BAB V
MATERI
MUATAN DAN SISTEMATIKA RANCANGAN UNDANG-UNDANG
A. Ketentuan
Umum
Ketentuan
umum dalam undang-undang ini memuat definisi sebagai berikut:
- Keuangan mikro adalah kegiatan sektor keuangan berupa penghimpunan dana dan pemberian pinjaman dalam skala mikro dengan suatu prosedur yang sederhana kepada masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.
- Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang menyediakan jasa keuangan mikro bukan bank yang tidak semata-mata mencari keuntungan.
- Perkumpulan adalah badan hukum yang merupakan kumpulan orang dan didirikan untuk mewujudkan kesamaan tujuan, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
- Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat dan/atau anggotanya kepada LKM berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk tabungan.
- Tabungan adalah simpanan di LKM yang penyetorannya dilakukan berangsur-angsur dan penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati antara penyimpan dana dengan LKM yang bersangkutan dengan menggunakan tanda terima dan/atau buku tabungan.
- Pinjaman adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk suatu kegiatan usaha yang harus dikembalikan berdasarkan perjanjian dengan disertai pendampingan.
- Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk suatu kegiatan usaha yang harus dikembalikan berdasarkan perjanjian sesuai prinsip keuangan syariah dengan disertai pendampingan.
- Penyimpan adalah pihak yang menyimpan dananya di LKM dalam bentuk simpanan.
- Penerima adalah pihak yang menerima dana dari LKM.
- Anggota adalah anggota koperasi dan anggota perkumpulan.
- Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
- Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang usaha dan keuangan mikro.
- Orang adalah orang perorangan dan/atau badan hukum.
B. Asas
dan Tujuan
Penyelenggaraan
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) berlandaskan pada asas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, keberlanjutan, kemandirian,
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, dan pemerataan
sebagai kesatuan dari pembangunan perekonomian nasional dengan tujuan untuk
mewujudkan kemakmuran rakyat.
Adapun uraiannya sebagai berikut:
1. Asas
a. Yang
dimaksud dengan “asas kemudahan” adalah bahwa prosedur pembiayaan dan
penyimpanan dana dalam LKM dibuat sesederhana mungkin.
b. Yang
dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara
bersama-sama untuk kepentingan bersama.
c.
Yang dimaksud dengan “asas
keberlanjutan” adalah suatu usaha yang dilakukan secara terus-menerus dan
berkesinambungan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu.
d. Yang
dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah suatu kegiatan yang dilakukan tanpa
banyak bergantung kepada pihak lain baik dari aspek sumber daya manusia dan
permodalan.
e.
Yang dimaksud dengan “asas pemerataan”
adalah suatu kegiatan usaha yang dapat memberi manfaat kepada masyarakat miskin
dan berpenghasilan rendah.
f. Yang
dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah suatu kegiatan usaha yang proses
pengelolaannya dapat diketahui oleh masyarakat.
2. Tujuan
Adapun tujuan
dari penyelenggaraan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah untuk:
a.
memberdayakan
ekonomi dan produktivitas masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah;
b.
mempermudah
akses masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah terhadap jasa keuangan
mikro; dan
c.
meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.
C. Bentuk
Hukum, Pendirian, Permodalan, Kepemilikan dan Perizinan
1.
Bentuk Hukum
Di Indonesia telah tumbuh berbagai model
atau bentuk LKM yang begitu beragam dan sangat kaya, serta sulit ditemukan
bandingannya dengan negara lain.[1] Skema di bawah ini memperlihatkan status
hukum dari LKM yang ada di Indonesia. Skema ini mendasarkan LKM yang berbentuk
bank dan non bank, dimana kategori non bank masih dibagi menjadi formal dan non
formal.
Namun demikian, belum diakuinya keberadaan
LKM non bank secara legal, membuat keraguan bagi pelakunya untuk mengembangkan
diri dan melakukan ekspansi secara maksimal. Dikhawatirkan keberadaannya akan
"diganggu" oleh aparat keamanan atau aparat pemerintah setempat,
sebab dianggap melakukan "ilegal banking'. Disamping itu, akibat
statusnya yang belum legal, membuat kerjasama dengan pihak-pihak lain (misalnya
perbankan) ataupun mencari investor menjadi lebih sulit.[3]
Saat ini LKM non bank belum memilki bentuk
badan hukum yang jelas. LKM tersebut hanya memiliki akta pendirian dari
notaris. Berdasarkan masukan dari daerah bagi LKM yang non bank diarahkan untuk
mengacu kepada salah satu bentuk hukum yang diatur dalam SKB LKM (sebagaimana
diuraikan pada bab sebelumnya) yaitu Bank Perkreditan Rakyat, Koperasi atau
Badan Usaha Milik Desa.[4]
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya di
Indonesia bisa dibagi menjadi 4 model pendekatan, yaitu:[5]
a. Saving Led Microfinance
Model pendekatan LKM ini bertumpu dari
mobilisasi keuangan (tabungan) yang mendasarkan diri dari kemampuan yang
dimiliki oleh masyarakat miskin (pengusaha mikro) itu sendiri. Bentuk ini juga
mendasarkan pula atas membership based atau sangat bertumpu pada
anggota, dimana keanggotaan dan partisipasinya terhadap kelembagaan mempunyai
makna yang sangat penting. Sebagai contoh, bentuk-bentuk yang telah terlembaga
di masyarakat antara lain : Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Usaha
Bersama (Kube), Credit Union (CU), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dan
lain-lain.
