Hakikat dan Pengertian Mitos
Mitos
berasal dari bahasa Yunani mythos yang berarti kata yang diucapkan. Pada
awalnya, mitos selalu dilawankan dengan kata logos. Mitos adalah
cerita seorang penyair sedangkan logos adalah laporan yang dapat dipercaya
sesuai dengan kenyataan. Mitos juga diartikan sebagai cerita mengenai
dewa-dewa, pahlawan-pahlawan dari zaman lampau. Melalui tradisi lisan yang
panjang mitos akhirnya mengendap dalam berbagai macam jenis sastra. Dalam hal
ini mitos dibedakan menjadi tiga yaitu (a) mitos simbolis, (b) mitos aetologis,
dan (c) diidentikan dengan sage (Hartoko dan Rahmato, 1986:88).
Pada
perkembangan selanjutnya mitos mempunyai makna lebih luas. Mitos tidak selalu
berkaitan dengan cerita tentang usul-usul, cerita tentang dewa-dewa atau
simbol-simbol masa lalu. Pada kehidupan masyarakat modern pun mitos selalu ada.
Barthes (1981:93) menyatakan bahwa orang
modern pun selalu dikerumuni oleh mitos-mitos, orang modern juga produsen
sekaligus konsumen mitos.
Mitos
adalah suatu sistem komunikasi yang
memberikan pesan berkenaan dengan aturan masa lalu, ide, ingatan, dan kenangan
atau keputusan-keputusan yang diyakini. Dengan demikian mitos bukanlah suatu
benda, konsep atau gagasan melainkan sebauh lambang dalam bentuk wacana (discourse)
(Barthes, 1981: 93). Lambang mitos tidak selalu tertulis, tetapi dapat berupa
film, benda atau peralatan-peralatan tertentu, gambar dan lain sebagainya.
Perlu ditegaskan bahwa mitos bukanlah suatu benda tetapi dapat dilambangkan
dengan benda (Hasanudin, 1998:2).
Dalam kehidupan sehari-hari mitos bukanlah
perkara benar atau salah. Kebenaran dan ketidakbenaran tersebut berkaitan
dengan proses terjadinya suatu mitos. Mitos pada hakikatnya merupakan suatu generalisasi
dari suatu peristiwa yang dianggap pernah terjadi dan dianggap selalu terjadi
(Yunus, 1981:95).
Sebagaimana
disebutkan di atas bahwa mitos tidak selalu berkaitan dengan salah benar.
Demikian juga halnya dalam kegiatan generalisasi. Generalisasi pada prinsipnya
tidak dapat dikenakan pada semua orang atau semua masalah. Oleh karena itu,
prosedur generalisasi cenderung mengandung unsur kesalahan. Akan tetapi, dalam
mitos kesalahan tersebut sering terabaikan. Sebagai contoh dapat dikemukakan
mitos tentang ibu tiri. Menurut hukum mitos, ibu tiri identik dengan perilaku
jahat. Dalam realitas mungkin saja ditemui seorang ibu tiri yang tidak jahat,
bahkan lebih baik daripada ibu kandung.
Kebenaran
dari suatu hasil generalisasi yang diabaikan
menyebabkan mitos selalu berada pada posisi yang berlawanan atau
berhadapan dengan realitas. Mitos yang bermuatan generalisasi akan berhadapan
dengan realitas yang berisi fakta konkret. Selanjutnya mitos yang dihadapkan
kepada suatu realitas akan memunculkan dua kemungkinan reaksi. Reaksi yang
dimaksud yaitu mitos semakin diperkuat sehingga makin kukuh, dan mitos
dinyatakan tidak berlaku.
Dalam
perspektif Barthesian, manusia selalu
dikerumuni oleh mitos. Bahkan, dapat disimpulkan bahwa mitos tidak selalu
terkait dengan manusia primitif. Manusia modern juga merupakan produsen
sekaligus konsumen mitos. Mitos-mitos yang mengelilingi kehidupan manusia tidak
hanya didengar dan dipahami dari
orang-orang tua atau buku-buku tentang cerita lama melainkan ditemukan
setiap hari di televisi, radio, pidato, percakapan dan obrolan, dan tingkah
laku manusia (Sunardi, 2002:103).
Di atas
dikemukakan bahwa kehidupan manusia dan dengan sendirinya hubungan
antarmanusia, dikuasai oleh mitos-mitos. Sikap manusia terhadap sesuatu
ditentukan oleh mitos yang ada dalam dirinya. Mitos menyebabkan seseorang
menyukai atau tidak menyukai apa yang ada di hadapannya, apa yang sedang
dialaminya, dan apa yang ada dalam pikirannya.
Pemahaman
atas mitos akan menyebabkan manusia mempunyai suatu prasangka tertentu terhadap
hal yang dinyatakan dalam mitos. Hanya melalui persentuhan dengan hal tertentu
tersebut kita selanjutnya dapat mengetahui ketepatan dan kekeliruan pemahaman
terhadap mitos tersebut. Persentuhan dengan mitos yang terus menerus itulah
yang menjadi penyebab munculnya dua kemungkinan. Kemungkinan yang dimaksud
yaitu (a) persentuhan yang memperkuat mitos atau mitos pengukuhan (myth of
concern) dan (b) persentuhan yang meniadakan mitos atau mitos pembebasan (myth
of freedom). Yang pertama, berusaha mempertahankan apa yang telah terwujud,
sedangkan yang kedua menginginkan sesuatu yang baru dengan melepaskan diri dari
apa yang telah ada (Junus, 1981:92).
2.2 Mitos
dalam Perspektif Semiotik
Pada
bagian sebelumnya diuraikan bahwa mitos bukan suatu benda, melainkan dapat dilambangkan
dengan benda. Oleh karena mitos selalu muncul dalam bentuk perlambangan, oleh
Barthes mitos dianggap sebagai bagian dari sistem semiotik. Sebagai sistem
semiotik mitos selalu berkenaan dengan
tiga hal yaitu, tanda, penanda, dan yang ditandai.
Dalam
sistem semiotik mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur, yaitu: signifier,
signified, dan sign. Untuk membedakan istilah-istilah yang sudah
dipakai dalam sistem semiotik tingkat pertama (linguistik) Barthes menggunakan
istilah yang berbeda untuk ketiga unsur tersebut yaitu, form, concepts, dan signification.
Signifier sejajar dengan form, signified sejajar dengan concept
dan sign sejajar dengan signification. Pembedaan istilah tersebut
sebagai salah satu upaya menjelaskan perbedaan proses signification
dalam sistem semiotik tingkat pertama dan tingkat kedua. Sistem semiotik
tingkat pertama adalah linguistik, sistem semiotik tingkat kedua adalah sistem
mitis yang mempunyai keunikan (Sunardi, 2002:104).
Sebagai
sistem semiotik tingkat kedua, mitos mengambil sistem semiotik tingkat pertama
sebagai landasannya. Dengan demikian, mitos merupakan sejenis sistem ganda
dalam semiotik yang terdiri atas sistem linguistik dan sistem semiotik. Untuk
menghasilkan sistem mitis, sistem semiotik tingkat dua mengambil seluruh sistem
tanda tingkat pertama dan dijadikan sebagai signifier (form). Sign
diambil alih oleh sistem kedua menjadi form. Adapun concept
diciptakan oleh pembuat atau pengguna mitos. Sign yang diambil untuk
dijadikan form diberi nama lain, yaitu meaning. Meaning
memberi penegasan bahwa kita mengetahui tanda hanya dari maknanya. Dalam
pemahaman mitos, meaning berdiri di atas dua kaki, yakni di atas tingkat
kebahasaan (sebagai sign), dan di
atas tingkat sistem mitis (sebagai form) (Sunardi, 2002: 105).
3.2 Mitos dalam Karya Sastra
Penggunaan
mitos dalam karya sastra bertujuan untuk menanggapi kenyataan saat ini, yaitu
anggapan bahwa masyarakat saat ini percaya bahwa apa yang ada dalam mitos
dianggap seuatu kebenaran. Padahal dunia mitos pada dasarnya bukan persoalan
benar dan tidak benar, terjadi atau tidak terjadi. Dunia mitos sebenarnya
merupakan suatu sugesti untuk menjaga keseimbangan sosial (Hasanudin, 1998:4).
Oleh karena kondisi sosial suatu
masyarakat terus berubah dan berkembang, mitos sebagai bagian integral dari
masyarakat tentu mengalami perubahan dan perkembangan.
Secara
umum pengarang mengganggap bahwa mitos itu penting. Oleh karena itu, ia
menuntut adanya proses pembaharuan. Pembaharuan yang dimaksud bisa dilakukan
melalui upaya menghadirikan mitos baru. Mitos baru itulah yang pada awalnya
dimaknai sebagai kontramitos. Menurut Junus (1982:85), bagaimanapun dominannya
suatu mitos ia akan selalu didampingi oleh mitos lain sebagai kontramitos.
Kemutlakan suatu mitos hanya akan ditemui dalam masyarakat yang betul-betul
tertutup.
Pengarang
merupakan salah satu elemen msyarakat yang berperan dalam proses dialektika
mitos dan kontramitos. Melalui karya-karyanya,
pengarang memberi interpretasi dan pemahaman baru terhadap suatu
“kebenaran” yang terkandung dalam mitos. Dengan demikian, akan lahir alternatif
baru yang berkenaan dengan mitos yang diarahkan untuk menjalankan fungsi
kontrol sosial.
Terdapat
sejumlah cara yang berbeda-beda yang digunakan pengarang untuk mengungkapkan
interpretasi baru terhadap mitos lama. Dari segi genre, pengarang dapat memilih
bentuk naratif seperti novel, cerpen, dan teks drama. Sementara itu, gaya yang
dipilih dalam pengungkapan ekspresinya dapat dilakukan secara parodis,
satiris, dan dialektis (Hasanudin, 1998:5).
Parodi
adalah cara yang digunakan oleh pengarang untuk memberikan interpretasi baru
dengan menampilkan aspek-aspek kejenakaan dalam karyanya. Aspek kejenakaan
dapat dilakukan melalui pembalikan karakter secara ironis. Suatu karakter yang
telah dikenal dan dipahami masyarakat ditampilkan dalam bentuk yang berbeda
secara kontras. Parodi, intinya mengajak masyarakat menertawakan diri sendiri.
Dengan demikian masyarakat tidak akan merasa
diejek, digurui, atau dilecehkan berkaitan dengan hal-hal yang diyakini
selama ini.
Untuk mengingkari mitos lama,
pengarang dapat pula menggunakan cara mengejek melalui sindiran. Ejekan melalui
sindiran tersebut biasanya tertuju pada cara, sikap, dan perilaku masyarakat
dalam menyikapi suatu kebiasaan. Hal itulah yang disebut cara satir. Melalui
cara ini pengarang ingin mengajak pembaca untuk mempertanyakan kembali sikap
yang selama ini diyakini.
Sementara
itu, pengingkaran mitos secara dialektis dilakukan dengan menampilkan
pertentangan tajam antara dua konsep yang bertolak dari ide yang berlawanan.
Pertentangan yang tajam itu sengaja dilakukan unuk menghasilkan suatu pemikiran
atau konsep baru yang dapat mewadahi dan menampung hal-hal yang konstruktif
dari masing-masing konsep atau ide yang dipertentangkan (Hasanudin, 1998:8).
3.4 Karya Sastra sebagai Dokumen Sosial
Sebagai
hasil kreativitas pengarang, karya sastra tidak akan terlepas dari masyarakat.
Dalam kegiatan penelaahan sastra dan masyarakat, pendekatan yang umum digunakan
adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial atau sebagai potret kenyataan.
Sebagai dokumen sosial, sastra digunakan untuk menguraikan ikhtisar sejarah
sosial (Wellek dan Warren, 1989:112).
Karya sastra bukan hanya sekedar permainan
imajinasi, melainkan sebagai rekaman tata cara masyarakat sezamannya sebagai
perwujudan dari niat tertentu. Novel adalah cermin yang bisa dibawa ke manapun,
dan paling cocok untuk memantulkan segala aspek kehidupan dan alam. Sebagai
gambaran struktur sosial, yang terdapat dalam novel adalah gambaran masalah masyarakat
secara umum ditilik dari sudut lingkungan tertentu, yang akhirnya mengarah pada
sifat yang universal (Damono, 1984:19).
Karya sastra yang baik adalah karya sastra
yang mampu menciptakan kembali rasa kehidupan. Bobot dan suasananya mampu
menciptakan kembali keseluruhan kehidupan yang dihayati sendiri, di samping mampu menciptakan kemendasaran
makna kehidupan manusia.
Kedudukan karya sastra sebagai dokumen
sosial dikaitkan dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada saat karya sastra
tersebut diciptakan. Situasi dan kondisi masyarakat akan ikut mempengaruhi
konsep pemikiran pengarang. Agar karya sastra tidak terjebak pada kondisi
sebagai catatan sejarah semata-mata, pada saat penciptaanya pengarang tidak
begitu saja menjiplak realitas kehidupan.
Latar belakang sejarah dan zaman serta
latar belakang kemasyarakatan punya pengaruh yang besar dalam proses penciptaan
dan penulisan novel. Pengaruh tersebut tidak hanya terbatas pada tema-tema yang
diungkapkan, tetapi juga terhadap struktur karya sastra (Esten, 1982:40).
Persoalan-persoalan zaman dan kemasyarakatan dari suatu kurun waktu tertentu
berpengaruh, dan menentukan pemilihan tema-tema yang diungkapkan para sastrawan
dalam karya sastra yang dihasilkannya. Pergeseran dan perubahan persoalan kemasyarakatan
akan menyebabkan pula pergeseran-pergeseran pemilihian tema.
Awal abad ke dua puluh adalah masa di mana
bangsa Indonesia
mulai mengenal kebudayaan Barat, suatu bentuk kebudayaan baru. Pengenalan ini
menyebabkan tumbuhnya kesadaran akan diri sendiri, kesadaran akan
keterbelakangan sebagai bangsa. Hal itulah yang melatarbelakangi lahirnya
pergerakan-pergerakan kebangsaan yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Persoalan-persoalan tersebut tidak luput pula menjadi tema-tema utama
novel yang dihasilkan pada masa itu.
Apabila perkembangan hasil karya sastra Indonesia dirunut kembali, dapat dikemukakan
bahwa pada awal-awal perkembangan novel-novel Indonesia banyak menampilkan tema
kemasyarakatan yang lebih bersifat kolektif. Hal itu tampak pada karya-karya
masa Balai Pustaka. Selanjutnya pada masa Pujangga Baru tema berkembang ke arah
yang lebih luas dan sifat kolektif semakin renggang. Ringkasnya, perkembangan tema dalam novel Indonesia bergerak dari tema-tema yang bersifat
kolektif dengan ikatan sosial yang kuat menuju kepada
persoalan-persoalan yang lebih bersifat individual dengan ikatan sosial yang
longgar dan bahkan tanpa adanya ikatan sosial (Esten, 1982:43).
Daftar Pustaka
Barthes, Roland. 1981. Mithologies. Ney York: Granada
Publising
Culler, Jonathan. 1975. Structuralisme
Poetics: Sructuralism, Lingusitics, and The Study of Literature.
London: Routledge and Kegan Paul
Chanras, Amril. 2002. “Tuhan dan Ilusi, Kajian Atas Novel Larung”:
Repubilka, Agustus 2002.
Esten, Mursal. 1990 Tradisi
dan Modernisasi dalam Sandiwara. Jakarta: Ildep-Intermasa
Hasanuddin. 1998. Pengaruh
Mitos dalam Karya Sastra Indonesia Warna Lokal Minagkabau. Dalam Majalah
Humanus. Lemlit IKIP Padang.
Hartoko, Dick dan B.
Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyaarta: Penrbit
Kanisius
Junus, Umar. 1985. Resepsi
Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia
----------------.1986. Mitos
dan Komunikasi. Jakarta: Gramedia
Sunardi. 2002. Semiotika
Negativa. Yoyakarta: Penerbit Kanal
Suyitno. 1986. Sastra
Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Penerbit Hanindita
Utami, Ayu. 2002. Larung.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Zucdhi, Darmiyati. 1993. Panduan
Penelitian Analisis Konten. Yogyakarta. Lemlit IKIP YOGYAKARTA.
0 komentar:
Posting Komentar