ANALISIS KEBIJAKAN
PUBLIK DALAM IMPLEMENTASI
DESENTRALISASI DAN
OTONOMI DAERAH
KABUPATEN/KOTA DI
INDONESIA
Pendahuluan
Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999, bahwa pemberian otonomi kepada daerah kabupaten/kota didasarkan
atas azas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab. Pemberian kewenangan atas dasar azas desentralisasi tersebut,
menyebabkan semua bidang pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam
rangka pelaksanaan suatu otonomi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung
jawab pemerintah daerah kabupaten dan kota sepenuhnya, baik yang menyangkut
penentuan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan
evaluasi.
Menurut Syaukani (2002: 211) dikatakan bahwa kebijaksanaan tentang
otonomi daerah, memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah, khususnya
kabupaten dan kota. Otonomi daerah dilaksanakan dalam rangka mengembalikan
harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang pendidikan politik
dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi
pelayanan publik di daerah, peningkatan percepatan pembangunan di daerah, dan
pada akhirnya diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik (good
governance).
Pemberian dan wewenang dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam
undang-undang tersebut, harus diimbangi dengan pembagian sumber-sumber
pendapatan yang memadai yang mampu dan mendukung pelaksanaan wewenang dan
tanggung jawab yang diberikan.
Di era otonomi saat ini,upaya untuk tetap mengandalkan sumbangan dan
bantuan dari Pemerintah Pusat atau tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi
sudah tidak bias dipertahankan lagi. Otonomi menuntut kemandirian daerah di
berbagai bidang, termasuk kemandirian di dalam mendanai dan pelaksanaan
pembangunan di daerahnya. Oleh karena itu, daerah dituntut agar berupaya untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), guna mengurangi ketergantungan
terhadap Pemerintah Pusat.
Pemberlakuan Undang-Undang tersebut menambah kewenangan yang dimiliki
daerah, maka tanggung jawab yang diemban oleh Pemerintah Daerah juga akan
bertambah banyak. Mahfud MD (2000: 49) mengemukakan implikasi dari adanya
kewenangan urusan pemerintahan yang begitu luas yang diberikan kepada daerah
dalam rangka otonomi daerah, dapat merupakan berkah bagi daerah, namun pada
sisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut sekaligus juga merupakan
beban yang menuntut kesiapan daerah untuk melaksanakannya, karena semakin
bertambahnya urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.
Untuk itu ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan, yaitu: Sumber Daya
Manusia, Sumber Daya Keuangan, sarana, dan prasarana.
Dalam tulisan ini bermaksud menganalisis bagaimana penanganan yang telah
dilakukukan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam melaksanakan program-program
guna terwujudnya desentralisasi dan otonomi daerah yang diharapkan. William N.
Dunn (1981: 111-112) menyebutkan bahwa model analisis kebijakan yang dapat
dilakukan dengan cara diperbandingkan dan dipertimbangkan menurut sejumlah
asumsi, yang paling penting diantaranya: a) perbedaan menurut tujuan, b) bentuk
penyajian, c) fungsi metodologis. Sehingga ada dua bentuk pokok dari model
kebijakan adalah : (1) model deskriptif, dan (2) model normatif.
Hessel Nogi S. (2000: 1-3) Kebijakan publik sebagai suatu disiplin ilu
tersendiri memperlihatkan tiga tampilan dalam cakupan studinya yaitu menentukan
arah umum yang harus ditempuh untuk mengelola isu-isu yang ada di tengah masyarakat,
menentukan ruang lingkup masalah yang dihadapi pemerintah, dan mengetahui
betapa luas dan besarnya organisasi birokrasi publik ini. Kemampuan analisis
kebijakan publik amat bergantung pada objektivitas dan keakuratan informasi,
serta kepekaan seorang analisis untuk menempatkan masalah publik secara
proporsional dengan memperhatikan semua stakeholders yang terlibat.
Kepekaan ini perlu diasah melalui pendalaman kasus-kasus kebikan publik yang
terjadi pada masyarakat sekitar dengan memperhatikan faktor rasionalitas serta
wacana publik secara kontekstual.
Implementasi
Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dapat dilihat
dari dua aspek, yaitu: aspek output dan aspek outcomes kebijakan.
Kedua aspek tersebut memiliki ukuran atau indikator yang berbeda dalam
penilaian keberhasilan.
