CRITICAL
REVIEW TENTANG IDEALISME/UTOPIANISME
Pemikiran Idealism/Utopianism muncul
setelah berakhirnya Perang Dunia I, yaitu akibat dari keinginan para ilmuwan
dan politisi untuk memahami sebab-sebab terjadinya perang dan untuk mewujudkan
dunia yang lebih damai. Kaum Idealis/Utopianis sendiri sebagian besar adalah
intellectual descendants (keturunan secara intelektual) dari optimisme masa
Pencerahan abad ke-18 dan Liberalisme abad ke-19.
Pada dasarnya, pemikiran Idealism/Utopianism didasarkan pada
keyakinan-keyakinan , antara lain:
1. Manusia esensinya adalah ”baik” atau lebih mementingkan kepentingan orang
lain dan oleh karenanya mau saling membantu dan bekerjasama. Manusia adalah
harmonis, tidak mau berperang atau konflik.
2. Perang dapat dihindari dan frekwensinya dapat dikurangi dengan menghapuskan
kondisi anarkhis yang dapat memperkuatnya. Ada tiga poin penting untuk
mengeliminasi perang dan agar dunia bisa menjadi damai, yaitu: a preference for
democracy over aristocracy, free trade over autarchy and collective security
over the balance of power system.
3. Perilaku manusia yang buruk, termasuk melakukan perang adalah bukan produk
dari kejahatan manusia tetapi kejahatan dari institusi atau lembaga dan susunan
struktur yang memotivasi seseorang untuk berbuat egois dan merugikan yang lain.
Oleh karena itu, perang bukanlah keinginan manusia tetapi merupakan kesalahan
system yang ada. Seperti yang dikatakan oleh Immanuel Kant, perang adalah
akibat dari system yang tidak demokratis. Jadi, dunia akan damai jika
negara-negara di dunia demokratis (a preference for democracy over
aristocracy). Prinsipnya adalah Inside Looking Out, melihat masing-masing
negara adalah demokratis.
4. Pada dasarnya manusia memperhatikan kesejahteraan dan kemajuan sesamanya.
Free trade, bagaimanapun juga, adalah sarana yang lebih efektif dan damai untuk
mewujudkan kesejahteraan nasional daripada autarchy (free trade over autarchy).
Sebagian besar perang dilakukan oleh negara adalah untuk mencapai kesuksesan
tujuan merkantilis mereka yang berarti autarchy, sedangkan free trade menyatukan
negara-negara dan unit-unit individu dimanapun dalam sebuah komunitas. Hambatan
yang dibuat dalam perdagangan dapat menyebabkan konflik internasional.
Perdagangan akan menciptakan hubungan ketergantungan yang saling menguntungkan
dan mengurangi konflik.
5. Perang dan ketidakadilan adalah masalah-masalah internasional yang
membutuhkan usaha-usaha kolektif/multilateral daripada usaha-usaha nasional
untuk melenyapkannya (collective security over the balance of power system).
Terdapat proses penghukuman bersama bagi negara yang melanggar kesepakatan atau
keluar dari collective security system. Posisi semua negara dianggap equal,
karena asumsinya semua negara adalah baik dan bersifat harmonis. Collective
security system menyediakan sebuah tingkat kepercayaan yang saling
menguntungkan.
6. Masyarakat internasional harus mereorganisasi dirinya sendiri secara
institusional untuk melenyapkan anarkhi yang lebih senang memandang
permasalahan sebagai perang. Bagi Idealis untuk mencapai perdamaian diperlukan
alat-alat normatif, yaitu hukum Internasional, organisasi Internasional dan
sejarah diplomasi. Perwujudan dari keyakinan ini adalah dibentuknya Liga
Bangsa-Bangsa (The League of Nations) yang diprakarsai oleh Presiden Amerika
Serikat Woodrow Wilson. Tujuan ini realistis karena sejarah menunjukkan bahwa
kerjasama tidak hanya mungkin tetapi merupakan kenyataan empiris yang
meyakinkan.
Dari keyakinan dan resep-resep yang ditawarkan kelompok Idealis/Utopianis di
atas, ada beberapa hal yang perlu dicermati, yaitu:
- Apakah benar semua manusia itu baik? Menurut orang realis, semua manusia adalah jahat sehingga konflik/perang adalah sesuatu yang inherent. Dan kenyataannya, manusia ada yang baik dan ada juga yang jahat.
- Mekanisme legal-institusional dari para teoritisi Idealis adalah sangat normative , hanya membahas bagaimana seharusnya negara bertindak tetapi tidak bisa menjelaskan mengapa negara melakukan suatu tindakan tertentu.
- Asumsi penghukuman bersama dalam collective security system dalam kenyataannya sulit untuk dilakukan, karena kedekatan masing-masing negara berbeda-beda dan sikap suatu negara pasti didasarkan pada national interest-nya.
- Kaum Idealis terlalu mengaburkan antara national interest dengan prinsip-prinsip moral universal.
- Munculnya pemikiran Kaum Idealis/Utopianis secara teoritis merupakan sumbangan baru, yaitu pendekatan yang lebih manusiawi, ingin menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, tapi sayangnya mereka mengklaim hanya merekalah yang benar.
- Upaya-upaya akademis teoritisi Idealis untuk mencegah perang juga tidak
berhasil. Perang Dunia sekali lagi terjadi dalam skala yang lebih luas, dengan
korban jiwa dan material yang semakin besar.
Yogyakarta, 28 Oktober 2003Dyah Estu Kurniawati
DAFTAR PUSTAKA
Agussalim, Dafri, Drs. MA, Reading
Break Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional, Program Pascasarjana, Bidang
Studi Ilmu Politik, Fisipol, UGM, Yogyakarta, 2003.
