Jumat, 07 Juni 2013


STRATEGI DAN MOMENTUM DALAM MELINDUNGI HASIL RISET

Strategi dalam melindungi hasil-hasil riset secara optimal, terkait dengan momentum, atau saat kita harus melindungi hasil-hasil penelitian. Strategi dan momentum ini dapat diklasifikasi ke dalam tiga tahapan yaitu: (i) tahapan pra riset, (ii) tahapan saat pelaksanaan riset, dan (iii) tahapan paska riset. Secara konkrit, ketiga tahapan itu dapat diwujudkan dalam beberapa aktivitas: (i) pengelolaan aktifitas penelitian[1]; (ii) perlindungan hasil penelitian[2]; (iii) pengeksploitasian aset kekayaan intelektual yang sudah dilindungi[3]; (iv) pemeliharaan dan penegakkan perlindungan hukum bagi hasil-hasil riset[4].
Secara umum dapat dirumuskan beberapa isu relevan yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan strategi perlindungan aset kekayaan intelektual, seperti: (i) bidang teknis yang terkait; (ii) bentuk-bentuk hak kekayaan intelektual yang dapat diterapkan; (iii) bagaimana memonitor kompetisi; (iv) negara tujuan pasar; (v) biaya yang tersedia bagi perlindungan; (vi) beban kerja, biaya dan personil yang diperlukan; (vii) jangka waktu perlindungan yang diperlukan; (viii) bagaimana jika membeli atau menjual lisensi atas aset kekayaan intelektual.

4.1. Pengevaluasian Hasil Riset – Teknologi

Pengevaluasian hasil-hasil riset ini dapat dilakukan dari berbagai aspek, baik scientificnya, ekonominya, maupun aspek hukumnya. Dalam bagian ini, pembahasan akan difokuskan hanya pada aspek hukumnya saja. Jadi, saya tidak berbicara banyak tentang bagaimana mengevaluasi hasil-hasil riset secara tekhnis ataupun ekonomis.
Mengevaluasi hasil-hasil riset dalam konteks hukum ini berarti membicarakan keabsahan (validitas) hasil-hasil riset. Dalam konteks ini, beberapa hal yang perlu dicermati antara lain: validitas target, strategi, dan hasil riset[5], kelembagaan atau organisasi, kontrak kerjasama dan hubungan hukum, serta akibat-akibat hukum yang mungkin timbul dalam pengembangan riset bersama, dan bagaimana cara pemanfaatan hasil-hasil riset. Secara teknis, dalam rezim paten, sudah tentu, semua rencana, dan proses pelaksanaan serta hasil-hasil riset tersebut  perlu dijaga kerahasiaannya dalam rangka melindungi kepentingan komersialnya.

 

4.2. Tahapan Perlindungan Hukum Bagi Pengoptimasian Hasil Riset

Penilaian terhadap teknologi dalam konteks paten ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil penelitian yang berdaya saing tinggi. Dalam konteks ini, paten dapat menciptakan nilai tambah dan posisi tawar yang lebih tinggi melalui: (i) perlindungan pangsa pasar prospektif; (ii) peminimalisasian kompetisi pada bidang yang sama. Dalam konteks ini peneliti perlu mencermati dua isu paten yang terkait dengan hasil penelitian, yaitu: (i) kepastian perlindungan terhadap invensi atau inovasi yang dihasilkan, (ii) kepastian bahwa penelitian tersebut tidak melanggar paten pihak lain[6].
Guna menelaah aspek-aspek yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap kegiatan penelitian ini secara lebih detail, maka pembahasan pada bagian akan difokuskan pada dua tahapan utama dalam perlindungan hukum atas hasil-hasil penelitian, yaitu: (i) tahap pra riset, dan (ii) tahap paska riset.

