JAMINAN DALAM
PERJANJIAN PEMBORONGAN
(Tinjauan dari
sudut kemananan Pemilik Proyek)
LATAR BELAKANG
Semakin pesatnya pembangunan
dewasa ini menuntut dunia konstruksi untuk selalu tampil dengan performance
baru. Kemampuan teknis para kontraktor harus sudah terbukti dengan sertifikasi
international (ISO), begitupun kemampuan financial kontraktor harus benar-benar
dapat dibuktikan di depan Pemilik proyek sebagai tolok ukur kepercayaan
kerjasama.
Keamanan Pemilik proyek dalam
dunia konstruksi lebih diprioritaskan. Hal ini dapat dilihat dari
peraturan-peraturan yang dikeluarkan
pemerintah hampir semua ditujukan untuk kemanan pemilik proyek. Jaminan dalam
perjanjian pemborongan (tercantum dalam Undang Undang Jasa Konstruksi No. 18
Tahun 1999) merupakan hal yang paling utama dalam usaha perlindungan terhadap pemilik
proyek.
Sebagai
tolok ukur kepercayaan dari pihak pemilik proyek, kontraktor harus memberikan
jaminan terhadap semua kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Jaminan
tersebut dapat dilakukan dengan jaminan yang dikeluarkan oleh pihak ketiga (dalam
hal ini bank), yaitu sering disebut dengan Bank Garansi (Guarantee Bank) maupun dengan Jaminan dari perusahaan asuransi (Surety Bond). Bank Garansi maupun
Surety Bond merupakan jaminan formal yang dapat memberikan kepastian hukum
kepada pihak Pemilik proyek dalam menyelesaikan sesuatu hal bilamana terjadi
cacat kepercayaan (wanprestasi) dari pihak Kontaktor dalam melaksanakan
pekerjaan.
Permasalahan
yang selama ini sering timbul adalah kurang efektifnya fungsi jaminan sebagai
penjamin kelangsungan proyek. Tidak sedikit Kontraktor menelantarkan pekerjaan
di tengah jalan/ ingkar janji, padahal sebelumnya telah menyerahkan sejumlah
jaminan sesuai persyaratan. Hal in dikarenakan besaran jaminan yang telah
ditentukan berdasarkan peraturan yang berlaku dirasa kurang memadai/ terlalu
kecil bila dibanding dengan nilai proyek yang dijaminnya, sehingga pihak
kontraktor merasa ringan bila terjadi ingkar janji dan menelantarkan proyek.
Berdasarkan hal tersebut perlu sekali untuk dilakukan tinjauan terhadap besaran
nilai jaminan dalam prmborongan, apakah sudah layak atau perlu peninjauan
ulang.
GARANSI BANK (BANK GUARANTEE)
Di dalam
Keppres 16 Tahun 1994 (sebelum berlakunya Undang-Undang Jasa Konstruksi No 18/
Th 1999) disebutkan bahwa dalam perjanjian pemborongan (pengadaan barang dan
jasa) yang bernilai di atas Rp. 50 Juta, rekanan diwajibkan memberikan surat
jaminan bank (bank garansi).
Menurut Djumaldi (1995), Bank
Garansi merupakan salah satu bentuk penanggungan/ Borgtoch/ Guarantee yang
diatur dalam Bab 17 buku III KUH Perdata dari pasal 1820 sampai dengan Pasal
1850. Menurut Pasal 1829 KUH Perdata, Penanggungan adalah suatu persetujuan
dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan dia berpiutang, mengikatkan
diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak
memenuhinya. Dengan kata lain, seorang pihak ketiga yang disebut penanggung/
penjamin menjamin kepada pihak yang berpiutang/ kreditor/ penerima jaminan
untuk memenuhi prestasinya (wanprestasi).
Sehingga dapat diartikan secara sederhana bahwa Bank Garansi adalah
jaminan dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh Bank yang mengakibatkan
kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima jaminan apabila pihak yang
dijamin cidra janji (wanprestasi).
Pihak yang dapat bertindak sebagai
penanggung/ penjamin adalah bisa perorangan maupun badan hukum. Dalam Bank
Garansi yang bertindak sebagai penanggung/ penjamin adalah badan hukum yang
berbentuk Bank. Menurut Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 yang
dimaksud Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak.