Credit Union adalah institusi yang sangat menekankan pinjaman
anggota harus berasal dari simpanan atau tabungan para anggota sendiri. Aspek
yang sangat ditonjolkan dalam pendekatan saving led microfinancem\ adalah
soal pendidikan dan kemandirian, dimana para anggota dididik untuk menggunakan
uang secara hati-hati dan terencana melalui tabungan.
b. Credit Led Microfinance
Sumber pendanaan dari model pendekatan LKM
ini terutama bukan diperoleh dari mobilisasi tabungan masyarakat miskin, namun
memperoleh dari sumber-sumber lain yang memang ditujukan untuk pengembangan
usaha mikro. Pengumpulan tabungan dari masyarakat miskin membutuhkan waktu yang
lama agar bisa memenuhi kebutuhan pinjaman seluruh anggota. Dan seringkali
kebutuhan pengusaha mikro terutama bukanlah untuk menabung, akan tetapi lebih
untuk mendapatkan akses kredit.
Dengan ketersediaan dana yang memadai,
memungkinkan melakukan kegiatan pelayanan keuangan mikro kepada pengusaha mikro
yang lebih cepat dan banyak. Namun salah satu persoalan yang sulit bagi LKM
model pendekatan ini adalah mencari "investor" yang bersedia
melakukan pendanaan. Adapun contoh-contoh bentuk ini adalah : Badan Kredit Desa
(BKD), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), baiful mat wattanwil(BMJ), LKM
model Grameen Bank, LKM model Association for Social Advancement (ASA),
dan bentuk lainnya.
c. Micro Banking
Model pendekatan dari LKM ini adalah sektor
perbankan yang didesain untuk melakukan pelayanan keuangan mikro. Bank yang
didesain untuk melakukan ini adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR). Akan tetapi kini ada kecenderungan pula bank umum
yang mulai melayani sektor ekonomi rakyat dan melakukan desain agar mampu
menjangkau usaha mikro dan kecil, misalnya Bank Danamon melalui Danamon Simpan
Pinjam. llustrasi di bawah ini akan memperlihatkan kinerja BRI yang kemudian
membuat Danamon ikut terjun ke sektor ekonomi rakyat dan ternyata berhasil.
d. Lingkage Model
Model pendekatan melalui linkage pada prinsipnya
memanfaatkan kelembagaan yang telah ada. Dalam hal ini ada dua macam linkage,
pertama linkage antar lembaga keuangan dimana lembaga keuangan
(perbankan atau lembaga pembiayaan lain) berhubungan dengan LKM. Sebagai contoh
saja: linkage antara bank-bank umum dengan BPR, linkage antara Permodalan Nasional Madani
(PNM) dan BPR, dll. Linkage yang kedua adalah antara lembaga keuangan
(bank) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Linkage ini sering disebut
sebagai Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat.
Hasil studi SMERU juga menunjukkan adanya
kesulitan yang dihadapi pelaku LKM non formal karena ketidakjelasan status
hukumnya, terutama karena tidak dapat memobilisasi dana serta tidak dapat
melakukan penegakan hukum terhadap nasabahnya yang bermasalah.[6] Akan tetapi mobilisasi tabungan publik
melalui LKM akan berbenturan dengan hukum, sebab berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998, menyatakan bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu
memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau BPR dari Bank Indonesia, kecuali
apabila kegiatan dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. Dengan
demikian bila tidak ada aturan hukum LKM non bank jelas investor dan penabung
juga akan terancam, sebab pemerintah tidak bisa melindungi mobilisasi dana
(tabungan) masyarakat.
Lembaga keuangan formal (bank) pada
umumnya kurang menyentuh sektor yang marjinal ini. Jadi letak permasalahannya
bukan besar kecilnya LKM, namun pada fungsi dari keberadaan LKM. Apabiila LKM
melayani sektor usaha menengah atau besar, maka sudah tidak bisa dikatakan
sebagai LKM. Semakin besar suatu LKM sesuai dengan fungsinya tentu patut
didukung, sebab LKM tersebut akan melayani semakin banyak pula pengusaha mikro
(masyarakat miskin).
Dengan demikian, untuk melayani pengusaha
mikro yang jumlahnya puluhan juta diperlukan capital resources yang cukup
besar, namun tidak harus diwujudkan menjadi bank (BPR), karena apabila berwujud
menjadi bank, pengusaha mikro akan kesulitan untuk mengakses dikarenakan harus
berhadapan dengan prosedur yang konvensional.[7]
Permasalahan selanjutnya, apabila LKM
menjadi besar dan tidak menjadi BPR, tetapi diarahkan menjadi koperasi.
Kecenderungan koperasi yang dimaksud di sini adalah koperasi simpan pinjam
(KSP) atau unit simpan pinjam koperasi, yang harus mengikuti aturan perkoperasian.
Bentuk hukum KSP tidak bermasalah tetapi yang menjadi permasalahan apabila para
pengusaha mikro yang bukan anggota dan ingin meminjam ke KSP. Apakah pengusaha
mikro itu, harus menjadi anggota KSP dahulu? Prosedur ini terasa menjadi
panjang dan dapat membuat enggan pengusaha mikro, sebagai pelaku bisnis
biasanya ingin memperoleh dana secara cepat dan belum tentu semua pengusaha
mikro ingin menjadi anggota koperasi.
Sesuai dengan masukan di lapangan, LKM non
koperasi dan non bank tidak memiliki izin usaha untuk operasionalnya tetapi
sudah memiliki akta pendirian sebagai badan usaha dari notaris. Untuk BPR dan
Koperasi izin usahanya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Izin
dicabut dan/atau dihentikan jika terjadi pelanggaran hukum terhadap ketentuan
yang ada.[8]
Berdasarkan uraian di atas, untuk
mengakui, melindungi, memfasilitasi dan mendorong berbagai LKM bukan bank maka
di dalam RUU LKM nanti LKM tersebut diarahkan kepada suatu bentuk hukum
tersendiri bukan bank. Badan hukum lain selain BPR dalam SKB LKM diarahkan
kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes merupakan instrumen pendayagunaan ekonomi lokal dengan berbagai
ragam jenis potensi. Pendayagunaan potensi ini terutama bertujuan untuk
peningkatan kesejahteran ekonomi warga desa melalui pengembangan usaha ekonomi.
