STRATEGI DAN MOMENTUM DALAM MELINDUNGI HASIL RISET
Strategi dalam melindungi hasil-hasil riset secara
optimal, terkait dengan momentum, atau saat kita harus melindungi hasil-hasil
penelitian. Strategi dan momentum ini dapat diklasifikasi ke dalam tiga tahapan
yaitu: (i) tahapan pra riset, (ii) tahapan saat pelaksanaan riset, dan (iii)
tahapan paska riset. Secara konkrit, ketiga tahapan itu dapat diwujudkan dalam beberapa
aktivitas: (i) pengelolaan aktifitas penelitian[1]; (ii)
perlindungan hasil penelitian[2]; (iii)
pengeksploitasian aset kekayaan intelektual yang sudah dilindungi[3];
(iv) pemeliharaan dan penegakkan perlindungan hukum bagi hasil-hasil riset[4].
Secara umum dapat dirumuskan beberapa isu relevan yang
dapat dipertimbangkan dalam menentukan strategi perlindungan aset kekayaan
intelektual, seperti: (i) bidang teknis yang terkait; (ii) bentuk-bentuk hak
kekayaan intelektual yang dapat diterapkan; (iii) bagaimana memonitor kompetisi;
(iv) negara tujuan pasar; (v) biaya yang tersedia bagi perlindungan; (vi) beban
kerja, biaya dan personil yang diperlukan; (vii) jangka waktu perlindungan yang
diperlukan; (viii) bagaimana jika membeli atau menjual lisensi atas aset
kekayaan intelektual.
4.1. Pengevaluasian Hasil Riset – Teknologi
Pengevaluasian hasil-hasil riset ini dapat dilakukan
dari berbagai aspek, baik scientificnya, ekonominya, maupun aspek hukumnya.
Dalam bagian ini, pembahasan akan difokuskan hanya pada aspek hukumnya saja.
Jadi, saya tidak berbicara banyak tentang bagaimana mengevaluasi hasil-hasil
riset secara tekhnis ataupun ekonomis.
Mengevaluasi hasil-hasil riset dalam konteks hukum ini
berarti membicarakan keabsahan (validitas) hasil-hasil riset. Dalam konteks
ini, beberapa hal yang perlu dicermati antara lain: validitas target, strategi,
dan hasil riset[5], kelembagaan
atau organisasi, kontrak kerjasama dan hubungan hukum, serta akibat-akibat hukum
yang mungkin timbul dalam pengembangan riset bersama, dan bagaimana cara
pemanfaatan hasil-hasil riset. Secara teknis, dalam rezim paten, sudah tentu,
semua rencana, dan proses pelaksanaan serta hasil-hasil riset tersebut perlu dijaga kerahasiaannya dalam rangka
melindungi kepentingan komersialnya.
4.2. Tahapan Perlindungan Hukum Bagi Pengoptimasian Hasil
Riset
Penilaian terhadap teknologi dalam konteks paten ini
dimaksudkan untuk memperoleh hasil penelitian yang berdaya saing tinggi. Dalam
konteks ini, paten dapat menciptakan nilai tambah dan posisi tawar yang lebih
tinggi melalui: (i) perlindungan pangsa pasar prospektif; (ii) peminimalisasian
kompetisi pada bidang yang sama. Dalam konteks ini peneliti perlu mencermati
dua isu paten yang terkait dengan hasil penelitian, yaitu: (i) kepastian
perlindungan terhadap invensi atau inovasi yang dihasilkan, (ii) kepastian
bahwa penelitian tersebut tidak melanggar paten pihak lain[6].
Guna menelaah aspek-aspek yang berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap kegiatan penelitian ini secara lebih detail, maka
pembahasan pada bagian akan difokuskan pada dua tahapan utama dalam
perlindungan hukum atas hasil-hasil penelitian, yaitu: (i) tahap pra riset, dan
(ii) tahap paska riset.
4.2.1.
Pra Riset : Menilai Teknologi dalam Konteks Paten
Dalan tahap pra riset, seorang peneliti perlu
menelusuri (searching) dokumen
penemuan / teknologi dalam bidang yang sama, yang berdekatan (prior art). Hal ini dapat dilakukan dengan
menggunakan semua sumber informasi[7]. Penelusuran
dokumen paten ini dapat memberikan informasi yang lebih proporsional, karena ia
merupakan publikasi spesifik paten yang memuat rincian teknis yang
mengungkapkan fungsi suatu penemuan.
