Jumat, 07 Juni 2013


JAMINAN DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN

(Tinjauan dari sudut  kemananan Pemilik Proyek)

LATAR BELAKANG

Semakin pesatnya pembangunan dewasa ini menuntut dunia konstruksi untuk selalu tampil dengan performance baru. Kemampuan teknis para kontraktor harus sudah terbukti dengan sertifikasi international (ISO), begitupun kemampuan financial kontraktor harus benar-benar dapat dibuktikan di depan Pemilik proyek sebagai tolok ukur kepercayaan kerjasama.
Keamanan Pemilik proyek dalam dunia konstruksi lebih diprioritaskan. Hal ini dapat dilihat dari peraturan-peraturan  yang dikeluarkan pemerintah hampir semua ditujukan untuk kemanan pemilik proyek. Jaminan dalam perjanjian pemborongan (tercantum dalam Undang Undang Jasa Konstruksi No. 18 Tahun 1999) merupakan hal yang paling utama dalam usaha perlindungan terhadap pemilik proyek.
Sebagai tolok ukur kepercayaan dari pihak pemilik proyek, kontraktor harus memberikan jaminan terhadap semua kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Jaminan tersebut dapat dilakukan dengan jaminan yang dikeluarkan oleh pihak ketiga (dalam hal ini bank), yaitu sering disebut dengan Bank Garansi (Guarantee Bank) maupun dengan Jaminan dari perusahaan asuransi (Surety Bond). Bank Garansi maupun Surety Bond merupakan jaminan formal yang dapat memberikan kepastian hukum kepada pihak Pemilik proyek dalam menyelesaikan sesuatu hal bilamana terjadi cacat kepercayaan (wanprestasi) dari pihak Kontaktor dalam melaksanakan pekerjaan.
Permasalahan yang selama ini sering timbul adalah kurang efektifnya fungsi jaminan sebagai penjamin kelangsungan proyek. Tidak sedikit Kontraktor menelantarkan pekerjaan di tengah jalan/ ingkar janji, padahal sebelumnya telah menyerahkan sejumlah jaminan sesuai persyaratan. Hal in dikarenakan besaran jaminan yang telah ditentukan berdasarkan peraturan yang berlaku dirasa kurang memadai/ terlalu kecil bila dibanding dengan nilai proyek yang dijaminnya, sehingga pihak kontraktor merasa ringan bila terjadi ingkar janji dan menelantarkan proyek. Berdasarkan hal tersebut perlu sekali untuk dilakukan tinjauan terhadap besaran nilai jaminan dalam prmborongan, apakah sudah layak atau perlu peninjauan ulang.

GARANSI BANK  (BANK GUARANTEE)


            Di dalam Keppres 16 Tahun 1994 (sebelum berlakunya Undang-Undang Jasa Konstruksi No 18/ Th 1999) disebutkan bahwa dalam perjanjian pemborongan (pengadaan barang dan jasa) yang bernilai di atas Rp. 50 Juta, rekanan diwajibkan memberikan surat jaminan bank (bank garansi).
            Menurut Djumaldi (1995), Bank Garansi merupakan salah satu bentuk penanggungan/ Borgtoch/ Guarantee yang diatur dalam Bab 17 buku III KUH Perdata dari pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850. Menurut Pasal 1829 KUH Perdata, Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan dia berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. Dengan kata lain, seorang pihak ketiga yang disebut penanggung/ penjamin menjamin kepada pihak yang berpiutang/ kreditor/ penerima jaminan untuk memenuhi prestasinya (wanprestasi).  Sehingga dapat diartikan secara sederhana bahwa Bank Garansi adalah jaminan dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh Bank yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima jaminan apabila pihak yang dijamin cidra janji (wanprestasi).
            Pihak yang dapat bertindak sebagai penanggung/ penjamin adalah bisa perorangan maupun badan hukum. Dalam Bank Garansi yang bertindak sebagai penanggung/ penjamin adalah badan hukum yang berbentuk Bank. Menurut Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 yang dimaksud Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
            Bank bersedia sebagai penanggung/ penjamin berarti bersedia menanggung resiko apabila debitor/ yang terjamin melakukan wanprestasi, karena bank sebelumnya telah meminta jaminan lawan/ kontra garansi kepada debitor/ terjamin yang nilainya minimal sama dengan jumlah uang yang ditetapkan sebagai jaminan yang tercantum dalam bank Garansi. Jaminan kontra garansi dapat berupa uang tunai atau lainnya seperti dana giro, deposito, surat-surat berharga dan harta kekayaan lainnya. Demikian juga atas pemberian bank garansi, bank akan menerima imbalan yang disebut dengan provisi dari debitor/ terjamin yang besarnya dihitung atas dasar persentase dari jumlah nilai bank garansi untuk jangka waktu tertentu.
            Apabila terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh debitor/ terjamin, maka bank sebagai penanggung/ penjamin menggantikan kedudukan debitor/ terjamin, oleh karena itu bank membayar sejumlah uang kepada kreditor/ penerima jaminan. Sejak saat itu menjadi hubungan antara pihak yang memberikan kredit/ kreditor dengan pihak yang menerima kredit/ debitor.
            Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka Bank Garansi tidak lain adalah suatu bentuk kredit yang tergantung pada suatu keadaan tertentu di waktu mendatang. Hubungan kredit timbul apabila atas pemberian Bank Garansi disediakan jaminan lawan/ kontra garansi yang cukup nilainya dan bank mencairkan jaminan lawan tersebut.
            Sifat dari Bank Garansi adalah accessoir artinya Bank Garansi merupakan perjanjian tambahan, maksudnya adanya Bank Garansi tergantung adanya perjanjian pokok misalnya perjanjian pemborongan. Dengan kata lain, adanya perjanjian tambahan (Bank Garansi) tergantung adanya perjanjian pokok (misalnya perjanjian pemborongan). Apabila perjanjian pokoknya hapus, maka perjanjian tambahan juga hapus.
            Bank sebagai penanggung/ penjamin mempunyai hak istimewa/ hak utama, yaitu hak untuk menuntut agar harta benda si debitor/ terjamin lebih dahulu disita dan dijual. Hal ini dapat diketahui dalam Pasal 1831 KUH Perdata yang berbunyi: Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang selainnya jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya [disadur dari Djumaldi, Th. 1995]. Terlihat hak istimewa ini memberikan jaminan keamanan terhadap pihak bank yang menjadi pihak penjamin bilamana terjadi wanprestasi dari pihak terjamin. Dan di dalam prakteknya, bank dalam memberikan Bank Garansi selalu melepaskan hak istimewa/ hak utamanya untuk menuntut supaya benda-benda debitor/ terjamin (kontra garansi) terdahulu disita dan dijual guna melunasi utangnya.
            Prihal jaminan lawan/ kontra garansi yang disediakan pihak debitor/ terjamin dapat berupa uang tunai dan jumlahnya minimal harus sama dengan nilai Garansi Bank. Atau dapat berupa dana giro, surat-surat berharga maupun deposito. Dalam hal ini nilai tunainya harus sama dengan nilai Bank Garansi. Sedangkan apabila kontra garansi berupa harta kekayaan lain maka jumlah nilainya harus sebesar 150% dari jumlah Garansi Bank. Apabila kontra garansi/ jaminan lawan berupa barang-barang yang dapat diasuransikan, harus diasuransikan yang disetujui oleh bank dan dalam polis asuransi harus ditambah Banker’s Caluse. Premi asuransi menjadi tanggungan yang terjamin.
            Prihal bank-bank mana saja yang dapat menyelenggarakan Bank Garansi dapat dilihat pada Keppres 16 tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang disebutkan bahwa bank-bank yang dapat menerbitkan Bank Garansi dalam rangka perjanjian pemborongan (pengadaan barang dan jasa) yaitu:
a.       Bank Umum, baik bank umum pemerintah maupun swasta,
b.      Bank devisa di Indonesia atau bank di luar negeri yang direkomendasikan oleh Bank Indonesia (BI) jika rekanan berkedudukan di luar negeri.
            Adapun macam-macam jaminan yang terdapat dalam Bank Garansi dalam perjanjian Pemborongan adalah: Perjanjian Penawaran (Bid Bond), Jaminan Pelaksanaan (Performance Bond), Jaminan Uang Muka (Prepayment Bond), dan Jaminan Pemeliharaan (Maintenance Bond). Berikut dijelaskan dari masing-masing jaminan tersebut.

A.    Jaminan Penawaran (Bid Bond)
Jaminan Penawaran/ jaminan tender/ jaminan pelelangan diperlukan apabila rekanan mengikuti pelelangan proyek dengan nilai proyek di atas Rp. 50 Juta. Maksud diadakan jaminan penawaran agar rekanan yang mengikuti pelelangan betul-betul rekanan yang bonafid. Di dalam praktek, biasanya jaminan sudah ditentukan besarnya dengan sejumlah uang tertentu yang besarnya berkisar antara 1% sampai dengan 3% dari perkiraan harga penawaran.
Surat Jaminan penawaran yang habis waktunya sebelum pelelangan diumumkan, harus diperpanjang lagi sebab kalau tidak rekanan dianggap gugur. Surat jaminan penawaran akan segera dikembalikan apabila rekanan kalah dalam pelelangan dengan jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah calon pemenang pelelangan ditetapkan. Surat jaminan penawaran akan menjadi milik negara apabila rekanan mengundurkan diri setelah memasukkan dokumen penawaran dalam kotak pelelangan. Demikian juga surat jaminan penawaran akan jatuh pada negara apabila rekanan yang menang mengundurkan diri, maka surat jaminan penawaran akan ditahan oleh pemberi tugas.

B.     Jaminan Pelaksanaan (Performance Bond)
Jaminan Pelaksanaan tujuannya untuk menjamin pelaksanaan dari proyek. Bagi rekanan yang menang dan tidak mengundurkan diri, maka sebelum menandatangani surat perjanjian pemborongan/ kontrak di atas Rp. 50 Juta maka rekanan harus menyerahkan surat jaminan pelaksanaan sebesar 5% dari nilai perjanjian pemborongan/ kontrak.
Pada saat surat perjanjian pelaksanaan diterima, maka surat penawaran yang ditahan akan dikembalikan kepada rekanan yang bersangkutan. Surat jaminan pelaksanaan akan menjadi milik negara apabila rekanan tidak melaksanakan pekerjaan/ penyerahan barang/ proyek dalam waktu yang telah ditetapkan. Surat Perjanjian pelaksanaan dikembalikan kepada rekanan yang bersangkutan setelah pelaksanaan pekerjaan/ penyerahan barang/hasil pekerjaan telah sesuai dengan surat perjanjian pemborongan/ kontrak, sering disebut dengan istilah penyerahan pertama.

C.    Jaminan Uang Muka (Prepayment Bond)
Dalam surat perjanjian pemborongan/ kontrak dapat dimuat mengenai pembayaran uang muka sebesar 30% bagi rekanan golongan bukan ekonomi lemah. Mengenai pembayaran uang muka biasanya sebelumnya dimuat dalam dokumen lelang.
Untuk memperoleh uang muka tersebut rekanan harus menyerahkan jaminan uang muka yang nilainya sekurang-kurangnya sama dengan besarnya uang muka. Uang muka harus sepenuhnya digunakan bagi pelaksanaan proyek yang akan dikerjakan.
Pengembalian/ pelunasan uang muka diperhitungkan berangsur secara merata pada tahap-tahap pembayaran (termijn) sesuai dengan surat perjanjian pemborongan/ kontrak dengan ketentuan bahwa uang muka tersebut selambat-lambatnya harus telah lunas pada saat pekerjaan mencapai prestasi 100%. Sebagai contoh pelunasan uang muka sebagai berikut: Jika rakanan memperoleh uang muka sebesar 20%, sedangkan tahap pembayarannya dalam kontrak ditetapkan: Tahap kesatu:20%, kedua: 30%, ketiga: 25%, keempat: 20%,dan terakhir: 5%. Pelunasan uang muka pada sistim pembayaran diatas dapat diterangkan berikut ini (lihat tabel 1).
              Tabel 1.  Pelunasan Uang Muka melalui Tahapan Pembayaran (Termijn).
Prestasi
Tahap Pembayaran
Pembayaran
(00%)
20% (20%)
50% (30%)
75% (25%)
100% (25%)
100% (00%)
Uang muka 20% x 100%
I.   20%   20% - 20%x20% = 20% - 4%
II.  30%   30% - 30%x20% = 30% - 6%
III. 25%   25% - 25%x20% = 25% - 5%
IV. 20%   20% - 25%x20% = 20% - 5%
V.   5%      5% - 0%
= 20%
= 16%
= 24%
= 20%
=15%
=  5%
       100%
     100%
         100%

Pelunasan uang muka selain dengan secara merata pada tahap-tahap pembayaran sesuai dengan kontrak, dapat juga rekanan mempercepat pelunasan uang muka yang diterimanya, misalnya sekaligus dilunasi pada tahap pertama.  Jika uang muka tidak dilunasi pada saat pekerjaan mencapai prestasi 100% atau pada penyerahan pertama, maka surat jaminan uang muka menjadi milik negara.

D.    Jaminan Pemeliharaan (Maintenance Bond)
Pada waktu penyerahan pertama/ pekerjaan telah mencapai 100%, rekanan baru menerima pembayaran 95% dari nilai kontrak, sedangkan sisanya sebesar 5% masih ditahan pimpro dengan maksud agar rekanan dalam masa pemeliharaan wajib melaksanakan perbaikan-perbaikan terhadap kekurangan-kekurangan dari pekerjaan.
Yang dimaksud dengan masa pemeliharaan adalah masa dari penyerahan pertama sampai dengan penyerahan kedua. Apabila rekanan menginginkan 100% pembayran harga borongan pada waktu penyerahan pertama, maka rekanan harus menyerahkan surat jaminan pemeliharaan yang besarnya 5% dari harga kontrak/ borongan.
Surat jaminan pemeliharaan jatuh pada negara bila rekanan tidak melaksanakan kewajibannya, sedangkan surat jaminan pemelihaan akan dikembalikan kepada rekanan apabila rekanan telah melaksanakan kewajibannya dengan baik sampai penyerahan kedua maka surat jaminan pemeliharaan dikembalikan kepada rekanan.



TINJAUAN TERHADAP BESARAN PROSENTASE JAMINAN
           
Besaran jaminan sesuai dengan peraturan yang berlaku, baik untuk jaminan penawaran, uang muka, pelaksanaan dan pemeliharaan (sesuai penjelasan di atas), dirasa sangat minim sekali bila dibanding dengan nilai total proyek. Hal inilah yang dapat menyebabkan pihak kontraktor dengan ringannya meninggalkan/ menelantarkan proyek (ingkar janji) tanpa merasa berat mengabaikan besaran uang yang dijaminkan. Yang pada akhirnya pihak pemilik proyek yang dirugikan. Kenapa demikian ?  Di bawah ini diberikan gambaran dari penjelasan tersebut.

Jaminan tender/ penawaran:
Pada suatu proyek dilakukan tender dengan persyaratan jaminan tender sebesar 2,5% (berbentuk Bank Garansi) dari perkiraan harga penawaran. Urutan pemenang hasil tender dapat di lihat pada tabel 2.
  Tabel 2. Urutan pemenang hasil tender
Urutan Pemenang
 Harga Penawaran
Jaminan Tender
I.                   PT. A
II.                PT. B
III.             PT. C
Rp. 1.000.000.000,-
Rp. 1.040.000.000,-
Rp. 1.050.000.000,-
Rp. 25.000.000,-
Rp. 26.000.000,-
Rp. 26.250.000,-

PT. A dinyatakan sebagai Pemenang Pertama dengan penawaran terendah dibanding penawar lainnya. Tetapi akibat suatu hal ternyata PT. A mengundurkan diri dan akibatnya perlu dilakukan “retender” (lelang ulang). Biaya-biaya yang dikeluarkan pemilik proyek untuk keperluan retender akan diganti oleh Penjamin dengan maksimum Rp. 25.000.000,. Bila tidak dilakukan retender maka penawar Pemenang Kedua (PT. B) berhak sebagai pemenang tender.  Selisih  penawaran  antara  Pemenang  Pertama  dan Kedua sebesar Rp. 40.000.000,- hanya akan ditanggung oleh pihak bank (Bank Garansi) sebagai penjamin PT. A  sebesar Rp. 25.000.000,- (2,5%), sehingga selisih sebesar Rp. 15.000.000,- sepenuhnya menjadi beban pemilik proyek. Dalam kasus ini berarti besaran jaminan penawaran sebesar 2,5 % tidak realistis lagi sehingga pemilik proyek tidak dilindungi penuh oleh jaminan tersebut.
Manapun yang akan dipilih dalam meneruskan pelaksanaan pekerjaan akibat Pemenang Pertama mengundurkan diri, hal itu tidak merugikan pemilik proyek apabila besar jaminan penawaran/ tender sebesar 5 – 7,5% dari nilai proyek.  Dengan kata lain perlindungan menyeluruh terhadap pemilik proyek lebih terjamin.

Jaminan Pelaksanaan:
Demikian juga halnya apabila pekerjaan yang sedang dilaksanakan ternyata gagal dan perlu diambil alih dan dilanjutkan oleh kontraktor lain. Jika kontraktor pertama gagal, maka kontraktor yang akan mengambil alih biasanya melakukan penelitian dan testing terlebih dahulu terhadap pekerjaan phisik yang sudah dikerjakan oleh kontraktor sebelumnya. Selain dari itu, kontraktor biasanya dalam menetapkan harga untuk melanjutkan proyek yang gagal tersebut akan memperhitungkan perkembangan harga-harga bahan/ material maupun upah buruh saat itu. Sehingga cenderung akan terjadi pembengkakan biaya proyek yang akan masalah bagi pemilik proyek. Mengapa demikian? Perlu dijelaskan dengan angka agar dapat memberikan gambaran yang lebih jelas.
· Kontraktor PT. A yang memenangkan tender diserahi melaksanakan pekerjaan pembangunan gedung:
- Nilai Proyek (NP)                                                                  = Rp 1.000.000.000,-
-  Jaminan Pelaksanaan (Performance Bond) sebesar 5% NP = Rp.    50.000.000,-
-     Pada prestasi 40% ternyata PT. A sebagai pelaksana gagal dan mengundurkan diri.
-     Uang yang telah dibayarkan kepada PT. A (40% NP)         = Rp.  400.000.000,-
· PT. B ditunjuk untuk melanjutkan sisa pekerjaan pembangunan gedung yang ditinggalkan PT. A, dengan penawaran sebesar 80%NP (Rp. 800.000.000,-), harga tersebut telah mempertimbangkan akibat berubahnya harga-harga material dan pengeluaran awal atas biaya-biaya survey, penelitian dan pengetesan.
Dari penjelasan di atas, telah terjadi pembengkakan biaya proyek sebesar    Rp. 200.000.000,- (60%NP – 80%NP). Padahal Jaminan Pelaksanaan dari PT. A hanya sebesar Rp. 50.000.000,- (5% NP), berarti kekurangan sebesar Rp. 150.000.000,- sepenuhnya menjadi tanggungan pemilik proyek. Dalam hal ini pemilik proyek tetap menjadi pihak yang tidak terlindungi. Lain halnya bila prosentase Jaminan Pelaksanaan sebesar antara 10 – 25% dari nilai proyek.

Jaminan Uang Muka:
Pemberian uang muka di Indonesia besarnya bisa mencapai 30 % dari nilai proyek, hal ini sebenarnya dimaksudkan untuk membantu para pengusaha ekonomi lemah sebagai dana awal proyek. Biasanya dalam menurunkan uang muka pihak kontraktor diminta untuk menyerahkan jaminan atas uang muka sebesar minimal sama dengan besar uang muka tersebut. Jaminan ini dimaksudkan untuk melindungi pemilik proyek apabila uang muka tersebut tadi disalahgunakan (tidak digunakan untuk pembiayaan pekerjaan proyek) atau proyeknya tidak selesai padahal uang mukanya belum kembali.
Pengembalian jaminan uang muka biasanya dilakukan secara bertahap dibarengkan dengan pengambilan termijn (pembayaran). Praktek di lapangan, pihak kontraktor biasanya berusaha secepatnya untuk dapat menarik kembali jaminan uang muka tersebut dengan cara-cara unfair. Misalnya dalam penarikan termijn, prestasi kegiatan dibuat sedemikian rupa dan biasanya di awal-awal proyek progres dibuat setinggi mungkin (unbalance progress). Faktor kesalahan dalam hal ini sebenarnya melibatkan pihak pemilik proyek (akibat ketidakcermatan dalam menghitung prestasi kerja kontraktor).
            Guna lebih melindungi pemilik proyek, sebaiknya uang muka pada proyek-proyek besar ditiadakan. Hal ini cukup beralasan, karena pada proyek-proyek besar tentunya kontraktor yang memenagkan tender diharuskan memiliki kemampuan tinggi dalam hal sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya (termasuk financial), terkecuali pada proyek-proyek yang dikerjakan oleh kontraktor golongan ekonomi lemah. Hal semacam ini sebenarnya telah diberlakukan di negara-negara yang sudah maju, seperti Amerika dan Eropa.


KESIMPULAN DAN SARAN

            Jaminan dalam Perjanjian Pemborongan dipandang dari sudut keamanan pemilik proyek ternyata masih mengandung kelemahan terhadap perlindungan pihak pemilik proyek. Kelemahan tersebut dikarenakan besaran jaminan (sesuai aturan yang berlaku) masih belum mewakili sebagai “jaminan”, atau tidak proporsional (relatif kecil) bila dibandingkan dengan total nilai proyek yang dijamin.
            Sebagai upaya untuk memperbaiki praktek jasa konstruksi, terutama dalam memperbaiki perlindungan terhadap pihak pemilik proyek yang sering dirugikan, perlu dilakukan penyesuaian besaran jaminan terhadap prosentase nilai proyek. Besaran prosentase jaminan yang disarankan sebagai berikut:
  1. Jaminan Penawaran (Bid Bond), dari 1 – 3% (sesuai aturan sekarang) dirubah menjadi 5 – 7,5% dari nilai proyek.
  2.  Jaminan Pelaksanaan (Performance Bond), dari 5% (sesuai aturan sekarang) dirubah menjadi 10 – 25% dari nilai proyek.
  3. Jaminan Uang Muka (Prepayment Bond), sebaiknya ditiadakan, dengan konsekuensi uang muka pelaksanaan tidak perlu dilakukan, dengan demikian hanya kontrakor kontraktor mapan saja yang dapat memenuhinya. Pada kasus ini ada terkecuali, yaitu pada proyek-proyek khusus golongan kontraktor ekonomi lemah, dimana uang muka pelaksanaan tetap dilaksanakan, dengan tetap memberlakukan jaminan uang muka penuh.





PUSTAKA

1.      Djumaldi, “Dasar-Dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia”, Renaka Cipta, Yogyakarta, 1995.

2.      Keputusan Presiden nomor  16 Tahun 1994

3.      Undang-Undang No 7 Tahun 1992

4.      Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 18 Tahun 1999

2 komentar: