Minggu, 02 Juni 2013

     Konsep Universal Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah adalah isu yang  tidak pernah selesai untuk dibicarakan, karena membicarakan hak asasi manusia, berarti  membicarakan suatu  pemahaman Konsep yang universal yang berarti suatu konsep yang bisa diterima di semua tempat dan di semua waktu, atau  dengan kata lain meskinya dengan pemahaman konsep Universal dari hak asasi manusia, maka tidak akan ada lagi  pandangan yang berbeda mengenai hak asasi manusia karena konsepsi hak asasi manusia yang universal berarti suatu pemahaman yang sama dalam memandang hak asasi manusia.[1]
Hak asasi manusia dipandang sebagai suatu  suatu standar Internasional yang  melintasi batas budaya dan merupakan  sistem hukum internasioanl  yang berlaku dalam masyarakat negara.[2] Melintasi batas budaya dalam hal ini dimaksudkan bahwa seharusnya tidak ada lagi perbedaan dalam pengaturan dan pelaksanaan hak  asasi manusia dikarenakan perbedaan budaya tidak mempengaruhi berlakunya hak  asasi manusia, karena Universalitas dari hak  asasi manusia.
Dalam kenyataannya persoalan budaya yang selalu menghambat berlakunya Hak  asasi manusia yang dipandang Universal, bahkan konsep hak  asasi manusia yang sudah menjadi suatu hukum kebiasaan internasional dapat diperlakukan berbeda dalam suatu negara dengan pertimbangan sosial dan budaya dari negara tersebut, yang sebenarnya tidak sesuai dengan  hak  asasi manusia yang bersifat Universal.
Hak asasi manusia filosofinya adalah menjamin penghormatan  terhadap setiap orang martabat dan kemerdekaan  manusia  dari semua bentuk tindakan  yang tidak sesuai dengan harkat martabat manusia dalam  menjalankan hidupnya di masyarakat.[3]
Konsep hak asasi manusia yang dipandang sebagai suatu konsepsi yang universal, Universal dalam  kamus umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta diartikan sebagai  umum (yang meliputi  (berlaku di,terdapat di ) seluruh dunia (termasuk, dilakukan oleh) semua orang; berakibat pada semua orang[4]. Dengan menggunakan pedoman yang terdapat dalam kamus WJS Poerwadarminta, maka dengan demikian hak  asasi manusia Universal diartikan sebagai hak  asasi manusia yang berlaku di seluruh dunia. Dalam Websters Ninth New Collegiate Dictionary, [5]
“Universal: 1. including or covering all or a whole collectively or distributively without limit or exceptions; 2. a  present or occuring everywhere b: existent or operative everywhere or  under all condition.”

“Universality: 1. the quality or state of being Universal; 2. Universal Comprehensiveness in range.”

“Universalism: 1. often cap  as a:  a theological doctriBne that all men will eventually  be saved b: the principles and practises of a liberal  Christian denomination founded in  the 18th century orig. .to uphold belief in universal salvation and know united with unitarianism 2.  something that is  universal in scope.”