1. Output
Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Output kebijakan secara konsepsi harus diukur berdasarkan substansi
kebijakan, yang item-itemnya menggambarkan tujuan yang ingin dicapai dari
kebijakan tersebut. Namun demikian, tidak semua item tujuan kebijakan dapat
dilakukan pengukuran keberhasilan, sebab ada beberapa kebijakan public yang
tujuan akhirmya (output-nya) baru dapat dilihat beberapa tahun kemudian.
Output kebijakan desentralisasi dapat dilihat dari beberapa aspek antara
lain:
a. Pertumbuhan
ekonomi masyarakat
Untuk mengetahui apakah program Pemerintah Daerah dalam rangka
pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah dari sejauh mana
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Asumsinya adalah intervensi
Pemerintah Daerah masih memegang peranan penting dalam mendukung pertumbuhan
ekonomi masyarakat di daerah. Tanpa program pembangunan ekonomi yang konkret
dari Pemerintah Daerah, sukar bagi daerah untuk mengalami kemajuan di bidang
ekonomi.
Bertitik tolak dari asumsi tersebut, maka keberhasilan pelaksanaan
program Pemerintah Daerah, khususnya yang dilakukan oleh dinas-dinas di daerah
yang memiliki akses langsung dengan kegiatan ekonomi masyarakat adalah relevan
dijadikan indicator ertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan catatan bahwa bila program tersebut dalam dua tahun
anggaran terakhir berhasil diimplementasikan, maka akan berdampak terhadap
kemajuan ekonomi masyarakat di masa yang akan dating. Demikian sebaliknya
apabila program tersebut dalam dua tahun anggaran terakhir gagal dilaksanakan
(tidak mencapai sasaran) maka dampaknya bagi kemajuan ekonomi masyarakat
negatif (rendah). Bidang-bidang yang dapat dijadikan indicator dalam
pertumbuhan ekonomi masyarakat, misalnya: perkembangan sektor pertanian,
perkembangan sektor pertambangan dan energi, perkembangan sektor industri,
perkembangan sektor pariwisata, dan lain-lain.
b. Peningkatan
kualitas pelayanan publik
Untuk melihat sejauh mana dampak pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah dapat dilihat dari kualitas pelayanan public. Beberapa pelayanan yang
sering diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat, antara lain:
pelayanan bidang pertanian, pelayanan bidan pertambangan dan energi, pelayanan
bidang perindustrian, pelayanan bidang pariwisata, seni, budaya, dan lain-lain.
c. Fleksibilitas
program pembangunan
Fleksibilitas program pembangunan berkenaan dengan kemampuan aparat
pelaksana memahami tuntutan masyarakat, tidak kaku dalam memahami prosedur dan
aturan-aturan formal, mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan
pribadi, peka terhadap ketidakadilan dan ketidakpuasan yang berkembang di
masyarakat, dan dalam setiap langkah dan tindakan berusaha melakukan
penyesuaian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat.
Dalam konteks analisis ini, pertanyaan yang relevan diajukan adalah:
apakah aparat pemerintah daerah dan instansi teknis (dinas) memiliki
keleluasaan (discretion of power) dalam mengelola bidang urusan
pemerintah yang diterimanya (sesuai dengan kebutuhan daerah dan tintutan
masyarakat daerah)? Ulasan berikut ini dengan mengetengahkan proses pelaksanaan
program pembangunan dari empat bidang urusan pemerintahan sedikit banyak dapat
menjawab pertanyaan yang telah diajukan tersebut di atas di dalam analisis.
2. Outcomes
Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
a. Peningkatan
partisipasi masyarakat
Bagaimana agar partisipasi masyarakat dalam pembangunan meningkat? Salah
satu jawaban yang diberikan para ahli adalah melalui kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah. Dengan diserahkannya sebagian besar urusan pemerintahan di
daerah, diharapkan masyarakat bisa mengambil bagian (partisipasi aktif) mulai
dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada pengawasan dan pemeliharaan hasil
pembangunan.
Secara apriori, konsep partisipasi yang dikehendaki oleh kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah kelihatannya terlampau muluk untuk bisa
direalisasikan. Sebab, selama ini (peran pemerintah terlampau dominan) yang
menempatkan masyarakat tidak lebih sebagai objek pembangunan atau pihak yang
hanya “penonton”. Benarkah melalui implementasi kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah yang dicanangkan telah memberi dampak terhadap peningkatan
partisipasi masyarakat di Kabupaten/kota di Indonesia?
b. Efektivitas
pelaksanaan koordinasi
Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan
kegiatan-kegiatan dari satuan yang terpisah (unit-unit atau bagian-bagian)
suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Tanpa
koordinasi individu-individu dan bagian-bagian akan kehilangan pandangan
tentang peran mereka dalam organisasi. Mereka akan mengejar kepentingannya
masing-masing yang khas, seringkali dengan mengirbankan tujuan organisasi.
Namun, kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan perlunya komunikasi
dari tugas-tugas yang dilakukan dan ketergantungan berbagai subunit yang
melaksanakan tugas-tugas tersebut. Koordinasi juga bermanfaat bagi pekerjaan
yang tidak rutin dan tidak diperkirakan sebelumnya, dimana pekerjaan-pekerjaan
ketergantungannya tinggi. Kebutuhan koordinasi dapat dibedakan dalam tiga
keadaan, yaitu: (a) kebutuhan koordinasi atas ketergantungan kelompok (pooled
interdependence); (b) kebutuhan koordinasi atas ketergantungan sekuensial (sequential
interdependence), dan (c) kebutuhan koordinasi atas ketergantungan timbal
balik (reciprocal interdependence).
Ketergantungan kelompok terjadi apabila unit organisasi tidak tergantung
satu sama lain untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari, tetapi tergantung pada
prestasi yang memadai dari setiap unit demi tercapainya hasil akhir. Sedang,
kebutuhan koordinasi atas ketergantungan sekuensial, terjadi pada suatu unit
organisasi yang harus melaksanakan kegiatan (aktivitas) terlebih dahulu sebelum
unit-unit selanjutnya dapat bertindak. Sementara, ketergantungan timbal balik
terjadi apabila melibatkan hubungan saling memberi dan menerima dan saling
menguntungkan diantara unit-unit.
Dalam proses pelaksanaan berbagai kegiatan bidang urusan otonomi, terutama
dalam hal pelaksanaan program pembangunan, terdapat beberapa unit organisasi
yang saling terkait dan melibatkan hubungan secara fungsional yaitu antara
lain: Bupati/Kepala daerah, organisasi dinas (instansi teknis), Bappeda, dan
Kepala Bagian Keuangan Setwilda. Setiap program kerja tahunan dinas daerah,
sebelum disetujui oleh Bupati/Kepala Daerah terlebih dahulu diteliti oleh
Bappeda dan Bagian Keuangan.
Dari uraian di atas, dapat ditarik konklusi bahwa dilihat dari aspek output
kebijakan, maka implementasi kebijakan desentralisasi dapat dikatakan relatif
berhasil. Namun dilihat dari aspek outcomes kebijakan, ternyata banyaknya
urusan yang telah diterima (desentralisasi) oleh Kabupaten/Kota justru menjadi
beban berat bagi daerah. Harapan kebijaksanaan seperti memacu pertumbuhan
ekonomi masyarakat berbagai program pembangunan (proyek), pelaksanaannya belum
efektif.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Berdasarkan hasil analisis lapangan dengan menggunakan indikator output
kebijakan dan outcomes kebijakan, kesimpulan menunjukkan bahwa implementasi
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah belum memberikan hasil sebagaimana
yang diharapkan, dengan kata lain kinerja kebijakan masih relatif rendah.
Berdasarkan kajian teori (konsep) dari para ahli kebijakan dan ahli
otonomi daerah sebagaimana telah dikemukakan di atas, serta hasil analisis di
lapangan, telah diidentifikasi bahwa ada empat variabel yang dapat menjelaskan
bahwa kinerja implementasi desentralisasi dan otonomi daerah di Kabupaten/Kota,
yaitu aspek manajerial, aspek SDM organisasi, aspek budaya birokrasi, dan etika
pelayanan publik.
1. Aspek
Manajerial
Keampuan kepemimpinan Bupati/Kepala Daerah Bupati selaku top manajer di
Daerah memegang peranan penting akan keberhasilan implementasi kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah. Mengingat kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah masih merupakan suatu yang baru bagi pemerintah daerah serta
memiliki tujuan yang begitu luas dan kompleks, jelas memerlukan suatu kemampuan
seorang Bupati dalam memanage agar tujuan kebijakan yang begitu luas dan
komleks bisa dipahami oleh semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Dalam manajemen modern, setiap organisasi harus memiliki visi dan misi yang jelas,
sebagai acuan bagi semua komponen dalam melaksanakan aktivitasnya. Visi
organisasi tersebut sedapat mungkin disosialisasikan kepada karyawan, menjadi
visi bersama yang harus diperjuangkan (Ordway Tead, 1954).