Bank bersedia sebagai penanggung/
penjamin berarti bersedia menanggung resiko apabila debitor/ yang terjamin
melakukan wanprestasi, karena bank sebelumnya telah meminta jaminan lawan/
kontra garansi kepada debitor/ terjamin yang nilainya minimal sama dengan
jumlah uang yang ditetapkan sebagai jaminan yang tercantum dalam bank Garansi.
Jaminan kontra garansi dapat berupa uang tunai atau lainnya seperti dana giro,
deposito, surat-surat berharga dan harta kekayaan lainnya. Demikian juga atas
pemberian bank garansi, bank akan menerima imbalan yang disebut dengan provisi
dari debitor/ terjamin yang besarnya dihitung atas dasar persentase dari jumlah
nilai bank garansi untuk jangka waktu tertentu.
Apabila
terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh debitor/ terjamin, maka bank sebagai
penanggung/ penjamin menggantikan kedudukan debitor/ terjamin, oleh karena itu bank
membayar sejumlah uang kepada kreditor/ penerima jaminan. Sejak saat itu
menjadi hubungan antara pihak yang memberikan kredit/ kreditor dengan pihak
yang menerima kredit/ debitor.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas
maka Bank Garansi tidak lain adalah suatu bentuk kredit yang tergantung pada
suatu keadaan tertentu di waktu mendatang. Hubungan kredit timbul apabila atas
pemberian Bank Garansi disediakan jaminan lawan/ kontra garansi yang cukup
nilainya dan bank mencairkan jaminan lawan tersebut.
Sifat dari Bank Garansi adalah accessoir artinya Bank Garansi merupakan
perjanjian tambahan, maksudnya adanya Bank Garansi tergantung adanya perjanjian
pokok misalnya perjanjian pemborongan. Dengan kata lain, adanya perjanjian
tambahan (Bank Garansi) tergantung adanya perjanjian pokok (misalnya perjanjian
pemborongan). Apabila perjanjian pokoknya hapus, maka perjanjian tambahan juga
hapus.
Bank sebagai penanggung/ penjamin
mempunyai hak istimewa/ hak utama, yaitu hak untuk menuntut agar harta benda si
debitor/ terjamin lebih dahulu disita dan dijual. Hal ini dapat diketahui dalam
Pasal 1831 KUH Perdata yang berbunyi: Si penanggung tidaklah diwajibkan
membayar kepada si berpiutang selainnya jika si berutang lalai, sedangkan
benda-benda si berutang ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi
utangnya [disadur dari Djumaldi, Th. 1995]. Terlihat hak istimewa ini
memberikan jaminan keamanan terhadap pihak bank yang menjadi pihak penjamin
bilamana terjadi wanprestasi dari pihak terjamin. Dan di dalam prakteknya, bank
dalam memberikan Bank Garansi selalu melepaskan hak istimewa/ hak utamanya
untuk menuntut supaya benda-benda debitor/ terjamin (kontra garansi) terdahulu
disita dan dijual guna melunasi utangnya.
Prihal jaminan lawan/ kontra garansi
yang disediakan pihak debitor/ terjamin dapat berupa uang tunai dan jumlahnya
minimal harus sama dengan nilai Garansi Bank. Atau dapat berupa dana giro,
surat-surat berharga maupun deposito. Dalam hal ini nilai tunainya harus sama
dengan nilai Bank Garansi. Sedangkan apabila kontra garansi berupa harta
kekayaan lain maka jumlah nilainya harus sebesar 150% dari jumlah Garansi Bank.
Apabila kontra garansi/ jaminan lawan berupa barang-barang yang dapat
diasuransikan, harus diasuransikan yang disetujui oleh bank dan dalam polis
asuransi harus ditambah Banker’s Caluse.
Premi asuransi menjadi tanggungan yang terjamin.
Prihal bank-bank mana saja yang
dapat menyelenggarakan Bank Garansi dapat dilihat pada Keppres 16 tahun 1994
tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang disebutkan
bahwa bank-bank yang dapat menerbitkan Bank Garansi dalam rangka perjanjian
pemborongan (pengadaan barang dan jasa) yaitu:
a.