Berpedoman kepada Websters Ninth New Collegiate Dictionary, maka universal diartikan sebagai berlaku umum, Universality atau Universalitas diartikan sebagai sesuatu yang berlaku umum, dan universalisme diartikan sebagai suatu paham yang bersifat universal, dalam kaitan dengan penelitian ini maka hak  asasi manusia adalah berlaku Universal yang artinya berlaku umum, di setiat tempat dan di setiap waktu, dan hak  asasi manusia sebagai suatu obyek yang berlaku umum, yang kemudian mengakibatkan paham atau pandangan bahwa hak  asasi manusia  berlaku secara universal.
 Dalam praktik negara-negara seringkali penerapannya menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli hukum bahwa penerapan universalitas dari hak  asasi manusia  ke dalam hukum nasional atau pelaksanaan hak  asasi manusia  oleh negara tidak sesuai dengan prinsip universalitas, dan cenderung disesuaikan dengan  bagaimana pandangan negara mengenai hak asasi manusia itu sendiri.
“Sebagai bangsa yang merupakan bagian (sub-sistem) masyarakat global, tanpa mengabaikan unsur-unsur partikularistik yang dominan, berbagai kecenderungan global harus dilihat sebagai kecenderungan nasional. Hal ini khususnya apabila berkaitan dengan  hak  asasi manusia  yang bersifat absolute (absolute rights) yang tidak dapat dikesampingkan, sekalipun suatu negara  dalam keadaan darurat.”[6]
Konsepsi hak  asasi manusia  secara universal, tentunya tidak dapat terlepas dari hukum internasional dimana sumber hukum internasional adalah:
a.      international conventions, whether  general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting  states;
b.      International custom, as   evidence of a general practice accepted as law.
c.      The General Principles of Law Recognized by civilized nations;
d.      Judicial decisions and the teaching of the most highly publicist of the various nations, as subsidiary means for the determinations of rules of law.[7]

Hukum Internasional memiliki instrumen-instrumen utama hak asasi manusia yang meliputi :
1.      Universal Declaration of Human Rights
2.      International Covenant on Civil and Political Rights
3.      International Covenant on Economic,Social and Cultural Rights
4.      Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights
5.      Second Optional Protocol to The International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty.

Sebagai suatu tatanan nilai yang telah diterima masyarakat internasional sebagaimana  pengertian hukum internasional, dimana hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan azaz-azaz yang mengatur hubungan-hubungan yang melampaui batas-batas negara antara negara dengan negara atau antara negara dengan subyek hukum internasional atau antara subyek hukum internasional  yang satu dengan yang lain.[8] Maka negara telah menerima konsep universalitas itu sebagai suatu konsep yang berlaku  secara universal. Bahkan dalam hal ini adanya pandangan yang lebih moderat dan menafsirkan kecenderungan global lebih luas yang mencakup pula pelbagai resolusi badan-badan PBB, model perjanjian (model treaties), code of conduct, guidelines, basic principles, safeguard, standar minimum rules, dan berbagai deklarasi  yang disusun oleh badan-badan internasional serta hasil-hasil pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh profesi internasional[9]:
“Globalisasi semakin  memperkuat pemikiran-pemikiran untuk mempersoalkan nilai-nilai dasar HAM, yang bersifat universal, indivisible and interdependent and interelated. Bahkan sering ditegaskan agar masyarakat internasional memperlakukan hak  asasi secara global in a fair and equal manner, on the same footing, and  with the same emphasis.

Di dalam Viena Declaration and  Programme of Action (Juni 1993) butir E.83 yang mengatur mengenai implementation and monitoring methods ditegaskan bahwa pemerintah-pemerintah hendaknya menggabungkan (incorporate) standar-standar yang terdapat pada instrument  hak  asasi manusia internasional ke dalam hukum nasional (domestic Legislation) dan memperkuat pelbagai struktur, lembaga nasional dan organ-organ dalam masyarakat yang memainkan peran di dalam mempromosikan dan melindungi hak  asasi manusia.”[10]
“Muladi mengatakan sekalipun  hak  asasi manusia  memiliki sifat universal, namun sebagaimana negara-negara  berkembang yang lain dalam implementasinya  dikenal pula asas relativisme kultural, yang secara universal juga sudah mendapatkan pengakuan, tentu sejauh penggunaan asas relativisme kultural tersebut tidak bertentangan dengan  prinsip dan hakekat  hak  asasi manusia  yang universal. Pentingnya  untuk tetap mempertimbangkan aspek kultural dan historis suatu bangsa atau masyarakat dalam penerapan hak  asasi manusia, nampak pada contoh sebagai berikut:
The Jakarta message (1992) butir 18 antara lain menegaskan bahwa “No country however, should use ist power to dictate its concept of democracy and human rights or impose conditionalities on others.”
Deklarasi Kuala Lumpur (1993) tentang hak asasi manusia yang dirumuskan oleh ASEAN Inter Parliamentary Organization (AIPO) antara lain menegaskan :
the people of ASEAN Accept  that human rights exist in a dynamic and volving context and that each country has inherent historical experiences, and changing economic, social,political and cultural  and value system which should be taken  into account”.

