UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2009
TENTANG
RUMAH SAKIT
BAB IX
PENYELENGGARAAN
Bagian Kesatu
Pengorganisasian
Pasal 33
(1) Setiap Rumah Sakit harus memiliki organisasi yang
efektif, efisien, dan akuntabel.
(2) Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri
atas Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur
keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal,
serta administrasi umum dan keuangan.
Pasal 34
(1) Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang
mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.
(2) Tenaga struktural yang menduduki jabatan
sebagai pimpinan harus berkewarganegaraan Indonesia .
(3) Pemilik Rumah Sakit tidak boleh merangkap menjadi
kepala Rumah Sakit.
Pasal 35
Pedoman organisasi Rumah Sakit ditetapkan dengan Peraturan
Presiden.
Bagian Kedua
Pengelolaan Klinik
Pasal 36
Setiap Rumah Sakit harus menyelenggarakan tata kelola Rumah Sakit
dan tata kelola klinis yang baik.
Pasal 37
(1) Setiap tindakan
kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan pasien atau
keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai
persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 38
(1) Setiap Rumah Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan
permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, atas persetujuan
pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia
kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 39
(1) Dalam penyelenggaraan Rumah Sakit harus dilakukan
audit.
(2) Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
audit kinerja dan audit medis.
(3) Audit kinerja dan audit medis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilakukan secara internal dan eksternal.
(4) Audit kinerja eksternal sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat dilakukan oleh tenaga pengawas.
(5) Pelaksanaan audit
medis berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Akreditasi
Pasal 40
(1) Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah
Sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala menimal 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Akreditasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh suatu lembaga independen baik dari dalam maupun dari
luar negeri berdasarkan standar akreditasi yang berlaku.
(3) Lembaga independen sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan oleh Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai akreditasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Jejaring dan Sistem Rujukan
Pasal 41
(1) Pemerintah dan asosiasi Rumah Sakit membentuk
jejaring dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan.
(2) Jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
informasi, sarana prasarana, pelayanan, rujukan, penyediaan alat, dan
pendidikan tenaga.
Pasal 42
(1) Sistem rujukan merupakan penyelenggaraan kesehatan
yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab secara timbal balik baik vertical
maupun horizontal, maupun struktural dan fungsional terhadap kasus penyakit
atau masalah penyakit atau permasalahan kesehatan.
(2) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban merujuk pasien
yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan rumah sakit.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem rujukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Keselamatan Pasien
Pasal 43
(1) Rumah Sakit wajib menerapkan standar keselamatan
pasien.
(2) Standar keselamatan pasien sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa, dan
menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian yang tidak
diharapkan.
(3) Rumah Sakit melaporkan kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh
Menteri.
(4) Pelaporan insiden keselamatan pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat secara anonim dan ditujukan untuk
mengkoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar keselamatan
pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Perlindungan Hukum Rumah Sakit
Pasal 44
(1) Rumah Sakit dapat menolak mengungkapkan segala
informasi kepada publik yang berkaitan dengan rahasia kedokteran.
(2) Pasien dan/atau keluarga yang menuntut Rumah Sakit
dan menginformasikannya melalui media massa ,
dianggap telah melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum.
(3) Penginformasian kepada media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memberikan kewenangan kepada Rumah Sakit untuk mengungkapkan rahasia kedokteran
pasien sebagai hak jawab Rumah Sakit.
Pasal 45
(1) Rumah Sakit tidak bertanggung jawab secara hukum
apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang
dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang
komprehensif.
(2) Rumah Sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan
tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.
Bagian Ketujuh
Tanggung jawab Hukum
Pasal 46
Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian
yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah
Sakit.
Bagian Kedelapan
Bentuk
Pasal 47
(1) Rumah Sakit dapat berbentuk Rumah Sakit statis,
Rumah Sakit bergerak, dan Rumah Sakit lapangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata
cara penyelenggaraan Rumah Sakit bergerak dan Rumah Sakit lapangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 48
(1) Pembiayaan Rumah Sakit
dapat bersumber dari penerimaan Rumah Sakit, anggaran Pemerintah, subsidi
Pemerintah, anggaran Pemerintah Daerah, subsidi Pemerintah Daerah atau sumber
lain yang tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai subsidi atau bantuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
(1) Menteri menetapkan pola tarif nasional.
(2) Pola tarif nasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan berdasarkan komponen biaya satuan pembiayaan dan dengan
memperhatikan kondisi regional.
(3) Gubernur menetapkan pagu tarif maksimal berdasarkan
pola tarif nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berlaku untuk rumah
sakit di Provinsi yang bersangkutan.
(4) Penetapan besaran tarif rumah sakit harus berdasarkan
pola tarif nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pagu tarif maksimal sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 50
(1) Besaran tarif kelas III Rumah Sakit yang
dikelola Pemerintah ditetapkan oleh Menteri.
(2) Besaran tarif kelas III Rumah Sakit yang
dikelola Pemerintah Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Besaran tarif kelas III Rumah Sakit selain
rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh
Pimpinan Rumah Sakit dengan memperhatikan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
Pasal 51
Pendapatan Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah
Daerah digunakan seluruhnya secara langsung untuk biaya operasional Rumah Sakit
dan tidak dapat dijadikan pendapatan negara atau Pemerintah Daerah.
BAB XI
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pasal 52
(1) Setiap Rumah Sakit wajib melakukan pencatatan dan
pelaporan tentang semua kegiatan penyelenggaraan Rumah Sakit dalam bentuk
Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit.
(2) Pencatatan dan pelaporan terhadap penyakit
wabah atau penyakit tertentu lainnya yang dapat menimbulkan wabah, dan pasien
penderita ketergantungan narkotika dan/atau psikotropika dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 53
(1) Rumah Sakit wajib menyelenggarakan penyimpanan terhadap
pencatatan dan pelaporan yang dilakukan untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemusnahan atau penghapusan terhadap berkas pencatatan
dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 54
(1) Pemerintah dan
Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Rumah Sakit dengan
melibatkan organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan organisasi
kemasyaratan lainnya sesuai dengan tugas dan fungsi masingmasing.
(2) Pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk :
a. pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh
masyarakat;
b. peningkatan mutu pelayanan kesehatan;
c. keselamatan pasien ;
d. pengembangan jangkauan pelayanan; dan
e. peningkatan kemampuan kemandirian Rumah Sakit.
(3) Dalam melaksanakan tugas pengawasan, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah mengangkat tenaga pengawas sesuai kompetensi dan
keahliannya.
(4) Tenaga pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) melaksanakan pengawasan yang bersifat teknis medis dan teknis
perumahsakitan.
(5) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat mengambil
tindakan administratif berupa:
a. teguran;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. denda dan pencabutan izin.
(6) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 55
(1) Pembinaan dan pengawasan nonteknis perumahsakitan
yang melibatkan unsur masyarakat dapat dilakukan secara internal dan eksternal.
(2) Pembinaan dan pengawasan secara internal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dewan Pengawas Rumah Sakit.
(3) Pembinaan dan pengawasan secara eksternal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia .
Bagian Kedua
Dewan Pengawas Rumah Sakit
Pasal 56
(1) Pemilik Rumah Sakit dapat membentuk Dewan Pengawas
Rumah Sakit.
(2) Dewan Pengawas Rumah Sakit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan suatu unit nonstruktural yang bersifat independen dan bertanggung
jawab kepada pemilik Rumah Sakit.
(3) Keanggotaan Dewan Pengawas Rumah Sakit terdiri dari
unsur pemilik Rumah Sakit, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan
tokoh masyarakat.
(4) Keanggotaan Dewan Pengawas Rumah Sakit berjumlah
maksimal 5 (lima )
terdiri dari 1 (satu) orang ketua merangkap anggota dan 4 (empat) orang anggota.
(5) Dewan Pengawas Rumah Sakit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertugas :
a. menentukan arah kebijakan Rumah Sakit;
b. menyetujui dan mengawasi pelaksanaan rencana strategis;
c. menilai dan menyetujui pelaksanaan rencana anggaran;
d. mengawasi pelaksanaan kendali mutu dan kendali biaya;
e. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien;
f. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban Rumah Sakit; dan
g. mengawasi kepatuhan penerapan etika Rumah Sakit, etika profesi, dan
peraturan perundangundangan;
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Dewan Pengawas Rumah
Sakit diatur dengan Peraturan Menteri
Bagian Ketiga
Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia
Pasal 57
(1) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Badan Pengawas Rumah Sakit
Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia bertanggung
jawab kepada Menteri.
(3) Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia
merupakan unit nonstruktural di Kementerian yang bertanggung jawab dibidang
kesehatan dan dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.
(4) Keanggotaan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia berjumlah maksimal 5 (lima ) orang terdiri dari 1 (satu) orang ketua
merangkap anggota dan 4 (empat) orang anggota.
(5) Keanggotaan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia
terdiri dari unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan
tokoh masyarakat.
(6) Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dalam
melaksanakan tugasnya dibantu sekretariat yang dipimpin oleh seorang
sekretaris.
(7) Biaya untuk pelaksanaan tugas-tugas Badan Pengawas
Rumah Sakit Indonesia
dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara.
Pasal 58
Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia bertugas:
a. membuat pedoman tentang pengawasan Rumah Sakit untuk digunakan oleh
Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi;
b. membentuk sistem pelaporan dan sistem informasi yang merupakan
jejaring dari Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit
Provinsi; dan
c. Melakukan analisis hasil pengawasan dan memberikan rekomendasi kepada
Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk digunakan sebagai bahan pembinaan.
Pasal 59
(1) Badan Pengawas Rumah Sakit dapat dibentuk di tingkat
provinsi oleh Gubernur dan bertanggung jawab kepada Gubernur.
(2) Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi merupakan unit
nonstruktural pada Dinas Kesehatan Provinsi dan dalam menjalankan tugasnya
bersifat independen.
(3) Keanggotaan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi
terdiri dari unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan
tokoh masyarakat.
(4) Keanggotaan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi
berjumlah maksimal 5 (lima )
terdiri dari 1 (satu) orang ketua merangkap anggota dan 4 (empat) orang anggota.
(5) Biaya untuk pelaksanaan tugas-tugas Badan Pengawas
Rumah Sakit Provinsi dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 60
Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (1) bertugas :
a. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien di wilayahnya;
b. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban Rumah Sakit di wilayahnya;
c. mengawasi penerapan etika Rumah Sakit, etika profesi, dan peraturan
perundang-undangan;
d. melakukan pelaporan hasil pengawasan kepada Badan Pengawas Rumah
Sakit Indonesia ;
e. melakukan analisis hasil pengawasan dan memberikan rekomendasi
kepada Pemerintah Daerah untuk digunakan sebagai bahan pembinaan; dan
f. menerima pengaduan dan melakukan upaya penyelesaian sengketa
dengan cara mediasi.
Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dan
Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 62
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit
tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00- (lima milyar rupiah).
Pasal 63
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana
denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
0 komentar:
Posting Komentar