Bank Umum, baik bank umum pemerintah maupun swasta,
b.
Bank devisa di Indonesia atau bank di luar negeri yang
direkomendasikan oleh Bank Indonesia (BI) jika rekanan berkedudukan di luar
negeri.
Adapun
macam-macam jaminan yang terdapat dalam Bank Garansi dalam perjanjian
Pemborongan adalah: Perjanjian Penawaran (Bid
Bond), Jaminan Pelaksanaan (Performance
Bond), Jaminan Uang Muka (Prepayment
Bond), dan Jaminan Pemeliharaan (Maintenance
Bond). Berikut dijelaskan dari masing-masing jaminan tersebut.
A.
Jaminan
Penawaran (Bid Bond)
Jaminan
Penawaran/ jaminan tender/ jaminan pelelangan diperlukan apabila rekanan mengikuti
pelelangan proyek dengan nilai proyek di atas Rp. 50 Juta. Maksud diadakan
jaminan penawaran agar rekanan yang mengikuti pelelangan betul-betul rekanan
yang bonafid. Di dalam praktek, biasanya jaminan sudah ditentukan besarnya
dengan sejumlah uang tertentu yang besarnya berkisar antara 1% sampai dengan 3%
dari perkiraan harga penawaran.
Surat
Jaminan penawaran yang habis waktunya sebelum pelelangan diumumkan, harus
diperpanjang lagi sebab kalau tidak rekanan dianggap gugur. Surat jaminan
penawaran akan segera dikembalikan apabila rekanan kalah dalam pelelangan
dengan jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah calon pemenang
pelelangan ditetapkan. Surat jaminan penawaran akan menjadi milik negara
apabila rekanan mengundurkan diri setelah memasukkan dokumen penawaran dalam
kotak pelelangan. Demikian juga surat jaminan penawaran akan jatuh pada negara
apabila rekanan yang menang mengundurkan diri, maka surat jaminan penawaran
akan ditahan oleh pemberi tugas.
B.
Jaminan
Pelaksanaan (Performance Bond)
Jaminan
Pelaksanaan tujuannya untuk menjamin pelaksanaan dari proyek. Bagi rekanan yang
menang dan tidak mengundurkan diri, maka sebelum menandatangani surat
perjanjian pemborongan/ kontrak di atas Rp. 50 Juta maka rekanan harus
menyerahkan surat jaminan pelaksanaan sebesar 5% dari nilai perjanjian
pemborongan/ kontrak.
Pada saat
surat perjanjian pelaksanaan diterima, maka surat penawaran yang ditahan akan
dikembalikan kepada rekanan yang bersangkutan. Surat jaminan pelaksanaan akan
menjadi milik negara apabila rekanan tidak melaksanakan pekerjaan/ penyerahan
barang/ proyek dalam waktu yang telah ditetapkan. Surat Perjanjian pelaksanaan
dikembalikan kepada rekanan yang bersangkutan setelah pelaksanaan pekerjaan/
penyerahan barang/hasil pekerjaan telah sesuai dengan surat perjanjian
pemborongan/ kontrak, sering disebut dengan istilah penyerahan pertama.
C.
Jaminan Uang
Muka (Prepayment Bond)
Dalam surat
perjanjian pemborongan/ kontrak dapat dimuat mengenai pembayaran uang muka
sebesar 30% bagi rekanan golongan bukan ekonomi lemah. Mengenai pembayaran uang
muka biasanya sebelumnya dimuat dalam dokumen lelang.
Untuk
memperoleh uang muka tersebut rekanan harus menyerahkan jaminan uang muka yang
nilainya sekurang-kurangnya sama dengan besarnya uang muka. Uang muka harus
sepenuhnya digunakan bagi pelaksanaan proyek yang akan dikerjakan.