Deklarasi Bangkok 1993 yang dirumuskan oleh negara-negara Asia yang menyatakan  bahwa:
While Human Rights  are Universal  in nature, they must be considered in the context of a  dynamic and envolving process of international norms setting, bearing  in mind the significance of national and regional peculiarities and various historical, cultural and religious background.”[11]
Deklarasi Wina dan Program Aksi (1993) yang dihasilkan oleh konferensi dunia tentang Hak  asasi manusia yang merumuskan bahwa:
All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated while the significant of national and regional Particularities and various historical, cultural and religious background must be borne in mind, it is the duty of states, regardless of their political, economic and cultural systems, to promote and protect all human  rights and fundamental freedoms.”[12]

Sekalipun para sarjana hukum sering berpendapat bahwa berbicara mengenai universalitas dan partikularitas dari hak  asasi manusia  pada saat ini sudah tidak relevan lagi, pada kenyataannya  persoalan tersebut selalu saja terjadi ketika berbicara mengenai pengaturan hak  asasi manusia  dalam peraturan perundang-undangan nasional dan pelaksanaan atau penegakan hukum mengenai hak  asasi manusia.
Dalam kaitannya dengan konsep universalitas dari hak asasi manusia, dalam penerapannya di suatu negara hak asasi manusia yang sifatnya universalitas tersebut kemudian dipengaruhi oleh aspek sosial budaya dari negara yang bersangkutan. Universalitas tersebut kemudian dilihat dalam konsep hak  asasi manusia  dari negara yang bersangkutan yang dipengaruhi oleh konsep-konsep lain seperti konseps hak  asasi manusia  dalam Persepektif Islam, konseps hak  asasi manusia  dalam Perspektif Indonesia, hak  asasi manusia  dalam Persepektif Barat, konsep hak  asasi manusia  dalam Perspektif Negara Maju, konsep hak  asasi manusia  dalam Perspektif Negara Berkembang, yang kesemuanya itu pada akhirnya membawa pembahasan pada universilitas dan partikularitas dari hak  asasi manusia.
Perdebatan mengenai universalitas dan relativitas selalu mengemuka apabila berbicara mengenai hak asasi manusia.[13] Satu hal yang juga harus dicatat bahwa adalah salah satu hal yang dapat dipergunakan untuk menentukan persoalan budaya dalam pemberlakuan hak asasi manusia, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia tidak sesuai untuk non barat dan ajaran-ajaran agama.[14]
Zehra F Kabaskal Arat, mengatakan bahwa dengan penerimaan masyarakat internasional terhadap Universal Declaration of Human Rights  masyarakat internasional telah memiliki budaya internasional tersendiri.[15]
Kritikan terhadap universalitas dari Universal Declaration of Human Rights, disebabkan karena :
1.      Latar Belakang Budaya yang Berbeda
2.      Dipandang mencoba untuk merubah  Budaya lokal dan mengganti budaya lokal tersebut.
3.      Universal Declaration of Human Rights dipandang menciptakan suatu budaya baru yang disebut dengan Budaya Internasional Baru.[16]
Perbedaan yang ada dalam menyikapi Universal Declaration of Human Rights, apakah negara tetap akan menghormati  Universal Declaration of Human Rights.[17]
Pada sisi lain apabila pengaturan hak asasi manusia dalam suatu negara sudah disesuaiakan dengan latar belakang dan budaya suatu negara apakah menjamin bahwa hak asasi manusia tersebut akan dilaksanakan dengan baik.[18]
Dalam menyikapi perbedaan pandangan mengenai universalitas dan partikularistik dari HAM dikenal adanya  suatu  konsep yang disebut dengan “The Concept of the Margin Appreciation”, dimana yang dimaksudkan dengan Concept of Margin Appreciation adalah suatu konsep dalam menyikapi perbedaan pelaksanaan universalitas dari hak asasi manusia dengan aspek sosial dan budaya maka diperlukan suatu toleransi dalam menyikapi perbedaan pandangan yang ada tannpa memberikam justifikasi bahwa suatu paham dalam hak asasi manusia lebih baik dari paham yang lain.[19]
Dalam kaitannya dengan pembahasan hak  asasi manusia yang Universal serta perlunya diperhatikan aspek-aspek sosial budaya setempat yang dikenal dengan Partikularistik dari hak asasi manusia, peneliti mengacu kepada  Final Declaration of the Regional Meeting For Asia of The World Conference on Human Rights yang kemudian dikenal dengan Bangkok Declaration 1993 merupakan pengakuan regional dari hak  asasi manusia terhadap Universalitas dari hak  asasi manusia sebagaimana  tanpa mengabaikan aspek partikularistik dari hak  asasi manusia.
Reaffirming their commitment to principles contained in the Charter of the United Nation and the Universal Declaration on Human Rights[20]
Stressing the Universality,Objectivity and non selectivity of all human rights and the need to avoid the application of double standards in the implementation of human rights and its politicization.[21]
Dalam Deklarasi  8
While Human Rights  are Universal  in nature,they must be considered in the context of a  dynamic and volving process of international norms setting, bearing  in mind the significance of national and regional peculiarities and various historical,cultural and religious background.”[22]
Serta dalam Deklarasi 24
“Welcome the important role played by national institution in the genuine and constructive promotion of Human Rights, and believe that the conceptualization and eventual establihsment of such institution are best left for the state to decide.”[23]

