BAB II
LANDASAN PEMIKIRAN
A. Filosofis
Secara filosofis pembentukan LKM dijiwai oleh semangat yang terdapat dalam
Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945. Dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945
menyatakan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Selanjutnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional. Pembentukan LKM, pada prinsipnya ditujukan sebagai
upaya untuk memberikan dorongan pembiayaan bagi usaha mikro.
Semangat yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, pada
prinsipnya ingin menjadikan LKM sebagai lembaga pembiayaan terhadap Usaha Mikro
yang merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan
memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan
dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong
pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Selain
itu, LKM ini pun diharapkan berperan sebagai lembaga pembiayaan bagi Usaha
Mikro sebagai salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh
kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai
wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa
mengabaikan peranan Usaha Besar dan Badan Usaha Milik Negara.
B. Sosiologis
Sejarah LKM di Indonesia dimulai dari
pendirian “Bank Priyayi Purwokerto” oleh Raden Wiriaatmadja pada tahun 1895.
Satu tahun kemudian didirikan didirikan “Poerwokertosche Hulp-Spaar en
Landbouwcredietbank” oleh kepala pemerintahan Belanda pada saat itu, Sieburgh
dan rekannya De Wolff van Westerrode. LKM tersebut lebih dikenal sebagai
Lumbung Desa, yang fungsinya adalah untuk membantu para petani yang mengalami
kegagalan panen.
Pada tahun 1905 mulai didirikan Bank
Desa dengan modal dari Lumbung Desa dengan tujuan untuk membantu permodalan
masyarakat pedesaan agar tidak terjerat para lintah darat (rentenir) dan para
pengijon. Lumbung Desa dan Bank Desa kemudian berubah nama dengan Bank Kredit
Desa (BKD). Kemudian pada tahun 1908 Pemerintah Pusat mengeluarkan buku pedoman
untuk mendirikan, mengatur dan mengurus serta mengawasi BKD, dan terakhir
Ordonansi BKD termuat dalam Staatsblad No. 357 tahun 1929 untuk daerah Jawa dan
Madura, Rijksblad No. 9 tahun 1937 untuk daerah Kadipaten Paku Alaman, dan
Rijksblad No. 3/H tahun 1938 untuk daerah Kasultanan. Pada tahun 1972, 1973 dan
1974 Menteri Keuangan memberikan izin usaha bagi BKD.
Keberhasilan BKD disusul dengan
pendirian Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) oleh Pemerintah Daerah sejak awal
tahun 1970an yang dimulai dari pembentukan Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa
Tengah, Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) di Jawa Barat, Lumbung Pitih Nagari
(LPN) di Sumatera Barat, hingga pada akhir tahun 1980an Kredit Usaha Rakyat
Kecil (KURK) di Jawa Timur. Pada awal tahun 1984 Menteri Dalam Negeri
mendesiminasikan model LDKP yang ada saat itu kepada beberapa gubernur,
hasilnya di Bali terbentuk Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit
Kecamatan (BKK) dan Lembaga Pembiayaan Usaha Kecil (LPUK) di Kalimantan
Selatan, BKK di Bengkulu, dan di Riau, Lembaga Kredit Pedesaan (LKP) di Nusa
Tenggara Barat, Badan Usrusan Kredit Pedesaan (BUKP) di Yogyakarta, serta
Lembaga Kredit Kecamatan (LKK) di Aceh.
LPD dan LPN dimiliki oleh masyarakat
desa, dan beroperasi berdasarkan hukum adat yang berlaku. Sedangkan LDKP
lainnya dimiliki, diatur dan diawasi oleh Pemerintah Daerah. Namun demikian
Pemerintah Daerah banyak yang mendelegasikan kepada Bank Permerintah Daerah
(BPD) untuk melakukan supervisi dan bantuan teknis terhadap kepada LDKP.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, BKD dan LDKP serta lembaga-lembaga lainnya yang
dipersamakan diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat (BPR) wajib
menyesuaikan diri menjadi BPR. Selanjutnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 1992, lembaga-lembaga tersebut harus mengajukan izin usaha
sebagai BPR sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahu 1992
selambat-lambatnya tanggal 30 Oktober 1997. Namun hingga batas waktu tersebut,
masih banyak BKD dan LDKP yang masih belum memenuhi sebagai BPR. Selanjutnya,
berdasarkan kesepakatan dalam rangka Pengukuhan LDKP menjadi BPR antara
Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Departemen Dalam
Negeri, Direktur Bank Indonesia, dan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan,
Departemen Keuangan, dinyatakan bahwa LKDP yang tidak mengajukan permohonan
izin usaha setelah tanggal 30 Oktober 1997 dan LDKP yang telah mengajukan
permohonan izin usaha tetapi tidak memperoleh persetujuan dari Menteri
Keuangan, tetap dapat meneruskan usahanya sebagai LDKP, dan dalam status ini
dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan. (Nasution, 2003).
Sebagai alternatif layanan keuangan
mikro dengan prinsip syariah, awal tahun 1990an lahirlah Gerakan BMT yang
dipelopori oleh Yayasan PINBUK. Pada awalnya ruang lingkup BMT mencakup
penerimaan zakat, infaq dan shadaqoh, serta menyalurkannya kepada orang yang
berhak. Dalam perkembangannya, pada tahun 1995 BMT dijadikan gerakan nasional
dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat.
Pertumbuhan BMT yang sangat pesat,
hingga akhir tahun 2000 jumlahnya sekitar 2.938 unit. Dikarenakan pada akhirnya
sebagian besar kegiatan BMT banyak bergerak di bidang simpan pinjam dengan
prinsip syariah, maka sebagian BMT memiliki izin pendirian Koperasi. Melihat
jumlah BMT yang semakin besar dan memiliki perkembangan yang baik, maka untuk
menertibkan dan malakukan pembinaan pada tahun 2005 Pemerintah, melalui Menteri
Koperasi & UKM mengeluarkan Keputusan Menteri tentang Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Namun hingga
kini tidak semua BMT mengikuti keputusan menteri tersebut.
Selain BMT, pada awal tahun 1970an mulai
didirikan LKM yang diinisiasi oleh masyarakat sendiri, yaitu Credit Union, yang
kemudian pada tahun 1980an diubah namanya menjadi Koperasi Kredit (Kopdit).
Walaupun memiliki nama Koperasi Kredit, namun tidak semua Kopdit, yang pada akhir
1999 berjumlah lebih dari 1.100 unit, memiliki izin pendirian koperasi. Selain
BMT, dan Kopdit, sesungguhnya masih ada lagi LKM yang merupakan hasil inisiatif
masyarakat, seperti Dakabalarea di Jawa Barat, serta LSM dan KSM lainnya yang
didirikan untuk memberikan pelayanan keuangan mikro.
Berbagai program pemberdayaan masyarakat
yang banyak dilakukan oleh departemen-departemen teknis, juga menghasilkan LKM
baru yang memiliki tujuan khusus. Misal, Unit Ekonomi Desa-Simpan Pinjam
(UED-SP) yang dibentuk untuk mendukung program pembangunan desa melalui Inpres
Bantuan Pembangunan Desa dengan Departemen Dalam Negeri sebagai departemen
teknisnya. Jumlah UED-SP hingga pada akhir 1999 kurang lebih mencapai sekitar
52 ribu.
Selain itu, Departemen Dalam Negeri
masih memiliki P2K (bekerjasama dengan Departemen Pekerjaam Umum), KUBE
(bekerjasama dengan Departemen Sosial), sedangkan Departemen Pekerjaan Umum
sendiri memiliki Badan Keswadayaan Masyarakat (KSM), BKKBN memiliki UPPKS,
Departemen Kelautan dan Perikanan memiliki LEPM3, Departemen Pertanian memiliki
P4K, dan sebagainya. Hampir seluruh LKM ini, yang didirikan berdasarkan
keputusan menteri terkait, melakukan kegiatan usaha utamanya dalam bentuk
simpan pinjam.
Selanjutnya terkait hasil studi dan
pengalaman dari 31 lembaga agen bantuan pembangunan, baik yang dimiliki swasta
maupun pemerintah dari negara-negara maju, yang tergabung kedalam Consultative
Group to Assist the Poor (CGAP), menetapkan 11 prinsip keuangan mikro untuk
memperluas akses masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah terhadap jasa keuangan. Kesebelas
prinsip adalah sebagai berikut:
- Masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah tidak hanya membutuhkan pinjaman saja, tetapi juga membutuhkan jasa keuangan lainnya, seperti jasa simpanan/tabungan, asuransi, anjak piutang, sewa guna, dan jasa pengiriman uang.
- Keuangan mikro merupakan alat yang sangat tepat untuk memerangi kemiskinan, karena masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya menggunakan jasa keuangan untuk meningkatkan pendapatannya, menambah asetnya, dan untuk berjaga-jaga (melindungi diri) apabila terjadi suatu kejadian tak terduga, seperti bencana alam, gagal panen, dan sebagainya.
- Keuangan mikro akan jauh lebih bermanfaat secara optimal apabila terintegrasi dengan sistem keuangan nasional.
- Keuangan mikro harus dapat menghidupi diri sendiri, agar dapat menjangkau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah lebih banyak lagi. Apabila lembaga keuangan mikro tidak mampu menghidupi sendiri (minimal mampu menutupi seluruh biaya), maka keberadaan mereka akan sangat terhambat, dan akan sangat tergantung dari bantuan pemerintah atau donor yang juga sangat terbatas.
- Keuangan mikro mampu membangun lembaga keuangan lokal yang berkelanjutan, dimana lembaga tersebut dapat menghimpun dana dari masyarakat suatu wilayah tertentu dan diputarkan kembali dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat di wilayah yang sama. Dalam konteks Indonesia, hal ini juga akan mengurangi pelarian uang dari daerah ke pusat, atau dari desa ke kota seperti yang terjadi selama ini. Selain itu, prinsip ini juga sejalan dengan semangat membangun daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah.
- Keuangan mikro bukanlah segalanya dalam mengatasi kemiskinan, oleh karenanya dukungan program lainnya juga diperlukan, khususnya program yang ditujukan kepada masyarakat yang sangat miskin yang tidak memiliki penghasilan dan tidak memiliki kemampuan untuk membayar kembali pinjamannya.
- Pembatasan ambang atas terhadap tingkat suku bunga justru akan menyulitkan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk memperoleh pinjaman dalam jangka panjang. Apabila ambang atas tingkat suku bunga dibatasi yang menyebabkan tidak tertutupinya seluruh biaya, maka lembaga keuangan mikro itu akan punah cepat atau lambat. Ketika lembaga keuangan mikro banyak yang punah, maka masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah akan kembali mengalami kesulitan dalam mengakses pinjaman.
- Peran pemerintah adalah menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi terselenggaranya layanan jasa keuangan bagi masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, dan bukan bertindak sendiri lembaga keuangan yang menyediakan jasanya secara langsung. Dari berbagai pengalaman menyatakan bahwa tidak pernah ada pemerintah yang berhasil mengelola pinjaman. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah cukup membuat kebijakan yang mendukung iklim usaha.
- Dana dari donor seharusnya hanya dijadikan pelengkap saja, bukan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan modal usaha lembaga keuangan mikro. Dana dari donor sebaiknya diberikan untuk membantu sementara pada tahapan start-up sampai pada titik tertentu, dan ditempatkan dalam bentuk simpanan (bukan modal).
- Pertumbuhan dan perkembangan keuangan mikro terhambat pada kapasitas kelembagaan dan kurangnya tenaga profesional. Oleh karena itu, lembaga donor seharusnya fokus untuk mendukung pengembangan kapasitas kelembagaan.
- Keuangan mikro akan dapat bekerja baik apabila kinerjanya terukur dan terbuka bagi masyarakat. Lembaga keuangan mikro perlu membuat laporan kinerja keuangan yang akurat dan mudah dibandingkan agar meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut, serta perlunya membuat laporan kinerja sosial (misal jumlah nasabah yang terlayani, sektopr usaha, dan sebaginya) untuk mengukur manfaatnya bagi pengentasan kemiskinan.
Pencanangan “The International Year
of Microcredit” oleh Koffi Anan sebagai Sekjen PBB pada tanggal 18 November
2004, di Markas Besar PBB – New York, merupakan sebuah pengakuan internasional
terhadap eksistensi dan esensi keuangan mikro, terutama dalam kerangka
pengentasan kemiskinan dunia. Dalam pidatonya, dinyatakan bahwa keuangan mikro
selama ini telah terbukti sebagai alat yang sangat efektif untuk memerangi
kemiskinan dalam kerangka Millenium Development Goals. Kemajuan di
bidang keuangan mikro antara lain ditandai
dengan kesuksesan pengelolaan LKM oleh Grameen Bank dari Bangladesh. Hal ini juga merupakan pengakuan
internasional, bahwa pengentasan kemiskinan dapat efektif diperangi melalui LKM.
Kebijakan dan strategi yang dibuat untuk
LKM di beberapa negara pada umumnya untuk memfasilitasi kemudahan bagi LKM
dalam melakukan usahanya, terutama dalam penghimpunan dana dari masyarakat
dengan pembatasan tertentu, seperti batas wilayah dan jumlah dana yang dapat
dihimpun, atau lainnya.
Dari berbagai riset yang dilakukan World
Bank (1999) menemukan kebanyakan negara memberikan izin penghimpunan dana dari
masyarakat hanya kepada lembaga keuangan formal (yang mendapatkan izin). Hal
ini menunjukan perlu adanya pembedaan izin yang jelas kepada LKM informal,
dengan menekankan perlu adanya treshholds yang menentukan pendekatan
regulasi yang akan diambil. Sebagai contoh, LSM menghimpun dan menggunakan dana
dari pihak lain, terutama dari donor, koperasi menghimpun dan menggunakan dana
hanya dari anggota, dan bank menghimpun dan menggunakan dana dari masyarakat.
LKM yang menghimpun dana dari masyarakat
seharusnya diatur dengan regulasi yang menerapkan prinsip kehati-hatian.
Sedangkan hasil riset yang dilakukan CGAP (2002) menyimpulkan bahwa kebanyakan
regulasi kekuangan mikro bertujuan positif, yaitu baik memfasilitasi kemudahan
pelaku baru untuk masuk kedalam industri keuangan mikro maupun
kegiatan-kegiatan keuangan mikro itu sendiri. Namun demikian, ketika LKM
dimungkinkan untuk menghimpun dana dari masyarakat, maka regulasi dengan
prinsip kehati-hatian harus diberlakukan dengan tujuan untuk melindungi
penyimpan dana / penabung. Selain itu, apabila skala usaha LKM sudah sangat
besar dan memberikan dampak yang signifikan kepada sektor keuangan sebuah
negara, maka risiko sistemik harus menjadi pertimbangan penting dalam penetapan
regulasi.
Sementara hasil studi yang dilakukan GTZ
(2003) menjelaskan bahwa penekanan regulasi keuangan mikro adalah pada masalah
kelembagaan dan fungsi. Di kebanyakan negara regulasi bagi LKM dengan bentuk
lembaga khusus diatur tersendiri dengan Undang-Undang Keuangan Mikro. Sedangkan
regulasi dengan pendekatan fungsi mengatur tentang pasar sasaran sesuai dengan
fungsinya. Dengan demikian, keuangan mikro lebih dilihat sebagai aktivitas keuangan
daripada jenis lembaganya.
Pelajaran yang dapat diambil dari
praktek penerapan regulasi di beberapa negara, seperti Bangladesh, Bolivia,
Kamboja, Ghana, India, Philipina, Sri Lanka dan beberapa negara Amerika Latin
adalah bahwa negara-negara berkembang masih terus mengembangkan kerangka hukum
bagi keuangan mikro. Di sejumlah negara telah menerapkan kerangka hukum bagi
keuangan mikro berdasarkan tingkatan, dan mengizinkan adanya LKM “new window”
(jenis LKM yang tidak masuk dalam regulasi yang ada saat ini). Jenis-jenis LKM
ini menciptakan banyak lembaga baru, dengan modal disetor berkisar antara US$
20 ribu hingga US$ 1 juta. Di beberapa negara LSM diperbolehkan melakukan
aktivitas penghimpunan dana dan penyaluran kredit.
a. Kerangka Hukum
LKM di Philipina
Philipina merupakan negara yang relatif
telah memiliki kerangka hukum keuangan mikro yang baik, yang mengatur berbagai
jenis LKM kedalam tingkatan (tiering) berikut:
·
Thrift
Banks, dengan modal minimum US$ 1 juta hingga
US$ 6,5 juta jika kantor pusatnya berada di Ibukota Negara, Manila. Bank ini
dimiliki oleh masyarakat / swasta, dan diberikan izin berdasarkat Undang-undang
Thrift Banks. Bank ini diperkenankan menghimpun dana dari masyarakat, di bawah
supervisi bank sentral, serta memperoleh penjaminan simpanan dari Perusahaan
Asuransi Simpanan. Dana yang terhimpun disalurkan kedalam pembiayaan jangka
menengah-panjang untuk sektor usaha mikro, kecil, menengah dan umum.
·
Rural
Bank (Bank Pedesaan), dan Bank Koperasi
diatur dengan Undangundang Rural bank. Modal disetor minimal antara US$ 50 ribu
hingga US$ 260 ribu tergantung pada lokasinya. Wilayah operasinya dibatasi
untuk daerah tertentu, sedangkan jenis layanan yang diberikan berupa tabungan,
deposito berjangka dan kredit. Bank ini dimiliki oleh masyarakat / swasta. Bank
ini juga memiliki mendapatkan penjaminan simpanan dari Perusahaan Asuransi
Simpanan, serta memiliki target pasar yang sama dengan Trift Banks.
·
Koperasi Lembaga
Keuangan (CFI), seperti Credit Union (Koperasi Kredit), dan Koperasi Simpan Pinjam
(KSP), didaftarkan berdasarkan Undangundang Pengembangan Koperasi, dan
disupervisi oleh Otorita Pengembangan Koperasi (CDA). Seperti di beberapa
negara lain, CFI berada di luar wilayah yuridis bank sentral, serta di luar
sistem penjaminan simpanan. CFI tidak diperbolehkan menghimpun dana dari
masyarakat.
·
LSM, atau lembaga
swasta lainnya yang beroperasi sebagai yayasan yang berorientasi nir-laba yang
dibiayai dengan dana hibah dan kredit komersial diatur dengan Undang-undang
Trusts dan Yayasan Nir-laba. Lembagalembaga ini tidak memiliki lembaga
supervisi, walaupun mereka diwajibkan untuk melaporkan kegiatannya kepada
Securities Exchange Commission (regulasi non-prudential).
b.
Kerangka
Hukum LKM di Ghana
Sementara di Ghana, kerangka hukum bagi
LKM dibagi kedalam dua jenis, yaitu LKM dibawah Undang-undang Perbankan (1989)
dan dibawah Undangundang Lembaga Keuangan Bukan Bank (1993). Seluruh LKM yang
ada wajib berbadan hukum (legal entities), dengan sistem tiering sebagai
berikut:
· Rural Banks
(Bank Pedesaan), dengan modal disetor minimum US$ 20 ribu. LKM ini dapat
dimiliki oleh masyarakat, dan diatur dengan Undangundang Perbankan.
Operasionalnya dibatasi dengan tidak diperbolehkan membuka cabang, aktivitasnya
hanya diperbolehkan untuk daerah pedesaan tertentu, dan kegiatan usahanya
terbatas pada layanan tabungan, deposito berjangka dan pembiayaan. Pengambilan
keputusan sama dengan keputusan koperasi, dimana satu pemegang saham
memiliki satu suara.
· Perusahaan
simpan pinjam, dengan modal disetor minimal US$ 50 ribu. Perusahaan ini dibawah
Undang-undang Lembaga Keuangan Bukan Bank, dengan cakupan usaha terbatas pada
layanan tabungan, deposito berjangka, dan pembiayaan (termasuk sewa beli),
tetapi lembaga ini diberikan hak untuk memiliki kantor cabang. Perusahaan ini
dapat dimiliki oleh individu dalam bentuk kepemilikan saham (seperti perseroan
terbatas).
· Credit Union,
didaftarkan berdasarkan Undang-undang Koperasi, dan diatur dengan Badan
Pengawasan Credit Union – instansi pemerintah. Berdasarkan Undang-undang Perbankan,
Credit Union juga harus didaftar dan mendapatkan izin dari Bank of Ghana. LKM
ini hanya boleh memberikan layanan kepada anggotanya saja, walaupun
operasionalnya menggunakan prinsip kehati-hatian dan panduan yang dikeluarkan
oleh Bank of Ghana.
·
Lembaga Swadaya
Masyarakat yang terlibat dalam aktivitas kredit dapat diberi izin berdasarkan
Undang-undang Trust & Charitable Institution, yaitu kerangka hukum
yang memfasilitasi transformasi menjadi LKM yang legal (termasuk penghimpunan
dana masyarakat).
c.
Kerangka
Hukum LKM di Bolivia
Sementara itu, di Bolivia lembaga yang
menyediakan layanan kredit berupa Bank, Perusahaan Mutual Saving and Loan (terutama
untuk pembiayaan perumahan) dan Credit Union (yang juga banyak bergerak di
bidang pembiayaan perumahan). Pada tahun 1995, dengan mengikuti rekomendasi
dari GTZ, dibentuk kategori lembaga keuangan baru yang khusus melayani keuangan
mikro, dengan sebutan Dana Keuangan Swasta (Private Financial Funds).
Lembaga ini dibatasi jumlah kewajibannya, dan membutuhkan modal disetor sebesar
US$ 1 juta (sedangkan modal disetor bank sebesar US$ 3,2 juta). Rasio kecukupan
modal (CAR) minimal harus 10%, dan kegiatan usahanya dibatasi dengan tidak
boleh menghimpun dana masyarakat, terlibat dalam pembiayaan piutang atau investasi.
Untuk memastikan orientasi mereka pada keuangan mikro, maka besaran kreditnya
dibatasi maksimal 3% dari total modal. Kerangka hukum ini juga meliputi
pengaturan bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang memberikan layanan keuangan
mikro.
C. Yuridis
Saat ini belum ada
undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai Lembaga Keuangan Mikro. Secara
yuridis keberlakukan Lembaga Keuangan
Mikro di Indonesia didasarkan pada Keputusan
Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Koperasi Dan
Usaha Kecil Menengah, Dan Gubernur Bank Indonesia Nomor: 351.1/KMK.010/2009,
Nomor: 900-639A Tahun 2009, Nomor: 01/SKB/M.KUKM/IX/2009, dan Nomor:
11/43A/KEP.GBI/2009 tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (SKB
LKM).
Dalam SKB LKM terdiri dari 8
(delapan) pengaturan yang meliputi:
- Pembatasan istilah LKM menurut SKB ini meliputi LKM yang belum berbadan hukum, dibentuk atas inisiatif Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat seperti Usaha Ekonomi Desa-Simpan Pinjam (UED-SP), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), kelompok Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) PNPM Mandiri Perkotaan, kelompok Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM Mandiri Pedesaan, Kelompok Unit Program Pelayanan Keluarga Sejahtera (UPPKS), Unit Pengelola Keuangan Desa (UPKD), Kelompok Tani Pemberdayaan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM), Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dan/atau lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu.
- Sasaran pelaksanaan Strategi Pengembangan LKM, yaitu beralihnya LKM yang belum berbadan hukum menjadi Bank Perkreditan Rakyat atau Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa, atau lembaga keuangan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Proses peralihan atau transformasi LKM, yang diawali dengan terlebih dahulu melakukan pendataan, edukasi dan sosialisasi terhadap LKM belum berbadan hukum.
- Kesepakatan yang berisi:
- Bank Indonesia memberikan konsultasi kepada LKM yang akan menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S) sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam pendirian dan perizinan BPR/S.
- Departemen Dalam Negeri, bersama-sama dengan Pemerintah Daerah, melakukan pembinaan terhadap LKM yang akan menjadi Badan Usaha Milik Desa.
- Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah bersama-sama dengan pemerintah daerah memfasilitasi, memberdayakan, dan membina LKM yang akan menjadi Koperasi
- Departemen Keuangan memberikan konsultasi kepada LKM yang kegiatan usahanya menyerupai lembaga keuangan yang berada dalam pembinaan dan pengawasan Departemen Keuangan menjadi lembaga keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5.
Rincian dari pelaksanaan tugas masing-masing instansi selama proses dan
pasca transformasi LKM.
6.
Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Negara Koperasi
dan Usaha Kecil Menengah, dan Bank Indonesia melakukan kegiatan inventarisasi,
edukasi, sosialisasi, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan strategi
pengembangan LKM.
7.
Menko Perekonomian membentuk Tim yang beranggotakan Departemen Keuangan,
Departemen Dalam Negeri, Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah,
Bank Indonesia, serta instansi terkait lainnya.
8.
Biaya yang timbul dalam pelaksanaan Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan
Mikro dibebankan pada anggaran masing-masing kementerian/ lembaga, yang
diproses sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku.
Halo,
BalasHapusnama saya Dewi Rumapea, saya berasal dari indonesia. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman agar berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu, saya merasa tegang secara finansial dan putus asa, saya ditipu oleh beberapa pemberi pinjaman secara online. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya menghubungi saya kepada pemberi pinjaman yang sangat andal yang disebut perusahaan pinjaman Glory, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sejumlah 500 juta dalam waktu kurang dari 3 jam tanpa tekanan atau tekanan pada tingkat bunga rendah 2%. Saya sangat terkejut saat memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya ajukan, dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan. Jadi saya berjanji akan membagikan kabar baik, agar orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman apa pun, hubungi Ibu Glory melalui email: gloryloanfirm@mail.com.
Anda juga bisa menghubungi saya di dewiputeri9@gmail.com saya