Pengembalian/
pelunasan uang muka diperhitungkan berangsur secara merata pada tahap-tahap
pembayaran (termijn) sesuai dengan surat perjanjian pemborongan/ kontrak dengan
ketentuan bahwa uang muka tersebut selambat-lambatnya harus telah lunas pada
saat pekerjaan mencapai prestasi 100%. Sebagai contoh pelunasan uang muka
sebagai berikut: Jika rakanan memperoleh uang muka sebesar 20%, sedangkan tahap
pembayarannya dalam kontrak ditetapkan: Tahap kesatu:20%, kedua: 30%, ketiga:
25%, keempat: 20%,dan terakhir: 5%. Pelunasan uang muka pada sistim pembayaran
diatas dapat diterangkan berikut ini (lihat tabel 1).
Tabel 1. Pelunasan Uang Muka melalui Tahapan
Pembayaran (Termijn).
Prestasi
|
Tahap Pembayaran
|
Pembayaran
|
(00%)
20%
(20%)
50%
(30%)
75%
(25%)
100%
(25%)
100%
(00%)
|
Uang muka 20% x 100%
I. 20%
20% - 20%x20% = 20% - 4%
II. 30%
30% - 30%x20% = 30% - 6%
III. 25% 25% - 25%x20% = 25% - 5%
IV. 20% 20% - 25%x20% = 20% - 5%
V. 5%
5% - 0%
|
=
20%
=
16%
=
24%
=
20%
=15%
= 5%
|
100%
|
100%
|
100%
|
Pelunasan
uang muka selain dengan secara merata pada tahap-tahap pembayaran sesuai dengan
kontrak, dapat juga rekanan mempercepat pelunasan uang muka yang diterimanya,
misalnya sekaligus dilunasi pada tahap pertama.
Jika uang muka tidak dilunasi pada saat pekerjaan mencapai prestasi 100%
atau pada penyerahan pertama, maka surat jaminan uang muka menjadi milik
negara.
D.
Jaminan
Pemeliharaan (Maintenance Bond)
Pada waktu
penyerahan pertama/ pekerjaan telah mencapai 100%, rekanan baru menerima
pembayaran 95% dari nilai kontrak, sedangkan sisanya sebesar 5% masih ditahan
pimpro dengan maksud agar rekanan dalam masa pemeliharaan wajib melaksanakan
perbaikan-perbaikan terhadap kekurangan-kekurangan dari pekerjaan.
Yang dimaksud dengan masa
pemeliharaan adalah masa dari penyerahan pertama sampai dengan penyerahan
kedua. Apabila rekanan menginginkan 100% pembayran harga borongan pada waktu
penyerahan pertama, maka rekanan harus menyerahkan surat jaminan pemeliharaan
yang besarnya 5% dari harga kontrak/ borongan.
Surat jaminan pemeliharaan
jatuh pada negara bila rekanan tidak melaksanakan kewajibannya, sedangkan surat
jaminan pemelihaan akan dikembalikan kepada rekanan apabila rekanan telah
melaksanakan kewajibannya dengan baik sampai penyerahan kedua maka surat
jaminan pemeliharaan dikembalikan kepada rekanan.
TINJAUAN
TERHADAP BESARAN PROSENTASE JAMINAN
Besaran jaminan sesuai dengan
peraturan yang berlaku, baik untuk jaminan penawaran, uang muka, pelaksanaan
dan pemeliharaan (sesuai penjelasan di atas), dirasa sangat minim sekali bila
dibanding dengan nilai total proyek. Hal inilah yang dapat menyebabkan pihak
kontraktor dengan ringannya meninggalkan/ menelantarkan proyek (ingkar janji)
tanpa merasa berat mengabaikan besaran uang yang dijaminkan. Yang pada akhirnya
pihak pemilik proyek yang dirugikan. Kenapa demikian ? Di bawah ini diberikan gambaran dari
penjelasan tersebut.
Jaminan tender/ penawaran:
Pada suatu proyek dilakukan
tender dengan persyaratan jaminan tender sebesar 2,5% (berbentuk Bank Garansi)
dari perkiraan harga penawaran. Urutan pemenang hasil tender dapat di lihat
pada tabel 2.
Tabel 2. Urutan pemenang hasil
tender
Urutan Pemenang
|
Harga Penawaran
|
Jaminan Tender
|
I.
PT. A
II.
PT. B
III.
PT. C
|
Rp. 1.000.000.000,-
Rp. 1.040.000.000,-
Rp. 1.050.000.000,-
|
Rp. 25.000.000,-
Rp. 26.000.000,-
Rp. 26.250.000,-
|
PT. A dinyatakan sebagai Pemenang Pertama dengan penawaran
terendah dibanding penawar lainnya. Tetapi akibat suatu hal ternyata PT. A
mengundurkan diri dan akibatnya perlu dilakukan “retender” (lelang ulang).
Biaya-biaya yang dikeluarkan pemilik proyek untuk keperluan retender akan
diganti oleh Penjamin dengan maksimum Rp. 25.000.000,. Bila tidak dilakukan
retender maka penawar Pemenang Kedua (PT. B) berhak sebagai pemenang
tender. Selisih penawaran
antara Pemenang Pertama
dan Kedua sebesar Rp. 40.000.000,- hanya akan ditanggung oleh pihak bank
(Bank Garansi) sebagai penjamin PT. A
sebesar Rp. 25.000.000,- (2,5%), sehingga selisih sebesar Rp.
15.000.000,- sepenuhnya menjadi beban pemilik proyek. Dalam kasus ini berarti
besaran jaminan penawaran sebesar 2,5 % tidak realistis lagi sehingga pemilik
proyek tidak dilindungi penuh oleh jaminan tersebut.
Manapun yang akan dipilih dalam
meneruskan pelaksanaan pekerjaan akibat Pemenang Pertama mengundurkan diri, hal
itu tidak merugikan pemilik proyek apabila besar jaminan penawaran/ tender
sebesar 5 – 7,5% dari nilai proyek. Dengan
kata lain perlindungan menyeluruh terhadap pemilik proyek lebih terjamin.
Jaminan Pelaksanaan:
Demikian juga halnya apabila
pekerjaan yang sedang dilaksanakan ternyata gagal dan perlu diambil alih dan
dilanjutkan oleh kontraktor lain. Jika kontraktor pertama gagal, maka
kontraktor yang akan mengambil alih biasanya melakukan penelitian dan testing
terlebih dahulu terhadap pekerjaan phisik yang sudah dikerjakan oleh kontraktor
sebelumnya. Selain dari itu, kontraktor biasanya dalam menetapkan harga untuk
melanjutkan proyek yang gagal tersebut akan memperhitungkan perkembangan
harga-harga bahan/ material maupun upah buruh saat itu. Sehingga cenderung akan
terjadi pembengkakan biaya proyek yang akan masalah bagi pemilik proyek.
Mengapa demikian? Perlu dijelaskan dengan angka agar dapat memberikan gambaran
yang lebih jelas.
·
Kontraktor PT. A yang memenangkan tender diserahi melaksanakan pekerjaan
pembangunan gedung:
- Nilai Proyek (NP) = Rp 1.000.000.000,-
- Jaminan Pelaksanaan (Performance Bond)
sebesar 5% NP = Rp. 50.000.000,-
- Pada
prestasi 40% ternyata PT. A sebagai pelaksana gagal dan mengundurkan diri.
- Uang
yang telah dibayarkan kepada PT. A (40% NP) = Rp.
400.000.000,-
· PT.
B ditunjuk untuk melanjutkan sisa pekerjaan pembangunan gedung yang
ditinggalkan PT. A, dengan penawaran sebesar 80%NP (Rp. 800.000.000,-), harga
tersebut telah mempertimbangkan akibat berubahnya harga-harga material dan
pengeluaran awal atas biaya-biaya survey, penelitian dan pengetesan.
Dari penjelasan di atas, telah
terjadi pembengkakan biaya proyek sebesar
Rp. 200.000.000,- (60%NP – 80%NP). Padahal Jaminan Pelaksanaan dari PT.
A hanya sebesar Rp. 50.000.000,- (5% NP), berarti kekurangan sebesar Rp.
150.000.000,- sepenuhnya menjadi tanggungan pemilik proyek. Dalam hal ini
pemilik proyek tetap menjadi pihak yang tidak terlindungi. Lain halnya bila
prosentase Jaminan Pelaksanaan sebesar antara 10 – 25% dari nilai proyek.
Jaminan Uang Muka:
Pemberian uang muka di
Indonesia besarnya bisa mencapai 30 % dari nilai proyek, hal ini sebenarnya
dimaksudkan untuk membantu para pengusaha ekonomi lemah sebagai dana awal
proyek. Biasanya dalam menurunkan uang muka pihak kontraktor diminta untuk
menyerahkan jaminan atas uang muka sebesar minimal sama dengan besar uang muka
tersebut. Jaminan ini dimaksudkan untuk melindungi pemilik proyek apabila uang
muka tersebut tadi disalahgunakan (tidak digunakan untuk pembiayaan pekerjaan
proyek) atau proyeknya tidak selesai padahal uang mukanya belum kembali.
Pengembalian jaminan uang muka
biasanya dilakukan secara bertahap dibarengkan dengan pengambilan termijn
(pembayaran). Praktek di lapangan, pihak kontraktor biasanya berusaha
secepatnya untuk dapat menarik kembali jaminan uang muka tersebut dengan
cara-cara unfair. Misalnya dalam penarikan termijn, prestasi kegiatan dibuat
sedemikian rupa dan biasanya di awal-awal proyek progres dibuat setinggi
mungkin (unbalance progress). Faktor
kesalahan dalam hal ini sebenarnya melibatkan pihak pemilik proyek (akibat
ketidakcermatan dalam menghitung prestasi kerja kontraktor).
Guna
lebih melindungi pemilik proyek, sebaiknya uang muka pada proyek-proyek besar
ditiadakan. Hal ini cukup beralasan, karena pada proyek-proyek besar tentunya
kontraktor yang memenagkan tender diharuskan memiliki kemampuan tinggi dalam
hal sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya (termasuk financial),
terkecuali pada proyek-proyek yang dikerjakan oleh kontraktor golongan ekonomi
lemah. Hal semacam ini sebenarnya telah diberlakukan di negara-negara yang
sudah maju, seperti Amerika dan Eropa.
KESIMPULAN DAN
SARAN
Jaminan
dalam Perjanjian Pemborongan dipandang dari sudut keamanan pemilik proyek
ternyata masih mengandung kelemahan terhadap perlindungan pihak pemilik proyek.
Kelemahan tersebut dikarenakan besaran jaminan (sesuai aturan yang berlaku)
masih belum mewakili sebagai “jaminan”, atau tidak proporsional (relatif kecil)
bila dibandingkan dengan total nilai proyek yang dijamin.
Sebagai
upaya untuk memperbaiki praktek jasa konstruksi, terutama dalam memperbaiki
perlindungan terhadap pihak pemilik proyek yang sering dirugikan, perlu
dilakukan penyesuaian besaran jaminan terhadap prosentase nilai proyek. Besaran
prosentase jaminan yang disarankan sebagai berikut:
- Jaminan Penawaran (Bid Bond), dari 1 – 3% (sesuai aturan sekarang) dirubah menjadi 5 – 7,5% dari nilai proyek.
- Jaminan Pelaksanaan (Performance Bond), dari 5% (sesuai aturan sekarang) dirubah menjadi 10 – 25% dari nilai proyek.
- Jaminan Uang Muka (Prepayment Bond), sebaiknya ditiadakan, dengan konsekuensi uang muka pelaksanaan tidak perlu dilakukan, dengan demikian hanya kontrakor kontraktor mapan saja yang dapat memenuhinya. Pada kasus ini ada terkecuali, yaitu pada proyek-proyek khusus golongan kontraktor ekonomi lemah, dimana uang muka pelaksanaan tetap dilaksanakan, dengan tetap memberlakukan jaminan uang muka penuh.
PUSTAKA
1.
Djumaldi, “Dasar-Dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber
Daya Manusia”, Renaka Cipta, Yogyakarta, 1995.
2.
Keputusan Presiden nomor 16 Tahun 1994
3.
Undang-Undang No 7 Tahun 1992
4.
Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 18 Tahun 1999
trimakasih Infonta Bang Ali, bermanfaat
BalasHapustrimakasih Infonta Bang Ali, bermanfaat
BalasHapus