Kendala yang dihadapi dalam merealisasikan misi yang telah ditetapkan
adalah lebih disebabkan oleh pelaksanaan program kerja yang belum terdesain
secara baik. Sebagian besar dinas di daerah selaku pelaksana teknis urusan
otonomi daerah belum didukung dengan renstra yang memiliki logframe yang
baik yang memuat program-program yang dianggap strategis bagi kemajuan daerah.
Dari uraian di atas, bahwa kemampuan manajerial pimpinan daerah cukup
baik dalam mewujudkan visi, misi, dan tujuan yang telah ditetapkan, tetapi
belum didukung oleh SDM pelaksana programnya maupun anggaran yang tersedia.
Kondisi ini jelas berimplikasi terhadap kinerja kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah sebagaimana yang telah dipaparkan di muka.
2. Aspek SDM
Organisasi
Ketersediaan Sumber daya Manusia (SDM) organisasi (dinas daerah) sangat
penting dalam implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. SDM
dimaksud antara lain mencakup karyawan yang harus mempunyai keahlian dan
kemampuan melaksanakan tugas, perintah, dan anjuran atasan (pimpinan). Di
samping itu, harus ada ketepatan dan kelayakan antara jumlah karyawan yang
dibutuhkan dan keahlian yang dimiliki sesuai dengan bidang tugas yang akan
dikerjakan (Salusu, 1988: 493).
a. Ketercukupan
Pegawai Dinas Daerah
Waktu yang dibutuhkan Pemerintah daerah dalam membenahi organisasi dinas
daerah kurang lebih satu tahun. Dengan jumlah pegawai dari setiap dinas atau
instansi yang ada pada kenyataannya kurang mencukupi untuk melayani ara
pengguna jasa atau masyarakat yang optimal. Padahal sektor-sektor ini memiliki
kedudukan yang strategis untuk menggerakkan perekonomian daerah setempat.
Sejauh yang diketahui belum ada suatu analisis yang bisa menyimpulkan
bahwa semakin besar jumlah karyawan pada suatu organisasi, maka kinerja
organisasi tersebut meningkat (Notoatmodjo, 1998: 8). Namun demikian, perlu
mencermati bahwa pada organisasi birokrasi, seperti pada beberapa dinas daerah,
terdapat suatu budaya birokrasi di mana para karyawan yang menduduki jabatan
cenderung bergaya “aristokrat, dalam engertian selalu merasa diri sebagai boss”
yang termanifestasi di dalam kerja seharian.
Untuk pekerjaan administrasi, misalnya mengetik surat, mengantar surat,
mengatur kebersihan ruangan, dan sejenisnya, umumnya tidak mau dilakukan oleh
karyawan yang memiliki eselon, dan hanya mengharapkan staf atau karyawan
bawahan. Budaya kerja dan perilaku seperti ini jelas secara tidak langsung ikut
mempengaruhi kinerja organisasi.
Berdasarkan kondisi tersebut, bahwa andaikan saja para karyawan mau
melakukan pekerjaan apa saja demi berjalannya aktivitas organisasi, tanpa
terbelenggu dengan berbagai titel dan jabatan, maka kegiatan organisasi akan
berjalan secara lancar, dan pada akhirnya berdampak pada meningkatnya kinerja
organisasi dinas. Sebab, dalam realitas keseharian, banyak karyawan yang hanya
bersantai-santai pada jam kantor dan pada saat yang sama banyak pekerjaan
kantor yang bersifat rutin terabaikan. Dengan demikian, maka sedikitnya jumlah
karyawan dinas daerah serta masih terpeliharanya budaya kerja santai dari para
karyawan menyebabkan banyak bidang pekerjaan terbengkalai. Implikasi lebih
lanjut adalah gagalnya dinas daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
berdasarkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
b. Kesesuaian
Kualifikasi Pendidikan Karyawan
Dengan bidang tugas yang diemban SDM yang berkualitas merupakan salah
satu faktor penentu keberhasilan suatu organisasi dalam menjalankan misinya.
Untuk mendapatkan SDM yang berkualitas, ada dua jalur yang biasanya ditempuh,
yaitu: pertama melalui sistem seleksi ketat dengan persyaratan tertentu untuk
suatu bidang pekerjaan; dan kedua melalui pendidikan/pelatihan tambahan setelah
menjadi karyawan atau melalui model magang (learning by doing).
Secara konsepsi, organisasi yang memiliki SDM yang terbatas tetapi
berkualitas akan jauh lebih berhasil dibandingkan dengan organisasi yang
memiliki jumlah karyawan banyak tetapi kualitas SDMnya rendah. Dan yang lebih
parah lagi adalah SDM yang terbatas dengan kualitas yang rendah. Persoalan
kualitas SDM akan terasa pengaruhnya ketika organisasi mulai menghadapi
pekerjaan-pekerjaan yang spesifik yang membutuhkan kualifikasi pendidikan atau
skill tertentu.
Tidak berjalannya sistem seleksi dan rekrutmen dalam proses pemenuhan
kebutuhan pegawai pada sejumlah dinas daerah merupakan faktor utama yang
menyebabkan kurangnya jumlah karyawan yang memiliki kualifikasi pendidikan yang
cocok dengan bidang tugasnya yang diemban. Prinsip the right men on the
right place kurang diperhatikan dalam sistem rekrutmen pada jabatan-jabatan
yang ada di dinas daerah.
Dari uraian di atas, bahwa minimnya karyawan dinas daerah yang memiliki
kualifikasi pendidikan yang cocok dengan tugas bidang pekerjaannya, telah ikut
memberi kontribusi terhadap rendahnya kinerja implementasi kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah, yang terefleksi dari kinerja dinas daerah
menjalankan tugasnya.
3. Aspek Budaya
Birokrasi
Secara nasional birokrasi pemerintah yang ada di Indonesia memiliki
ciri-ciri yang hampir sama, di mana unsur paternalisme amat kental dalam pola
hubungan yang bersifat internal organisasi maupun pada tataran eksternal
organisasi. Hubungan antara bawahan dan pimpinan berada pada posisi di mana
bawahan cenderung berusaha melayani dan memuaskan atasan. Kondisi ini secara
otomatis akan mengurangi kualitas layanan yang diberikan birokrasi kepada
masyarakat sebagai pengguna jasa.
Pada sisi lain budaya lokal juga memberikan warna tersendiri terhadap
budaya birokrasi pemerintah, terutama pemerintah daerah setempat. Akan berbeda
tampilan birokrasi pemerintah di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
Bali maupun Papua. Hal ini terutama berkaitan dengan pola pengambilan keputusan
, dimana kebanyakan birokrasi di pulau Jawa terutama Jawa Tengah dan
Yogyakarta, akan sangat berhati-hati untuk membuat keputusan terutama
berhubungan dengan keputusan diskresi. Kehati-hatian ini akan berakibat pada
lambannya pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat sebagai pengguna
jasa.
Secara umum tampilan birokrasi pemerintah di Indonesia, baik di tingkat
pusat maupun daerah masih diwarnai dan dilingkupi oleh sifat feodalisme yang
tinggi, sebagai himbasan dari pola kerja birokrasi selama orde baru yang
memerintah selama lebih dari 32 tahun. Pola kerja yang kental dengan unsur
feodalisme ini, terasa terus dipertahankan oleh kelompok-kelompok yang dalam
birokrasi karena berbagai kepentingan ekonomi politik yang ada.
Nilai budaya masyarakat yang sebagian besar berkiblat pada sektor
agraris, dengan corak utama para pelaku untuk cenderung mempertahankan
keharmonisan antar elemen dan menghindari konflik atau friksi yang dianggap
akan merugikan semua pihak. Pola pikir dan mental seperti ini menghasilkan
suatu kondisi pada habitat birokrasi yang tidak memungkinkan terjadinya kritik
maupun autokritik terhadap keputusan atau kebijakan pimpinan, walaupun dampak
keputusan itu merugikan bawahan dan masyarakat yang luas. Dari sinilah dapat
dilihat garis hubungan antara nilai yang masih dianut dalam masyarakat yang
berpola pikir agraris dengan perilaku birokrasi, karena proses adopsi yang
terjadi di dalamnya. Pola inipun masih terjadi di kalangan birokrasi pemerintah
Kabupaten/Kota di Indonesia, sehingga kinerja birokrasi dalam pemberian
pelayanan belum berjalan secara optimal.
Di samping itu, pilihan sentralisme dalam penyelenggaraan birokrasi
pemerintah telah menimbulkan persoalan tersendiri terhadap kualitas pelayanan
kepada masyarakat pengguna jasa, karena kinerja birokrasi menjadi rigid
yang disebabkan pengambilan posisi yang lebih tinggi dari pihak birokrasi
terhadap masyarakat. Kondisi demikian ini jelas pada era globalisasi dan
penguatan civil society akan semakin berseberangan dengan upaya semua
komponen masyarakat untuk menerapkan prinsip good governance yang
memprioritaskan asas akuntabilitas, responsibilitas, maupun asas transparansi
dalam pelayanan publiknya.
Sentralisme ini secara langsung berdampak pada tampilan budaya birokrasi
yang lingkungannya bernuansa diskriminatif dan mengandalkan preferensi
subjektivitas dalam pemberian pelayanan kepada
pengguna jasa maupun dalam pola hubungan internal organisasi birokrasi.
Sentralisme akan mengakibatkan berkurangnya pertanggungjawaban terhadap publik,
karena menciptakan budaya kurang peduli pihak birokrasi terhadap kemajuan
maupun perubahan sosial ekonomi sebagai tujuan dari pelaksanaan pembangunan,
dimana birokrasi merupakan motor penggeraknya. Fenomena yang ada memperlihatkan
bahwa kinerja birokrasi tidak optimal, karena faktor koordinasi yang lemah,
etos kerja yang tidak mendukung, serta disiplin kerja yang kurang, sehingga
banyak tugas pelayanan kepada para pengguna jasa menjadi terbengkalai dan
membutuhkan waktu yang berlarut-larut untuk menyelesaikannya.
Pola pikiryang mengungkapkan peraturan secara kaku melalui penerapan dan
penafsiran juklak (petunjuk pelkasanaan) dan juknis (petunjuk teknis), membuat birokrasi
pemerintah menjadi kaku dan tidak luwes dalam pemberian pelayanan publik.
Struktur hierarkis birokrasi publik menjadikan aparatur pemerintah menjadi
tunduk secara tidak proporsional kepada pimpinan dan melupakan tugasnya sebagai
agen perubahan melalui pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa sesungguhnya birokrasi pemerintah
yang ada di Indonesia masih jauh dari harapan untuk memberikan pelayanan prima
kepada masyarakat pengguna jasa, akibat pengaruh budaya birokrasi yang
mengadopsi budaya masyarakat lokal, yang justru cenderung mengagungkan posisi
birokrasi dan menganggap masyarakat lebih rendah daripadanya. Unsur feodalisme,
paternalisme dan penggunaan asas sentralisme yang berkolaborasi dengan budaya
birokrasi yang mengagungkan otoritas pimpinan sebagai titik sentral jelas
semakin memperlemah posisi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang
berkualitas dan mampu melakukan perubahan sosial ekonomi melalui pelaksanaan
pembangunan.
4. Aspek Politik
Lokal
Perpanjangan proses politik pemerintah pusat yang berupaya menyeragamkan
semua institusi birokrasi pemerintah, baik dari segi struktur maupun fungsinya
telah menyebabkan kemacetan proses penyelesaian masalah yang telah berlaku
secara turun-temurun pada masyarakat melalui pola musyawarah mufakat yang
merupakan bentuk penerapan demokrasi lokal.
Birokrasi nasional yang perkembangan historisnya berasal dari kaum
bangsawan menjadikan birokrasi pemerintah dan aparaturnya mengidentifikasi diri
sebagai golongan elite yang memiliki status sosial terhormat dan tinggi di
tengah masyarakat. Kondisi ini jelas menjadikan pelayanan ublik tidak akan
berfungsi otimal, karena kaum birokrat cenderung ingin dilayani secara internal
maupun eksternal, ketika terjadi transaksi sosial berupa pelayanan publik.
Indikasi yang terlihat dari kondisi di atas adalah penyebutan yang istimewa
kepada para pejabat birokrat yang memiliki status sosial istimewa itu.
Keangkuhan yang terkondisi di kalangan birokrat ini menjadikan birokrasi
pemerintah menjadi jauh dengan masyarakat, karena persepsi birokrat merasa
lebih tinggi dari masyarakat kebanyakan yang menjadi pengguna jasa pelayanan
publik. Budaya seperti ini jelas menjadi penghambat bagi birokrat untuk
berfungsi optimal dengan kinerja yang memadai dalam pemberian pelayanan publik.
Perkembangan politik lokal yang terjadi pada masyarakat di daerah
menciptakan iklim bagi perluasan partisipasi politik masyarakat lokal yang
berdampak pada proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan persoalan-persoalan
publik. Kebijakan publik yang lahir akan terlihat apakah masyarakat lokal ikut
dilibatkan atau tidak dan seberapa jauh pelibatan itu terjadi yang mampu
mengadopsi aspirasi dan kebutuhan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat.
Keseimbangan akan terjadi, jika proses pembuatan kebijakan publik
mengikutsertakan kelompok kepentingan yang ada di tengah masyarakat lokal.
Penerapan asas desentralisasi dan otonomi luas pasca reformasi memberikan
angin segar dalam perubahan hubungan antara pihak pemerintah daerah (aparatur)
dengan masyarakat luas yang merupakan mitra dalam pelaksanaan pembangunan. Pada
era ini berbagai perubahan telah terjadi, sehingga masyarakat pengguna jasa
memiliki akses terhadap proses pembuatan kebijakan publik.
Kondisi dan perubahan ini jelas memberikan nuansa baru yang sebelumnya
tidak terjadi, di mana elemen-elemen
yang ada dalam masyarakat memiliki kesempatan untuk melakukan pengawasan dan
memantau kinerja birokrasi secara transparan, terutama dalam hal pengalokasian
sumberdaya secara lebih adil sesuai dengan proporsi kelompok-kelompok yang
eksis di masyarakat lokal tersebut. Hal ini secara otomatis akan mengurangi
penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan dari pihak birokrasi pemerintah, yang
pada masa sebelumnya banyak merugikan masyarakat banyak.
Kondisi perkembangan politik di daerah menunjukkan mental dari para
birokrat belum ada perubahan yang signifikan dan berarti bagi peningkatan
kinerja pelayanan publik yang berpihak pada masyarakat kebanyakan. Justru yang
terjadi adalah masih menonjolnya penggunaan kekuasaan dari pihak birokrasi
pemerintah daerah yang hanya menguntungkan kelompoknya secara sepihak, dan
mengorbankan kepentingan masyarakat banyak.
Peran dan fungsi legislatif yang diharakan memberikan kontribusi positif
dalam proses pembuatan kebijakan publik, ternyata banyak terjebak pada evaluasi
kebijakan yang bersifat makro dan kurang bergerak pada kebijakan langsung yang
memberikan manfaat bagi masyarakat terutama berkaitan dengan peningkatan
pelayanan publik. Pihak legislatif banyak yang terjebak pada persoalan
internalnya yang hanya membahas penggunaan dan alokasi APBD dan sering
memperjuangkan kesejahteraan pribadi melalui peningkatan honor dan fasilitas
kesejahteraannya.
Rekomendasi
Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Memperhatikan berbagai kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah,
maka upaya-upaya yang perlu ditempuh antara lain:
1. Aspek
Manajerial
Pemerintah daerah Kabupaten/Kota perlu merumuskan kembali visi yang
jelas, mengenai gambaran masa depan yang ingin dicapai (untuk kurun waktu
tertentu). Isi dari visi tersebut sedapat mungkin dapat mencerminkan substansi
dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah serta seluruh harapan
masyarakat Kabupaten/Kota. Selanjutnya visi yang telah ditetapkan harus
disosialisasikan kepada seluruh jajaran pemerintah daerah dan masyarakat,
sehingga menjadi visi bersama yang perlu diperjuangkan antara pemerintah daerah
Kabupaten/Kota dan masyarakat bersama-sama.
Bupati/walikota sebagai top manajemen memiliki tugas untuk mentransfer
visi yang ada kepada jajaran aparatur pemerintah daerah, agar seluruh aparatur
yang ada mampu dan mau bergerak sesuai dengan visi, misi, dan tujuan yang telah
ditetapkan sebagaimana yang dimuat dalam Rencana Strategik Daerah (Renstrada)
maupun Pola Dasar Pembangunan (Poldas).
Sementara peranan DPRD sebagai lembaga kontrol perlu melakukan pengawasan
terhadap jalannya Renstrada secara berkesinambungan, agar pelaksanaannya tetap
berjalan pada koridor yang tepat dan tidak melenceng dari rel yang telah
ditetapkan.
