ARTIKULASI KONSEP IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN:
Perspektif, Model dan Kriteria
Pengukurannya
Abstract
Articulation of the policy implementation has gained substantial currency
and popularity among teoriticians and pratitioners. Many now indicate an
interest or involvement in discussion about such topic as policy implementation
perspectives, comparative models of policy implementation, and measurement of
policy implementation. At the same time, perspectives, schools and program have
been introduced and established. In spite of all this interest in policy
implementation concepts and dimensions, there is still no aggreement on what
policy implementation model applicable to all kinds of development programs or
project. This article will explain more detail about policy implementation
concepts, and their perspectives, models and measurement criteria.
Pendahuluan
Eugene Bardach dalam
tulisannya mengatakan bahwa penulis yang lebih awal memberikan perhatian terhadap
masalah implementasi ialah Douglas R. Bunker dalam penyajiannya di depan the
American Association for the Advancement of Science pada tahun 1970. Pada
saat itu disajikan untuk pertama kali secara konseptual tentang proses
implementasi kebijakan sebagai suatu fenomena sosial politik (Edward III, 1984:
1). Konsep tersebut kemudian semakin marak dibicarakan seiring dengan banyaknya
pakar yang memberikan kontribusi pemikiran mengenai implementasi kebijakan
sebagai salah satu tahap dari proses kebijakan. Wahab dan beberapa penulis
menempatkan tahap implementasi kebijakan pada posisi yang berbeda, namun pada
prinsipnya setiap kebijakan publik selalu ditindaklanjuti dengan implementasi
kebijakan (Wahab, 1991: 117). Oleh karena itu, implementasi merupakan tahap yang
sangat menentukan dalam proses kebijakan (Ripley dan Franklin, 1982, dalam
Tarigan, 2000: 14; Wibawa dkk., 1994: 15). Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Edwards III (1984: 1) bahwa tanpa implementasi yang efektif maka keputusan
pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Implementasi kebijakan
adalah aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari
suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output
atau outcomes bagi masyarakat.
Tahap implementasi kebijakan
dapat dicirikan dan dibedakan dengan tahap pembuatan kebijakan. Pembuatan
kebijakan di satu sisi merupakan proses yang memiliki logika bottom-up,
dalam arti proses kebijakan diawali dengan penyampaian aspirasi, permintaan
atau dukungan dari masyarakat. Sedangkan implementasi kebijakan di sisi lain di
dalamnya memiliki logika top-down, dalam arti penurunan alternatif
kebijakan yang abstrak atau makro menjadi tindakan konkrit atau mikro (Wibawa,
1994: 2).
Pengertian
Grindle (1980: 7) menyatakan,
implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti
pada tingkat program tertentu. Sedangkan Van Meter dan Horn (Wibawa, dkk., 1994:
15) menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan. Grindle (1980: 7) menambahkan bahwa proses
implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan,
program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk
mencapai sasaran.
Menurut Lane, implementasi
sebagai konsep dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, implementation = F
(Intention, Output, Outcome). Sesuai definisi tersebut, implementasi
merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk dan
hasil dari akibat. Kedua, implementasi merupakan persamaan fungsi dari implementation
= F (Policy, Formator, Implementor, Initiator, Time). Penekanan utama kedua
fungsi ini adalah kepada kebijakan itu sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan
dilaksanakan oleh implementor dalam kurun waktu tertentu (Sabatier, 1986:
21-48).
Implementasi kebijakan
menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan
pemerintah. Hal ini sesuai dengan pandangan Van Meter dan Horn (Grindle, 1980: 6)
bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan
kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang
melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (policy stakeholders).
Perspektif Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif
atau pendekatan. Salah satunya ialah implementation problems approach yang
diperkenalkan oleh Edwards III (1984: 9-10). Edwards III mengajukan pendekatan
masalah implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok,
yakni: (i) faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan? dan
(ii) faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan? Berdasarkan
kedua pertanyaan tersebut dirumuskan empat faktor yang merupakan syarat utama
keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap
birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja
birokrasi. Empat faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam
implementasi suatu kebijakan.
Komunikasi suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila
jelas bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi,
kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang disampaikan. Sumber daya,
meliputi empat komponen yaitu staf yang cukup (jumlah dan mutu), informasi yang
dibutuhkan guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna melaksanakan
tugas atau tanggung jawab dan fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan. Disposisi
atau sikap pelaksana merupakan komitmen pelaksana terhadap program. Struktur
birokrasi didasarkan pada standard operating prosedure yang mengatur
tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan kebijakan.
Untuk memperlancar implementasi kebijakan, perlu dilakukan diseminasi
dengan baik. Syarat pengelolaan diseminasi kebijakan ada empat, yakni: (1)
adanya respek anggota masyarakat terhadap otoritas pemerintah untuk menjelaskan
perlunya secara moral mematuhi undang-undang yang dibuat oleh pihak berwenang;
(2) adanya kesadaran untuk menerima kebijakan. Kesadaran dan kemauan menerima
dan melaksanakan kebijakan terwujud manakala kebijakan dianggap logis; (3)
keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara sah; (4) awalnya suatu kebijakan
dianggap kontroversial, namun dengan berjalannya waktu maka kebijakan tersebut
dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983: 5), terdapat dua perspektif dalam
analisis implementasi, yaitu perspektif administrasi publik dan perspektif ilmu
politik. Menurut perspektif administrasi publik, implementasi pada awalnya
dilihat sebagai pelaksanaan kebijakan secara tepat dan efisien. Namun, pada
akhir Perang Dunia II berbagai penelitian administrasi negara menunjukkan bahwa
ternyata agen administrasi publik tidak hanya dipengaruhi oleh mandat resmi,
tetapi juga oleh tekanan dari kelompok kepentingan, anggota lembaga legislatif
dan berbagai faktor dalam lingkungan politis.
Perspektif ilmu politik mendapat dukungan dari pendekatan sistem
terhadap kehidupan politik. Pendekatan ini seolah-olah mematahkan perspektif
organisasi dalam administrasi publik dan mulai memberikan perhatian terhadap
pentingnya input dari luar arena administrasi, seperti ketentuan administratif,
perubahan preferensi publik, teknologi baru dan preferensi masyarakat.
Perspektif ini terfokus pada pertanyaan dalam analisis implementasi, yaitu
seberapa jauh konsistensi antara output kebijakan dengan tujuannya.
Ripley memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan “faktual”
dalam implementasi kabijakan (Ripley & Franklin, 1986: 11). Pendekatan
kepatuhan muncul dalam literatur administrasi publik. Pendekatan ini memusatkan
perhatian pada tingkat kepatuhan agen atau individu bawahan terhadap agen atau
individu atasan. Perspektif kepatuhan merupakan analisis karakter dan kualitas
perilaku organisasi. Menurut Ripley, paling tidak terdapat dua kekurangan
perspektif kepatuhan, yakni: (1) banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh
tetapi justru kurang diperhatikan, dan (2) adanya program yang tidak didesain dengan
baik. Perspektif kedua adalah perspektif faktual yang berasumsi bahwa terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang mengharuskan
implementor agar lebih leluasa mengadakan penyesuaian.
Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi
satu sama lain. Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya
faktor eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja agen administratif.
Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan perspektif faktual yang
juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor non-organisasional yang
mempengaruhi implementasi kebijakan (Grindle, 1980: 7).
Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat
dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap
implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan
implementor, yaitu: (1) kepatuhan implementor mengikuti apa yang diperintahkan
oleh atasan, dan (2) kemampuan implementor melakukan apa yang dianggap tepat
sebagai keputusan pribadi dalam menghadapi pengaruh eksternal dan faktor
non-organisasional, atau pendekatan faktual.
Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan perspektif
proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, program pemerintah
dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan
pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara lain cara
pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Sedangkan
pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil manakala program membawa
dampak seperti yang diinginkan. Suatu program mungkin saja berhasil dilihat
dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang
dihasilkan, atau sebaliknya.
Model Implementasi Kebijakan
Menurut Sabatier (1986: 21-48), terdapat dua model yang berpacu dalam
tahap implementasi kebijakan, yakni model top down dan model bottom
up. Kedua model ini terdapat pada setiap proses pembuatan kebijakan. Model
elit, model proses dan model inkremental dianggap sebagai gambaran pembuatan
kebijakan berdasarkan model top down. Sedangkan gambaran model bottom
up dapat dilihat pada model kelompok dan model kelembagaan.
