hal yang konstruktif dari masing-masing konsep atau ide yang dipertentangkan (Hasanudin, 1998:8).

3.4 Karya Sastra sebagai Dokumen Sosial
            Sebagai hasil kreativitas pengarang, karya sastra tidak akan terlepas dari masya­rakat. Dalam kegiatan penelaahan sastra dan masyarakat, pendekatan yang umum digunakan adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial atau sebagai potret kenyataan. Sebagai dokumen sosial, sastra digunakan untuk menguraikan ikhtisar sejarah sosial (Wellek dan Warren, 1989:112).
Karya sastra bukan hanya sekedar permainan imajinasi, melainkan sebagai rekaman tata cara masyarakat sezamannya sebagai perwujudan dari niat tertentu. Novel adalah cermin yang bisa dibawa ke manapun, dan paling cocok untuk memantulkan segala aspek kehidupan dan alam. Sebagai gambaran struktur sosial, yang terdapat dalam novel adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditilik dari sudut lingkungan tertentu, yang akhirnya mengarah pada sifat yang universal (Damono, 1984:19).
Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mampu menciptakan kembali rasa kehidupan. Bobot dan suasananya mampu menciptakan kembali keseluruhan kehidupan yang dihayati  sendiri, di samping mampu menciptakan kemendasaran makna kehidupan manusia.
Kedudukan karya sastra sebagai dokumen sosial dikaitkan dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada saat karya sastra tersebut diciptakan. Situasi dan kondisi masyarakat akan ikut mempengaruhi konsep pemikiran pengarang. Agar karya sastra tidak terjebak pada kondisi sebagai catatan sejarah semata-mata, pada saat penciptaanya pengarang tidak begitu saja menjiplak realitas kehidupan.
Latar belakang sejarah dan zaman serta latar belakang kemasyarakatan punya pengaruh yang besar dalam proses penciptaan dan penulisan novel. Pengaruh tersebut tidak hanya terbatas pada tema-tema yang diungkapkan, tetapi juga terhadap struktur karya sastra (Esten, 1982:40). Persoalan-persoalan zaman dan kemasyarakatan dari suatu kurun waktu tertentu berpengaruh, dan menentukan pemilihan tema-tema yang diungkapkan para sastrawan dalam karya sastra yang dihasilkannya. Pergeseran dan perubahan persoalan kema­sya­ra­katan akan menyebabkan pula pergeseran-pergeseran pemilihian tema.
 Awal abad ke dua puluh adalah masa di mana bangsa Indonesia mulai mengenal kebudayaan Barat, suatu bentuk kebudayaan baru. Pengenalan ini menyebabkan tumbuhnya kesadaran akan diri sendiri, kesadaran akan keterbelakangan sebagai bangsa. Hal itulah yang melatarbelakangi lahirnya pergerakan-pergerakan kebangsaan yang bertujuan untuk mencerdaskan kehi­dupan bangsa. Persoalan-persoalan tersebut tidak luput pula menjadi tema-tema utama novel yang dihasilkan pada masa itu.
Apabila perkembangan hasil karya sastra Indonesia dirunut kembali, dapat dikemu­kakan bahwa pada awal-awal perkembangan novel-novel Indonesia banyak menampilkan tema kemasyarakatan yang lebih bersifat kolektif. Hal itu tampak pada karya-karya masa Balai Pustaka. Selanjutnya pada masa Pujangga Baru tema berkembang ke arah yang lebih luas dan sifat kolektif semakin renggang. Ringkasnya,  perkembangan tema dalam novel Indonesia  bergerak dari tema-tema yang bersifat kolektif dengan ikatan sosial yang kuat menuju kepada persoalan-persoalan yang lebih bersifat individual dengan ikatan sosial yang longgar dan bahkan tanpa adanya ikatan sosial (Esten, 1982:43).

Daftar Pustaka

Barthes, Roland. 1981. Mithologies. Ney York: Granada Publising

Culler, Jonathan. 1975. Structuralisme Poetics: Sructuralism, Lingusitics, and The Study of Literature. London: Routledge and Kegan Paul

Chanras, Amril.  2002. “Tuhan dan Ilusi, Kajian Atas Novel Larung”: Repubilka, Agustus 2002.

Esten, Mursal. 1990 Tradisi dan Modernisasi dalam Sandiwara. Jakarta: Ildep-Intermasa

Hasanuddin. 1998. Pengaruh Mitos dalam Karya Sastra Indonesia Warna Lokal Minagkabau. Dalam Majalah Humanus. Lemlit IKIP Padang.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyaarta: Penrbit Kanisius

Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia

----------------.1986. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Gramedia

Sunardi. 2002. Semiotika Negativa. Yoyakarta: Penerbit Kanal

Suyitno. 1986. Sastra Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Penerbit Hanindita

Utami, Ayu. 2002. Larung. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Zucdhi, Darmiyati. 1993. Panduan Penelitian Analisis Konten. Yogyakarta. Lemlit IKIP YOGYAKARTA.

0 komentar:

Posting Komentar