Bagi peneliti, penelusuran dokumen paten ini diperlukan
dalam rangkaian kegiatan penelitian baik dalam: (i) tahap perencanaan strategi
dan tujuan[8], (ii)
selama pelaksanaan[9], dan (iii)
setelah kegiatan penelitian[10]. Informasi
dalam dokumen paten ini tidak terbatas pada informasi yang berkaitan dengan perlindungan
hukum atau yang sedang dalam proses mendapatkan perlindungan, tetapi juga
meliputi informasi tentang paten yang jangkawaktu perlindungannya sudah habis atau
yang telah menjadi public domain. Informasi demikian sangat bermanfaat
baik bagi peneliti, pengusaha ataupun masyarakat luas dalam rangka mengakses
informasi tersebut secara bebas dan mengembangkannya tanpa kekhawatiran telah melakukan
pelanggaran atas paten orang lain.
Pentingnya perlindungan hukum sebelum penelitian dilakukan
untuk melindungi nilai inventif dan inovatif dari hasil penelitian[11],
sedangkan pada saat sesudah kegiatan penelitian selesai, perlindungan hukum ditujukan
untuk melindungi nilai ekonomis dari hasil riset.
4.2.2.
Paska Riset : Perolehan Hak melalui Pendaftaran Permohonan Hak
Perlindungan hukum dalam tahap paska penelitian ini
dapat dilakukan melalui pnentuan status kepemilikan atas hasil-hasil riset
tersebut. Penentuan kepemilikan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
sengketa di kemudian hari, yang bisa berakibat terabaikannya hasil penelitian. Hal ini dapat dilakukan dengan upaya perolehan
hak paten atas hasil-hasil riset tersebut.
Cara untuk memperoleh hak paten ini dapat dilihat
dalam berbagai peraturan pelaksanaan yang sudah berlaku secara efektif. Secara
umum, peroleh hak paten ini diawali dengan menagajukan pendaftaran permohonan
hak. Permohonan paten menjadi dasar dari kepemilikan patent tersebut[12].
Secara normatif, permohonan hak paten harus memuat[13]:
(i) tanggal, bulan dan tahun pendaftaran; (ii) alamat lengkap peohon; (iii)
nama lengkap dan kewarganegaraan pemohon (inventor atau pemegang paten); (iv)
permohonan paten yang dimintakan; (v) judul penemuan; (vi) klaim yang terdapat
dalam invensi tersebut; (vii) deskripsi tertulis tentang penemuan yang memuat
informasi yang lengkap tentang cara pelaksanaan invensi; (viii) gambar yang
disebut dalam deskripsi diperlukan untuk klarifikasi; dan (ix) abstrak yang
berkaitan dengan invensi.
Pentingya permohonan paten ini mensyaratkan adanya
system administrasi yang efesien[14]
dan kualifikasi tekhnis dalam bidang ilmu pengetahuan dan rekayasa[15]. Oleh
karena itu, para pengacara paten memainkan peranan kunci dalam merumuskan
aplikasi paten, khususnya dalam merancang klaim[16]. Profesi
ini diberikan setelah lulus dari serangkaian ujian yang mencakup aspek-aspek hukum
dan pratek dalam system paten[17]. Tujuan
dari kebijakan ini semata-mata hanya untuk mempermudah inventor atau pemegang
paten[18] mendapatkan
hak patennya.
4.3. Pengeksploitasian : Mengkomersialkan
Hasil Riset –Teknologi
Pengkomersialisasian
hasil-hasil riset ini dapat dilakukan melalui berbagai cara atau metode.
Umumnya, metode utama dalam pengeksploitasian –pengkomersialisasian- teknologi
ini dilakukan dengan jalan memindahkan teknologi tersebut. Secara normative,
berdasarkan UU Paten Indonesia-, paten dapat ditransfer berdasarkan (i)
pewarisan[19], (ii) hibah[20], (iii) wasiat[21], pejanjian tertulis[22], dan metode lain yang dibenarkan
undang-undang[23], seperti jual beli, dan lisensi[24].
Dalam prakteknya, adanya
keragaman model kontrak alih teknologi ini disebabkan karena kondisi
lingkungan, saat kontrak dibuat (moment of contracting), karakteristik negara
atau perusahaan characteristics, dan sebagainya. Kontrak dalam rangka
pengkomersialisasian teknologi tersebut dapat terjadi dalam berbagai perjanjian,
seperti jual beli paten, franchise dan distribusi, turnkey projects[25]; kontrak konstruksi, kontrak manufaktur,
kontrak manajemen, dan kontrak bantuan tekhnis, atau konsultasi, joint venture,
foreign direct investment, and licence[26]. Dari berbagai penelusuran literature, dpat
diketahui bahwa diantara berbagai metode perjanjian tersebut, perjanjian
lisensi merupakan inti dalam proses pengalihan teknologi –pengkomersialisasian
teknologi.[27]
4.4. Lisensi : Instrumen Hukum dalam Pendistribusian
Teknologi
Hingga saat ini, lisensi paten merupakan cara yang
paling efesien dan efektif dalam mengeksploitasi teknologi –technology
transfer-[28]. Ia
dapat menjembatani berbagai kepentingan bisnis baik individu maupun lembaga
–perusahaan atau negara-, khususnya dalam menelusuri atau mencari invention dan
innovation. Dari konsep diatas, dapat diidentifikasi beberapa kemanfaatan dalam
lisensi paten. Kemanfaatan tersebut menyentuh aspek: (i) ekonomi; (ii)
industri, (iii) teknologi dan (iv) alasan hukum.
