Sabtu, 08 Juni 2013

BAB III

YURISDIKSI TUNTUTAN ATAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MELALUI INTERNET 

A. Pengertian internet (Cyber Space)
Untuk membahas mengenai Cyber Law, terlebih dahulu perlu dijelaskan satu istilah Cyber Space (ruang maya) yang erat kaitannya dengan Cyber Law, karena Cyber Space lah yang akan menjadi objek atau concern dari Cyber Law.
Istilah Cyber Space pertama kali diperkenalkan oleh William Gibson seorang penulis fiksi ilmiah (Science fiction) dalam novelnya yang berjudul Neuromancer. Istilah yang sama kemudian diulanginya dalam novel yang lain yaitu Virtual Light.
Menurut Gibson, cyberspace “…was a consensual hallucination that felt and looked like a physical space but actually was a computer-generated construct representing abstract data”.

Pada perkembangan selanjutnya seiring dengan meluasnya penggunaan komputer istilah ini kemudian dipergunakan untuk menunjuk sebuah ruang elektronik (electronic space), yaitu masyarakat virtual yang terbentuk melalui komunikasi jaringan komputer (interconnected computer networks). Pada saat ini, cyberspace sebagaimana dikemukakan oleh Cavazos dan Morin adalah : “…represents a vas array of computer systems accessible from remote physical locations”.

Aktivitas yang potensial untuk dilakukan di cyberspace tidak dapat diperkirakan secara pasti. Sebab, kemajuan teknologi informasi berjalan terlalu cepat dan sulit diprediksi. Namun, saat ini kita mengenal ada beberapa aktivitas utama yang sudah dilakukan di cyberspace seperti Commercial On-line Services, Bulletin Board System, Conferencing Systems, Internet Relay Chat, Usenet, Email list, dan entertainment.

Oleh karena itu orang kemudian menyimpulkan bahwa cyberspace itu tidak lain adalah Internet. Dengan karakteristik seperti ini kemudian ada juga yang menyebut cyber space dengan istilah virtual community (masyarakat maya) atau virtual world (dunia maya).

Dengan kondisi virtual (maya) itu orang kemudian berasumsi bahwa aktivitas di Internet itu tidak bisa dilepaskan dari manusia dan akibat hukumnya juga mengenai masyarakat yang ada di physical world (dunia maya), akan tetapi Virtual Community memiliki kompleksitas karakteristik yang aneh, sebab semua aktifitas yang di lakukan atas dasar ketidak tahuan, dengan demikian dalam komunikasi orang tidak dapat mengetahui identitas lawan, sehingga kiranya kawan ternyata menyerang, kiranya minta amal ternyata merampok dan kiranya partner ternyata penjarah bertangan dingin. Maka muncullah kemudian pemikiran mengenai perangkat hukum yang mengatur komunitas maya tersebut, sebab tanpa aturan yang jelas dan tegas, kejahatan demi kejahatan itu akan semakin meresahkan dan merugikan orang banyak (masyarakat).

Perbedaan yang kemudian muncul adalah apakah kita akan memakai hukum konvensional (The existing law) atau kah menciptakan hukum baru yang khusus mengatur masalah ini. Salah satu kesulitan apabila memakai sistem hukum tradisional disebabkan karena dua hal yaitu : 

1. Karakteristik aktivitas di Internet yang bersifat lintas-batas dan, 
2. Sistem hukum tradisional (The existing law) yang justru bertumpu pada batasan - batasan teritorial maka dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan - persoalan hukum yang muncul akibat aktivitas di Internet.