Grindle (1980: 6-10) memperkenalkan model implementasi sebagai proses
politik dan administrasi. Model tersebut menggambarkan proses pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran akhirnya
ditentukan oleh baik materi program yang telah dicapai maupun melalui interaksi
para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif. Proses politik
dapat terlihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai
aktor kebijakan, sedangkan proses administrasi terlihat melalui proses umum
mengenai aksi administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.
T.B. Smith mengakui, ketika
kebijakan telah dibuat, kebijakan tersebut harus diimplementasikan dan hasilnya
sedapat mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan
(Nakamura dan Smallwood, 1980: 2). Pada gambar 01 terlihat bahwa suatu
kebijakan memiliki tujuan yang jelas sebagai wujud orientasi nilai kebijakan.
Tujuan implementasi kebijakan diformulasi ke dalam program aksi dan proyek
tertentu yang dirancang dan dibiayai. Program dilaksanakan sesuai dengan
rencana. Implementasi kebijakan atau program – secara garis besar – dipengaruhi
oleh isi kebijakan dan konteks implementasi. Keseluruhan implementasi kebijakan
dievaluasi dengan cara mengukur luaran program berdasarkan tujuan kebijakan.
Luaran program dilihat melalui dampaknya terhadap sasaran yang dituju baik
individu dan kelompok maupun masyarakat. Luaran implementasi kebijakan adalah
perubahan dan diterimanya perubahan oleh kelompok sasaran.
Pada aspek pelaksanaan,
terdapat dua model implementasi kebijakan publik yang efektif, yaitu model
linier dan model interaktif (lihat Baedhowi, 2004: 47). Pada model linier, fase
pengambilan keputusan merupakan aspek yang terpenting, sedangkan fase pelaksanaan
kebijakan kurang mendapat perhatian atau dianggap sebagai tanggung jawab
kelompok lain. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan tergantung pada kemampuan
instansi pelaksana. Jika implementasi kebijakan gagal maka yang disalahkan
biasanya adalah pihak manajemen yang dianggap kurang memiliki komitmen sehingga
perlu dilakukan upaya yang lebih baik untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan
pelaksana.
Berbeda dengan model linier,
model interaktif menganggap pelaksanaan kebijakan sebagai proses yang dinamis,
karena setiap pihak yang terlibat dapat mengusulkan perubahan dalam berbagai
tahap pelaksanaan. Hal itu dilakukan ketika kebijakan publik dianggap kurang
memenuhi harapan stakeholders. Ini berarti bahwa berbagai tahap
implementasi kebijakan publik akan dianalisis dan dievaluasi oleh setiap pihak
sehingga potensi, kekuatan dan kelemahan setiap fase pelaksanaannya diketahui
dan segera diperbaiki untuk mencapai tujuan.
Pada gambar 03 terlihat bahwa
meskipun persyaratan input sumberdaya merupakan keharusan dalam proses
implementasi kebijakan, tetapi hal itu tidak menjamin suatu kebijakan akan
dilaksanakan dengan baik. Input sumberdaya dapat digunakan secara optimum jika
dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan terjadi interaksi
positif dan dinamis antara pengambil kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan
pengguna kebijakan (masyarakat) dalam suasana dan lingkungan yang kondusif.
Jika model interaktif
implementasi kebijakan di atas disandingkan dengan model implementasi kebijakan
yang lain, khususnya model proses politik dan administrasi dari Grindle,
terlihat adanya kesamaan dan representasi elemen yang mencirikannya. Tujuan
kebijakan, program aksi dan proyek tertentu yang dirancang dan dibiayai menurut
Grindle menunjukkan urgensi fase pengambilan keputusan sebagai fase terpenting
dalam model linier implementasi kebijakan. Sementara itu, enam elemen isi
kebijakan ditambah dengan tiga elemen konteks implementasi sebagai faktor yang
mempengaruhi aktivitas implementasi menurut Grindle mencirikan adanya interaksi
antara pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan dan pengguna kebijakan dalam
model interaktif. Begitu pula istilah model proses politik dan proses
administrasi menurut Grindle, selain menunjukkan dominasi cirinya yang
cenderung lebih dekat kepada ciri model interaktif implementasi kebijakan, juga
menunjukkan kelebihan model tersebut dalam cara yang digunakan untuk mengukur
keberhasilan implementasi kebijakan, beserta output dan outcomesnya.