4.4.1.
Definition and Basic Concept
Secara literar, kata lisensi berasal dari kata “licentia”, yang berarti ijin untuk
menggunakan sesuatu[29]. Secara
esensial, lisensi merupakan pemberian hak untuk melakukan sesuatu[30]. Secara
normatif, lisensi paten didefinisikan sebagai ijin untuk mengeksploitasi atau
memberikan kewenangan untuk mengeksploitasi[31] penemuan
yang sudah dipatenkan.
4.4.2.
Obyek dalam Perjanjian Lisensi Paten: Invention
Obyek lisensi paten adalah invensi atau penemuan di
bidang teknologi. Perlu diketahui bahwa penemuan tersebut dapat terdiri dari
paten dan know how. Sebagai perbandingan, di Eropa, perjanjian lisensi ini
dapat mencakup paten murni, know how, dan campuran antara know how dan paten
murni[32].
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa umumnya
hasil riset yang dapat dilisensikan adalah invensi yang sudah dipatenkan.
Dengan demikian, paten yang dijadikan sebagai obyek dalam perjanjian lisensi
harus memenuhi persyaratan substansial[33]
dan criteria penemuan yang dapat dipatenkan (patentabilitas). Berkaitan dengan
patentabilitas dari suatu penemuan, pada dasarnya, semua penemuan yang lahir
dari kemampuan intelektual manusia dapat dipatenkan[34], kecuali
beberapa hal yang disebutkan dalam Pasal 7, UU No. 14 Tahun 2002: (i) tidak
bertentangan dengan hukum[35],
ketertiban umum, dan moral[36].
Sedangkan terminology know how digunakan untuk mengkonstruksi
informasi komersial yang bermanfaat yang tidak dilindungi oleh paten[37].
Know how merupakan pembadanan dari informasi tekhnis yang bersifat rahasia[38],
substantial[39] dan
diidentifikasi[40] dalam
bentuk yang wajar. Secara khusus, know-how adalah pengetahuan atau keahlian
dalam melaksanakan beberapa fungsi –dalam produk atau proses- secara efesien. Sebagai
contoh, dalam lisensi know-how, lisensor akan memberitahukan atau
mendeskripsikan pada lisensee tentang teknik manufacturing atau proses, resep, formula
kimia, rancangan atau gambar pabrik[41].
Dalam hal know how, licensee mendapat ijin untuk
mengakses dan menggunakan know - how, yang merupakan bagian dari perjanjian
lisensi, yang tidak dapat diperoleh dengan mudah dan murah oleh licensee. Oleh
karena itu, perlindungan atas informasi rahasia menjadi penting. Ia dapat
dilindungi atas dasar hubungan kontraktual diantara para pihak yang terlibat
dalam perjanjian lisensi.
4.4.3.
Subject of Patent License: Licensor and Licensee
Subyek dalam perjanjian lisensi adalah para pihak yang
terlibat dalam kontrak lisensi. Kontrak tersebut dibuat oleh lisensor dan
lisensee atau pengguna dari teknologi yang dilisensikan. Dalam prakteknya, para
pihak tersebut dapat melibatkan pemerintah, lembaga, perusahaan dan atau bahkan
individu[42].
4.4.4.
Tipe dan Model Lisensi Paten
Pada dasarnya, terdapat dua tipe lisensi: (i)
sukarela; dan (ii) lisensi wajib. Lisensi sukarela didasarkan atas perjanjian
para pihak berdasarkan prinsip-prinsip umum dalam hukum kontrak, sedangkan
lisensi wajib melibatkan intervensi pemerintah dalam melaksanakannya. Dalam hal
ini, lisensi diberikan tanpa memerlukan perjanjian dari pemegang hak paten[43].
Di Indonesia, lisensi wajib diatur berdasarkan Undang-undang No. 14 Tahun 2001
tentang Paten, pasal 74 - 87.
Obyek dari ketentuan lisensi wajib ini adalah paten
yang tidak digunakan. Tujuannya, untuk menjamin agar inventor, baik asing
maupun domestik, dan pemegang paten national dapat melaksanakannya dalam
wilayah Negara Indonesia[44],
sehingga tidak menghambat pembangunan ekonomi –industri dan perdagangan-
nasional. Selain itu, ketentuan ini juga ditujukan untuk mencegah impor barang
yang sama ke dalam wilayah Indonesia.[45]
Ketentuan yang berkaitan dengan lisensi wajib ini
merefleksikan perhatian pemerintah terhadap upaya perlindungan kepentingan
nasional, kepentingan publik, dan agar teknologi yang dipatenkan tersebut tidak
disalahgunakan[46].