Paling tidak muncul tiga kelompok yang masih memperdebatkan persoalan tersebut, yakni : 
  1. Kelompok Pertama, secara total menolak setiap usaha untuk membuat aturan hukum bagi aktivitas - aktivitas di Internet yang didasarkan atas sistem hukum tradisional/konvensional. Mereka beralasan bahwa Internet yang layaknya sebuah “Surga Demokrasi” (democratic paradise) yang menyajikan wahana bagi adanya lalu-lintas ide secara bebas dan terbuka. Dengan pendirian seperti ini, maka Internet harus diatur sepenuhnya oleh sistem hukum baru yang didasarkan atas norma - norma hukum yang baru pula. Kelemahan utama dari kelompok ini adalah mereka menafikan fakta, meskipun aktivitas Internet itu sepenuhnya beroperasi secara virtual, namun masih tetap melibatkan masyarakat di dunia nyata.
  2. Kelompok Kedua, berpendapat bahwa penerapan sistem hukum tradisional untuk mengatur aktivitas - aktivitas di Internet sangat mendesak untuk dilakukan. Dengan pertimbangan pragmatis yang didasarkan atas meluasnya akibat yang ditimbulkan oleh Internet. Untuk itu semua yang paling mungkin adalah mengaplikasikan sistem hukum tradisional yang saat ini berlaku. Kelemahan utama kelompok ini merupakan kebalikan dari kelompok pertama, yaitu mereka menafikan fakta bahwa aktivitas - aktivitas di Internet menyajikan realitas dan persoalan baru yang merupakan fenomena khas masyarakat informasi yang tidak sepenuhnya dapat direspon oleh sistem hukum tradisional.
  3. Kelompok Ketiga, tampaknya merupakan sintesis dari kedua kelompok di atas. Mereka berpendapat bahwa aturan hukum yang akan mengatur mengenai aktivitas di Internet harus dibentuk secara evolutif dengan cara menerapkan prinsip - prinsip common law yang dilakukan secara hati - hati dan dengan menitikberatkan kepada aspek - aspek tertentu dalam aktivitas cyber space yang menyebabkan kekhasan dalam transaksi - transaksi di Internet. Kelompok ini memiliki pendirian yang cukup moderat dan realistis, karena memang ada beberapa prinsip hukum tradisional yang masih dapat merespon persoalan hukum yang timbul dari aktivitas Internet disamping juga fakta.
  4. Cyber Law didasarkan atas satu konstruksi hukum yang mensintesiskan prinsip - prinsip hukum tradisional dengan norma - norma hukum baru yang terbentuk akibat dari aktivitas 
- aktivitas manusia lewat Internet.

Secara akademis, terminologi cyber law tampaknya belum menjadi terminologi yang sepenuhnya dapat diterima. Hal ini terbukti dengan dipakainya terminologi lain untuk tujuan yang sama seperti The law of the Internet, Law and the Information Superhighway, Information Technology Law, The Law of Information, dan sebagainya.

Di Indonesia sendiri tampaknya ada satu istilah yang disepakati atau paling tidak hanya sekedar terjemahan atas terminologi cyber law. Sampai saat ini ada beberapa istilah yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari cyber law, misalnya, Hukum Sistem Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika (Telekomunikasi dan Informatika). Istilah (Indonesia) manapun yang akan dipakai tidak menjadi persoalan. Yang penting, didalamnya memuat atau membicarakan mengenai aspek - aspek hukum yang berkaitan dengan aktivitas manusia di Internet. Oleh karena itu dapat dipahami apabila sampai saat ini di kalangan peminat dan pemerhati masalah hukum yang berkaitan dengan Internet di Indonesia masih menggunakan istilah cyber law.

Lahirnya pemikiran untuk membentuk satu aturan hukum yang dapat merespon persoalan - persoalan hukum yang muncul akibat dari pemanfaatan Internet terutama disebabkan oleh sistem hukum tradisional yang tidak sepenuhnya mampu merespon persoalan - persoalan tersebut dan karakteristik dari Internet itu sendiri. Hal ini pada gilirannya akan melemahkan atau bahkan mengusangkan konsep - konsep hukum yang sudah mapan seperti kedaulatan dan yuridiksi.