4.2.1. Pra Riset : Menilai Teknologi dalam Konteks Paten

Dalan tahap pra riset, seorang peneliti perlu menelusuri (searching) dokumen penemuan / teknologi dalam bidang yang sama, yang berdekatan (prior art). Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan semua sumber informasi[7]. Penelusuran dokumen paten ini dapat memberikan informasi yang lebih proporsional, karena ia merupakan publikasi spesifik paten yang memuat rincian teknis yang mengungkapkan fungsi suatu penemuan.
Bagi peneliti, penelusuran dokumen paten ini diperlukan dalam rangkaian kegiatan penelitian baik dalam: (i) tahap perencanaan strategi dan tujuan[8], (ii) selama pelaksanaan[9], dan (iii) setelah kegiatan penelitian[10]. Informasi dalam dokumen paten ini tidak terbatas pada informasi yang berkaitan dengan perlindungan hukum atau yang sedang dalam proses mendapatkan perlindungan, tetapi juga meliputi informasi tentang paten yang jangkawaktu perlindungannya sudah habis atau yang telah menjadi public domain. Informasi demikian sangat bermanfaat baik bagi peneliti, pengusaha ataupun masyarakat luas dalam rangka mengakses informasi tersebut secara bebas dan mengembangkannya tanpa kekhawatiran telah melakukan pelanggaran atas paten orang lain.
Pentingnya perlindungan hukum sebelum penelitian dilakukan untuk melindungi nilai inventif dan inovatif dari hasil penelitian[11], sedangkan pada saat sesudah kegiatan penelitian selesai, perlindungan hukum ditujukan untuk melindungi nilai ekonomis dari hasil riset.

4.2.2. Paska Riset : Perolehan Hak melalui Pendaftaran Permohonan Hak

Perlindungan hukum dalam tahap paska penelitian ini dapat dilakukan melalui pnentuan status kepemilikan atas hasil-hasil riset tersebut. Penentuan kepemilikan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya sengketa di kemudian hari, yang bisa berakibat terabaikannya hasil penelitian.  Hal ini dapat dilakukan dengan upaya perolehan hak paten atas hasil-hasil riset tersebut.
Cara untuk memperoleh hak paten ini dapat dilihat dalam berbagai peraturan pelaksanaan yang sudah berlaku secara efektif. Secara umum, peroleh hak paten ini diawali dengan menagajukan pendaftaran permohonan hak. Permohonan paten menjadi dasar dari kepemilikan patent tersebut[12]. Secara normatif, permohonan hak paten harus memuat[13]: (i) tanggal, bulan dan tahun pendaftaran; (ii) alamat lengkap peohon; (iii) nama lengkap dan kewarganegaraan pemohon (inventor atau pemegang paten); (iv) permohonan paten yang dimintakan; (v) judul penemuan; (vi) klaim yang terdapat dalam invensi tersebut; (vii) deskripsi tertulis tentang penemuan yang memuat informasi yang lengkap tentang cara pelaksanaan invensi; (viii) gambar yang disebut dalam deskripsi diperlukan untuk klarifikasi; dan (ix) abstrak yang berkaitan dengan invensi.
Pentingya permohonan paten ini mensyaratkan adanya system administrasi yang efesien[14] dan kualifikasi tekhnis dalam bidang ilmu pengetahuan dan rekayasa[15]. Oleh karena itu, para pengacara paten memainkan peranan kunci dalam merumuskan aplikasi paten, khususnya dalam merancang klaim[16]. Profesi ini diberikan setelah lulus dari serangkaian ujian yang mencakup aspek-aspek hukum dan pratek dalam system paten[17]. Tujuan dari kebijakan ini semata-mata hanya untuk mempermudah inventor atau pemegang paten[18] mendapatkan hak patennya.

 

4.3. Pengeksploitasian : Mengkomersialkan Hasil Riset –Teknologi

Dalam prakteknya, adanya keragaman model kontrak alih teknologi ini disebabkan karena kondisi lingkungan, saat kontrak dibuat (moment of contracting), karakteristik negara atau perusahaan characteristics, dan sebagainya. Kontrak dalam rangka pengkomersialisasian teknologi tersebut dapat terjadi dalam berbagai perjanjian, seperti jual beli paten, franchise dan distribusi, turnkey projects[25]; kontrak konstruksi, kontrak manufaktur, kontrak manajemen, dan kontrak bantuan tekhnis, atau konsultasi, joint venture, foreign direct investment, and licence[26]. Dari berbagai penelusuran literature, dpat diketahui bahwa diantara berbagai metode perjanjian tersebut, perjanjian lisensi merupakan inti dalam proses pengalihan teknologi –pengkomersialisasian teknologi.[27]

 

4.4. Lisensi : Instrumen Hukum dalam Pendistribusian Teknologi

Hingga saat ini, lisensi paten merupakan cara yang paling efesien dan efektif dalam mengeksploitasi teknologi –technology transfer-[28]. Ia dapat menjembatani berbagai kepentingan bisnis baik individu maupun lembaga –perusahaan atau negara-, khususnya dalam menelusuri atau mencari invention dan innovation. Dari konsep diatas, dapat diidentifikasi beberapa kemanfaatan dalam lisensi paten. Kemanfaatan tersebut menyentuh aspek: (i) ekonomi; (ii) industri, (iii) teknologi dan (iv) alasan hukum.