Disamping itu, keberadaan BUMDes juga memberikan sumbangan bagi peningkatan
sumber pendapatan asli desa yang memungkinkan desa mampu melaksanakan
pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara optimal. (perlu
ditambahkan kelemahan dari BUMDes).
Bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Bab VII bagian kelima
yang menyatakan Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai
dengan kebutuhan dan potensi desa dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat dan desa. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan pendirian BUMDes,
maka berdasarkan Pasal 78 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, dijelaskan bahwa
Pemerintah Kabupaten-Kota perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Badan Usaha
Milik Desa.
BUMDes diharapkan dapat menjadi instrument
pemberdayaan masyarakat miskin melalui pengembangan peranan sebagai Lembaga
Ekonomi Desa dengan fokus pelayanan keuangan dan pengembangan usaha micro
finance. Kelompok atau jenis lembaga keuangan mikro bukan Bank bukan
Koperasi yakni bentuk keuangan mikro yang merupakan kelompok atau gabungan
beberapa orang yang diikat oleh faktor geografis dan kultur atau dasar
kepentingan tertentu yang melakukan pola usaha sebagai lembaga atau jasa
keuangan mikro kepada usaha-usaha mikro. pengelolaan keuangan oleh kelompok ini
pada dasarnya merupakan wujud pengelolaan keuangan dengan sistem bergulir,
modal yang digunakan dapat bersumber dari bantuan atau iuran langsung dari
masyarakat dan/atau anggota kelompok tersebut.
Berdasarkan konsep tersebut BUMDes
dikembangkan sesuai dengan potensi ekonomi lokal yang benar-benar prospektif
dan sesuai dengan kemampuan yang ada. Organisasi BUMDes berada di luar struktur
organisasi pemerintahan desa. Sedangkan kepengurusan BUMDes dipilih berdasarkan
musyawarah desa dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Desa. Lembaga Sumber
Permodalan, baik bank maupun non-bank. Dalam hal ini diperlukan fasilitasi yang
memungkinkan BUMDes mampu menyusun bussines plann yang mampu menarik
lembaga keuangan untuk mendukung permodalan dalam rangka pengembangan usaha.
Berdasarkan SKB LKM, selain bentuk hukum
BPR, Koperasi atau BUMDes dapat diarahkan kepada suatu lembaga keuangan
lainnya. Bentuk hukum bagi LKM bukan bank dan bukan koperasi dapat diarahkan
kepada suatu bentuk hukum perkumpulan.
Perkumpulan dalam hal ini memiliki
pengertian luas, yang berarti meliputi suatu persekutuan dan perkumpulan
saling menanggung. Selanjutnya perkumpulan dalam pengertian ini pun
terbagi atas 2 (dua) macam, yaitu berbentuk badan hukum dan tidak berbentuk
badan hukum.
Perkumpulan dalam LKM ini akan diarahkan
kepada perkumpulan yang berbentuk badan hukum. Perkumpulan yang tidak berbadan
hukum memiliki kelebihan, yaitu mudah dalam proses pendiriannya. Namun, salah
satu kelemahannya adalah sebagaimana disebutkan dalam Staatsblad 1933-84 Pasal
11 point 8: ”perkumpulan yang tidak didirikan sebagai badan hukum menurut
peraturan umum tidak dapat melakukan tindakan-tindakan perdata”, yang
berarti, jika akan dibuat suatu perjanjian antara pihak ketiga dengan
perkumpulan yang dimaksud, haruslah dilakukan oleh orang-orang yang bergabung
dalam perkumpulan tersebut. Perjanjian tersebut baru mengikat perkumpulan
dimaksud, jika seluruh anggotanya menandatangani perjanjian dimaksud atau
seluruhnya memberikan kuasa kepada 1 (satu) orang anggotanya untuk membuat dan
menandatangani perjanjian termaksud.
Perkumpulan yang
berbadan hukum diatur dalam Pasal
1 Staatsblad 1870 No. 64 (berdasarkan Keputusan Raja tanggal 28 Maret 1870),
yaitu perkumpulan yang akta pendiriannya disahkan oleh pejabat yang ditunjuk
oleh Gubernur Jenderal (pada waktu itu Directeur van Justitie, sekarang Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia).
Anggaran dasar Perkumpulan yang berbadan
hukum belum memiliki ketentuan baku yang mengatur. Namun, karena harus melalui
proses pengesahan dari Menteri, maka tentu saja harus melalui proses yang hampir
mirip dengan pendirian yayasan. Bisa dikatakan serupa tapi tak sama, karena dari
sisi prosesnya memang hampir sama, juga untuk anggaran dasarnya harus
mencantumkan ketentuan mengenai jangka waktu, modal yang dipisahkan, maksud dan
tujuan, organ Perkumpulan yang terdiri dari pendiri, pembina, pengurus dan
pengawas.
Perkumpulan yang berbadan hukum memiliki
kelebihan yaitu dapat melakukan perbuatan perdata, sebagaimana halnya badan
hukum lainnya dan dapat memiliki asset tetap (tanah dan/atau bangunan).
Sedangkan kelemahannya antara lain belum terdapat format baku dan Undang-Undang
yang khusus mengatur mengenai tata cara pengesahan (juklak) Perkumpulan, dan
prosesnya masih manual, maka dalam prakteknya untuk proses pengesahannya
membutuhkan waktu yang lama. Jika sudah mendapatkan pengesahan dari Menteri,
maka perkumpulan yang berbadan hukum juga harus diumumkan dalam Berita Negara
RI. Sedangkan untuk kegiatannya, jika perkumpulan bergerak di bidang sosial,
harus didaftarkan ke Dinas Sosial.
Bentuk hukum selanjutnya yaitu perusahaan
daerah. Dengan adanya otonomi daerah telah memberikan nuansa baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan sistem otonomi, daerah memiliki keleluasaan
mengatur dirinya sendiri. Tapi di sisi lain, daerah juga dituntut lebih
mandiri, termasuk membiayai seluruh kegiatannya.[9]. Ciri utama yang menunjukan kemampuan
daerah otonom dalam menyelenggarakan otonomi daerahnya adalah terletak pada
keuangan daerah. Dengan demikian daerah otonom harus memiliki kewenangan dan
kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan
menggunakan keuangan tersebut untuk penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.
Ketergantungan terhadap bantuan pemerintah pusat harus seminimal mungkin
dikurangi sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi bagian sumber keuangan
utama yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah
sebagai prasyarat dasar dalam sistem pemerintahan negara[10].
Konsekuensi dari penerapan otonomi daerah
adalah daerah harus mampu memanfaatkan hasil-hasil pembangunan agar dapat
berfungsi sebagai daerah otonom yang mandiri dan mampu menjadi partner
Pemerintah Pusat dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama dalam bidang
keuangan berdasarkan pada asas demokrasi dan kedaulatan rakyat, tanpa
mengganggu stabilitas nasional dan keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.[11]
Salah satu bentuk kebijakan Pemerintah
Daerah dalam bidang keuangan adalah memanfaatkan potensi daerah dengan membentuk
perusahaan daerah. Tujuan dari Perusahaan Daerah tidak hanya untuk mendapatkan
keuntungan saja tetapi juga mempunyai tujuan yang lebih luas yaitu
kesejahteraan rakyat melalui fungsi-fungsi sosial yaitu : pelayanan,
pemberdayaan, pengembangan serta bantuan manajemen usaha bagi masyarakat luas.
Hukum positif yang mengatur perusahaan daerah adalah Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah.
Selanjutnya dalam Pasal 2 Undang-Undang 37
Tahun 1969 menyebutkan bahwa ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah tetap berlaku sampai dibentuknya undang-undang baru yang
mengatur mengenai perusahaan daerah. Pada kenyataannya sampai sekarang belum
dibentuk undang-undang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1962.
Kondisi ini menimbulkan permasalahan legalitas bagi pengelolaan perusahaan
daerah karena dasar hukum yang sekarang berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat.
Tujuan dibentuknya perusahaan daerah
tersebut adalah untuk melaksanakan pembangunan daerah melalui pelayanan jasa
kepada masyarakat, penyelenggaraan kemanfaatan umum dan peningkatan penghasilan
pemerintah daerah. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang ini diantaranya
mengenai sifat, tujuan dan lapangan usaha perusahaan daerah, pengawasan
perusahaan daerah , dan kepemilikan perusahaan daerah.
Berdasarkan konsep di atas maka LKM bukan
bank akan diarahkan kepada salah satu bentuk badan hukum Indonesia
meliputi:
a.
perkumpulan;
b.
koperasi;
c.
perseroan terbatas;
d.
perusahaan daerah; atau
e.
badan usaha milik desa.
Pembentukan
masing-masing badan hukum Indonesia harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. LKM yang
berbadan hukum perkumpulan berlaku ketentuan dalam Undang-Undang ini. LKM yang
berbentuk badan hukum perkumpulan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
orang. Pembentukan LKM yang berbadan hukum perkumpulan dilakukan dengan akta
pendirian yang memuat anggaran dasar. Anggaran dasar memuat sekurang-kurangnya:
a.
daftar
nama pendiri;
b.
susunan
kepengurusan;
c.
nama
dan tempat kedudukan;
d.
maksud
dan tujuan serta kegiatan usaha;
e.
ketentuan
mengenai cakupan wilayah;
f.
ketentuan
mengenai pengelolaan;
g.
ketentuan
mengenai permodalan;
h.
ketentuan
mengenai jangka waktu berdirinya; dan
i.
ketentuan
mengenai sanksi.
LKM yang berbadan hukum perkumpulan
memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh
bupati/walikota. LKM berkedudukan di kabupaten/kota dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pendirian
Pendirian LKM harus memenuhi persyaratan
yaitu berbadan hukum Indonesia, memiliki modal awal paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah), dan mendapatkan izin usaha
dari bupati/walikota.
3. Permodalan
Permodalan LKM dapat berasal dari modal
sendiri, simpanan, Pemerintah, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah
desa/kelurahan, pinjaman, dan/atau penyertaan modal pihak lain atau kerja sama
bagi hasil atas dasar saling menguntungkan.
4. Kepemilikan
LKM
hanya dapat dimiliki oleh
a.
warga negara Indonesia.
b.
perkumpulan yang didirikan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan bersama;
c.
badan hukum Indonesia yang seluruhnya dimiliki
oleh warga negara Indonesia,
d.
pemerintah daerah kabupaten/kota; atau
e.
masyarakat desa atau pemerintah desa/kelurahan.
Setiap
orang hanya mendapatkan kepemilikan mayoritas untuk 1 (satu) LKM baik secara
langsung maupun tidak langsung. Ketentuan mengenai persyaratan yang wajib
dipenuhi pihak‑pihak, perubahan kepemilikan, dan perubahan modal diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
5. Perizinan
Sebelum
menjalankan kegiatan usahanya, LKM harus memiliki izin usaha dari
bupati/walikota sesuai dengan cakupan wilayah. Untuk memperoleh izin usaha, LKM
harus mengajukan permohonan kepada bupati/walikota setelah memenuhi
persyaratan:
a.
memiliki akta pendirian bagi masing-masing badan
hukum Indonesia;
b.
memiliki modal disetor minimum yang bukan
berasal dari pinjaman.
Bupati/walikota harus memberikan izin usaha
kepada LKM yang telah memenuhi persyaratan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak permohonan diterima. Apabila bupati/walikota tidak
menjawab permohonan izin usaha melebihi batas waktu, bupati/walikota dianggap
menyetujui permohonan dimaksud. Dalam hal permohonan izin usaha ditolak,
bupati/walikota harus memberikan jawaban tertulis yang memuat alasan-alasan
penolakan kepada pemohon. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara perizinan usaha diatur dalam Peraturan Pemerintah.
D.
Kegiatan Usaha Dan Cakupan Wilayah
Usaha
Kegiatan usaha
LKM pada dasarnya meliputi kegiatan pemberian pinjaman atau pembiayaan kepada
perorangan, kelompok atau anggotanya yang menjalankan usaha
mikro dan menerima simpanan. LKM dapat pula melakukan usaha jasa keuangan lainnya yang tidak bertentangan dengan undang-undang
ini. kegiatan yang dilarang dilakukan
oleh LKM yakni:
a. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta
dalam lalu lintas pembayaran;
b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
c. melakukan usaha perasuransian sebagai penanggung;
d. bertindak
sebagai penjamin;
e.
menempatkan dana
dalam bentuk Simpanan pada LKM lain; dan
f.
memberi pinjaman kepada LKM lain
Dalam melaksanakan kegiatan pinjaman dan pembiayaan, LKM wajib
melakukan pendampingan yang tata cara pendampingannya diatur dalam Peraturan
Menteri. Adapun penentuan besarnya pinjaman atau
pembiayaan ditentukan berdasarkan kebutuhan dan skala usaha dari penerima dana.
adanya pembatasan besarnya pinjaman atau pembiayaan untuk menghindari LKM
meminjam diluar kebutuhan dan skala usahanya. kebutuhan dan skala usaha ini
dengan mempertimbangan kondisi usaha dari penerima dana dengan criteria antara
lain usaha pemula atau perintis, usaha pengembangan dan usaha yang mandiri.
besaran nominal pembatasan pinjaman dan pembiayaan diatur dalam Peraturan
Menteri.
LKM dalam menjalankan kegiatan
usahanya, dapat dilaksanakan berdasarkan prinsip keuangan konvensional atau prinsip keuangan syariah. LKM hanya dapat memilih salah satu prinsip
tersebut. Hal ini berarti satu LKM tidak dapat melakukan kegiatan usaha dengan
dua prinsip sekaligus. Adapun LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip keuangan syariah wajib mematuhi prinsip syariah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
LKM hanya dapat
melakukan kegiatan usaha dalam cakupan
wilayah usaha sesuai dengan izin
usahanya. Cakupan wilayah
usaha suatu LKM berada dalam satu wilayah kabupaten/kota. Sedangkan operasional
usaha LKM berada di desa/kelurahan dalam wilayah kabupaten/kota tersebut. Hal
ini dimaksudkan agar kegiatan usaha LKM
dilakukan di akar rumput (grass root) di masyarakat. Adapun Ketentuan mengenai standar minimum
pengelolaan usaha LKM yang antara lain didasarkan pada skala
usaha, total simpanan yang dihimpun dan total pinjaman yang diberikan, diatur
dengan Peraturan Menteri. Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini menjadi dasar
bagi pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menetapkan kebijakan sesuai kondisi masing-masing daerah.
Terkait dengan pemekaran dan penggabungan
wilayah serta adanya LKM yang mengubah wilayah usahanya, LKM harus menjamin
kesesuaian cakupan wilayah usaha selambat-lambatnya satu tahun sejak tanggal
penetapan pemekaran atau penggabungan. Sedangkan LKM yang mengubah cakupan wilayah usahanya harus memberikan
pemberitahuan kepada bupati/Walikota di wilayah yang lama dan melaporkan kepada
bupati/walikota di wilayah yang baru.
E.
Penjaminan
Simpanan dan
Pinjaman
Dalam rangka kepentingan nasabah,
LKM dapat mengikuti
program penjaminan yang diselenggarakan oleh suatu lembaga penjamin simpanan; melakukan
mekanisme penjaminan sendiri sesama LKM; atau mekanisme lain yang tidak
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai tata cara penjaminan
simpanan bagi LKM diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sedangkan untuk penjaminan
atas pinjaman atau pembiayaan yang diberikan, LKM dapat melakukan penjaminan
terhadap pinjaman atau pembiayaan yang diberikan kepada suatu lembaga penjamin pinjaman atau
pembiayaan misalnya Askrindo, Jamkrindo, LPKD, atau Pegadaian. Dalam RUU ini juga diatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah kabupaten/kota
berkewajiban memberikan subsidi premi bagi LKM yang mengikuti suatu program
atau mekanisme penjaminan simpanan dan penjaminan pinjaman atau pembiayaan.
Terkait dengan belum adanya suatu lembaga atau wadah yang memberikan penjaminan
simpanan bagi LKM, pemerintah diupayakan melakukan suatu penjaminan baik dengan
membentuk lembaga penjamin, atau
menunjuk BUMN/BUMD untuk melakukan penjaminan simpanan.
F. Kepengurusan Dan Pertukaran Informasi
Pengaturan mengenai kepengurusan dalam Lembaga Keuangan
Mikro disesuaikan dengan bentuk badan hukum yang dipilih untuk menjadi LKM,
dimana ketentuannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Susunan kepengurusan dalam LKM sekurang-kurangnya
meliputi pengawas internal, ketua, sekretaris, dan bendahara.
Dalam kepengurusan LKM, pengurus LKM dapat melakukan
tukar menukar informasi antar LKM. Pengurus LKM dapat
memberitahukan informasi dan data mengenai penerima kepada LKM lain. Tujuan
dari pertukaran informasi ini untuk memajukan LKM.
Terkait dengan pemberian informasi, dalam hal penerima
telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah yang bersangkutan
berhak memperoleh keterangan mengenai setiap transaksi antara Nasabah dengan
LKM.
G.
Penggabungan, Peleburan, Dan
Pembubaran
Dalam rangka optimalisasi
kinerja LKM, LKM dapat melakukan penggabungan atau peleburan dengan satu atau
lebih LKM lainnya dengan persetujuan bupati/walikota yang memberikan ijin
usaha. Penggabungan dapat dilakukan
dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu LKM dan membubarkan LKM
lainnya. Sedangkan Peleburan dapat dilakukan dengan cara mendirikan LKM baru
dan membubarkan LKM lainnya. LKM hasil peleburan atau penggabungan harus
menyesuaikan cakupan wilayah usahanya dengan melakukan perubahan anggaran
dasar.
LKM dapat dibubarkan karena
beberapa hal, yaitu:
- LKM yang dimaksud membubarkan diri atas persetujuan para pendirinya;
- bupati/walikota mencabut izin usaha LKM;
- instansi yang berwenang menyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
- tercapainya tujuan atau berakhirnya jangka waktu kegiatan usaha sesuai dengan anggaran dasar.
Pihak yang harus bertanggung jawab untuk mengembalikan
seluruh simpanan yang telah dihimpun dalam hal terjadi pembubaran, adalah:
a. pengurus dalam hal LKM berbadan hukum perkumpulan;
b. seluruh pemegang saham pengendali dan direksi atau pihak yang
disamakan dengan itu dalam hal LKM berbadan hukum perseroan terbatas, koperasi,
perusahaan daerah, atau badan usaha milik desa.
H.
Pembinaan dan Kerjasama
Pengaturan
mengenai pembinaan dalam RUU tentang LKM menjadi wewenang Pemerintah dan pemerintah
daerah kabupaten/kota yang menjalankan
program yang berhubungan dengan kegiatan keuangan mikro mempunyai kewajiban
untuk mengoptimalkan fungsi LKM dengan memperhatikan segala aspek
keberlangsungan dan persaingan yang sehat LKM itu sendiri.
Pemerintah Daerah juga diwajib
menyediakan bantuan teknis dalam rangka pembinaan dan pengembangan LKM. Bantuan teknis tersebut
meliputi antara lain tenaga penyuluh, pendidikan
dan pelatihan tentang keuangan mikro, penyediaan database LKM, dan lain-lain. LKM juga dapat melakukan
kerjasama antar LKM maupun dengan lembaga keuangan lain dalam rangka
meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan memperluas jangkauan pelayanan.
I. Pengawasan
Pengawasan LKM dilakukan oleh Bupati
/ Walikota. Bupati / Walikota mendelegasikan wewenang pengawasan kepada pejabat yang diberi tugas dan wewenang
untuk melakukan pengawasan. Pengawasan terhadap LKM
dilakukan setiap saat atau secara berkala.
Untuk
tertib pembukuan atau pencatatan LKM harus melakukan dan
memelihara pencatatan/pembukuan atas segala aktivitas kegiatan usahanya sesuai
dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Dalam melakukan dan memelihara
pencatatan/pembukuan sebagaimana
tersebut, Pengurus LKM dilarang:
- Membuat pencatatan palsu dalam pembukuan transaksi atau laporan dan atau tanpa didukung dengan dokumen yang sah;
- Menghilangkan atau tidak memasukkan informasi yang benar dalam laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening LKM;
- Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi.
Setiap LKM Desa/kelurahan dan
LKM Kecamatan harus menyampaikan laporan keuangan kepada Bupati/Walikota.
melakukan pengawasan pada stratifikasi terkait sekurang-kurangnya sekali dalam
kurun waktu enam bulan.
Dalam rangka menerapkan
prinsip keterbukaan, LKM harus mengumumkan Laporan Keuangannya kepada masyarakat.
Menteri menetapkan standar minimum tatacara pengawasan, bentuk laporan, mekanisme
penyampaian laporan serta mekanisme pengumuman Laporan Keuangan yang menjadi
dasar bagi Pemerintah Daerah untuk merumuskan ketentuan lebih rinci sesuai
kondisi masing-masing daerah.
J. Sanksi Administratif
Sebagai instrumen penting dalam penegakan suatu aturan maka
pemberian sanksi perlu diatur dalam RUU. Dalam RUU tentang LKM, sanksi dapat
diberikan baik terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh LKM sebagai badan hukum (recht person) maupun oleh orang
perorangan sebagai subyek hukum. Terhadap LKM dapat dikenakan sanksi administratif yang
dapat berupa: teguran,
peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pencabutan ijin dan/atau denda administratif, yang akan dikenakan sesuai
dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan dan akan diatur lebih lanjut mengenai
tata laksana dan penerapan sanksi administratif tersebut dalam Peraturan Pemerintah.
Diantara perbuatan hukum
yang dapat dikenai sanksi administratif
tersebut adalah mencakup :
a.
