TINJAUAN ASPEK NILAI DASAR PANCASILA
TERHADAP PIDANA MATI
Dalam suatu negara yang merdeka pasti mempunyai tujuan, bentuk dan dasar
negara, tak terkecuali Indonesia. Tujuan yang ingin di capai dari
kemerdekaannya antara lain: ingin terwujudnya masyarakat yang merdeka, bersatu,
berdaulat, hidup damai diantara
bangsa-bangsa serta bersahabat dengan bangsa-bangsa di dunia, atas dasar
kemerdekaan abadi dan keadilan sosial.
Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan negara
Indonesia, terbentuk melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa
Indonesia. Secara kausalitas Pancasila sebelum disyahkan menjadi dasar filsafat
negara nilai-nilainya telah ada dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang
berupa nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan dan nilai-nilai religius. Kemudian
para pendiri negara mengangkat nilai tersebut dirumuskan secara musyawarah
mufakat berdasarkan moral yang luhur, antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI
danPPKI yang akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945 dinyatakan syah oleh PPKI
sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia mempunyai fungsi
dan peranan yang antara lain :
1. Pancasila sebagai Pandangan hidup bangsa
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa terkandung
makna bahwa Pancasila merupakan rangakaian nilai-nilai luhur, yang menyeluruh
terhadap kehidupan itu sendiri yang
berfungsi sebagai kerangka acuan baik untuk menata kehidupan diri pribadi
maupun dalam berinteraksi antar manusia dalam masyarakat serta alam sekitarnya.
Dengan Pancasila menjadi pandangan hidup, maka bangsa Indonesia akan mengetahui
ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya, akan mampu memandang dan memecahkan
segala persoalan yang dihadapinya secara tepat. Pada puncaknya Pancasila
merupakan cita-cita moral bangsa yang memberikan pedoman dan kekuatan rokhaniah
bagi bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Pancasila sebagai Dasar
Negara Republik Indonesia
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai maksud
bahwa Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur
pemerintahan negara /penyelenggara Negara. Pancasila dalam kedudukan sebagai
Dasar Negara sering disebut sebagai Dasar Filsafat atau Dasar Falsafah Negara (philosofische Gronslas) dari negara,
ideologi negara atau (staatsidee). Konsekuensinya
seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan negara terutama segala peraturan
perundang-undangan negara dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila.
3. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan
Negara Indonesia
Pancasila sebagai ideologi bagi bangsa Indonesia
pada hakekatnya Pancasila diangkat dari pandangan masyarakat Indonesia,
ideologi sebagai ajaran/doktrin/theori yang diyakini kebenarannya, disusun
secara sistematis, dan diberi petunjuk pelaksanaannya dalam menanggapi dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
4. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Pancasila sebagai ideologi negara bersifat terbuka,
aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan
perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan
masyarakat. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai
dasar yang terkandung di dalamnya, akan tetapi dalam aplikasinya ideologi
Pancasila yang bersifat terbuka, dikenal ada 3 tingkatan nilai yaitu nilai dasar yang tidak berubah yaitu
Pembukaan UUD 1945 yang merupakan pencerminan dari Pancasila, kemudian nilai
instrumental sebagai sarana mewujudkan nilai dasar yang senantiasa sesuai
dengan keadaan, dan nilai praktis berupa nilai pelaksanaan secara nyata yang
sesungguhnya dalam kehidupan yaitu Undang-undang dan peraturan pelaksana
lainnya, yang sewaktu-waktu dapat berubah seiring dengan perkembangan jaman
(Ali Mansyur, 2007 : 146-148).