Selain model implementasi
kebijakan di atas Van Meter dan Van Horn mengembangkan Model Proses
Implementasi Kebijakan. (Tarigan, 2000: 20). Keduanya meneguhkan pendirian
bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan dalam bertindak merupakan konsep penting
dalam prosedur implementasi. Keduanya mengembangkan tipologi kebijakan menurut:
(i) jumlah perubahan yang akan dihasilkan, dan (ii) jangkauan atau ruang
lingkup kesepakatan mengenai tujuan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam
proses implementasi.
Tanpa mengurangi kredibilitas
model proses implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn terlihat bahwa
elemen yang menentukan keberhasilan penerapannya termasuk ke dalam elemen model
proses politik dan administrasi menurut Grindle. Kata kunci yakni perubahan,
kontrol dan kepatuhan termasuk dalam dimensi isi kebijakan dan konteks implementasi
kebijakan. Demikian pula dengan tipologi kebijakan yang dibuat oleh keduanya
termasuk dalam elemen isi kebijakan dan konteks implementasi menurut Grindle.
Tipologi jumlah perubahan yang dihasilkan termasuk dalam elemen isi kebijakan
dan tipologi ruang lingkup kesepakatan termasuk dalam konteks implementasi.
Sejalan dengan pendapat di
atas, Korten (baca dalam Tarigan, 2000: 19) membuat Model Kesesuaian
implementasi kebijakan atau program dengan memakai pendekatan proses
pembelajaran. Model ini berintikan kesesuaian antara tiga elemen yang ada dalam
pelaksanaan program, yaitu program itu sendiri, pelaksanaan program dan
kelompok sasaran program.
Korten menyatakan bahwa suatu
program akan berhasil dilaksanakan jika terdapat kesesuaian dari tiga unsur
implementasi program. Pertama, kesesuaian antara program dengan pemanfaat,
yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh program dengan apa yang
dibutuhkan oleh kelompok sasaran (pemanfaat). Kedua, kesesuaian antara program
dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara tugas yang disyaratkan
oleh program dengan kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara
kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat
yang diputuskan organisasi untuk dapat memperoleh output program dengan apa
yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran program.
Berdasarkan pola yang
dikembangkan Korten, dapat dipahami bahwa jika tidak terdapat kesesuaian antara
tiga unsur implementasi kebijakan, kinerja program tidak akan berhasil sesuai
dengan apa yang diharapkan. Jika output program tidak sesuai dengan kebutuhan
kelompok sasaran jelas outputnya tidak dapat dimanfaatkan. Jika organisasi
pelaksana program tidak memiliki kemampuan melaksanakan tugas yang disyaratkan
oleh program maka organisasinya tidak dapat menyampaikan output program dengan
tepat. Atau, jika syarat yang ditetapkan organisasi pelaksana program tidak
dapat dipenuhi oleh kelompok sasaran maka kelompok sasaran tidak mendapatkan
output program. Oleh karena itu, kesesuaian antara tiga unsur implementasi
kebijakan mutlak diperlukan agar program berjalan sesuai dengan rencana yang
telah dibuat.
Model kesesuaian implementasi
kebijakan yang diperkenalkan oleh Korten memperkaya model implementasi
kebijakan yang lain. Hal ini dapat dipahami dari kata kunci kesesuaian yang
digunakan. Meskipun demikian, elemen yang disesuaikan satu sama lain – program,
pemanfaat dan organisasi – juga sudah termasuk baik dalam dimensi isi kebijakan
(program) dan dimensi konteks implementasi (organisasi) maupun dalam outcomes
(pemanfaat) pada model proses politik dan administrasi dari Grindle.
<<<<<<<<<<<<<<Selanjutnya
klik di bawah<<<<<<<<<<<<<<<<
0 komentar:
Posting Komentar