Sejalan dengan pernyataan tersebut, berdasarkan kepentingan nasional,
pertahanan keamanan, dan kepentingan publikseperti kesehatan, makanan, dan
untuk mengawasi pelaksanaan suatu paten[47],
UU Paten memberlakukan ketentuan tentang lisensi wajib[48]
dan pembatalan atau penarikan (revocation)[49]
atas suatu patent.
Lisensi wajib diberikan oleh pengadilan niaga[50]
setelah mempertimbangkan: (i) kemampuan[51] dan fasilitas yang memadai[52]
dari pemohon yang mengajukan permohonan lisensi wajib untuk melaksanakan paten
yang bersangkutan secar penuh; (ii) usaha wajar yang dilakukan oleh si pemohon
untuk mendapatkan lisensi atas dasar persyaratan yang normal[53];
(iii) apakah paten yang bersangkutan memberikan kemanfaatan pada sebagian besar
masyarakat[54].
Tampaknya, beberapa Negara berkembang berharap
memperoleh teknologi asing melalui lisnsi wajib[55].
Namun demikian, sekalipun lisensi wajib diyakini sebagai instrument utama untuk
mengaktifkan paten yang tidak dilaksanakan, secara praktis, hal ini tidak dapat
bekerja secara maksimal[56]. Bahkan
lebih ekstrim, Yanke menyarankan, agar dinyatakan bahwa secara tekhnis, lisensi
wajib merupakan suatu proses yang sangat sulit karena lisensing semata-mata
tanpa mentransfer know how dari pemegang paten tidak dapat diharapkan menjadi
efektif dan efesien[57].
Selanjutnya, mengenai metode, secara teoritis, lisensi paten
dapat dilaksanakan melalui beberapa cara: (i) exclusive[58];
(ii) non-exclusive; and (iii) license tunggal. Undang-undang Paten Indonesia
mengklasifikasikannya ke dalam lisensi eksklusif dan non-eksklusif.
Karakteristik dari paten yang dilisensikan itu berpengaruh dalam memutuskan
apakah paten itu dilisensikan secara eksklusif[59]
atau non-eksklusif.[60]
4.4.5.
Prinsip-prinsip Umum dalam Perjanjian Lisensi
Dalam proses lisensi, ada beberapa petunjuk yang dapat
dipertimbangkan. Petunjuk tersebut diekstraksi dari pandangan umum tentang
prinsip-prinsip hukum yang diredusir ke dalam factor-faktor yang paling sering
terjadi dalam perjanjian lisensi. Prinsip tersebut merupakan cara praktis untuk
mengatasi kesenjangan atau perbedaan kepentingan para pihak dan kepentingan
publik. Serangkaian aturan telah dikembangkan dari analisis yang didasarkan
atas prinsip-prinsip fundamental yang bersumber dari common law, dan diterapkan
ke dalam kasus-kasus yang menafsirkan prinsip-prinsip normative yang
selanjutnya dapat diterapkan dalam pelisensian HAKI[61]
-patent- seperti yang dirumuskan oleh Melville.[62]
4.6.
Konstruksi Hukum Kontrak Lisensi Paten
Interaksi antara HAKI dan aturan kontrak selalu menjadi isu
utama dalam mendistribusikan asset-aset HAKI di pasar terbuka. Interaksi
tersebut merupakan titik sentral dan utama dalam mencapai kontrak yang seimbang.
Kontrak sebagai instrument hukum untuk pengembangan dan pengeksploitasian
asset-aset komersial dari informasi dan teknologi.
Dalam lisensi paten, tidak ketentuan umum tentang kontrak
standar. Pembatasan pada kontrak dapat bersumber dari teori-teori hukum kontrak
dan kebijakan public, termasuk beberapa kebijakan yang bersumber dari paten dan
bidang HAKI lainnya. Pembatasan yang lehir dari doktrin HAKI dan kebijakan lain
cenderung dititikberatkan pada penghapusan praktik persaingan curang.
Konstruksi kontrak lisensi yang wajar sangat tergantung pada bagaimana keadaan
ketika kontrak itu dibuat. Tidak hanya kata-kata atau aturan dan pasal-pasal
dalam perjanjian,[63] tetapi
juga niat dari para pihak dan factor lain juga perlu dipertimbangkan oleh
pengadilan[64].