Kedua konsep itu berada pada posisi yang dilematis ketika harus berhadapan dengan kenyataan bahwa para pelaku yang terlihat dalam pemanfaatan Internet tidak lagi tunduk pada batasan kewarganegaraan dan kedaulatan suatu negara. Dalam kaitan ini Aron Mefford seorang pakar cyberlaw dari Michigan State University sampai pada kesimpulan bahwa dengan meluasnya pemanfaatan Internet sebenarnya telah menjadi semacam paradigma shift dalam menentukan jati diri pelaku suatu perbuatan hukum dari citizens menjadi netizens.


Dilema yang dihadapi oleh hukum tradisional dalam menghadapi fenomena cyberspace ini merupakan alasan utama perlunya membentuk satu regulasi yang cukup akomodatif terhadap akibat pemanfaatan Internet. Aturan hukum yang akan dibentuk itu harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hukum (the legal needs) para pihak yang terlibat dalam transaksi - transaksi lewat Internet. Untuk itu, kecenderungan untuk menyetujui proposal dari Mefford lebih kuat, yang mengusulkan Lex Informatica (Independent Net Law) sebagai Foundations of Law on the Internet. Proposal Mefford ini tampaknya diilhami oleh pemikiran mengenai Lex Mercatoria yang merupakan satu sistem hukum yang dibentuk secara evolutif untuk merespon kebutuhan - kebutuhan hukum (the legal needs) para pelaku transaksi dagang yang mendapati kenyataan sistem hukum nasional tidak cukup memadai dalam menjawab realitas - realitas yang ditemui dalam transaksi perdagangan nasional.

Dengan demikian maka cyber law dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang berkaitan dengan persoalan - persoalan yang muncul akibat dari pemanfaatan Internet.

Bagi Indonesia berbicara mengenai urgensi cyber law di saat pemerintah dan masyarakat dihadapkan kepada krisis yang bersifat multi dimensional tentunya kedengaran sangat aneh dan mungkin saja di tuduh sebagai mengada ada. Namun, apabila melihat fakta meskipun Indonesia tengah dirundung berbagai persoalan yang sangat rumit dan kompleks, masyarakat Indonesia meskipun baru sebagian kecil sudah melibatkan diri dalam mainstream budaya masyarakat informasi. Pemakaian Internet sekarang sudah hampir merata di kota - kota besar di Indonesia dan dalam waktu yang tidak lama lagi, bukan tidak mungkin Internet akan segera menjangkau sampai ke kota - kota kecil. Publikasi mengenai E-Commerce yang sangat gencar dilakukan oleh On-line company sedikit banyak telah membawa masyarakat kepada budaya masa depan.

Dilihat dari ukuran yang menitikberatkan kepada skala prioritas yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia saat ini maka cyber law jelas tidak akan masuk dalam prioritas. Namun, apabila kita melihat bahwa Internet sekarang sudah menjadi bagian penting dalam sektor - sektor tertentu khususnya perdagangan misalnya, On-line banking atau scripless trading yang sekarang sudah diberlakukan di Bursa Efek Jakarta, pemerintah dan masyarakat tidak bisa hanya berpikir dengan ukuran skala prioritas.

Dalam hal ini pemerintah dan masyarakat khususnya para profesional dan perguruan tinggi harus berpikir preventif, directive, dan futuristik. Disamping di sektor perdagangan, dalam level tertentu Internet telah memainkan peranan penting dalam urusan politik khususnya dalam penggalangan opini publik di kalangan menengah. Pihak luar negeri misalnya Australia dengan sangat cerdik telah memanfaatkan Internet sebagai media yang ampuh dalam penggalangan opini publik dalam kasus Timor-Timur. Apabila Indonesia tidak menaruh perhatian atas fenomena ini, maka dikemudian hari Indonesia akan mendapati kenyataan transaksi - transaksi lewat Internet yang sekarang sudah berlangsung akan berjalan tanpa suatu aturan yang jelas.


