Konsep
Universal Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia
adalah adalah isu yang tidak pernah
selesai untuk dibicarakan, karena membicarakan hak asasi manusia, berarti membicarakan suatu pemahaman Konsep yang universal yang berarti
suatu konsep yang bisa diterima di semua tempat dan di semua waktu, atau dengan kata lain meskinya dengan pemahaman
konsep Universal dari hak asasi manusia, maka tidak akan ada lagi pandangan yang berbeda mengenai hak asasi
manusia karena konsepsi hak asasi manusia yang universal berarti suatu
pemahaman yang sama dalam memandang hak asasi manusia.[1]
Hak asasi manusia
dipandang sebagai suatu suatu standar
Internasional yang melintasi batas
budaya dan merupakan sistem hukum
internasioanl yang berlaku dalam
masyarakat negara.[2] Melintasi
batas budaya dalam hal ini dimaksudkan bahwa seharusnya tidak ada lagi
perbedaan dalam pengaturan dan pelaksanaan hak
asasi manusia dikarenakan perbedaan budaya tidak mempengaruhi berlakunya
hak asasi manusia, karena Universalitas
dari hak asasi manusia.
Dalam kenyataannya
persoalan budaya yang selalu menghambat berlakunya Hak asasi manusia yang dipandang Universal,
bahkan konsep hak asasi manusia yang
sudah menjadi suatu hukum kebiasaan internasional dapat diperlakukan berbeda
dalam suatu negara dengan pertimbangan sosial dan budaya dari negara tersebut,
yang sebenarnya tidak sesuai dengan
hak asasi manusia yang bersifat
Universal.
Hak asasi manusia
filosofinya adalah menjamin penghormatan
terhadap setiap orang martabat dan kemerdekaan manusia
dari semua bentuk tindakan yang
tidak sesuai dengan harkat martabat manusia dalam menjalankan hidupnya di masyarakat.[3]
Konsep hak asasi
manusia yang dipandang sebagai suatu konsepsi yang universal, Universal
dalam kamus umum Bahasa Indonesia WJS
Poerwadarminta diartikan sebagai umum (yang
meliputi (berlaku di,terdapat di )
seluruh dunia (termasuk, dilakukan oleh) semua orang; berakibat pada semua
orang[4].
Dengan menggunakan pedoman yang terdapat dalam kamus WJS Poerwadarminta, maka
dengan demikian hak asasi manusia
Universal diartikan sebagai hak asasi
manusia yang berlaku di seluruh dunia. Dalam Websters Ninth New Collegiate
Dictionary, [5]
“Universal: 1. including or
covering all or a whole collectively or distributively without limit or exceptions;
2. a present or occuring everywhere b:
existent or operative everywhere or
under all condition.”
“Universality: 1. the quality or
state of being Universal; 2. Universal Comprehensiveness in range.”
“Universalism: 1. often cap as a:
a theological doctriBne that all men will eventually be saved b: the principles and practises of a
liberal Christian denomination founded
in the 18th century orig. .to uphold
belief in universal salvation and know united with unitarianism 2. something that is universal in scope.”
Berpedoman kepada
Websters Ninth New Collegiate Dictionary, maka universal diartikan sebagai
berlaku umum, Universality atau
Universalitas diartikan sebagai sesuatu yang berlaku umum, dan universalisme
diartikan sebagai suatu paham yang bersifat universal, dalam kaitan dengan
penelitian ini maka hak asasi manusia
adalah berlaku Universal yang artinya berlaku umum, di setiat tempat dan di
setiap waktu, dan hak asasi manusia
sebagai suatu obyek yang berlaku umum, yang kemudian mengakibatkan paham atau
pandangan bahwa hak asasi manusia berlaku secara universal.
Dalam praktik negara-negara seringkali
penerapannya menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli hukum bahwa penerapan
universalitas dari hak asasi manusia ke dalam hukum nasional atau pelaksanaan
hak asasi manusia oleh negara tidak sesuai dengan prinsip
universalitas, dan cenderung disesuaikan dengan
bagaimana pandangan negara mengenai hak asasi manusia itu sendiri.
“Sebagai
bangsa yang merupakan bagian (sub-sistem) masyarakat global, tanpa mengabaikan
unsur-unsur partikularistik yang dominan, berbagai kecenderungan global harus
dilihat sebagai kecenderungan nasional. Hal ini khususnya apabila berkaitan
dengan hak asasi manusia
yang bersifat absolute (absolute
rights) yang tidak dapat dikesampingkan, sekalipun suatu negara dalam keadaan darurat.”[6]
Konsepsi hak asasi
manusia secara universal, tentunya tidak dapat terlepas dari hukum
internasional dimana sumber hukum internasional adalah:
a.
international
conventions, whether general or
particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states;
b.
International
custom, as evidence of a general
practice accepted as law.
c.
The
General Principles of Law Recognized by civilized nations;
d.
Judicial
decisions and the teaching of the most highly publicist of the various nations,
as subsidiary means for the determinations of rules of law.[7]
Hukum Internasional memiliki instrumen-instrumen utama hak
asasi manusia yang meliputi :
1.
Universal
Declaration of Human Rights
2.
International
Covenant on Civil and Political Rights
3.
International
Covenant on Economic,Social and Cultural Rights
4.
Optional
Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights
5.
Second
Optional Protocol to The International Covenant on Civil and Political Rights,
aiming at the abolition of the death penalty.
Sebagai suatu tatanan
nilai yang telah diterima masyarakat internasional sebagaimana pengertian hukum internasional, dimana hukum
internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan azaz-azaz yang mengatur
hubungan-hubungan yang melampaui batas-batas negara antara negara dengan negara
atau antara negara dengan subyek hukum internasional atau antara subyek hukum
internasional yang satu dengan yang lain.[8]
Maka negara telah menerima
konsep universalitas itu sebagai suatu konsep yang berlaku secara universal. Bahkan dalam hal ini adanya
pandangan yang lebih moderat dan menafsirkan kecenderungan global lebih luas
yang mencakup pula pelbagai resolusi badan-badan PBB, model perjanjian (model treaties), code of conduct, guidelines, basic principles, safeguard, standar
minimum rules, dan berbagai deklarasi
yang disusun oleh badan-badan internasional serta hasil-hasil pertemuan
ilmiah yang diselenggarakan oleh profesi internasional[9]:
“Globalisasi
semakin memperkuat pemikiran-pemikiran
untuk mempersoalkan nilai-nilai dasar HAM, yang bersifat universal, indivisible and interdependent and interelated. Bahkan sering ditegaskan agar
masyarakat internasional memperlakukan hak
asasi secara global in a fair and
equal manner, on the same footing, and
with the same emphasis.
Di
dalam Viena Declaration and Programme of Action (Juni 1993) butir
E.83 yang mengatur mengenai implementation and monitoring methods ditegaskan
bahwa pemerintah-pemerintah hendaknya menggabungkan (incorporate) standar-standar yang terdapat pada instrument hak
asasi manusia internasional ke dalam hukum nasional (domestic Legislation) dan memperkuat
pelbagai struktur, lembaga nasional dan organ-organ dalam masyarakat yang
memainkan peran di dalam mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia.”[10]
“Muladi mengatakan
sekalipun hak asasi manusia
memiliki sifat universal, namun sebagaimana negara-negara berkembang yang lain dalam
implementasinya dikenal pula asas
relativisme kultural, yang secara universal juga sudah mendapatkan pengakuan,
tentu sejauh penggunaan asas relativisme kultural tersebut tidak bertentangan
dengan prinsip dan hakekat hak
asasi manusia yang universal.
Pentingnya untuk tetap mempertimbangkan
aspek kultural dan historis suatu bangsa atau masyarakat dalam penerapan
hak asasi manusia, nampak pada contoh
sebagai berikut:
The
Jakarta message (1992) butir 18 antara lain menegaskan
bahwa “No country however, should use ist power to dictate its
concept of democracy and human rights or impose conditionalities on others.”
Deklarasi Kuala Lumpur
(1993) tentang hak asasi manusia yang dirumuskan oleh ASEAN Inter Parliamentary Organization (AIPO) antara lain
menegaskan :
“the people of ASEAN Accept that human rights exist in a dynamic and
volving context and that each country has inherent historical experiences, and
changing economic, social,political and cultural and value system which should be taken into account”.
Deklarasi Bangkok 1993
yang dirumuskan oleh negara-negara Asia yang menyatakan bahwa:
“While Human Rights are Universal
in nature, they must be considered in the context of a dynamic and envolving process of
international norms setting, bearing in
mind the significance of national and regional peculiarities and various
historical, cultural and religious background.”[11]
Deklarasi Wina dan
Program Aksi (1993) yang dihasilkan oleh konferensi dunia tentang Hak asasi manusia yang merumuskan bahwa:
“All human rights are universal, indivisible
and interdependent and interrelated while the significant of national and
regional Particularities and various historical, cultural and religious
background must be borne in mind, it is the duty of states, regardless of their
political, economic and cultural systems, to promote and protect all human rights and fundamental freedoms.”[12]
Sekalipun para sarjana
hukum sering berpendapat bahwa berbicara mengenai universalitas dan
partikularitas dari hak asasi
manusia pada saat ini sudah tidak
relevan lagi, pada kenyataannya persoalan tersebut selalu saja terjadi ketika
berbicara mengenai pengaturan hak asasi
manusia dalam peraturan
perundang-undangan nasional dan pelaksanaan atau penegakan hukum mengenai
hak asasi manusia.
Dalam kaitannya dengan
konsep universalitas dari hak asasi manusia, dalam penerapannya di suatu negara
hak asasi manusia yang sifatnya universalitas tersebut kemudian dipengaruhi
oleh aspek sosial budaya dari negara yang bersangkutan. Universalitas tersebut
kemudian dilihat dalam konsep hak asasi
manusia dari negara yang bersangkutan
yang dipengaruhi oleh konsep-konsep lain seperti konseps hak asasi manusia
dalam Persepektif Islam, konseps hak
asasi manusia dalam Perspektif
Indonesia, hak asasi manusia dalam Persepektif Barat, konsep hak asasi manusia
dalam Perspektif Negara Maju, konsep hak
asasi manusia dalam Perspektif
Negara Berkembang, yang kesemuanya itu pada akhirnya membawa pembahasan pada
universilitas dan partikularitas dari hak
asasi manusia.
Perdebatan mengenai universalitas dan relativitas selalu mengemuka
apabila berbicara mengenai hak
asasi manusia.[13]
Satu hal yang juga harus dicatat bahwa adalah salah satu hal yang dapat
dipergunakan untuk menentukan persoalan budaya dalam pemberlakuan hak asasi
manusia, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia tidak sesuai
untuk non barat dan ajaran-ajaran agama.[14]
Zehra F Kabaskal Arat, mengatakan bahwa dengan
penerimaan masyarakat internasional terhadap Universal Declaration of Human Rights masyarakat internasional telah memiliki budaya
internasional tersendiri.[15]
Kritikan terhadap universalitas dari Universal Declaration of Human Rights, disebabkan karena :
1.
Latar
Belakang Budaya yang Berbeda
2.
Dipandang
mencoba untuk merubah Budaya lokal dan
mengganti budaya lokal tersebut.
3. Universal Declaration of Human
Rights dipandang menciptakan suatu budaya baru yang
disebut dengan Budaya Internasional Baru.[16]
Perbedaan yang ada
dalam menyikapi Universal Declaration of
Human Rights, apakah negara tetap akan menghormati Universal
Declaration of Human Rights.[17]
Pada sisi lain apabila
pengaturan hak asasi manusia dalam suatu negara sudah disesuaiakan dengan latar
belakang dan budaya suatu negara apakah menjamin bahwa hak asasi manusia
tersebut akan dilaksanakan dengan baik.[18]
Dalam menyikapi
perbedaan pandangan mengenai universalitas dan partikularistik dari HAM dikenal
adanya suatu konsep yang disebut dengan “The Concept of the Margin Appreciation”,
dimana yang dimaksudkan dengan Concept of
Margin Appreciation adalah suatu konsep dalam menyikapi perbedaan
pelaksanaan universalitas dari hak asasi manusia dengan aspek sosial dan budaya
maka diperlukan suatu toleransi dalam menyikapi perbedaan pandangan yang ada
tannpa memberikam justifikasi bahwa suatu paham dalam hak asasi manusia lebih
baik dari paham yang lain.[19]
Dalam kaitannya dengan pembahasan
hak asasi manusia yang Universal serta
perlunya diperhatikan aspek-aspek sosial budaya setempat yang dikenal dengan
Partikularistik dari hak asasi manusia, peneliti mengacu kepada Final
Declaration of the Regional Meeting For Asia of The World Conference on Human
Rights yang kemudian dikenal dengan Bangkok
Declaration 1993 merupakan pengakuan regional dari hak asasi manusia terhadap Universalitas dari
hak asasi manusia sebagaimana tanpa mengabaikan aspek partikularistik dari
hak asasi manusia.
Reaffirming
their commitment to principles contained in the Charter of the United Nation
and the Universal Declaration on Human Rights[20]
Stressing the
Universality,Objectivity and non selectivity of all human rights and the need
to avoid the application of double standards in the implementation of human
rights and its politicization.[21]
Dalam
Deklarasi 8
“While Human Rights are Universal
in nature,they must be considered in the context of a dynamic and volving process of international
norms setting, bearing in mind the
significance of national and regional peculiarities and various
historical,cultural and religious background.”[22]
Serta
dalam Deklarasi 24
“Welcome the
important role played by national institution in the genuine and constructive
promotion of Human Rights, and believe that the conceptualization and eventual
establihsment of such institution are best left for the state to decide.”[23]
Hak Asasi Manusia sebagai suatu nilai yang
universal tertuang dalam Universal
Declaration of Human rigths, yang ditegaskan kembali dalam Deklarasi Wina
“Dalam sejarah perkembangannya yang awal di
negeri-negeri Barat, proses berkembangnya ide hak-hak manusia yang asasi --
berikut segala praksis-praksis implementatifnya -- terjadi berseiring benar
dengan berkembangnya ide untuk
Membangun suatu negara bangsa yang demokratik dan
berinfrastruktur masyarakat warga (civil society). Ide ini
mencita-citakan terwujudnya suatu komunitas politik manusia sebangsa atas dasar
prinsip kebebasan dan kesamaan derajat serta kedudukan di hadapan hukum dan
kekuasaan. Ini berarti bahwa setiap manusia sebangsa dalam kehidupan komunitas
bangsa yang disebut Negara bangsa itu akan tak lagi boleh dipilah ke dalam
golongan mereka yang harus disebut para Gusti dengan segala hak-hak istimewanya
dan golongan mereka yangharus dinisbatkan sebagai para Kawula Alit dengan
segala kewajibannya untuk patuh dan berdisiplin.
Tak lagi mengenal dua kelas yang terpilah secara
diskriminatif, masyarakat yang terbentuk itu -- demikian menurut model idealnya
-- adalah suatu masyarakat baru yang berhakikat sebagai masyarakat warga yang
pada asasnya berkebebasan, eksis dan bersitegak di atas dasar paham
egalitarianisme. Tak lagi ada kelas ningrat yang atas, tak ada lagi kelas
kawula biasa yang bawah, yang ada kini ini (idealnya yang universal !) adalah
kelas tengah.Semua saja tanpa kecualinya memiliki hak dan kebebasan yang sama.
Hak dan kebebasan hanya boleh dibatasi -- atas dasar kesepakatan, yang dicapai
tanpa rasa keterpaksaan -- oleh para warga itu sendir (atau oleh wakil atau
kuasanya).
Kesepakatan seperti itu, yang dalam istilah
teknisnya kesepakatan kontraktual, kemudian
daripada itu harus dipositifkan dalam wujud kontrak-kontrak perjanjian
(manakala dalam kehidupan privat) atau akan berbentuk undang-undang (manakala dalam
kehidupan publik). Itulah suatu perkembangan dalam kehidupan hukum,dari
kehidupan dengan hukum yang tercipta oleh sumber kekuasaan eksternal ke
kehidupan baru dengan hukum yang tercipta oleh sumber kekuasaan yang internal
dari para manusia itu sendiri diidealkan seperti itu, maka pada asasnya dan
menurut doktrinnya hak-hak para warga yang asasi dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara itu – juga pembatasannya dalan wujud kewajiban-kewajiban -- mestilah
berawal pula dari kesepakatan yang jujur dan ikhlas. Tidaklah sekali-kali
dibenarkan manakala hubungan atas dasar kesepakatan itu terjadi karena suatu
pemaksaan atau keterpaksaan, atau pula karena dikecoh atau disesatkan lewat
penipuan. Hak dan kewajiban yang menjadi dasar dari seluruh tertib hukum di
dalam kehidupan bernegara bangsa dan di dalam kehidupan masyarakat warga itu
tidaklah sekali-kali boleh bermula dari kehendak sepihak yang dipaksakan :
dipaksakan oleh dia yang tengah berkekuatan dan berkekuasaan kepada dia yang
tengah berada dalam posisi lemah dan kurang berkeberdayaan Tatkala hak-hak
asasi manusia dideklarasikan di New York atas wibawa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948,
deklarasi itu tak ayal lagi adalah deklarasi yang pada dasarnya bertolak dari
dan bertumpu pada ide, doktrin dan/atau konsep mengenai kebebasan dan
kesetaraan manusia sebagaimana yang telah lama dimengerti di dunia Barat itu
sebagaimana dipaparkan di muka.
Lebih lanjut lagi
deklarasi itu bahkan juga mengklaim bahwa hak-hak dan seluruh ide dan
doktrin yang mendasarinya itu juga bernilai universal Kalau semula pada awalnya yang dimaksudkan
dengan universalitas itu adalah universalitas yang masih pada lingkup nasional,
mengatasi partikularisme yang lokal dan/atau etnik dan atau yang sektarian,
kini yang dimaksudkan dengan universalitas itu
deklarasi itu secara resmi disebut
The Universal Declaration of Human Rights, dengan mengikutkan
kata ‘universal’ guna mengkualifikasi deklarasi itu sebagai suatu
pernyataan yang berkeniscayaan mesti berlaku umum di negeri manapun, pada kurun
masa yang manapun, untuk dan terhadap sesiapapun dari bangsa manapun.Namun
demikian, yang masih tetap akan menjadi persoalan besar sampai pun saat ini
ialah, apakah ide dan konsep – dan karena
itu segala kebijakan dan upaya penegakan hak-hak asasi manusia di dalam
kehidupan yang telah berskala global itu – harus bersifat demikian
universalistik, dalam artiannya yang mutlak? Ataukah, sekalipun deklarasi itu
telah diterima oleh banyak wakil negara
bangsa di dunia ini, masihkah ada juga tempat untuk tafsir-tafsir yang lebih
bersifat partikularistik? Artinya, adakah hak-hak asasi manusia itu harus
ditegakkan kapan saja, di mana saja dalam pengertiannya yang sama sebagaimana
modelnya yang klasik dari Barat itu? Ataukah hak-hak asasi manusia itu hanya
bisa dipandang sebagai sesuatu yang
universal dalam hal prinsip-prinsipnya saja? Yang oleh sebab itu
implementasinya -- demi pemajuan dan penegakan hak-hak dengan memperimbangkan
dan/atau memperhitungkan kondisi dan situasi setempat yang partikular .”
0 komentar:
Posting Komentar