Hak Asasi Manusia sebagai suatu nilai yang universal   tertuang dalam Universal Declaration of Human rigths, yang ditegaskan kembali dalam Deklarasi Wina
“Dalam sejarah perkembangannya yang awal di negeri-negeri Barat, proses berkembangnya ide hak-hak manusia yang asasi -- berikut segala praksis-praksis implementatifnya -- terjadi berseiring benar dengan berkembangnya ide untuk
Membangun suatu negara bangsa yang demokratik dan berinfrastruktur masyarakat warga (civil society). Ide ini mencita-citakan terwujudnya suatu komunitas politik manusia sebangsa atas dasar prinsip kebebasan dan kesamaan derajat serta kedudukan di hadapan hukum dan kekuasaan. Ini berarti bahwa setiap manusia sebangsa dalam kehidupan komunitas bangsa yang disebut Negara bangsa itu akan tak lagi boleh dipilah ke dalam golongan mereka yang harus disebut para Gusti dengan segala hak-hak istimewanya dan golongan mereka yangharus dinisbatkan sebagai para Kawula Alit dengan segala kewajibannya untuk patuh dan berdisiplin.
Tak lagi mengenal dua kelas yang terpilah secara diskriminatif, masyarakat yang terbentuk itu -- demikian menurut model idealnya -- adalah suatu masyarakat baru yang berhakikat sebagai masyarakat warga yang pada asasnya berkebebasan, eksis dan bersitegak di atas dasar paham egalitarianisme. Tak lagi ada kelas ningrat yang atas, tak ada lagi kelas kawula biasa yang bawah, yang ada kini ini (idealnya yang universal !) adalah kelas tengah.Semua saja tanpa kecualinya memiliki hak dan kebebasan yang sama. Hak dan kebebasan hanya boleh dibatasi -- atas dasar kesepakatan, yang dicapai tanpa rasa keterpaksaan -- oleh para warga itu sendir (atau oleh wakil atau kuasanya).
Kesepakatan seperti itu, yang dalam istilah teknisnya   kesepakatan kontraktual, kemudian daripada itu harus dipositifkan dalam wujud kontrak-kontrak perjanjian (manakala dalam kehidupan privat) atau akan berbentuk undang-undang (manakala dalam kehidupan publik). Itulah suatu perkembangan dalam kehidupan hukum,dari kehidupan dengan hukum yang tercipta oleh sumber kekuasaan eksternal ke kehidupan baru dengan hukum yang tercipta oleh sumber kekuasaan yang internal dari para manusia itu sendiri diidealkan seperti itu, maka pada asasnya dan menurut doktrinnya hak-hak para warga yang asasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu – juga pembatasannya dalan wujud kewajiban-kewajiban -- mestilah berawal pula dari kesepakatan yang jujur dan ikhlas. Tidaklah sekali-kali dibenarkan manakala hubungan atas dasar kesepakatan itu terjadi karena suatu pemaksaan atau keterpaksaan, atau pula karena dikecoh atau disesatkan lewat penipuan. Hak dan kewajiban yang menjadi dasar dari seluruh tertib hukum di dalam kehidupan bernegara bangsa dan di dalam kehidupan masyarakat warga itu tidaklah sekali-kali boleh bermula dari kehendak sepihak yang dipaksakan : dipaksakan oleh dia yang tengah berkekuatan dan berkekuasaan kepada dia yang tengah berada dalam posisi lemah dan kurang berkeberdayaan Tatkala hak-hak asasi manusia dideklarasikan di New York atas wibawa  Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948, deklarasi itu tak ayal lagi adalah deklarasi yang pada dasarnya bertolak dari dan bertumpu pada ide, doktrin dan/atau konsep mengenai kebebasan dan kesetaraan manusia sebagaimana yang telah lama dimengerti di dunia Barat itu sebagaimana dipaparkan di muka.
Lebih lanjut lagi   deklarasi itu bahkan juga mengklaim bahwa hak-hak dan seluruh ide dan doktrin yang mendasarinya itu juga bernilai universal  Kalau semula pada awalnya yang dimaksudkan dengan universalitas itu adalah universalitas yang masih pada lingkup nasional, mengatasi partikularisme yang lokal dan/atau etnik dan atau yang sektarian, kini yang dimaksudkan dengan universalitas itu  deklarasi itu secara resmi disebut  The Universal Declaration of Human Rights, dengan mengikutkan kata ‘universal’ guna mengkualifikasi deklarasi itu sebagai suatu pernyataan yang berkeniscayaan mesti berlaku umum di negeri manapun, pada kurun masa yang manapun, untuk dan terhadap sesiapapun dari bangsa manapun.Namun demikian, yang masih tetap akan menjadi persoalan besar sampai pun saat ini ialah, apakah ide dan konsep – dan karena  itu segala kebijakan dan upaya penegakan hak-hak asasi manusia di dalam kehidupan yang telah berskala global itu – harus bersifat demikian universalistik, dalam artiannya yang mutlak? Ataukah, sekalipun deklarasi itu telah diterima oleh banyak  wakil negara bangsa di dunia ini, masihkah ada juga tempat untuk tafsir-tafsir yang lebih bersifat partikularistik? Artinya, adakah hak-hak asasi manusia itu harus ditegakkan kapan saja, di mana saja dalam pengertiannya yang sama sebagaimana modelnya yang klasik dari Barat itu? Ataukah hak-hak asasi manusia itu hanya bisa dipandang sebagai sesuatu yang   universal dalam hal prinsip-prinsipnya saja? Yang oleh sebab itu implementasinya -- demi pemajuan dan penegakan hak-hak dengan memperimbangkan dan/atau memperhitungkan kondisi dan situasi setempat yang partikular .”

0 komentar:

Posting Komentar