4.5. Membuat Kontrak Lisensi: Pengkonstruksian Perlindungan
Hukum
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pengusahaan
hasil-hasil riset, teknologi adalah pengalihan teknologi melalui linsensi. Hal
ini dapat diwujudkan melalui pembuatan kontrak pengkomersialisasian teknologi
atau alih teknologi[65]. Kontrak
inilah yang menjadi dasar bagi para pihak dalam bertindak guna memenuhi hak dan
kewajibannya masing-masing. Isi dari kontrak ini juga dapat berfungsi sebagai
indicator dalam melakukan pelaksanaan, pengawasan, dan pengembangan tekonologi
yang diperjanjikan. Hal yang terlebih penting lainnya adalah seluruh isi
kontrak yang disepakati tersebut menjadi instrumen hukum yang paling kuat dalam
melindungi kepentingan para pihak. Dengan demikian, pembuatan kontrak ini
merupakan salah satu strategi yang digunakan dalam melindungi hasil-hasil riset
dalam bentuk teknologi atau penemuan yang sudah dipatenkan.
Pembuatan kontrak guna mencapai kesepakatan dalam
perjanjian alih teknologi –lisensi- dapat menjadi permasalahan yang sangat
kompleks.[66]
Permasalahan pertama, terkait dengan kurangnya sumber informasi yang dapat
diacu secara formal dan mengikat secara hukum tentang alih teknologi[67].
Tidak ada standar perjanjian alih teknologi yang dapat diterima secara
internasional. Faktor-faktor tersebut telah mengakibatkan perjanjian alih
teknologi sangat tergantung pada pada pengalaman dan keahlian negosiasi yang
baik[68]
dari masing-masing individu. Namun demikian, terdapat masalah-masalah hukum
yang perlu dicatat dalam membuat kontrak alih teknologi. Masalah tersebut dapat
diidentifikasi pada tiga tahapan: (i) Pra-Kontrak; (ii) Kontrak; (iii) Paska
Kontrak.
4.5.1.
Pra Kontrak : Persiapan
Dalam tahap pra kontrak ini, para pihak dapat
melakukan persiapan untuk menjamin keberhasilan proses pengkomersialisasian
hasil-hasil riset, teknologinya. Dalam
konteks ini, para pihak dapat melakukan evaluasi atas teknologi dan aspek
pengelolaannya (manajemen dan pemasaran), menilai dan memilih mitra yang potensial,
mengidentifikasi pasar, mencermati masalah hukum dalam pengusahaan teknologi,
dan lain sebagainya.
Dari sudut kepentingan lisensor, dalam
pengeksploitasian teknologi, Mc Keough dan Stewart menegaskan pentingnya
manajemen[69] dan
pemasaran teknologi[70]. Para
pihak juga perlu mencermati potensi pasar yang belum terbukti, sebagai the most
often challenging basic premise dalam kaitannya dengan invensi lisensor. Oleh
karena itu, dalam upaya mengeliminasi resiko, lisensor perlu mengadopsi prinsip
pengoptimasian[71], pengayaan
(enrichment)[72] dan
strategi pengamanan (safeguarding
strategies)[73] dalam
mengelola teknologi, dan selanjutnya, pemasaran teknologi yang baik untuk
mendapatkan licensees yang potensial[74].
Sedangkan dari sudut kepentingan licensee, penilaian
teknologi ini sangat penting artinya untuk memastikan atau menjamin
keberhasilan dalam proses alih teknologi. Oleh karena itu, sebelum memasuki
tahap negosiasi yang konkrit, licensee harus dapat menilai teknologi yang
dilisensikan. Sayang sekali teknologi tersebut seringkali dilisensikan pada
saat potensi pasarnya tidak dapat direalisasikan. Terkadang para pihak telah
menyepakati terminology lisensi, bahkan sebelum teknologi tersebut dikembangkan.
Kasus ini kerap muncul sebagai bagian dari perjanjian kerjasama penelitian[75].
Selain itu, para pihak tidak selalu terlibat dalam
analisis yang rinci ketika menentukan harga yang harus dibayar untuk teknologi,
khususnya teknologi tahap awal. Mereka juga kerap membuat putusan berdasarkan
intuisinya, dan penilaian terhadap apa yang dikehendaki oleh pihak lain dalam
negosiasi. Akibatnya, para pihak sering menemukan gap awal antara harapan dan
fakta yang berkaitan dengan keuangan[76]. Oleh
karena itu, adalah penting untuk mengidentifikasi beberapa factor yang
mempengaruhi harga teknologi tersebut[77].
Selain masalah tekhnis, diatas, masalah yang tidak
kalah krusialnya adalah masalah hukum dalam tahap pra kotrak lisensi. Masalah
ini berkaitan dengan permasalahan tekhnis ketika menegosiasikan dan menyepakati
terminology-terminologi yang digunakan dalam kontrak alih teknologi.
Penegosiasian dan perancangan proses tersebut harus diarahkan pada
pengharmonisasian tujuan komersial dari lisensor dan tujuan pengembangan
teknologi penerima lisensi[78].
Dalam tahap ini, perbedaan para pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut
harus saling mengenal dan mengetahui satu sama lainnya. Mereka harus dapat
mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan melalui kerjasama dan
mereka harus dapat mencapai kesepakatan mengenai hak yang seimbang antara keinginan
masing-masing pihak.
Secara praktis, Schlicher mengidentifikasi beberapa
factor yang mempengaruhi negosiasi dalam kontrak lisensi: (i) permasalahan
penawaran; (ii) alternative teknologi yang tersedia bagi penerima lisensi yang
potensial; (iii) biaya transaksi lisensi[79];
(iv) masalah litigasi yang berkaitan dengan pelanggaran; dan (v) beberapa
sumber resiko[80].
Kompleksitas dalam menegosiasikan kontrak alih teknologi[81]
mensyaratkan para pihak untuk mempertimbangkan factor-faktor diatas, dan
merancangnya serta mengkonstruksinya ke dalam kontrak secara hati-hati. Hal ini
penting, karena perjanjian lisensi memuat hubungan yang terus menerus dan
timbale balik antara lisensor dan lisensi. Untuk alasan tersebut, adalah
penting untuk menelusuri kecocokan dan komitmen para pihak yang berkontrak
dalam mengeksploitasi teknologi. Selain itu, obyek hubungan tersebut harus
diidentifikasi secara jelas[82].
Hasil negosiasi tesebut biasanya dibadankan ke dalam
sebuah dokumen memorandum of understanding (MoU)[83].
Sekalipun para pihak belum terikat oleh kewajiban formal, dokumen tersebut
dapat memberikan informasi yang signifikan dalam membuat kontrak. Biasanya,
klausula dalam memorandum of understanding tidak jauh berbeda dengan dengan
klausula-klausula yang disepakatai dalam hasil akhir perjanjian yang
ditandatangani[84]. Selain
itu, nilai dari dokumen MoU sudah tentu lebih memiliki muatan moral dan
komersial daripada muatan hukum[85].
Umumnya, beberapa isu yang dibahas dalam negosiasi
tersebut mencakup (i) identifikasi obyek dan subyek dari perjanjian, ruang
lingkup lisensi, royalty, perpajakan, implied licence, jangka waktu dan
berakhirnya kontrak, ketentuan pembatasan praktek persaingan curang yang
berkaitan dengan lisensi, dan penyelesaian sengketa.
4.5.1.1. Pengidentifikasian Subyek
dan Obyek
Validitas kontrak tergantung pada kejelasan baik
subyek maupun obyek dari perjanjian lisensi. Di Indonesia, sumber hukum
tersebut dapat ditemukan dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
yang mengatur persyaratan subyektif dan obyektif[86].
Secara tekhnis, subyek dalam perjanjian lisensi ini dapat berupa lembaga,
termasuk Negara, perusahaan, dan departemen tertentu, atu perorangan. Sedangkan
obyek dalam perjanjian lisensi ini adalah hasil-hasil riset yang teknologi yang
dipatenkan.
Dalam upaya melindungi kepentingan bisnis lisensor,
sekaligus menjamin keberhasilan alih teknologi, para pihak perlu
mengidentifikasi dan menentukan mitra (penerima lisensi) yang berkualitas dan
potensial. Sebelum memulai upaya serius apapun dalam negosiasi, penerima
lisensi yang potensial harus menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan tekhnis,
kemampuan financial, dan kemampuan pemasaran dalam mengembangkan penemuan ke
dalam produk atau jasa dan membawanya ke pasar[87],
disamping status, posisi, dan fasilitas. Secara praktis, adalah tidak mudah
untuk menemukan dan mencari tahu mitra yang berkualitas dan potensial tersebut[88].
Selanjutnya, dengan mempertimbangkan kemampuan tekhnis
dan keuangan kandidat dalam mengembangkan dan memasarkan teknologi[89],
lisensor akan membuat penilaian yang berkaitan dengan prospek yang lebih baik
dari lisensi. Seharusnya dicatat bahwa motivasi dan komitmen yang kuat dari
penerima lisensi untuk mengkomersialisasikan teknologi lebih penting daripada
ukuran –besar atau kecil- perusahaan penerima lisensi[90].
Sebaliknya, dari sudut kepentingan penerima lisensi, adalah penting untuk
mengidentifikasi teknologi yang potensial yang akan dilisensikan.
4.5.1.2. Ruang Lingkup Pengkomersialisasian
Teknologi melalui Lisensi
Ruang lingkup lisensi membentuk keluasan hak yang
diberikan pada para pihak yang berkontrak – licensor dan licensee. Secara lebih
spesifik, pembatasan ruang lingkup lisensi akan berdampak terhadap klusula lain
dari perjanjian, termasuk royalty, peningkatan, non-competition clauses, hak
untuk menentukan pengkhiran kontrak lebih awal, ganti rugi, jaminan dan
perwakilan, dan lain sebagainya[91].