Penegakan hukum khususnya penanganan terhadap pelaku
kejahatan yang diputus hukuman mati dalam negara dapat dilakukan secara
preventif dan represif. Secara preventif diadakan untuk mencegah agar tidak
dilakukan pelanggaran hukum oleh warga masyarakat, sedangkan penegakan hukum represif dilakukan apabila
usaha preventif telah dilakukan ternyata masih juga terdapat pelanggaran
hukum (Teguh Prasetyo dkk, 2005:
111-112). Kemudian beberapa pendapat
mengenai pidana mati : Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menilai
hukuman mati masih relevan diterapkan di Indonesia. Bahkan, pihaknya
mewacanakan perubahan cara eksekusi terhadap terpidana mati dari hukuman tembak
menjadi injeksi (suntik mati). "Eksekusi dengan injeksi itu sudah pernah
dibicarakan, namun belum kita dalami. Rencananya, kita akan meminta
pertimbangan pada IDI (Ikatan Dokter Indonesia) untuk eksekusi dengan
injeksi,"
Menurut Jaksa Agung, dasar ide injeksi
itu mengacu pada jenis hukuman mati yang diterapkan di Amerika Serikat. Dia
menambahkan, di AS terpidana mati disuntik dua kali dengan bahan mematikan
Suntikan pertama diberikan agar terpidana tersebut pingsan terlebih dulu.
Kemudian, diberikan suntikan kedua yang mengandung racun mematikan.
"Sehingga, meninggalnya terpidana tersebut terlebih dulu diawali dengan
pingsan. Untuk saat ini eksekusi di Indonesia dilakukan
oleh regu tembak. Setelah penembakan dilakukan, eksekutor meminta bantuan
dokter untuk memastikan apakah terpidana sudah meninggal. "Jika ternyata
belum meninggal,terpidana tersebut akan ditembak di bagian belakang
(kepala)".
Hukuman Mati
masih relevan, pasal pasal dalam UU Narkotika yang
menyebutkan hukuman mati bertentangan dengan Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 yang
menekankan hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa. Pasal 28i ayat 1 UUD
1945 telah dibatasi dengan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945. "Dalam Pasal 28j
ditegaskan bahwa hak dan kebebasan harus tunduk pada pembatasan yang ditetapkan
undang-undang.
Maka, pembatasan itulah yang telah
membuat hukuman mati tetap dilaksanakan. Dengan
adanya Pasal 28j tersebut, hukuman mati masih relevan. Hal senada disampaikan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Hamid Awaluddin. Hamid
mengungkapkan, untuk kejahatan narkoba, hukuman mati masih diterapkan. Alasannya,
penggunaan narkoba memberikan efek yang sangat merugikan. Hamid membeberkan,
saat ini pengguna narkoba sudah mencapai 3,2 juta yang berarti 1,5% dari jumlah
penduduk Indonesia. "Dari 3,2 juta tersebut, 79 persennya adalah
pencandu," katanya. Hamid juga mengungkapkan, biaya ekonomi dan sosial
yang dibutuhkan untuk penyalahgunaan narkoba mencapai Rp23,6 triliun.
Hamid menambahkan, dari 111 ribu terpidana di
seluruh Indonesia, 30 persennya adalah kasus narkoba. Bahkan, untuk kota
tertentu prosentase terpidana narkoba lebih dari 30%. Di Jakarta, misalnya,
terpidana narkoba mencapai 60%, sedangkan di Samarinda dan Balikpapan mencapai
80%. Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol I Made
Mangku Pastika mengatakan, hukuman mati untuk kasus narkoba masih diperlukan.
Dalam UUD 1945 telah disebutkan bahwa hak hidup adalah hak asasi. "Hak
hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dengan keadaan apapun,"
Situasi yang berkembang sebagai kasus yang dilematis
itu berlangsung dalam kondisi masyarakat bangsa kita yang sedang cenderung
serba sensitif dalam hal-hal yang menyangkut perikehidupan kita bersama sebagai
bangsa yang bermasyarakat majemuk. Persoalan daerah, suku, ras, serta agama
sedang mencair. Perkembangan itu tidak pula lepas dari berlangsungnya pola dan
nilai-nilai reformasi prodemokrasi dan hak-hak asasi dalam upaya menegakkan dan
menghormati martabat manusia yang sekaligus berinteraksi dengan hak-hak
kebutuhan pokok sosial, ekonomi, dan budaya.
Dihadapkan pada kondisi transisi semacam
itu, sebaiknya pemikiran, pendekatan, dan sikap kita bersama, pemerintah,
masyarakat madani, dan masyarakat luas, agar pula mampu bukan sekadar mengambil
arus baru dari luar, tetapi menumbuhkan arus baru itu dalam interaksi serta
dalam kerangka referensi dengan jati diri dan sikap bangsa bermasyarakat
majemuk yang komprehensif termasuk dalam memahami paham kemakmuran dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat.
Tanpa sekaligus menempatkan beragam gerakan dan pembaruan itu
dalam realitas masyarakat bangsa berikut kerangka referensi dasarnya yang telah
kita sepakati bersama, pengalaman kita terbentur-bentur dan proses kita mencair
bisa lebih serius pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi
peraturan, perumusan, penerapan, dan pelaksanaan pidana mati di Indonesia harus
benar-benar memerhatikan bahwa hukuman mati bukan merupakan pidana pokok.
Hukuman
mati bersifat pidana khusus dan alternatif, pidana mati dapat dijatuhkan dengan
masa percobaan selama sepuluh tahun, dan kalau terpidana berkelakuan terpuji,
dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Pidana
mati tidak dijatuhkan kepada anak-anak dan eksekusi pidana mati pada perempuan
hamil atau seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan tersebut
melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa itu sembuh. MK meminta eksekusi
hukuman mati bisa segera dilaksanakan bagi terpidana yang perkaranya sudah
berkekuatan hukum tetap.
Adapun Perspektif
HAM yang menolak hukuman mati dapat dilihat di banyak negara di dunia. Kecenderungan di dunia saat ini adalah penghapusan hukuman mati. Banyak pula negara yang mendukung penghapusan hukuman mati. Hal itu
membuktikan banyaknya negara yang ingin menjunjung tinggi HAM.
Salah
satu persoalan serius yang dihadapi dalam penegakan hukum pidana kita adalah
seputar hukuman mati yang dianggap tidak manusiawi. Di dunia terjadi perbedaan
pemahaman terhadap makna dan hakikat hukuman, terutama para ahli hukum dan
praktisi hak asasi manusia (HAM). Berbagai kritik tajam diarahkan, bahkan
ada gerakan menentang hukuman mati. Konsep hukuman mati seringkali digambarkan
sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan sadis. Hal ini semata-mata
hanya dilihat dari satu aspek, yaitu kemanusiaan menurut standar dunia modern,
tanpa melihat alasan, maksud, tujuan, dan keefektifannya.
Setidaknya, ada beberapa implikasi yang menyebabkan
banyak para pakar hukum dan HAM, termasuk di Indonesia, menolak hukuman mati.
Pertama, dianggap kejam dan mengerikan, yang mengingatkan kepada hukum rimba.
Kedua, tidak mampu memberantas tindak pidana atau tidak akan mencegah seseorang
untuk melakukan pembunuhan.
Ketiga, eksekusi hukuman mati bersifat abadi, tidak
bisa diubah jika di kemudian hari ternyata tidak memiliki dasar yang kuat.
Keempat, berlawanan dengan kebebasan orang (pribadi), karena hidup manusia
adalah milik pribadi yang esensial dan tidak bisa diganggu oleh orang lain.
Jika diteliti secara lebih mendalam, setiap hukuman pada hakikatnya mengandung
unsur kekejaman. Sekiranya hukuman mati dihapuskan, hukuman-hukuman lain
pun harus dihapuskan. Bukankah hukuman penjara seumur hidup dengan kerja paksa
juga mengekang kebebasan dan bersifat kejam? Bagi si terpidana, bisa jadi akan
lebih memilih hukuman mati ketimbang menderita seumur hidup di dalam penjara. Tujuan hukuman, sebagaimana kecenderungan
pemikiran hukum positif akhir-akhir ini, lebih berorientasi untuk mendidik dan
memperbaiki si terhukum.
Menurut Barda Nawawi Arief (1996) mengatakan bahwa pertimbangan digesernya kedudukan pidana mati
itu didasarkan pada pemikiran, bahwa dilihat dari tujuan pemidanaan dan tujuan
diadakannya/digunakannya hukum pidana sebagai salah satu sarana kebijakan
kriminal dan kebijakan sosial.
Untuk itu bagi orang yang menghilangkan nyawa orang
lain tanpa hak, menunjukkan ia tidak lagi mempertimbangkan akibat-akibat
hukumnya. Apalagi, orang yang terbunuh juga memiliki hak hidup sebagaimana
orang yang membunuhnya. Dengan
kata lain, setiap orang juga punya kewajiban untuk tidak menyebabkan orang lain
mati. Atau, setiap orang punya hak untuk tidak dikorbankan sampai mati. Karena
itu, adalah wajar jika orang yang membunuh dengan sengaja, harus dihilangkan
nyawanya pula dari kehidupan masyarakat (dunia).
Di sisi lain, kekeliruan putusan hakim pada dasarnya
berlaku juga bagi hukuman-hukuman lain. Misalnya, apakah seseorang yang
dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara, kemudian setelah menjalani hukuman
tersebut ternyata ditemukan bukti-bukti baru yang menunjukkan kesalahan pada
putusan hakim, maka putusan itu dapat diubah? Yang jelas, jika ketelitian dan
keadilan dapat dijalankan, maka adanya kesalahan dalam menetapkan putusan
hukuman mati kemungkinannya akan sangat kecil. Tentunya, pelaksanaan hukuman
mati setelah melalui proses pemeriksaan dan pembuktian yang sangat ketat dan
memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat memberikan keyakinan kepada
hakim.
Dengan kata lain, pada tiap-tiap hukuman ada dua
tujuan, yaitu memberi pengajaran terhadap diri pelaku kejahatan dan menjadi
pencegahan terhadap orang lain. Apabila hukuman mati tidak memiliki implikasi
atau tidak ada nilainya bagi si terhukum, maka nilainya terletak pada kesannya
terhadap orang lain sebagai pencegahan umum.
Di sinilah, sistem hukum kita hendaknya tidak
meninggalkan sama sekali teori pembalasan. Jika dicermati lebih mendalam, hukum
kita ternyata lebih banyak berpihak kepada pelaku tindak kejahatan ketimbang
berorientasi kepada kepentingan umum atau masyarakat luas, terutama pihak
korban dan keluarganya. Padahal, sebagai hukum publik, hukum pidana di
Indonesia seharusnya lebih berorientasi kepada perlindungan masyarakat banyak
dan pihak korban, meski tidak harus mengabaikan nasib atau hak-hak pelaku
kejahatan itu sendiri.
Pidana mati, menurut Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD
1945, karena konstitusi Indonesia tidak menganut azas kemutlakan hak asasi
manusia.
Hak azasi yang diberikan oleh konstitusi kepada
warga negara mulai dari pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945, menurut MK,
dibatasi oleh pasal selanjutnya yang merupakan pasal kunci yaitu pasal 28J,
bahwa hak azasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak
azasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial.
Pandangan konstitusi itu, menurut MK, diteruskan dan
ditegaskan juga oleh UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang juga menyatakan
pembatasan hak azasi seseorang dengan adanya hak orang lain demi ketertiban
umum.
Dengan menerapkan pidana mati untuk kejahatan serius
seperti narkotika, terorisme, MK berpendapat Indonesia tidak melanggar
perjanjian internasional apa pun. Bahkan, MK menegaskan pasal 6 ayat 2 ICCPR
itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara
peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius. Sebaliknya, MK menyatakan
Indonesia memiliki kewajiban untuk mematuhi konvensi internasional narkotika
dan psikotropika yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam bentuk UU
Narkotika. Konvensi itu justru mengamanatkan
kepada negara pesertanya untuk memaksimalkan penegakan hukum secara efektif terhadap
pelaku kejahatan narkotika.
Konvensi juga mengamanatkan negara peserta untuk
mencegah serta memberantas kejahatan-kejahatan narkotika yang dinilai sebagai
kejahatan sangat serius, terlebih lagi yang melibatkan jaringan internasional.
Dengan demikian, penerapan pidana mati dalam UU Narkotika bukan saja tidak
bertentangan, Dan hukum-hukum internasional
seperti ICCPR, Rome Statue of International Criminal Court, dan deklarasi HAM
Eropa, menurut MK, masih memungkinkan diterapkannya hukuman mati.
Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dan anggota
Organisasi Konferensi Islam (OKI), justru harus menganut Protokol Kairo yang
disahkan oleh OKI bahwa hak hidup adalah karunia dari Tuhan dan harus
dilindungi kecuali oleh keputusan syariah, sehingga hak untuk hidup itu tidak
boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan
Ancaman pidana mati dalam UU Narkotika dirumuskan secara cermat dan hati-hati, tidak
diancamkan kepada semua pidana narkotika, seperti kepada para penyalah guna dan
pengguna. Hukuman mati hanya diancamkan kepada
produsen dan pengedar secara gelap dan hanya untuk golongan I, seperti ganja
dan heroin.
Pidana mati dalam Undang-undang tersebut juga
disertai dengan ancaman pidana minimum, sehingga pidana mati hanya dapat
dijatuhkan apabila terdapat bukti yang sangat kuat. Dengan demikian, jelaslah
ancaman pidana mati tidak boleh sewenang-wenang dijatuhkan oleh hakim pidana mati hanya dijatuhkan untuk pidana yang
sifatnya khusus dan alternatif. Selain itu, pidana mati dapat diperingan
melalui masa percobaan selama 10 tahun menjadi hukuman seumur hidup atau
penjara 20 tahun, serta dapat ditunda untuk ibu hamil atau orang sakit jiwa.
Dengan demikian implementasi pidana mati yang
dijatuhkan dengan pembuktian dan pemeriksaan yang sangat ketat, dengan berbagai
pertimbangan keamanan dan ketertiban masyarakat umum, maka jelas tidak
bertentangan dengan nilai kemanusian yang adil dan beradab, justru kalau pidana mati
tidak dilaksanakan padahal jelas-jelas telah terbukti berkekuatan tetap
melanggar hukum, maka perwujudan rasa
keadilan dan HAM telah diabaikan.
PENUTUP
Pemidanaan adalah salah satu bentuk
upaya manusia untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan dan
pelanggaran yang berat dan istilah pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah
merupakan dua komponen permasalahan yang saling berhubungan. Hal ini diwujudkan
dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan tertentu (kejahatan berat) dengan
pidana mati.
Hukuman mati bersifat
pidana khusus dan alternatif, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa
percobaan selama sepuluh tahun, dan kalau terpidana berkelakuan terpuji, dapat
diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Pidana mati
tidak dijatuhkan kepada anak-anak dan eksekusi pidana mati pada perempuan hamil
atau seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan tersebut
melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa itu sembuh. Mahkamah Konstitusi
meminta eksekusi hukuman mati bisa segera dilaksanakan bagi terpidana yang
perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap.
Hukuman mati
masih relevan,
walaupun bertentangan dengan Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 yang menekankan
hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa. Akan tetapi Pasal 28i ayat 1 UUD
1945 telah dibatasi dengan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945. Dalam Pasal 28j ditegaskan
bahwa hak dan kebebasan harus tunduk pada pembatasan yang ditetapkan
undang-undang.
Dalam pandangan Islam, menghilangkan nyawa orang
lain hanya boleh karena dua faktor : 1)
Kehendak Alloh SWT, 2) Konsekuensi penegakan hukumnya (eksekusi atas
putusan hakim). Sedangkan
Ancaman pidana mati dalam pidana islam menackup empat kejahatan : 1) perbuatan
zina, 2) perampokan, 3) pembunuhan dan subversi, 4) pengkhianatan terhadap
agama (murtad). Dengan demikian sasaran
yang ingin di capai dibalik penerapan hukum islam adalah terwujudnya keamanan,
ketenteraman dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
Dengan demikian implementasi pidana mati yang
dijatuhkan dengan pembuktian dan pemeriksaan yang sangat ketat, dengan berbagai
pertimbangan keamanan dan ketertiban masyarakat umum, maka jelas tidak
bertentangan dengan nilai kemanusian yang adil dan beradab, justru kalau pidana mati
tidak dilaksanakan padahal jelas-jelas telah terbukti berkekuatan tetap
melanggar hukum, maka perwujudan rasa
keadilan dan HAM telah diabaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali
Mansyur, 2007, Aneka Persoalan Hukum, Semarang, Unissula Press
Barda
Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya
Bhakti.
Rudy
Satrio M, 2004, Rancangan KUHP Menghindari Hukuman Mati, Jakarta: Departemen
Hukum dan HAM.
Syahruddin
Husein, 2003, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana
Indonesia, Sumatera Utara: USU Digital Library.
Teguh
Prasetyo, dkk., 2005, Politik Hukum
Pidana, Yogyakarta: Pustaka Belajar
-----------------,
Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen.
0 komentar:
Posting Komentar