Dougherty, James E., Contending
Theories of International Relation, Harper Collins Publisher, Inc. 1990
Kegley, Charles W. Jr., Controversies
in International Relations Theory: Realism and Neo Liberal Challenge, St.
Martin’s Press, NY, 1995.
Mas’oed, Mohtar, Ilmu Hubungan
Internasional: Disiplin dan Metodologi, LP3ES, Jakarta, 1994.
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2003
Karena studi Hubungan Internasional
bukan sekedar untuk menjelaskan realitas hubungan Internasional tetapi juga
memiliki misi mengajak para pembuat keputusan untuk menjaga perdamaian, para
teoritisi Idealis menempatkan subyek-subyek seperti hukum Internasional,
perjanjian/traktat, moralitas hubungan Internasional dan organisasi
Internasional sebagai topik-topik utama. Negara sebagai aktor paling penting
didorong untuk senantiasa menimbang moralitas dan mematuhi hukum Internasional
dan perjanjian Internasional yang dibuatnya dengan negara lain.Upaya-upaya
akademis teoritisi Idealis mencegah perang tidak berhasil. Perang sekali lagi
terjadi dalam skala lebih luas dan dengan korban jiwa dan material yang semakin
besar. Lebih tragis lagi, perang terulang dalam selang waktu kurang dari 20
tahun. Sebagaimana sebelumnya, Perang Dunia II juga mendorong kelahiran
pendekatan baru dalam studi Hubungan Internasional, yang sekaligus sebagai
kritik terhadap pendekatan Idealis. Pendekatan yang baru ini – yang selanjutnya
dikenal sebagai pendekatan Realis – menuding pengajaran Hubungan Internasional
yang menitikberatkan pada hukum dan moral telah mengakibatkan para ilmuwan
Hubungan Internasional gagal melihat realitas dan faktor-faktor yang
menggerakkan perilaku negara sebagai aktor hubungan Internasional yang terpenting.
Kelemahan Idealisme
Richard Falk (Idealisme) menyatakan bahwa Realis sangat mengagungkan power dan
mengabaikan moral. Bagi Idealis tingkah laku manusia tidak hanya ditentukan
oleh power, dengan demikian masih perlu dipertanyakan apakah Realis mampu mewujudkan
perdamaian. Bagi Idealis untuk mencapai perdamaian diperlukan alat-alat
normatif, yaitu hukum Internasional, organisasi Internasional dan sejarah
diplomasi. Menurut Realis, Idealis tidak akan mampu mewujudkan perdamaian
karena mengabaikan kenyataan atau historis empiris, karena yang utama adalah
power.
Bagi Idealis, tidak ada realitas power, ambisi dan kepentingan nasional yang
abadi. Semuanya harus dilihat melalui prisma kebijakan yang akan berubah ketika
manusianya berubah. Kebijakan akan dipengaruhi oleh nilai-nilai dari sebuah
masyarakat yang diwujudkan dalam institusi domestiknya.
Keohane dan Nye menjelaskan bahwa
melalui keanggotaan institusi Internasional, negara secara signifikan dapat
meluaskan konsepsi mereka atas self interest dalam rangka melebarkan ruang
lingkup kerjasama. Kerelaan untuk mematuhi aturan organisasi tidak hanya
mengecilkan pengejaran kepentingan nasional yang sempit, tapi juga melemahlkan
arti dan seruan kedaulatan negara.Ini menunjukkan bahwa system Internasional
lebih mengatur secara normative daripada Realis.
Liberal Internationalism (Scott
Burchill,
Liberalism (Michael W. Doyle,
Democracy (Wilson,
Neo Wilsonian Idealisme (Fukuyama, 1992)
Ideal Politik (Kober, 1990)
Neo Idealis (Kegley, 1988, 1993)
Neo Liberalisme (Nye, 1988)
Neoliberal Institusionalisme (Griego, 1990)
The Recovery of Liberalisme (Little, 1993)
RELEVANSI
KELEMAHAN
Summary of Idealism/topianism:
• Aktor: States, Non States (Organisasi Internasional)
• Fokus Studi: Interstate Relations (Hukum Internasional, Treaty/Agreements dan
Organisasi Internasional)
Bagi Idealis tingkah laku manusia
lebih ditentukan oleh moral, tidak hanya oleh power. Tidak ada realitas power,
ambisi dan kepentingan nasional yang abadi. Semuanya harus dilihat melalui
prisma kebijakan yang akan berubah ketika manusianya berubah. Kebijakan akan
dipengaruhi oleh nilai-nilai dari sebuah masyarakat yang diwujudkan dalam
institusi domestiknya.
Untuk mencapai perdamaian diperlukan alat-alat normatif, yaitu hukum
Internasional, organisasi Internasional dan sejarah diplomasi. Keohane dan Nye
menjelaskan bahwa dengan menjadi anggota dari institusi Internasional, negara
secara signifikan dapat meluaskan konsepsi mereka atas self interest dalam
rangka melebarkan ruang lingkup kerjasama. Kerelaan untuk mematuhi aturan
organisasi tidak hanya mengecilkan pengejaran kepentingan nasional yang sempit,
tapi juga melemahkan arti dan seruan kedaulatan negara.Ini menunjukkan bahwa
system Internasional lebih mengatur secara normative daripada Realis.
Jadi, tujuan munculnya Ilmu Hubungan
Internasional adalah how to minimize conflict and maximize cooperation .
Padahal menurut Edward Hallet Carr
(Realis), ilmu Hubungan Internasional lahir karena ingin mengetahui penyebab
perang dan membangun perdamaian.
0 komentar:
Posting Komentar