 

4.4.1. Definition and Basic Concept

Secara literar, kata lisensi berasal dari kata “licentia”, yang berarti ijin untuk menggunakan sesuatu[29]. Secara esensial, lisensi merupakan pemberian hak untuk melakukan sesuatu[30]. Secara normatif, lisensi paten didefinisikan sebagai ijin untuk mengeksploitasi atau memberikan kewenangan untuk mengeksploitasi[31] penemuan yang sudah dipatenkan.

4.4.2. Obyek dalam Perjanjian Lisensi Paten: Invention

Obyek lisensi paten adalah invensi atau penemuan di bidang teknologi. Perlu diketahui bahwa penemuan tersebut dapat terdiri dari paten dan know how. Sebagai perbandingan, di Eropa, perjanjian lisensi ini dapat mencakup paten murni, know how, dan campuran antara know how dan paten murni[32].
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa umumnya hasil riset yang dapat dilisensikan adalah invensi yang sudah dipatenkan. Dengan demikian, paten yang dijadikan sebagai obyek dalam perjanjian lisensi harus memenuhi persyaratan substansial[33] dan criteria penemuan yang dapat dipatenkan (patentabilitas). Berkaitan dengan patentabilitas dari suatu penemuan, pada dasarnya, semua penemuan yang lahir dari kemampuan intelektual manusia dapat dipatenkan[34], kecuali beberapa hal yang disebutkan dalam Pasal 7, UU No. 14 Tahun 2002: (i) tidak bertentangan dengan hukum[35], ketertiban umum, dan moral[36].
Sedangkan terminology know how digunakan untuk mengkonstruksi informasi komersial yang bermanfaat yang tidak dilindungi oleh paten[37]. Know how merupakan pembadanan dari informasi tekhnis yang bersifat rahasia[38], substantial[39] dan diidentifikasi[40] dalam bentuk yang wajar. Secara khusus, know-how adalah pengetahuan atau keahlian dalam melaksanakan beberapa fungsi –dalam produk atau proses- secara efesien. Sebagai contoh, dalam lisensi know-how, lisensor akan memberitahukan atau mendeskripsikan pada lisensee tentang teknik manufacturing atau proses, resep, formula kimia, rancangan atau gambar pabrik[41].
Dalam hal know how, licensee mendapat ijin untuk mengakses dan menggunakan know - how, yang merupakan bagian dari perjanjian lisensi, yang tidak dapat diperoleh dengan mudah dan murah oleh licensee. Oleh karena itu, perlindungan atas informasi rahasia menjadi penting. Ia dapat dilindungi atas dasar hubungan kontraktual diantara para pihak yang terlibat dalam perjanjian lisensi.

4.4.3. Subject of Patent License: Licensor and Licensee

Subyek dalam perjanjian lisensi adalah para pihak yang terlibat dalam kontrak lisensi. Kontrak tersebut dibuat oleh lisensor dan lisensee atau pengguna dari teknologi yang dilisensikan. Dalam prakteknya, para pihak tersebut dapat melibatkan pemerintah, lembaga, perusahaan dan atau bahkan individu[42].