Jelasnya, urgensi cyber law bagi Indonesia terletak pada keharusan Indonesia untuk mengarahkan transaksi - transaksi lewat Internet saat ini agar sesuai dengan standar etik dan hukum yang disepakati dan keharusan untuk meletakkan dasar legal dan kultural bagi masyarakat Indonesia untuk masuk dan menjadi pelaku dalam masyarakat informasi. Untuk menuju ke arah itu, maka dalam bidang hukum pemerintah harus melakukan kebijakan sebagai berikut :

1. Menetapkan Prinsip-Prinsip Pembentukan dan Pengembangan Cyber Law, antara lain sebagai berikut :
  1. Melibatkan berbagai unsur yang terkait; pemerintah, swasta, profesional, dan perguruan tinggi;
  2. Memakai pendekatan yang moderat (jalan tengah) untuk mensintesiskan antara prinsip 
  3. prinsip hukum tradisional dan norma - norma hukum baru yang akan dibentuk;
  4. Memperhatikan keunikan dari cyberspace/Internet;
  5. Mendorong adanya kerjasama internasional mengingat sifat Internet yang beroperasi secara virtual dan lintas batas;
  6. Menempatkan sektor swasta sebagai leader dalam persoalan - persoalan yang menyangkut industri dan perdagangan;
  7. Pemerintah harus mengambil peran dan tanggung jawab yang jelas untuk persoalan yang menyangkut kepentingan publik;
  8. Aturan hukum yang akan dibentuk tidak bersifat restriktif, melainkan harus bersifat preventif, direktif, dan futuristik.
2. Melakukan pengkajian terhadap perundang - undangan nasional yang memiliki kaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan munculnya persoalan - persoalan hukum akibat dari transaksi di Internet. 

B. Proses Pencucian Uang Melalui Internet 

Seiring perkembangan teknologi dan informasi, menimbulkan dampak positif yaitu memberi kemudahan bagi masyarakat untuk melakukan aktifitasnya melalui internet. Setiap orang dapat berhubungan dengan pihak lain tanpa harus bertatap muka, sehingga dunia menjadi tanpa batas (borderless). Selain dampak positif terdapat pula dampak negatif yang timbul dari perkembangan teknologi dan informasi ini yakni menjadi sarana untuk melakukan perbuatan melanggar hukum baik secara perdata maupun pidana. Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu kejahatan yang dimungkinkan dapat dilakukan melalui internet sebagai wujud adanya perkembangan teknologi dan informasi. 

Ada beberapa model tindak pidana pencucian uang, yaitu [1]: 
  • Model dengan operasi Chase. Model ini menyimpan uang di bank di bawah ketentuan sehingga bebas dari kewajiban lapor transaksi keuangan (Non Currency Transaction Reports) dan melibatkan bank luar negeri dengan memanfaatkan tax haven. 
  • Model pizza connection. Model ini memanfaatkan sisa uang yang ditanam di bank untuk mendapatkan konsesi Pizza, dan melibatkan negara tax haven dengan memanfaatkan ekspor fiktif. 
  • Model La Mina. Model ini memanfaatkan pedagang grosir emas dan permata dalam negeri dan luar negeri. 
  • Model dengan penyelundupan uang kontan ke negara lain. Model ini mempergunakan konspirasi bisnis semu dengan sistem bank paralel. 
  • Model dengan melakukan perdagangan saham di Bursa Efek.Model ini melakukan kerja sama dengan lemabaga keuangan yang bergerak di bursa efek. 

Selain model tindak pidana pencucian uang, terdapat beberapa modus operandi pencucian uang antara lain : kerjasama penanaman modal, transfer ke luar negeri, kredit bank Swiss, usaha tersamar di dalam negeri, perjudian, penyamaran dokumen, atau rekayasa pinjaman luar negeri. Sementara itu, terdapat pula 3 (tiga) metode yang digunakan dalam melakukan pencucian uang yaitu [2]:
  1. Buy and Sell Conversions, Metode ini dilakukan melalui transaksi barang dan jasa. Selisih harga yang dibayar kemudian dicuci melalui transaksi bisnis. Barang atau jasa dapat diubah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu bank.
  2. Offshore Conversions, dalam hal ini uang hasil kejahatan dikonversi ke dalam wilayah yang merupakan tempat yang sangat menyenangkan bagi penghindaran pajak (tax heaven money laundering centers) untuk kemudian didepositokan di bank yang berada di wilayah tersebut. 
  3. Legitimate Business Conversions. Metode ini dilakukan melalui kegiatan bisnis yang sah sebagai cara pengalihan atau pemanfaatan hasil kejahatan. Uang tersebut kemudian dikonversi melalui transfer, cek atau alat pembayaran lain untuk disimpan di rekening bank atau ditransfer kemudian ke rekening bank lainnya melalui fasilitas internet banking. Biasanya pelaku bekerja sama dengan perusahaan yang rekeningnya dapat digunakan sebagai terminal untuk menampung uanghasil kejahatan.
Di samping itu, terdapat 8 (delapan) Instrumen yang dipergunakan dalam tindak pidana pencucian uang. yaitu :
  1. Bank dan Lembaga Keuangan lainnya
  2. Perusahaan Swasta
  3. Deposit Taking Institution dan Money Changer
  4. Institusi Penanaman Uang Asing
  5. Pasar Modal dan Pasar uang. Pasar uang tidak mempunyai empat fisik seperti pasar modal. Pasar uang memperdagangkan surat berharga pemerintah, sertifikat deposito,surat perusahaan seperti aksep, dan wesel. Lembaga- lembaga yang aktif dalam pasar uang adalah bank komersial, merchant banks, bank dagang, penyalur uang, dan bank sentral.
  6. Emas dan Barang Antik
  7. Kantor konsultan keuangan
Tindak pidana pencucian uang dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut ; 
  1. Placement, yaitu menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, weselbank, sertifikat deposito,) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan;
  2. Layering, yaitu tindakan mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement ) ke penyedia jasa keuangan yang lain, biasanya dilakukan melalui proses transfer dengan menggunakan fasilitas internet banking. melalui layering, sehingga sulit untuk mengetahui asal-usul harta kekayaan tersebut;
  3. Integration, yaitu penggunaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer, seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.
Setelah melewati review yang dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), Indonesia pada bulan Juni 2001 untuk pertama kalinya dimasukkan ke dalam NCCTs (Non-Cooperative Countries and Territories). Predikat sebagai NCCTs diberikan kepada suatu negara atau teritori yang dianggap tidak mau bekerja sama dalam upaya global memerangi kejahatan pencucian uang (money laundering). Tindakan FATF kepada Indonesia itu didasarkan atas beberapa pertimbangan yaitu belum adanya peraturan perundang-undangan yang menyatakan pencucian uang sebagai tindak pidana, ketidakjelasan pengaturan lembaga keuangan terutama lembaga keuangan non bank, terbatasnya sumber daya yang dimiliki, serta minimnya kerjasama internasional dalam upaya memerangi kejahatan pencucian uang tersebut.

Dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar NCCTs telah membawa konsekuensi negatif tersendiri baik secara ekonomis maupun politis. Secara ekonomis, masuk ke dalam daftar NCCT’s mengakibatkan mahalnya biaya yang ditanggung oleh industri keuangan Indonesia khususnya perbankan nasional apabila melakukan transaksi dengan mitranya di luar negeri (risk premium). Biaya ini tentunya menjadi beban tambahan bagi perekonomian yang pada gilirannya mengurangi daya saing produk-produk Indonesia di luar negeri. Sementara itu, secara politis, masuknya Indonesia ke dalam NCCT’s dapat menggangu pergaulan Indonesia di dunia internasional.

Selanjutnya Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diundangkan pada tanggal 17 April 2002. Undang-Undang tersebut bukan saja telah menyatakan, bahwa perbuatan pencucian uang merupakan suatu tindak pidana, tetapi juga telah melahirkan suatu lembaga baru yang bernama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Banyak pihak yang turut menentukan keberhasilan pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut, yaitu PPATK; aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Bea Cukai, juga para regulator yaitu Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal, penyedia jasa keuangan, yaitu perbankan, asuransi, perusahaan pembiayaan , dana pensiun,perusahaan efek, pengelola reksa dana; media masa ;dan masyarakat. Sebenarnya upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang secara parsial dan sporadis telah dilakukan bangsa Indonesia sebelum dikeluarkannya undang-undang TTPU tersebut, misalnya terlihat dalam ketentuan yang dikeluarkan Bank Indonesia yaitu Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Mengenal Nasabah.

Dewasa ini perlawanan terhadap kegiatan pencucian uang (money laundering) secara internasional semakin meningkat, bahkan di banyak negara maupun secara regional hal tersebut telah menjadi salah satu agenda politik yang selalu dibahas. Beberapa hal yang mendorong sejumlah pemerintah untuk memerangi pencucian uang terutama adalah kepedulian terhadap kejahatan yang terorganisir (organized crime) yang hasilnya selama ini belum terjamah oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di samping adanya tekanan internasional terhadap negara yang belum menerapkan ketentuan anti money laundering dengan sepenuhnya, seperti yang dialami oleh Filipina dan Indonesia.

Pada tahun 2001, Indonesia dimasukkan ke dalam Non-Cooperative Countries and Territories (NCCTs) oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) karena dinilai tidak memenuhi forty Recommendations. Kondisi inilah yang membangun kesadaran Pemerintah Indonesia akan pentingnya memiliki rezim anti pencucian uang yang efektif. Baru pada tanggal 11 Februari 2005 yang lalu, Indonesia telah berhasil keluar dari daftar NCCTs karena Indonesia dinilai telah berhasil memenuhi syarat minimal suatu rezim anti pencucian uang berdasarkan standar yang mereka keluarkan yang dikenal dengan FATF 40+9 Recommendation.

C. Proses Penuntutan Atas Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Internet

Kejahatan transnasional mengandung pengertian bahwa kejahatan tersebut mengandung unsur asing, maksudnya dalam pelaksanaan kejahatan itu melibatkan pihak-pihak dari negara lain, yang terkadang merupakan sebuah jaringan kejahatan termaksud, dengan kata lain kejahatan transnasional bersifat terorganisir dan merugikan masyarakat internasional. Melihat sifat kejahatan transnasional tersebut, maka tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai kejahatan transnasional ini tiada lain juga sebuah kejahatan yang termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional.
Tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan transnasional dalam penuntutannya dapat menggunakan beberapa asas seperti asas au dedere au punere yang berarti terhadap pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara locus delicti dalam batas teritorial suatu negara tersebut atau diserahkan atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mewakili pelaku tersebut. Selain itu, terdapat asas au dedere au judicare yang berarti bahwa setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk melakukan kerja sama dengan negara lain dalam menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili pelaku tindak pidana internasional. Perbedaan kedua asas di atas terletak pada pemahaman dan persepsi mengenai kedaulatan negara, namun demikian kedua asas tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling mengisi. 

Sementara itu, asas-asas hukum pidana internasional juga bersumber pada asas-asas hukum pidana nasional yaitu asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 KUHP, asas teritorial, asas nasionalitas aktif dan pasif, asas universalitas (Pasal 2sampai Pasal 9 KUHP), asas non retroaktif (Pasal 1 ayat 2 KUHP), asas ne bis in idem dan asas tidak berlaku surut. 

Tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional memiliki yurisdiksi penuntutan yang khusus dibanding tindak pidana biasa. Negara lain memiliki kewenangan untuk menuntut tindak pidana pencucian uang tersebut apabila ada hal-hal yang berkaitan dengan pencucian uang termaksud berkaitan pula dengan negara itu, dalam hal ini dapat pula berlaku asas retro active. Pada kasus pencucian uang yang dilakukan melalui internet, penyidikan dilakukan oleh Polisi, dana dapat berlaku peradilan in absentia, diakuinya terobosan terhadap rahasia bank, serta dianut pembuktian terbalik. yurisdiksi penuntutannya, akan sulit ditentukan karena kejahatan pencucian uang melalui internet ini dapat saja melibatkan lebih dari satu sistem hukum, sehingga harus diketahui secara benar locus delictinya, korbannya, dan sebagainya

Pada praktiknya, pencucian uang juga tergolong kejahatan terorganisir (organized crime) dan kejahatan kerah putih (white collar crime), bahkan juga berdimensi internasipnal (transnasional crime). Selain itu, praktik pencucian uang dipandang pula sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Kejahatan di bidang perpajakan adalah salah satu kejahatan asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang (TPPU). Harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana di bidang perpajakan seperti penggelapan pajak, kemudian ditempatkan pada bank dalam bentuk deposito, atau dipindahkan ke bank dapat luar negeri dengan fasilitas wire transfer sehingga membuat penegak hukum kita sernakin sulit melacaknya. Untuk mengamankan operasional perbankan, FATF (The Forty Recommendations FATF on Money Laundering, 2003) mengkategorikan beberapa risiko yang akan dihadapi oleh industri perbankan dan PJK lainnya terkait dengan penggunaan institusi PJK sebagai sarana pencucian uang.

Tahun 2006 Indonesia terpilih sebagai tuan rumah (host) penyelenggaraan Sidang IPCO-Interpol ke 19 Kawasan Asia Pasifik di Jakarta (The 19th ARC IPCO Interpol) berdasarkan keputusan yang telah disepakati bersama oleh seluruh peserta yang hadir pada Sidang IPCO-Interpol ke 18 Kawasan Asia Pasifik di Manila, Filipina pada tahun 2004. Hasilnya antara lain penggalangan kerjasama dengan negara-negara anggota Interpol Kawasan Asia dalam penanganan terorisme, narkoba, penyeludupan dan perdagangan manusia, korupsi, illegal logging, illegal fishing, dan illegal mining, serta ketenagakerjaan lintas batas wilayah perbatasan antar negara. Sejalan dengan topik utama yang akan didiskusikan oleh para delegasi dalam The 19th ARC IPCO Interpol tersebut, termasuk pencucian uang (money laundering).
Penyelenggaraan Sidang IPCO-Interpol ke 19 di Indonesia ini diharapkan membuahkan hasil yang positif antara lain: 
terjalinnya kerjasama operasional berdasarkan persahabatan yang lebih erat dan konkrit di antara negara-negara anggota Interpol khususnya di Kawasan Asia Pasifik dalam memerangi kejahatan lintas negara (cross-border crime) 
peningkatan pertukaran informasi dalam rangka pencegahan dan pemberanatasan cross-border crime di antara negara-negara anggota Interpol Kawasan Asia Pasifik; 
terbentuknya komitmen yang kuat dalam bentuk kerjasama yang konkrit dalam upaya pencegahan dan pemberantasan cross-border crime dengan prioritas pada penanganan kasus terorisme, narkoba, korupsi, pencucian uang dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada khususnya dan Warga Negara Indonesia (WNI) serta Badan Hukum Indonesia (BHI) di luar negeri pada umumnya; 
perluasan akses sistem komunikasi global ICSG 1-24/7 kepada instansi terkait di luar kepolisian negara-negara anggota IPCO-Interpol khususnya di Kawasan Asia Pasifik; dan 
tukar-menukar perigalaman terbaik, wawasan dan pengetahuan tentang manajemen krisis guna meningkatkan kapasitas negara-negara anggota IPCO-Interpol dalam hal manajemen krisis, terutama yang terkait dengan tugas dan fungsi aparat kepolisian dan penegak hukum lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar