Minggu, 02 Juni 2013

TINJAUAN ASPEK NILAI DASAR PANCASILA 
TERHADAP PIDANA MATI

Dalam suatu negara yang merdeka pasti mempunyai tujuan, bentuk dan dasar negara, tak terkecuali Indonesia. Tujuan yang ingin di capai dari kemerdekaannya antara lain: ingin terwujudnya masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat,  hidup damai diantara bangsa-bangsa serta bersahabat dengan bangsa-bangsa di dunia, atas dasar kemerdekaan abadi dan keadilan sosial.
Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan negara Indonesia, terbentuk melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Secara kausalitas Pancasila sebelum disyahkan menjadi dasar filsafat negara nilai-nilainya telah ada dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang berupa nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan dan nilai-nilai religius. Kemudian para pendiri negara mengangkat nilai tersebut dirumuskan secara musyawarah mufakat berdasarkan moral yang luhur, antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI danPPKI yang akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945 dinyatakan syah oleh PPKI sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia mempunyai fungsi dan peranan yang antara lain :
1.      Pancasila sebagai Pandangan hidup bangsa
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa terkandung makna bahwa Pancasila merupakan rangakaian nilai-nilai luhur, yang menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri  yang berfungsi sebagai kerangka acuan baik untuk menata kehidupan diri pribadi maupun dalam berinteraksi antar manusia dalam masyarakat serta alam sekitarnya.
Dengan Pancasila menjadi pandangan   hidup, maka bangsa Indonesia akan mengetahui ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya, akan mampu memandang dan memecahkan segala persoalan yang dihadapinya secara tepat. Pada puncaknya Pancasila merupakan cita-cita moral bangsa yang memberikan pedoman dan kekuatan rokhaniah bagi bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2.      Pancasila sebagai  Dasar  Negara Republik Indonesia
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai maksud bahwa Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara /penyelenggara Negara. Pancasila dalam kedudukan sebagai Dasar Negara sering disebut sebagai Dasar Filsafat atau Dasar Falsafah Negara (philosofische Gronslas) dari negara, ideologi negara atau (staatsidee). Konsekuensinya seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan negara terutama segala peraturan perundang-undangan negara dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila.
3.      Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia
Pancasila sebagai ideologi bagi bangsa Indonesia pada hakekatnya Pancasila diangkat dari pandangan masyarakat Indonesia, ideologi sebagai ajaran/doktrin/theori yang diyakini kebenarannya, disusun secara sistematis, dan diberi petunjuk pelaksanaannya dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4.      Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Pancasila sebagai ideologi negara bersifat terbuka, aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan masyarakat. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya, akan tetapi dalam aplikasinya ideologi Pancasila yang bersifat terbuka, dikenal ada 3 tingkatan nilai yaitu  nilai dasar yang tidak berubah yaitu Pembukaan UUD 1945 yang merupakan pencerminan dari Pancasila, kemudian nilai instrumental sebagai sarana mewujudkan nilai dasar yang senantiasa sesuai dengan keadaan, dan nilai praktis berupa nilai pelaksanaan secara nyata yang sesungguhnya dalam kehidupan yaitu Undang-undang dan peraturan pelaksana lainnya, yang sewaktu-waktu dapat berubah seiring dengan perkembangan jaman (Ali Mansyur, 2007 : 146-148).