4.4.4. Tipe dan Model Lisensi Paten

Pada dasarnya, terdapat dua tipe lisensi: (i) sukarela; dan (ii) lisensi wajib. Lisensi sukarela didasarkan atas perjanjian para pihak berdasarkan prinsip-prinsip umum dalam hukum kontrak, sedangkan lisensi wajib melibatkan intervensi pemerintah dalam melaksanakannya. Dalam hal ini, lisensi diberikan tanpa memerlukan perjanjian dari pemegang hak paten[43]. Di Indonesia, lisensi wajib diatur berdasarkan Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, pasal 74 - 87.
Obyek dari ketentuan lisensi wajib ini adalah paten yang tidak digunakan. Tujuannya, untuk menjamin agar inventor, baik asing maupun domestik, dan pemegang paten national dapat melaksanakannya dalam wilayah Negara Indonesia[44], sehingga tidak menghambat pembangunan ekonomi –industri dan perdagangan- nasional. Selain itu, ketentuan ini juga ditujukan untuk mencegah impor barang yang sama ke dalam wilayah Indonesia.[45]
Ketentuan yang berkaitan dengan lisensi wajib ini merefleksikan perhatian pemerintah terhadap upaya perlindungan kepentingan nasional, kepentingan publik, dan agar teknologi yang dipatenkan tersebut tidak disalahgunakan[46]. Sejalan dengan pernyataan tersebut, berdasarkan kepentingan nasional, pertahanan keamanan, dan kepentingan publikseperti kesehatan, makanan, dan untuk mengawasi pelaksanaan suatu paten[47], UU Paten memberlakukan ketentuan tentang lisensi wajib[48] dan pembatalan atau penarikan (revocation)[49] atas suatu patent.
Lisensi wajib diberikan oleh pengadilan niaga[50] setelah mempertimbangkan: (i) kemampuan[51]  dan fasilitas yang memadai[52] dari pemohon yang mengajukan permohonan lisensi wajib untuk melaksanakan paten yang bersangkutan secar penuh; (ii) usaha wajar yang dilakukan oleh si pemohon untuk mendapatkan lisensi atas dasar persyaratan yang normal[53]; (iii) apakah paten yang bersangkutan memberikan kemanfaatan pada sebagian besar masyarakat[54].
Tampaknya, beberapa Negara berkembang berharap memperoleh teknologi asing melalui lisnsi wajib[55]. Namun demikian, sekalipun lisensi wajib diyakini sebagai instrument utama untuk mengaktifkan paten yang tidak dilaksanakan, secara praktis, hal ini tidak dapat bekerja secara maksimal[56]. Bahkan lebih ekstrim, Yanke menyarankan, agar dinyatakan bahwa secara tekhnis, lisensi wajib merupakan suatu proses yang sangat sulit karena lisensing semata-mata tanpa mentransfer know how dari pemegang paten tidak dapat diharapkan menjadi efektif dan efesien[57].
Selanjutnya, mengenai metode, secara teoritis, lisensi paten dapat dilaksanakan melalui beberapa cara: (i) exclusive[58]; (ii) non-exclusive; and (iii) license tunggal. Undang-undang Paten Indonesia mengklasifikasikannya ke dalam lisensi eksklusif dan non-eksklusif. Karakteristik dari paten yang dilisensikan itu berpengaruh dalam memutuskan apakah paten itu dilisensikan secara eksklusif[59] atau non-eksklusif.[60]

4.4.5. Prinsip-prinsip Umum dalam Perjanjian Lisensi

Dalam proses lisensi, ada beberapa petunjuk yang dapat dipertimbangkan. Petunjuk tersebut diekstraksi dari pandangan umum tentang prinsip-prinsip hukum yang diredusir ke dalam factor-faktor yang paling sering terjadi dalam perjanjian lisensi. Prinsip tersebut merupakan cara praktis untuk mengatasi kesenjangan atau perbedaan kepentingan para pihak dan kepentingan publik. Serangkaian aturan telah dikembangkan dari analisis yang didasarkan atas prinsip-prinsip fundamental yang bersumber dari common law, dan diterapkan ke dalam kasus-kasus yang menafsirkan prinsip-prinsip normative yang selanjutnya dapat diterapkan dalam pelisensian HAKI[61] -patent- seperti yang dirumuskan oleh Melville.[62]

4.6. Konstruksi Hukum Kontrak Lisensi Paten

Interaksi antara HAKI dan aturan kontrak selalu menjadi isu utama dalam mendistribusikan asset-aset HAKI di pasar terbuka. Interaksi tersebut merupakan titik sentral dan utama dalam mencapai kontrak yang seimbang. Kontrak sebagai instrument hukum untuk pengembangan dan pengeksploitasian asset-aset komersial dari informasi dan teknologi.
Dalam lisensi paten, tidak ketentuan umum tentang kontrak standar. Pembatasan pada kontrak dapat bersumber dari teori-teori hukum kontrak dan kebijakan public, termasuk beberapa kebijakan yang bersumber dari paten dan bidang HAKI lainnya. Pembatasan yang lehir dari doktrin HAKI dan kebijakan lain cenderung dititikberatkan pada penghapusan praktik persaingan curang. Konstruksi kontrak lisensi yang wajar sangat tergantung pada bagaimana keadaan ketika kontrak itu dibuat. Tidak hanya kata-kata atau aturan dan pasal-pasal dalam perjanjian,[63] tetapi juga niat dari para pihak dan factor lain juga perlu dipertimbangkan oleh pengadilan[64].

4.5. Membuat Kontrak Lisensi: Pengkonstruksian Perlindungan Hukum

Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pengusahaan hasil-hasil riset, teknologi adalah pengalihan teknologi melalui linsensi. Hal ini dapat diwujudkan melalui pembuatan kontrak pengkomersialisasian teknologi atau alih teknologi[65]. Kontrak inilah yang menjadi dasar bagi para pihak dalam bertindak guna memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing. Isi dari kontrak ini juga dapat berfungsi sebagai indicator dalam melakukan pelaksanaan, pengawasan, dan pengembangan tekonologi yang diperjanjikan. Hal yang terlebih penting lainnya adalah seluruh isi kontrak yang disepakati tersebut menjadi instrumen hukum yang paling kuat dalam melindungi kepentingan para pihak. Dengan demikian, pembuatan kontrak ini merupakan salah satu strategi yang digunakan dalam melindungi hasil-hasil riset dalam bentuk teknologi atau penemuan yang sudah dipatenkan.
Pembuatan kontrak guna mencapai kesepakatan dalam perjanjian alih teknologi –lisensi- dapat menjadi permasalahan yang sangat kompleks.[66] Permasalahan pertama, terkait dengan kurangnya sumber informasi yang dapat diacu secara formal dan mengikat secara hukum tentang alih teknologi[67]. Tidak ada standar perjanjian alih teknologi yang dapat diterima secara internasional. Faktor-faktor tersebut telah mengakibatkan perjanjian alih teknologi sangat tergantung pada pada pengalaman dan keahlian negosiasi yang baik[68] dari masing-masing individu. Namun demikian, terdapat masalah-masalah hukum yang perlu dicatat dalam membuat kontrak alih teknologi. Masalah tersebut dapat diidentifikasi pada tiga tahapan: (i) Pra-Kontrak; (ii) Kontrak; (iii) Paska Kontrak.

 

4.5.1. Pra Kontrak : Persiapan

Dalam tahap pra kontrak ini, para pihak dapat melakukan persiapan untuk menjamin keberhasilan proses pengkomersialisasian hasil-hasil riset,  teknologinya. Dalam konteks ini, para pihak dapat melakukan evaluasi atas teknologi dan aspek pengelolaannya (manajemen dan pemasaran), menilai dan memilih mitra yang potensial, mengidentifikasi pasar, mencermati masalah hukum dalam pengusahaan teknologi, dan lain sebagainya.
Dari sudut kepentingan lisensor, dalam pengeksploitasian teknologi, Mc Keough dan Stewart menegaskan pentingnya manajemen[69] dan pemasaran teknologi[70]. Para pihak juga perlu mencermati potensi pasar yang belum terbukti, sebagai the most often challenging basic premise dalam kaitannya dengan invensi lisensor. Oleh karena itu, dalam upaya mengeliminasi resiko, lisensor perlu mengadopsi prinsip pengoptimasian[71], pengayaan (enrichment)[72] dan strategi pengamanan (safeguarding strategies)[73] dalam mengelola teknologi, dan selanjutnya, pemasaran teknologi yang baik untuk mendapatkan licensees yang potensial[74].
Sedangkan dari sudut kepentingan licensee, penilaian teknologi ini sangat penting artinya untuk memastikan atau menjamin keberhasilan dalam proses alih teknologi. Oleh karena itu, sebelum memasuki tahap negosiasi yang konkrit, licensee harus dapat menilai teknologi yang dilisensikan. Sayang sekali teknologi tersebut seringkali dilisensikan pada saat potensi pasarnya tidak dapat direalisasikan. Terkadang para pihak telah menyepakati terminology lisensi, bahkan sebelum teknologi tersebut dikembangkan. Kasus ini kerap muncul sebagai bagian dari perjanjian kerjasama penelitian[75].
Selain itu, para pihak tidak selalu terlibat dalam analisis yang rinci ketika menentukan harga yang harus dibayar untuk teknologi, khususnya teknologi tahap awal. Mereka juga kerap membuat putusan berdasarkan intuisinya, dan penilaian terhadap apa yang dikehendaki oleh pihak lain dalam negosiasi. Akibatnya, para pihak sering menemukan gap awal antara harapan dan fakta yang berkaitan dengan keuangan[76]. Oleh karena itu, adalah penting untuk mengidentifikasi beberapa factor yang mempengaruhi harga teknologi tersebut[77].
Selain masalah tekhnis, diatas, masalah yang tidak kalah krusialnya adalah masalah hukum dalam tahap pra kotrak lisensi. Masalah ini berkaitan dengan permasalahan tekhnis ketika menegosiasikan dan menyepakati terminology-terminologi yang digunakan dalam kontrak alih teknologi. Penegosiasian dan perancangan proses tersebut harus diarahkan pada pengharmonisasian tujuan komersial dari lisensor dan tujuan pengembangan teknologi penerima lisensi[78]. Dalam tahap ini, perbedaan para pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut harus saling mengenal dan mengetahui satu sama lainnya. Mereka harus dapat mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan melalui kerjasama dan mereka harus dapat mencapai kesepakatan mengenai hak yang seimbang antara keinginan masing-masing pihak.
Secara praktis, Schlicher mengidentifikasi beberapa factor yang mempengaruhi negosiasi dalam kontrak lisensi: (i) permasalahan penawaran; (ii) alternative teknologi yang tersedia bagi penerima lisensi yang potensial; (iii) biaya transaksi lisensi[79]; (iv) masalah litigasi yang berkaitan dengan pelanggaran; dan (v) beberapa sumber resiko[80]. Kompleksitas dalam menegosiasikan kontrak alih teknologi[81] mensyaratkan para pihak untuk mempertimbangkan factor-faktor diatas, dan merancangnya serta mengkonstruksinya ke dalam kontrak secara hati-hati. Hal ini penting, karena perjanjian lisensi memuat hubungan yang terus menerus dan timbale balik antara lisensor dan lisensi. Untuk alasan tersebut, adalah penting untuk menelusuri kecocokan dan komitmen para pihak yang berkontrak dalam mengeksploitasi teknologi. Selain itu, obyek hubungan tersebut harus diidentifikasi secara jelas[82].
Hasil negosiasi tesebut biasanya dibadankan ke dalam sebuah dokumen memorandum of understanding (MoU)[83]. Sekalipun para pihak belum terikat oleh kewajiban formal, dokumen tersebut dapat memberikan informasi yang signifikan dalam membuat kontrak. Biasanya, klausula dalam memorandum of understanding tidak jauh berbeda dengan dengan klausula-klausula yang disepakatai dalam hasil akhir perjanjian yang ditandatangani[84]. Selain itu, nilai dari dokumen MoU sudah tentu lebih memiliki muatan moral dan komersial daripada muatan hukum[85].
Umumnya, beberapa isu yang dibahas dalam negosiasi tersebut mencakup (i) identifikasi obyek dan subyek dari perjanjian, ruang lingkup lisensi, royalty, perpajakan, implied licence, jangka waktu dan berakhirnya kontrak, ketentuan pembatasan praktek persaingan curang yang berkaitan dengan lisensi, dan penyelesaian sengketa.