Kepemilikan LKM
yang tidak dimiliki oleh warga negara Indonesia, perkumpulan yang
didirikan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) warga negara
Indonesia yang mempunyai kepentingan bersama,
badan
hukum Indonesia yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia, pemerintah daerah
kabupaten/kota,
atau masyarakat
desa atau pemerintah desa/kelurahan.
b.
LKM yang tidak
melakukan kegiatan usaha pemberian pinjaman atau pembiayaan
kepada perorangan, kelompok, atau anggotanya
yang menjalankan usaha mikro, menerima
simpanan, dan melakukan usaha jasa
keuangan lainnya yang tidak
bertentangan dengan undang-undang.
c.
LKM yang tidak melakukan
pendampingan kepada perorangan, kelompok, atau anggotanya
yang menjalankan usaha mikro.
d.
LKM
yang menjalankan 2 (dua) prinsip keuangan sekaligus yaitu prinsip keuangan
konvensional dan prinsip keuangan syariah.
e.
LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip keuangan syariah yang
tidak mematuhi prinsip syariah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
f.
LKM
yang melanggar larangan:
1)
menerima
simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
2)
melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing;
3)
melakukan usaha
perasuransian sebagai penanggung;
4)
bertindak
sebagai penjamin;
5)
menempatkan dana
dalam bentuk Simpanan pada LKM lain;
6)
memberi pinjaman kepada LKM lain.
g.
LKM yang
melakukan
kegiatan usaha dalam cakupan wilayah usaha tidak sesuai dengan izin usahanya.
h.
LKM yang mengubah cakupan wilayah usahanya tidak memberikan pemberitahuan kepada bupati/walikota
di wilayah yang lama dan melaporkan kepada bupati/walikota di wilayah yang baru.
i.
LKM yang
tidak melakukan dan memelihara pencatatan dan/atau pembukuan keuangan
perusahaan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.
j.
LKM yang
tidak menyampaikan laporan keuangan
kepada bupati/walikota
sekurang-kurangnya sekali dalam
1 (satu ) tahun.
k.
LKM yang
tidak mengumumkan laporan keuangannya kepada masyarakat.
K. Ketentuan Pidana
Kepada orang perorangan sebagai subyek hukum
dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara atau kurungan dan/atau denda
apabila kedapatan melakukan pelanggaran dalam hal diantaranya:
- Setiap orang yang melanggar ketentuan hanya 1 orang mendapatkan kepemilikan mayoritas untuk 1 (satu) LKM baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu ancaman pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00(sepuluh juta rupiah).
- Setiap orang yang menjalankan usaha LKM tanpa izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
- Setiap orang yang tidak bertanggung jawab mengembalikan seluruh dana simpanan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
- Setiap pengurus dan/atau pegawai LKM yang melanggar ketentuan antara lain berupa:
- membuat pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan keuangan dan/atau tanpa didukung dengan dokumen yang sah;
- menghilangkan atau tidak memasukkan informasi yang benar dalam laporan kegiatan usaha, laporan keuangan, atau rekening LKM; dan
- mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan keuangan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha.
- dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.00,00.(lima puluh juta rupiah)
L. Ketentuan Peralihan
Dalam ketentuan
peralihan
ini diatur mengenai penyesuaian-penyesuaian status dan perbutatan hokum dari
pelaku-pelaku LKM yang selama ini telah dan masih menjalankan aktivitasnya
untuk memberi kesempatan bagi langkah-langkah persiapan dan penataan kembali
sesuai dengan RUU ini, dengan ketentuan “setiap orang yang
melakukan kegiatan usaha sebagai LKM yang tidak berbentuk bank dan belum
memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini dapat tetap beroperasi dengan
ketentuan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling
lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku”.
M. Ketentuan
Penutup
Ketentuan ini
memuat mengenai status peraturan perundang-undangan yang sudah ada, dan saat
mulai berlakunya peraturan perundang-undangan beserta alternatifnya.
Disamping
itu juga mengatur mengenai jangka waktu pembentukan peraturan pelaksana seperti
Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan Peraturan Daerah untuk menjalankan
Undang-Undang mengenai Lembaga Keuangan
Mikro, sehingga pada akhirnya dapat berguna untuk
memperlancar pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Baasir,
Faisal (2003), Optimalisasi Regulasi Kerangka Kerja Bagi Keuangan Mikro. Gema
PKM.
BI and
GTZ ProFI (2000), Legislation, Regulation, and Supervision of Micro Institutions
in Indonesia.
CGAP.
Guiding Principles On Regulation and Supervision of Microfinance. CGAP.
Fatwa, A.M., Otonomi Daerah dan
Demokratisasi Bangsa,(Jakarta: Yarsif Watampone, 2003).
Helms,
Brigit (2006). Access for All: Building Inclusive Financial Systems, CGAP.
Holloh, Detlev
and Prins, Hendriks. Regulation, Supervision & Support of Non-Bank, Non
Cooperative Micro-Finance Institution. ProfI-GTZ.
Holloh,
Deltev. Microfinance Institution Study, Bank Indonesia, GTZ, dan
Departemen Keuangan.
Ismawan,
Bambang (2003), Keuangan Mikro Dalam Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Gema PKM.
Ismawan, Bambang dan Setyo
Budiantoro, Keuangan Mikro Sebuah
Revolusi Tersembunyi Dari Bawah, (Jakarta: Gema PKM Indonesia, 2005).
JBIC (2003). JBIC & Microfinance:
An Innovatie Financing Instrument to Support
Sustainability in the Industry and
Greater Outreach to Poor & Low-Income Families. JBIC.
Ledgerwood,
Joana (1999), Microfinance Handbook. The World Bank – Washington.
Martowijoyo,
Sumantoro (2002), Dampak Pemberlakuan Sistem Bank Perkreditan Rakyat terhadap Kinerja Lembaga
Pedesaan. Jurnal Ekonomi Kerakyatan.
Nasution,
Darmin (2003), Pointers Mengenai Kerangka Pengaturan Bagi Keuangan Mikro. Gema PKM.
Profi-GTZ
(2005). Background Paper on Microfinance Policy and Strategy. ProFIGTZ.
Republika,
ed. 1 Maret 2006, 6 April 2006.
Rudjito
(2003), Peranan Lemabaga Keuangan Mikro Dalam Menggerakan Ekonomi Rakyat dan Menanggulangi Kemiskinan.
Gema PKM.
Rudjito, Peran lembaga keuangan
mikro dalam otonomi daerah guna menggerakkan ekonomi rakyat dan menanggulangi
kemiskinan studi kasus: Bank Rakyat Indonesia, dalam http://www.indonesiaindonesia.com/f/8667-peran-lembaga-keuangan-mikro/,
diakses tanggal 30 Agustus 2010.
Staschen,
Stefan (1999), Regulation and Supervision of Microfinance Institutions:
State of Knowledge. GTZ.
Anda berada di kesulitan keuangan? Apakah Anda ingin memulai bisnis Anda sendiri? Perusahaan pinjaman didirikan organisasi hak asasi manusia di seluruh dunia dengan tujuan tunggal membantu orang miskin dan orang-orang dengan kesulitan keuangan yang hidup. Jika Anda ingin mengajukan pinjaman, kembali ke kami dengan rincian di bawah email: julietowenloancompany@gmail.com
BalasHapusNama lengkap:
jumlah pinjaman :
Pinjaman Durasi:
Pendapatan bulanan :
negara:
Seks:
Nomor telepon:
Tanggal lahir :
Terima kasih dan Tuhan memberkati
JULIETOWENLOANCOMPANY
(Julietowenloancompany@gmail.com)
Ibu JulietAnda berada di kesulitan keuangan? Apakah Anda ingin memulai bisnis Anda sendiri? Perusahaan pinjaman didirikan organisasi hak asasi manusia di seluruh dunia dengan tujuan tunggal membantu orang miskin dan orang-orang dengan kesulitan keuangan yang hidup. Jika Anda ingin mengajukan pinjaman, kembali ke kami dengan rincian di bawah email: julietowenloancompany@gmail.com
Nama lengkap:
jumlah pinjaman :
Pinjaman Durasi:
Pendapatan bulanan :
negara:
Seks:
Nomor telepon:
Tanggal lahir :
Terima kasih dan Tuhan memberkati
JULIETOWENLOANCOMPANY
(Julietowenloancompany@gmail.com)
Ibu JulietAnda berada di kesulitan keuangan? Apakah Anda ingin memulai bisnis Anda sendiri? Perusahaan pinjaman didirikan organisasi hak asasi manusia di seluruh dunia dengan tujuan tunggal membantu orang miskin dan orang-orang dengan kesulitan keuangan yang hidup. Jika Anda ingin mengajukan pinjaman, kembali ke kami dengan rincian di bawah email: julietowenloancompany@gmail.com
Nama lengkap:
jumlah pinjaman :
Pinjaman Durasi:
Pendapatan bulanan :
negara:
Seks:
Nomor telepon:
Tanggal lahir :
Terima kasih dan Tuhan memberkati
JULIETOWENLOANCOMPANY
(Julietowenloancompany@gmail.com)
Ibu JulietAnda berada di kesulitan keuangan? Apakah Anda ingin memulai bisnis Anda sendiri? Perusahaan pinjaman didirikan organisasi hak asasi manusia di seluruh dunia dengan tujuan tunggal membantu orang miskin dan orang-orang dengan kesulitan keuangan yang hidup. Jika Anda ingin mengajukan pinjaman, kembali ke kami dengan rincian di bawah email: julietowenloancompany@gmail.com
Nama lengkap:
jumlah pinjaman :
Pinjaman Durasi:
Pendapatan bulanan :
negara:
Seks:
Nomor telepon:
Tanggal lahir :
Terima kasih dan Tuhan memberkati
JULIETOWENLOANCOMPANY
(Julietowenloancompany@gmail.com)
Ibu JulietAnda berada di kesulitan keuangan? Apakah Anda ingin memulai bisnis Anda sendiri? Perusahaan pinjaman didirikan organisasi hak asasi manusia di seluruh dunia dengan tujuan tunggal membantu orang miskin dan orang-orang dengan kesulitan keuangan yang hidup. Jika Anda ingin mengajukan pinjaman, kembali ke kami dengan rincian di bawah email: julietowenloancompany@gmail.com
Nama lengkap:
jumlah pinjaman :
Pinjaman Durasi:
Pendapatan bulanan :
negara:
Seks:
Nomor telepon:
Tanggal lahir :
Terima kasih dan Tuhan memberkati
JULIETOWENLOANCOMPANY
(Julietowenloancompany@gmail.com)
Ibu JulietAnda berada di kesulitan keuangan? Apakah Anda ingin memulai bisnis Anda sendiri? Perusahaan pinjaman didirikan organisasi hak asasi manusia di seluruh dunia dengan tujuan tunggal membantu orang miskin dan orang-orang dengan kesulitan keuangan yang hidup. Jika Anda ingin mengajukan pinjaman, kembali ke kami dengan rincian di bawah email: julietowenloancompany@gmail.com
Nama lengkap:
jumlah pinjaman :
Pinjaman Durasi:
Pendapatan bulanan :
negara:
Seks:
Nomor telepon:
Tanggal lahir :
Terima kasih dan Tuhan memberkati
JULIETOWENLOANCOMPANY
(Julietowenloancompany@gmail.com)
Ibu Juliet