Penegakan hukum khususnya penanganan terhadap pelaku kejahatan yang diputus hukuman mati dalam negara dapat dilakukan secara preventif dan represif. Secara preventif diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran hukum oleh warga masyarakat, sedangkan  penegakan hukum represif dilakukan apabila usaha preventif telah dilakukan ternyata masih juga terdapat pelanggaran hukum  (Teguh Prasetyo dkk, 2005: 111-112). Kemudian  beberapa pendapat mengenai pidana mati : Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menilai hukuman mati masih relevan diterapkan di Indonesia. Bahkan, pihaknya mewacanakan perubahan cara eksekusi terhadap terpidana mati dari hukuman tembak menjadi injeksi (suntik mati). "Eksekusi dengan injeksi itu sudah pernah dibicarakan, namun belum kita dalami. Rencananya, kita akan meminta pertimbangan pada IDI (Ikatan Dokter Indonesia) untuk eksekusi dengan injeksi," 
Menurut Jaksa Agung, dasar ide injeksi itu mengacu pada jenis hukuman mati yang diterapkan di Amerika Serikat. Dia menambahkan, di AS terpidana mati disuntik dua kali dengan bahan mematikan Suntikan pertama diberikan agar terpidana tersebut pingsan terlebih dulu. Kemudian, diberikan suntikan kedua yang mengandung racun mematikan. "Sehingga, meninggalnya terpidana tersebut terlebih dulu diawali dengan pingsan. Untuk saat ini eksekusi di Indonesia dilakukan oleh regu tembak. Setelah penembakan dilakukan, eksekutor meminta bantuan dokter untuk memastikan apakah terpidana sudah meninggal. "Jika ternyata belum meninggal,terpidana tersebut akan ditembak di bagian belakang (kepala)".
Hukuman Mati masih relevan, pasal pasal dalam UU Narkotika yang menyebutkan hukuman mati bertentangan dengan Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 yang menekankan hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa. Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 telah dibatasi dengan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945. "Dalam Pasal 28j ditegaskan bahwa hak dan kebebasan harus tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang.
Maka, pembatasan itulah yang telah membuat hukuman mati tetap dilaksanakan. Dengan adanya Pasal 28j tersebut, hukuman mati masih relevan. Hal senada disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Hamid Awaluddin. Hamid mengungkapkan, untuk kejahatan narkoba, hukuman mati masih diterapkan. Alasannya, penggunaan narkoba memberikan efek yang sangat merugikan. Hamid membeberkan, saat ini pengguna narkoba sudah mencapai 3,2 juta yang berarti 1,5% dari jumlah penduduk Indonesia. "Dari 3,2 juta tersebut, 79 persennya adalah pencandu," katanya. Hamid juga mengungkapkan, biaya ekonomi dan sosial yang dibutuhkan untuk penyalahgunaan narkoba mencapai Rp23,6 triliun.
Hamid menambahkan, dari 111 ribu terpidana di seluruh Indonesia, 30 persennya adalah kasus narkoba. Bahkan, untuk kota tertentu prosentase terpidana narkoba lebih dari 30%. Di Jakarta, misalnya, terpidana narkoba mencapai 60%, sedangkan di Samarinda dan Balikpapan mencapai 80%. Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol I Made Mangku Pastika mengatakan, hukuman mati untuk kasus narkoba masih diperlukan. Dalam UUD 1945 telah disebutkan bahwa hak hidup adalah hak asasi. "Hak hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dengan keadaan apapun,"
Situasi yang berkembang sebagai kasus yang dilematis itu berlangsung dalam kondisi masyarakat bangsa kita yang sedang cenderung serba sensitif dalam hal-hal yang menyangkut perikehidupan kita bersama sebagai bangsa yang bermasyarakat majemuk. Persoalan daerah, suku, ras, serta agama sedang mencair. Perkembangan itu tidak pula lepas dari berlangsungnya pola dan nilai-nilai reformasi prodemokrasi dan hak-hak asasi dalam upaya menegakkan dan menghormati martabat manusia yang sekaligus berinteraksi dengan hak-hak kebutuhan pokok sosial, ekonomi, dan budaya.
Dihadapkan pada kondisi transisi semacam itu, sebaiknya pemikiran, pendekatan, dan sikap kita bersama, pemerintah, masyarakat madani, dan masyarakat luas, agar pula mampu bukan sekadar mengambil arus baru dari luar, tetapi menumbuhkan arus baru itu dalam interaksi serta dalam kerangka referensi dengan jati diri dan sikap bangsa bermasyarakat majemuk yang komprehensif termasuk dalam memahami paham kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Tanpa sekaligus menempatkan beragam gerakan dan pembaruan itu dalam realitas masyarakat bangsa berikut kerangka referensi dasarnya yang telah kita sepakati bersama, pengalaman kita terbentur-bentur dan proses kita mencair bisa lebih serius pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan, perumusan, penerapan, dan pelaksanaan pidana mati di Indonesia harus benar-benar memerhatikan bahwa hukuman mati bukan merupakan pidana pokok.
Hukuman mati bersifat pidana khusus dan alternatif, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, dan kalau terpidana berkelakuan terpuji, dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak-anak dan eksekusi pidana mati pada perempuan hamil atau seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa itu sembuh. MK meminta eksekusi hukuman mati bisa segera dilaksanakan bagi terpidana yang perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap.
Adapun Perspektif HAM yang menolak hukuman mati dapat dilihat di banyak negara di dunia. Kecenderungan di dunia saat ini adalah penghapusan hukuman mati. Banyak pula negara yang mendukung penghapusan hukuman mati. Hal itu membuktikan banyaknya negara yang ingin menjunjung tinggi HAM.
Salah satu persoalan serius yang dihadapi dalam penegakan hukum pidana kita adalah seputar hukuman mati yang dianggap tidak manusiawi. Di dunia terjadi perbedaan pemahaman terhadap makna dan hakikat hukuman, terutama para ahli hukum dan praktisi hak asasi manusia (HAM). Berbagai kritik tajam diarahkan, bahkan ada gerakan menentang hukuman mati. Konsep hukuman mati seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan sadis. Hal ini semata-mata hanya dilihat dari satu aspek, yaitu kemanusiaan menurut standar dunia modern, tanpa melihat alasan, maksud, tujuan, dan keefektifannya.
Setidaknya, ada beberapa implikasi yang menyebabkan banyak para pakar hukum dan HAM, termasuk di Indonesia, menolak hukuman mati. Pertama, dianggap kejam dan mengerikan, yang mengingatkan kepada hukum rimba. Kedua, tidak mampu memberantas tindak pidana atau tidak akan mencegah seseorang untuk melakukan pembunuhan.
Ketiga, eksekusi hukuman mati bersifat abadi, tidak bisa diubah jika di kemudian hari ternyata tidak memiliki dasar yang kuat. Keempat, berlawanan dengan kebebasan orang (pribadi), karena hidup manusia adalah milik pribadi yang esensial dan tidak bisa diganggu oleh orang lain. Jika diteliti secara lebih mendalam, setiap hukuman pada hakikatnya mengandung unsur kekejaman. Sekiranya hukuman mati dihapuskan, hukuman-hukuman lain pun harus dihapuskan. Bukankah hukuman penjara seumur hidup dengan kerja paksa juga mengekang kebebasan dan bersifat kejam? Bagi si terpidana, bisa jadi akan lebih memilih hukuman mati ketimbang menderita seumur hidup di dalam penjara.  Tujuan hukuman, sebagaimana kecenderungan pemikiran hukum positif akhir-akhir ini, lebih berorientasi untuk mendidik dan memperbaiki si terhukum.
Menurut Barda Nawawi Arief (1996)  mengatakan bahwa  pertimbangan digesernya kedudukan pidana mati itu didasarkan pada pemikiran, bahwa dilihat dari tujuan pemidanaan dan tujuan diadakannya/digunakannya hukum pidana sebagai salah satu sarana kebijakan kriminal dan kebijakan sosial.
Untuk itu bagi orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak, menunjukkan ia tidak lagi mempertimbangkan akibat-akibat hukumnya. Apalagi, orang yang terbunuh juga memiliki hak hidup sebagaimana orang yang membunuhnya.  Dengan kata lain, setiap orang juga punya kewajiban untuk tidak menyebabkan orang lain mati. Atau, setiap orang punya hak untuk tidak dikorbankan sampai mati. Karena itu, adalah wajar jika orang yang membunuh dengan sengaja, harus dihilangkan nyawanya pula dari kehidupan masyarakat (dunia).
Di sisi lain, kekeliruan putusan hakim pada dasarnya berlaku juga bagi hukuman-hukuman lain. Misalnya, apakah seseorang yang dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara, kemudian setelah menjalani hukuman tersebut ternyata ditemukan bukti-bukti baru yang menunjukkan kesalahan pada putusan hakim, maka putusan itu dapat diubah? Yang jelas, jika ketelitian dan keadilan dapat dijalankan, maka adanya kesalahan dalam menetapkan putusan hukuman mati kemungkinannya akan sangat kecil. Tentunya, pelaksanaan hukuman mati setelah melalui proses pemeriksaan dan pembuktian yang sangat ketat dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat memberikan keyakinan kepada hakim. 
Dengan kata lain, pada tiap-tiap hukuman ada dua tujuan, yaitu memberi pengajaran terhadap diri pelaku kejahatan dan menjadi pencegahan terhadap orang lain. Apabila hukuman mati tidak memiliki implikasi atau tidak ada nilainya bagi si terhukum, maka nilainya terletak pada kesannya terhadap orang lain sebagai pencegahan umum.
Di sinilah, sistem hukum kita hendaknya tidak meninggalkan sama sekali teori pembalasan. Jika dicermati lebih mendalam, hukum kita ternyata lebih banyak berpihak kepada pelaku tindak kejahatan ketimbang berorientasi kepada kepentingan umum atau masyarakat luas, terutama pihak korban dan keluarganya. Padahal, sebagai hukum publik, hukum pidana di Indonesia seharusnya lebih berorientasi kepada perlindungan masyarakat banyak dan pihak korban, meski tidak harus mengabaikan nasib atau hak-hak pelaku kejahatan itu sendiri.
Pidana mati, menurut Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, karena konstitusi Indonesia tidak menganut azas kemutlakan hak asasi manusia.
Hak azasi yang diberikan oleh konstitusi kepada warga negara mulai dari pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945, menurut MK, dibatasi oleh pasal selanjutnya yang merupakan pasal kunci yaitu pasal 28J, bahwa hak azasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak azasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial.
Pandangan konstitusi itu, menurut MK, diteruskan dan ditegaskan juga oleh UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang juga menyatakan pembatasan hak azasi seseorang dengan adanya hak orang lain demi ketertiban umum.
Dengan menerapkan pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, terorisme, MK berpendapat Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun. Bahkan, MK menegaskan pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius. Sebaliknya, MK menyatakan Indonesia memiliki kewajiban untuk mematuhi konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam bentuk UU Narkotika. Konvensi itu justru mengamanatkan kepada negara pesertanya untuk memaksimalkan penegakan hukum secara efektif terhadap pelaku kejahatan narkotika.
Konvensi juga mengamanatkan negara peserta untuk mencegah serta memberantas kejahatan-kejahatan narkotika yang dinilai sebagai kejahatan sangat serius, terlebih lagi yang melibatkan jaringan internasional. Dengan demikian, penerapan pidana mati dalam UU Narkotika bukan saja tidak bertentangan, Dan hukum-hukum internasional seperti ICCPR, Rome Statue of International Criminal Court, dan deklarasi HAM Eropa, menurut MK, masih memungkinkan diterapkannya hukuman mati.
Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dan anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), justru harus menganut Protokol Kairo yang disahkan oleh OKI bahwa hak hidup adalah karunia dari Tuhan dan harus dilindungi kecuali oleh keputusan syariah, sehingga hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan
Ancaman pidana mati dalam UU Narkotika  dirumuskan secara cermat dan hati-hati, tidak diancamkan kepada semua pidana narkotika, seperti kepada para penyalah guna dan pengguna. Hukuman mati hanya diancamkan kepada produsen dan pengedar secara gelap dan hanya untuk golongan I, seperti ganja dan heroin.
Pidana mati dalam Undang-undang tersebut juga disertai dengan ancaman pidana minimum, sehingga pidana mati hanya dapat dijatuhkan apabila terdapat bukti yang sangat kuat. Dengan demikian, jelaslah ancaman pidana mati tidak boleh sewenang-wenang dijatuhkan oleh hakim pidana mati hanya dijatuhkan untuk pidana yang sifatnya khusus dan alternatif. Selain itu, pidana mati dapat diperingan melalui masa percobaan selama 10 tahun menjadi hukuman seumur hidup atau penjara 20 tahun, serta dapat ditunda untuk ibu hamil atau orang sakit jiwa.
Dengan demikian implementasi pidana mati yang dijatuhkan dengan pembuktian dan pemeriksaan yang sangat ketat, dengan berbagai pertimbangan keamanan dan ketertiban masyarakat umum, maka jelas tidak bertentangan dengan nilai kemanusian yang adil dan beradab, justru kalau   pidana mati  tidak dilaksanakan padahal jelas-jelas telah terbukti berkekuatan tetap melanggar hukum, maka perwujudan  rasa keadilan dan  HAM telah diabaikan.

PENUTUP
Pemidanaan adalah salah satu  bentuk upaya manusia untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan dan pelanggaran yang berat dan istilah pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang saling berhubungan. Hal ini diwujudkan dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan tertentu (kejahatan berat) dengan pidana mati.
Hukuman mati bersifat pidana khusus dan alternatif, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, dan kalau terpidana berkelakuan terpuji, dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak-anak dan eksekusi pidana mati pada perempuan hamil atau seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa itu sembuh. Mahkamah Konstitusi meminta eksekusi hukuman mati bisa segera dilaksanakan bagi terpidana yang perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap.
Hukuman mati masih relevan,  walaupun bertentangan dengan Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 yang menekankan hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa. Akan tetapi Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 telah dibatasi dengan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945. Dalam Pasal 28j ditegaskan bahwa hak dan kebebasan harus tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang.
Dalam pandangan Islam, menghilangkan nyawa orang lain hanya boleh karena dua faktor : 1)  Kehendak Alloh SWT, 2) Konsekuensi penegakan hukumnya (eksekusi atas putusan hakim). Sedangkan Ancaman pidana mati dalam pidana islam menackup empat kejahatan : 1) perbuatan zina, 2) perampokan, 3) pembunuhan dan subversi, 4) pengkhianatan terhadap agama (murtad).  Dengan demikian sasaran yang ingin di capai dibalik penerapan hukum islam adalah terwujudnya keamanan, ketenteraman dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
Dengan demikian implementasi pidana mati yang dijatuhkan dengan pembuktian dan pemeriksaan yang sangat ketat, dengan berbagai pertimbangan keamanan dan ketertiban masyarakat umum, maka jelas tidak bertentangan dengan nilai kemanusian yang adil dan beradab, justru kalau   pidana mati  tidak dilaksanakan padahal jelas-jelas telah terbukti berkekuatan tetap melanggar hukum, maka perwujudan  rasa keadilan dan  HAM telah diabaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Mansyur, 2007, Aneka Persoalan Hukum, Semarang, Unissula Press
 Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhakti.
 Rudy Satrio M, 2004, Rancangan KUHP Menghindari Hukuman Mati, Jakarta: Departemen Hukum dan HAM.
 Syahruddin Husein, 2003, Pidana Mati  Menurut Hukum Pidana Indonesia, Sumatera Utara: USU Digital Library.
 Teguh Prasetyo, dkk., 2005, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Pustaka Belajar
 -----------------, Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen.


0 komentar:

Posting Komentar