4.5.1.1. Pengidentifikasian Subyek dan Obyek

Validitas kontrak tergantung pada kejelasan baik subyek maupun obyek dari perjanjian lisensi. Di Indonesia, sumber hukum tersebut dapat ditemukan dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur persyaratan subyektif dan obyektif[86]. Secara tekhnis, subyek dalam perjanjian lisensi ini dapat berupa lembaga, termasuk Negara, perusahaan, dan departemen tertentu, atu perorangan. Sedangkan obyek dalam perjanjian lisensi ini adalah hasil-hasil riset yang teknologi yang dipatenkan.
Dalam upaya melindungi kepentingan bisnis lisensor, sekaligus menjamin keberhasilan alih teknologi, para pihak perlu mengidentifikasi dan menentukan mitra (penerima lisensi) yang berkualitas dan potensial. Sebelum memulai upaya serius apapun dalam negosiasi, penerima lisensi yang potensial harus menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan tekhnis, kemampuan financial, dan kemampuan pemasaran dalam mengembangkan penemuan ke dalam produk atau jasa dan membawanya ke pasar[87], disamping status, posisi, dan fasilitas. Secara praktis, adalah tidak mudah untuk menemukan dan mencari tahu mitra yang berkualitas dan potensial tersebut[88].
Selanjutnya, dengan mempertimbangkan kemampuan tekhnis dan keuangan kandidat dalam mengembangkan dan memasarkan teknologi[89], lisensor akan membuat penilaian yang berkaitan dengan prospek yang lebih baik dari lisensi. Seharusnya dicatat bahwa motivasi dan komitmen yang kuat dari penerima lisensi untuk mengkomersialisasikan teknologi lebih penting daripada ukuran –besar atau kecil- perusahaan penerima lisensi[90]. Sebaliknya, dari sudut kepentingan penerima lisensi, adalah penting untuk mengidentifikasi teknologi yang potensial yang akan dilisensikan.

4.5.1.2. Ruang Lingkup Pengkomersialisasian Teknologi melalui Lisensi

Ruang lingkup lisensi membentuk keluasan hak yang diberikan pada para pihak yang berkontrak – licensor dan licensee. Secara lebih spesifik, pembatasan ruang lingkup lisensi akan berdampak terhadap klusula lain dari perjanjian, termasuk royalty, peningkatan, non-competition clauses, hak untuk menentukan pengkhiran kontrak lebih awal, ganti rugi, jaminan dan perwakilan, dan lain sebagainya[91].
Ada beberapa indicator yang dapat digunakan untuk menentukan ruang lingkup lisensi paten: (1) konsep, dan keluasan hak eksklusif, (2) metode lisensi paten; dan (3) criteria dari isu atau masalah yang dapat dipatenkan. Indicator 1 and 2 akan membentuk otoritas dan kompetensi para pihak, sedangkan yang ke-3 akan menentukan ruang lingkup dari lisensi paten.

 

4.5.1.3. Implied Lisence dalam Perjanjian Lisensi

Dalam kontrak lisensi, ada kesepakatan yang kadang-kadang tidak dibadankan dalam bentuk kontrak, tetapi tindakan tertentu harus dilakukan karena ia melekat pada produk atau teknologi yang dilisensikan. Biasanya, pengeksploitasian barang-barang yang dipatenkan oleh pembeli atau licensor dikonstruksi ke dalam (embodied) “implied licence” kecuali inventor  menentukan pembatasan khusus[92]. Tampaknya, “the implied licence” berasal dari konsep hak eksklusif pemegang paten. Tampaknya implied licence cenderung melindungi kepentingan licensor. Secara praktik, licensee kerap menentang pemuatan kewajiban demikian dalam perjanjian, atas dasar bahwa lisensor menerapkan kewajiban yang berat bagi lisensee[93].
Dalam implied licence, perjanjian kerap memasukkan kewajiban pada lisensee untuk menggunakan upayanya yang terbaik dalam melakukan sesuatu, seperti memaksimalkan penjualan dari produk yang dilisensikan[94]. Perjanjian tersebut juga dapat memuat klausula yang mensyaratkan lisensi untuk menggunakan ‘all diligence’[95] guna meningkatkan penjualan atas invensi dan menggunakan segala upaya terbaiknya ‘best endeavours’ untuk mengeksploitasinya[96].

4.5.1.4. Pembayaran: Royalty dan Pertimbangan Finansial

Persoalan keuangan dalam perjanjian lisensi ini mengharuskan adanya keseimbangan antara resiko dan reward. Pembayaran tersebut dapat berupa  ikatan timbale balik[97]; lump sum[98]; service fees; equity interest or royalty. Tingkat royalty tidak ditentukan oleh undang-undang, ia merupakan kewajiban licensee atas dasar hubungan kontraktual, dan prinsip keseimbangan[99].

4.5.1.5. Terminologi Tambahan: Arbitrasi dan Ganti Rugi

Perjanjian lisensi eksklusif juga secara khusus biasanya memuat klausula yang menentukan siapa pihak yang akan melakukan penyelesaian atau penuntutan terhadap paten yang dilanggar. Selain itu, sebagian besar perjanjian lisensi memuat klausula yang berkaitan dengan bagaimana kerugian atau ganti rugi tersebut akan didistribusikan[100]; siapa yang akan bertanggungjawab dalam melindungi dan memelihara patent yang dilisensikan; bagaimana proses hukum dan administrasi dalam menangani sengketa para pihak[101] dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan force majeure[102].