Ada beberapa indicator yang dapat digunakan untuk
menentukan ruang lingkup lisensi paten: (1) konsep, dan keluasan hak eksklusif,
(2) metode lisensi paten; dan (3) criteria dari isu atau masalah yang dapat
dipatenkan. Indicator 1 and 2 akan membentuk otoritas dan kompetensi para
pihak, sedangkan yang ke-3 akan menentukan ruang lingkup dari lisensi paten.
4.5.1.3. Implied Lisence dalam
Perjanjian Lisensi
Dalam kontrak lisensi, ada kesepakatan yang
kadang-kadang tidak dibadankan dalam bentuk kontrak, tetapi tindakan tertentu
harus dilakukan karena ia melekat pada produk atau teknologi yang dilisensikan.
Biasanya, pengeksploitasian barang-barang yang dipatenkan oleh pembeli atau licensor
dikonstruksi ke dalam (embodied) “implied licence” kecuali inventor menentukan pembatasan khusus[92]. Tampaknya,
“the implied licence” berasal dari konsep hak eksklusif pemegang paten. Tampaknya
implied licence cenderung melindungi
kepentingan licensor. Secara praktik, licensee kerap menentang pemuatan
kewajiban demikian dalam perjanjian, atas dasar bahwa lisensor menerapkan
kewajiban yang berat bagi lisensee[93].
Dalam implied licence, perjanjian kerap memasukkan
kewajiban pada lisensee untuk menggunakan upayanya yang terbaik dalam melakukan
sesuatu, seperti memaksimalkan penjualan dari produk yang dilisensikan[94]. Perjanjian
tersebut juga dapat memuat klausula yang mensyaratkan lisensi untuk menggunakan
‘all diligence’[95] guna
meningkatkan penjualan atas invensi dan menggunakan segala upaya terbaiknya ‘best
endeavours’ untuk mengeksploitasinya[96].
4.5.1.4. Pembayaran: Royalty dan
Pertimbangan Finansial
Persoalan keuangan dalam perjanjian
lisensi ini mengharuskan adanya keseimbangan antara resiko dan reward. Pembayaran
tersebut dapat berupa ikatan timbale
balik[97];
lump sum[98];
service fees; equity interest or royalty. Tingkat royalty tidak ditentukan oleh
undang-undang, ia merupakan kewajiban licensee atas dasar hubungan kontraktual,
dan prinsip keseimbangan[99].
4.5.1.5. Terminologi Tambahan: Arbitrasi
dan Ganti Rugi
Perjanjian lisensi eksklusif juga secara khusus
biasanya memuat klausula yang menentukan siapa pihak yang akan melakukan
penyelesaian atau penuntutan terhadap paten yang dilanggar. Selain itu,
sebagian besar perjanjian lisensi memuat klausula yang berkaitan dengan
bagaimana kerugian atau ganti rugi tersebut akan didistribusikan[100];
siapa yang akan bertanggungjawab dalam melindungi dan memelihara patent yang
dilisensikan; bagaimana proses hukum dan administrasi dalam menangani sengketa
para pihak[101] dan
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan force
majeure[102].
4.5.2.
Kontrak: Dasar Hukum bagi Hak dan Kewajiban Para Pihak
Penandatanganan kontrak ini merupakan momentum lahirnya
hubungan hukum diantara para pihak. Pada prinsipnya, hukum yang berkaitan
dengan transaksi HAKI –paten- sama dengan transaksi personal property lainnya
yang didasarkan atas prinsip-prinsip hukum kontrak. Namun demikian, kontrak
yang dibuat tersebut harus sesuai atau tidak boleh bertentangan dengan
Undang-Undang yang berlaku[103].
Sebagai contoh, berdasarkan UU Paten Indonesia, kontrak tersebut tidak boleh
merugikan perekonomian Indonesia atau menghambat pengembangan teknologi[104].
Oleh karena itu, untuk memudahkan pengawasan, maka kontrak tersebut harus : (i)
daftarkan pada Kantor Paten dan (ii) dicatat di Direktorat Jenderal HAKI[105] dengan
membayar biaya pemeliharaan[106].
Kontrak merupakan dasar hubungan hukum yang melahirkan hak
dan kewajiban bagi para pihak. Oleh karena itu, ia merupakan kehendak yang
dibadankan dalam kontrak tertulis[107] atas
dasar praktik bisnis yang wajar dan prinsip keseimbangan dalam upaya menjamin
kerjasama yang saling menguntungkan.
Namun demikian, beberapa lisensor dapat berupaya
mengembangkan hak paten mereka dengan jalan memasukkan klausula-klausula
tertentu dlam perjanjian tersebut. Di Indonesia, upaya tersebut dilarang
berdasarkan pasal 71(1) UU Paten, yang secara tegas mengecualikan setiap
tindakan yang dapat merusak atau menghambat perekonomian Indonesia. Sayang
sekali ketentuan ini tidak digambarkan secara rinci, seperti di Negara-negara
lain, misalnya Australia[108],
Jepang, Amerika dannegara maju lainnya.
Dalam perjanjian lisensi, para pihak harus mengindahkan
prinsip-prinsip hukum umum agar dapat menjamin kompetisi yang jujur, fair. Petunjuk
umum mengenai hal ini dapat diperoleh dari karya-karya Melville[109] atau
rumusan Pugwash[110] atau
UNCTAD, Bagian 4[111].
Prinsip umum tersebut dibadankan dalam beberapa ketentuan yang membatasi
praktik bisnis tertentu.
Pembatasan praktek bisnis ini dapat bervariasi, beberapa
tipe utamanya, antara lain: (i) klausula mengikat (tying clause)[112]
–termasuk tie in[113],
dan tie-out[114]-; (ii)
price fixing[115]; (iii)
package licensing[116],
(iv) field of use restrictions[117]and
territorial exclusivisity; (v) grant-back provisions[118];
(vi) limitations on transferee with respect to research and development, klausula
pengontrolan kualitas, penjualan eksklusif atau perjanjian representation, pembatasan
volume produksi, pembatasan ekspor[119],
dan pembatasan lainnya.[120]
4.5.3.
Paska Kontrak: Pelaksanaan, Pengawasan dan Pengembangan
Perlindungan hukum terhadap hasil-hasil riset pada
tahap paska kontrak ini dapat dilakukan melalui pelaksanaan, pengawasan dan
pengembangan. Dalam tahap ini, perldingunan hukum memerlukan peran struktur hukum
dalam mengelola paten, seperti pemerintah, dan aparat patent, aparat hukum, polisi,
jaksa dan hakim, bahkan para pihak yang terlibat dalam kontrak. Aparat hukum
memainkan peranan yang signifikan dalam memelihara dan mengembangkan kontrak
lisensi. Dengan demikian, adalah penting untuk memahami kebijakan pemerintah
dalam paska kontrak.
Undang-undang paten memiliki instrument untuk
mengontrol terminology-terminologi atau aspirasi para pihak yang dirumuskan
dalam kontrak lisensi dengan alasan perlindungan kepentingan publik[121].
UU Paten mengintrodusir sejumlah indicator untuk mengontrol lisensi paten, seperti
revokasi, atau pembatalan patent, dan lisensi wajib. Di Indonesia, indicator
tersebut didasarkan atas kepentingan public, pertahanan, keamanan, kesehatan
dan makanan[122].
Lebih jauh, dalam upaya memberikan perlindungan
terhadap dan pengawasan yang efektif, UU Paten mengharuskan agar setiap
perjanjian lisensi dicatat pada kantor Paten[123].
Di Indonesia, perjanjian lisensi ini tidak berpengaruh pada pihak ketiga, kecuali ia didaftarkan pada
Direktorat Jenderal HAKI dan dicatat dalam buku Patent[124] dengan
membayar sejumlah biaya[125].
Sayang sekali, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki aturan yang lengkap
dan detail tentang prosedur pendaftaran perjanjian lisensi[126].
Daftar Pustaka
A Tutorial on Technology Transfer in U.S. Colleges and Universities, pp/1-22;
Arnold, Tom, ‘General Aspects of Licensing, Including Trade Secrets, Know How, Bankruptcy: Basic Considerations in Licensing’, in Recent Development in Licensing, Presented at the Annual Meeting of the American Bar Association, August 7-12, 1981, New Orleans, Louisiana
Bereskin, Daniel R., and Wiebe, Justine, 1991, “Licensing: Defining A Relationship, in http://www.bereskinparr.com/art-html/Licensing.html., p. 4 of 10.
Blakeney and Mc Keough, J., 1992, Intellectual Property: Commentary and Materials, 2nd edition, The Law Book Company
Blakeney, 1989, Legal Aspect of the Trasfer of Technology to Developing Countries, ESC Publishing Limited
Bloxam, G., 1972, Licensing Right in Technology: A Legal Guide to Managers in Negotiation, Gower Press
Bloxam, George, 1972, Licensing Rights in Technology: A Legal Guide to Managers in Negotiation, Grower Press, pp. 163-196.
Braquene, H., 1996, Introduction to the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html
Braquene, Hans, 1996, Introduction to the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html
Braquene, Hans, 1996, Introduction to the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html,
0 komentar:
Posting Komentar