Perlu pembentukan dinas yang otonom bagi sektor-sektor yang strategis,
seperti: pendidikan, tenaga kerja, pertambangan dan energi, perindustrian,
pertanian, dan lain-lain. Setiap pimpinan dinas (instansi teknis) harus
menyusun rencana strategis (Renstra) dengan mengacu pada visi, misi, dan tujuan
yang telah ditetapkan. Renstra yang disusun harus betul-betul memperhatikan dan
mempertimbangkan urgensi, dukungan dana, keahlian, serta kepentingan masyarakat
dan pembangunan daerah. Dan di dalam pelaksanaannya diperlukan koordinasi
lintas instansi teknis (dinas) dan yang terkait lainnya, dibawah Bappeda.
2. Aspek SDM
Organisasi
Pemerintah daerah melalui Badan Kepegawaian Daerah harus memiliki
perencanaan pegawai yang komprehensif dan memuat hal-hal antara lain: a) Analisis jumlah kebutuhan
pegawai untuk jangka kurun waktu tertentu; b) Data base pegawai baik dalam hal
jumlah, kualifikasi pendidikan dan keahlian; c) Jenis keahlian yang dibutuhkan
pada setiap dinas; d) Jenis pendidikan dan pelatihan yang harus diikuti pegawai
setiap dinas; e) Anggaran biaya pendidikan dan pelatihan; dan f) Pengembangan
kerjasama dengan instansi lain yang terkait.
3. Aspek Budaya
Organisasi
Perlu adanya perubahan sikap mental dari aparatur pemerintah daerah untuk
memiliki komitmen dalam pemberian pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat
sebagai pengguna jasa.
Bekerjasama dengan instansi terkait dalam menciptakan budaya birokrasi
yang egaliter, transparan, dan lebih berorientasi pada sikap profesionalisme
daripada berorientasi pada kepentingan atasan.
4. Aspek Politik
Lokal
Perlu adanya pemberdayaan dari pihak legislatif untuk mampu mengusulkan
dan merancang Peraturan Daerah (Perda) yang sesuai dengan visi, misi
Kabupaten/Kota demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Menciptakan hubungan yang harmonis antara pihak DPRD (legislatif) dengan
pihak eksekutif untuk secara bersama-sama bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan pembangunan di Kabupaten/Kota secara optimal dan berkesi-nambungan.
Penutup/Kesimpulan
Dari uraian di atas tentang analisis kebijakan tentang implementasi
desentralisasi dan otonomi daerah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
- Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: aspek output dan aspek outcomes kebijakan. Kedua aspek tersebut memiliki ukuran atau indikator yang berbeda dalam penilaian keberhasilan.
- Output kebijakan desentralisasi dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain: a) Peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat; b) Peningkatan kualitas pelayanan publik; dan c) Fleksibilitas program pembangunan.
- Outcomes kebijakan desentralisasi dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain: a) Peningkatan partisipasi masyarakat, dan b) Efektivitas pelaksanaan koordinasi.
- Faktor-faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Kabupaten/Kota: a) Aspek manajerial; b) Aspek SDM Organisasi; c) Aspek budaya birokrasi; dan d) Aspek politik lokal.
- Dilihat dari aspek output kebijakan, maka implementasi kebijakan desentralisasi dapat dikatakan relatif berhasil. Namun dilihat dari aspek outcomes kebijakan, ternyata banyaknya urusan yang telah diterima (desentralisasi) oleh Kabupaten/Kota justru menjadi beban berat bagi daerah. Harapan kebijaksanaan seperti memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat berbagai program pembangunan (proyek), pelaksanaannya belum efektif.
DAFTAR
PUSTAKA
Mahfud, MD. 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi
Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Jakarta: Rineka
Cipta.
N. Dunn, William. Public Policy Analisys: An Introduction.
London: Prentice-Hall Inc.
Nogi, S. Hessel. 2000. Analisis Kebijakan Publik Kontemporer.
Yogyakarta: Lukman Offset.
Notoatmodjo, Soekidjo. 1998. Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Salusu. 1998. Pengambilan Keputusan Strategik: Untuk Organisasi
Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta: Grasindo.
Syaukani, Affan Gaffar, Ryass Rasyid. 2002. Otonomi Daerah dalam
Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tead, Ordway. 1954. The Art of Leadership. New York: Mc. Graw
Hill Book Company.
0 komentar:
Posting Komentar