4.5.2. Kontrak: Dasar Hukum bagi Hak dan Kewajiban Para Pihak

Penandatanganan kontrak ini merupakan momentum lahirnya hubungan hukum diantara para pihak. Pada prinsipnya, hukum yang berkaitan dengan transaksi HAKI –paten- sama dengan transaksi personal property lainnya yang didasarkan atas prinsip-prinsip hukum kontrak. Namun demikian, kontrak yang dibuat tersebut harus sesuai atau tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku[103]. Sebagai contoh, berdasarkan UU Paten Indonesia, kontrak tersebut tidak boleh merugikan perekonomian Indonesia atau menghambat pengembangan teknologi[104]. Oleh karena itu, untuk memudahkan pengawasan, maka kontrak tersebut harus : (i) daftarkan pada Kantor Paten dan (ii) dicatat di Direktorat Jenderal HAKI[105] dengan membayar biaya pemeliharaan[106].
Kontrak merupakan dasar hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Oleh karena itu, ia merupakan kehendak yang dibadankan dalam kontrak tertulis[107] atas dasar praktik bisnis yang wajar dan prinsip keseimbangan dalam upaya menjamin kerjasama yang saling menguntungkan.
Namun demikian, beberapa lisensor dapat berupaya mengembangkan hak paten mereka dengan jalan memasukkan klausula-klausula tertentu dlam perjanjian tersebut. Di Indonesia, upaya tersebut dilarang berdasarkan pasal 71(1) UU Paten, yang secara tegas mengecualikan setiap tindakan yang dapat merusak atau menghambat perekonomian Indonesia. Sayang sekali ketentuan ini tidak digambarkan secara rinci, seperti di Negara-negara lain, misalnya Australia[108], Jepang, Amerika dannegara maju lainnya.
Dalam perjanjian lisensi, para pihak harus mengindahkan prinsip-prinsip hukum umum agar dapat menjamin kompetisi yang jujur, fair. Petunjuk umum mengenai hal ini dapat diperoleh dari karya-karya Melville[109] atau rumusan Pugwash[110] atau UNCTAD, Bagian 4[111]. Prinsip umum tersebut dibadankan dalam beberapa ketentuan yang membatasi praktik bisnis tertentu.
Pembatasan praktek bisnis ini dapat bervariasi, beberapa tipe utamanya, antara lain: (i) klausula mengikat (tying clause)[112] –termasuk tie in[113], dan tie-out[114]-; (ii) price fixing[115]; (iii) package licensing[116], (iv) field of use restrictions[117]and territorial exclusivisity; (v) grant-back provisions[118]; (vi) limitations on transferee with respect to research and development, klausula pengontrolan kualitas, penjualan eksklusif atau perjanjian representation, pembatasan volume produksi, pembatasan ekspor[119], dan pembatasan lainnya.[120]

4.5.3. Paska Kontrak: Pelaksanaan, Pengawasan dan Pengembangan

Perlindungan hukum terhadap hasil-hasil riset pada tahap paska kontrak ini dapat dilakukan melalui pelaksanaan, pengawasan dan pengembangan. Dalam tahap ini, perldingunan hukum memerlukan peran struktur hukum dalam mengelola paten, seperti pemerintah, dan aparat patent, aparat hukum, polisi, jaksa dan hakim, bahkan para pihak yang terlibat dalam kontrak. Aparat hukum memainkan peranan yang signifikan dalam memelihara dan mengembangkan kontrak lisensi. Dengan demikian, adalah penting untuk memahami kebijakan pemerintah dalam paska kontrak.
Undang-undang paten memiliki instrument untuk mengontrol terminology-terminologi atau aspirasi para pihak yang dirumuskan dalam kontrak lisensi dengan alasan perlindungan kepentingan publik[121]. UU Paten mengintrodusir sejumlah indicator untuk mengontrol lisensi paten, seperti revokasi, atau pembatalan patent, dan lisensi wajib. Di Indonesia, indicator tersebut didasarkan atas kepentingan public, pertahanan, keamanan, kesehatan dan makanan[122].
Lebih jauh, dalam upaya memberikan perlindungan terhadap dan pengawasan yang efektif, UU Paten mengharuskan agar setiap perjanjian lisensi dicatat pada kantor Paten[123]. Di Indonesia, perjanjian lisensi ini tidak berpengaruh pada  pihak ketiga, kecuali ia didaftarkan pada Direktorat Jenderal HAKI dan dicatat dalam buku Patent[124] dengan membayar sejumlah biaya[125]. Sayang sekali, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki aturan yang lengkap dan detail tentang prosedur pendaftaran perjanjian lisensi[126].

Daftar Pustaka

A Tutorial on Technology Transfer in U.S. Colleges and Universities, pp/1-22;
Arnold, Tom, ‘General Aspects of Licensing, Including Trade Secrets, Know How, Bankruptcy: Basic Considerations in Licensing’, in Recent Development in Licensing, Presented at the Annual Meeting of the American Bar Association, August 7-12, 1981, New Orleans, Louisiana
Bereskin, Daniel R., and Wiebe, Justine, 1991, “Licensing: Defining A Relationship, in http://www.bereskinparr.com/art-html/Licensing.html., p. 4 of 10.
Blakeney and Mc Keough, J., 1992, Intellectual Property: Commentary and Materials, 2nd edition, The Law Book Company
Blakeney, 1989, Legal Aspect of the Trasfer of Technology to Developing Countries, ESC Publishing Limited
Bloxam, G., 1972, Licensing Right in Technology: A Legal Guide to Managers in Negotiation, Gower Press
Bloxam, George, 1972, Licensing Rights in Technology: A Legal Guide to Managers in Negotiation, Grower Press, pp. 163-196.
Braquene, H., 1996, Introduction to the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html
Braquene, Hans, 1996, Introduction to the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html
Braquene, Hans, 1996, Introduction to the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html,

0 komentar:

Posting Komentar