TEORI HUKUM SOSIOLOGIS (EMPIRIS)
Konsep-konsep yang mengidentifikasikan
hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan
bermasyarakat, merupakan konsep hukum yang sosiologis, empiris atau
antropologis (Abdurrahman, 1987).
Beberapa contoh Teori Hukum Sosiologis :
1. Teori Sibernetika : Talcott Parsons.
Bahwa tingkah laku
individu tidak merupakan tingkah laku biologis, tetapi harus ditinjau sebagai
tingkah laku yang berstruktur. Tingkah laku seseorang harus ditempatkan dalam
kerangka sistem sosial yang luas yang terbagi dalam sub sistem - sub sistem.
Dalam garis besarnya, tingkah laku individu dibatasi oleh dua lingkungan dasar
yang masing-masing bersifat fisik dan ideal, yaitu lingkungan fisik organik dan
lingkungan realitas tertinggi. Diantara dua lingkungan dasar tersebut terdapat
hierarkhis, yaitu sub-sistem budaya
dengan fungsi mempertahankan pola, sub-sistem social dengan fungsi integrasi, sub-sistem
politik dengan fungsi mencapai tujuan dan sub-sistem ekonomi dengan fungsi adaptasi.
(Soemitro, 1989 : 29)
2. Teori Solidaritas : Emile Durkheim.
Bahwa penyebab
orang-orang terikat dalam satu kesatuan sosial ialah karena adanya solidaritas.
Dari sini dapat dilihat adanya hubungan antara jenis-jenis hukum tertentu
dengan sifat solidaritas dalam masyarakat. Solidaritas mekanis menghasilkan
hukum represif yang bersifat menindak (Hukum Pidana), solidaritas organis
menghasilkan hukum restitutif yang bersifat mengganti (Soemitro, 1989 :11-12).
3. Teori Malinowski.
Bahwa setiap elemen dari
hukum primitif, setiap tuntutan, ditentukan oleh kebutuhan untuk mempertahankan
identitas kelompok (Soemitro, 1985 :27).
4. Teori Kenneth S.Carlston.
Bahwa kelompok hancur
atau cerai berai atau punah bukanlah hanya disebabkan karena hukum gagal dalam
melaksanakan tugasnya. Tugas hukum haruslah dijalankan sebab tugas ini
merupakan kondisi yang tidak dapat digantikan dalam mencapai tujuan yang
sebenarnya dari setiap kelompok. Hukum tidak merupakan tujuan itu sendiri,
melainkan merupakan instrumen yang tidak dapat digantikan untuk mencapai tujuan
biologis tertinggi yang nyata dari aktivitas manusia (Soemitro, 1985 :57).
5. Teori Huntington Cairns.
Ilmu pengetahuan hukum
sebagai suatu sociotecnique mampu membuat dan menerapkan peraturan-peraturan
hukum yang diperlukan guna mencapai tujuan-tujuan sosial yang diharapkan,
penggunaan hukum sebagai “a tool of social engineering” meliputi penggunaan
peraturan-peraturan yang dirumuskan oleh lembaga-lembaga pembuat peraturan yang
menimbulkan suatu akibat tertentu pada tingkah laku pemegang peran, yaitu untuk
mewujudkan tujuan-tujuan tertentu yang dikehendaki (soemitro, 1989 : 73).
6. Teori Penegakan Hukum : Max Weber.
Penegakan hukum pada
suatu masa berbeda dengan penegakan hukum pada masa yang lain, sebab
perkembangan sosial dari masyarakatnya juga, supaya suatu penegakan hukum bisa
diselenggarakan, diperlukan perlengkapan sosial tertentu (Rahardjo, 1986 :
194).
7. Teori Kontrak Sosial : Emile Durkheim
Suatu kontrak itu tidak
cukup untuk bisa berdiri sendiri, tetapi ia bisa dilakukan hanya karena adanya
peraturan-peraturan yang mengaturnya dank arena merupakan sesuatu yang pada
hakekatnya bersifat sosial (Rahardjo 1986 : 260).
8. Teori Vilhelm Lundstedt
Hukum itu semata-mata
merupakan fakta dari kenyataan sosial yang berwujud dalam kelompok-kelompok
terorganisasi dan kondisi-kondisi yang memungkinkan koeksistensi antara orang
banyak (Rahardjo, 1986 : 270).
9. Teori Alf Ross.
Norma adalah pengarahan
yang berada dalam kaitan korespondensinya dengan fakta-fakta sosial, norma
benar-benar bekerja karena dirasakan oleh para hakim mempunyai daya ikat sosial
dan karenanya dipatuhi (Rahardjo, 1986 :270-271).
10. Teori Eugen Ehrlich.
Bahwa hukum positif
berbeda dengan hukum yang hidup (living law), hukum positif hanya akan efektif
jika ia selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau pola-pola
kebudayaan (culture patterns), pusat perkembangan hukum bukan terletak pada
badan-badan legeslatif, keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum
tapi justru terletak pada kehidupan masyarakat itu sendiri (Soemitro 1984 :
20).
11. Teori Rosecoe Pound.
Hukum merupakan alat
pengendali sosial (social control) dan bahkan hukum selalu menghadapi tantangan
dari pertentangan kepentingan-kepentingan, hukum juga berusaha untuk menyusun
suatu kerangka nilai-nilai dalam masyarakat yang harus dipertahankan oleh hukum
(Soemitro, 1985 :57).
12. Teori Overmacht : Hazewinkel Suringa.
Suatu penyebab yang
datang dari luar yang membuat suatu perbuatan itu menjadi tidak dapat
dipertanggung jawabkan kepada pelakunya untuk setiap kekuatan, setiap paksaan,
setiap tekanan, dimana terdapat kekuatan, paksaan atau tekanan tersebut orang
tidak dapat memberikan perlawanan (Lamintang, : 1984 : 208).
13. Teori Hukum dan Perubahan Sosial :
Schwart dan Miller
Hukum akan menjadi
semakin kompleks manakala masyarakat mengalami spesialisasi yang semakin jauh
(Rahasdjo, 1980 :102).
14. Teori oleh Hayami Ruttan.
Teknologi akan lahir
sesuai dengan kebutuhan objektif masyarakat, karena proses inovasi selalu
dituntun oleh objektifitas masyarakat (Soemitro, 1989 : 100).
15. Teori Karl F.Schuessler mengenai
Pidana Mati.
Pidana mati adalah cara
paling efektif untuk menakut-nakuti, bertolak dari pendapat bahwa tiap orang
takut akan kematian dan sifat keefektifan itu tergantung dari penerapannya
secara pasti dan rakyat tahu akan hal ini (Rahardjo, 1980 : 126).
16. Teori John Hopkins dan Baltimore
Lembaga penelitian dan
lembaga-lembaga penelitian dalam suatu masyarakat secara fundamental akan
selalu reponsif terhadap kebutuhan masyarakat itu, ini berarti bahwa bila
teknologi itu dicipktakan pada suatu lingkungan wilayah tertentu, maka
teknologi itu tidak mungkin irrelevant di wilayah tersebut, hal-hal demikian
dapat merupakan bahan untuk dituangkan dalam bentuk hukum (Soemitro, 1989 :
100).
17. Teori oleh Siedman.
Tata hukum itu merupakan
saringan, yang menyaring kebijaksanaan pemerintah sehingga menajdi tindakan
yang dapat dilaksanakan (Rahardjo, 1980 :113)
18. Teori Kontrak : Macaulay
Para pihak dalam
melakukanb transaksinya menyadarkan pada cara kontraktual, namun adanya sanksi
hukum pada kontrak tersebut tidak mempunyai hubungan yang bersifat mendesak
dengan transaksi yang dibuat oleh para pihak (Rahardjo, 1980 : 122-123)
19. Teori Von Savigny.
Bahwa antara hukum dan
keaslian secara watak rakyat terdapat suatu pertalian yang organis, sehingga
menjadi satu kesatuan yang menimbulkan kepercayaan yang sama dari seluruh
rakyat serta sentimen yang sama dari seluruh rakyat serta sentimen yang sama
pula tentang apa yang merupakan keharusan, yang kesemuanya itu menolak adanya
gagasan yang bersifat aksidentak dan arbiter (Rahardjo, 1980 :42).
TEORI HUKUM NORMATIF.
Konsep-konsep mengenai hukum sebagai
norma kaidah undang-undang dan peraturan merupakan konsep-konsep hukum yang
bersifat positivitis dogmatis, normative, legistis (Soemitro, 1989 : 1).
1. Teori Hukum Murni (Hans Kelsen)
Menghendaki suatu
gambaran tentang hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam
logikanya. Oleh karena itulah ia menyampingkan hal-hal yang bersifat idoelogis,
oleh karena dianggapnya irasional. Hukum tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu
politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika. (Rahasdjo, 1991
:273).
2. Stufent Theorie (Hans Kelsen).
Tata hukum sebagai
suatu proses menciptakan sendiri norma-norma, dari mulai norma-norma yang umum
sampai kepada yang lebih konkrit, sampai kepada yang paling konkrit. Pada ujung
terakhir proses ini, sanksi hukum lalu berupa izin yang diberikan kepada
seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau memaksakan suatu tindakan. Dalam
hal ini apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, kini telah menjadi
sesuatu yang “boleh” dan “dapat” dilakukan (Rahardjo, 1991 : 275 Dikutip dari
Dias, 1976 : 503).
3. Teori John Austin.
Yang sesungguhnya
disebut hukum adalah sesuatu jenis perintah. Tetapi, karena ia disebut
perintah, maka setiap hukum yang sesungguhnya, mengalir dari satu hukum yang
pasti. Apabila suatu perintah dinyatakan atau diumumkan, satu pihak menyatakan
suatu kehendak agar pihak lain menjalankannya atau membiarkan itu dijalankan.
(Rahardjo, 1991 : 28 Dikutip dari Friedmann, 1953 :152).
4. Teori Zevenbergen.
Norma hukum adalah
norma penilai dengan kualitas itu ia menjadi norma ideal dan norma kultur, ia
tidak melukiskan kenyataan melainkan melakukan penilaian dengan menunjukkan apa
yang seharusnya terjadi dan dilakukan. Oleh karena itu, untuk memahami struktur
logis, orang tidak boleh melihatnya dari segi dasein melainkan dari segi das
sollen, yang tersusun dari penilaian-penilaian hipotetis (Rahadjo, 1986 : 71).
5. Teori Kepatuhan Hukum : Schuyt.
Hukum dipatuhi
karena dipaksakan oleh sanksi dan kepatuhan akan diberkan pula atas dasar
persetujuan yang diberikan para anggota masyarakat terhadapat hukum karena mereka
memerlukannya.( Rahardjo, 1986 : 174).
6. Teori Perkembangan Hukum : Max Weber.
Kecenderungan umum
dalam perkembangan hukum modern adalah untuk menjadi makin rasional.
Perkembangan itu
melalui tahap-tahap yaitu :
a. Penngadaan hukum melalui pewahyuan
(relevation) secara kharismatis,
b. Penciptaan dan penemuan hukum secara
empiris oleh para legal honoratiores yaitu penciptaan hukum oleh para
kautelarjuristen (cautelary jurisprudence),
c. Pembebanan (imposition) hukum oleh
kekuatan-kekuatan sekuler atau teokratis,
d. Penggarapan hukum secara sistematis
dan penyelenggaraan hukum yang dijalankan secara profesional oleh orang-orang
yang mendapatkan pendidikan hukum dengan cara ilmiah dan logis-formal (Rahadjo
: 39).
7. Teori Thomas Aquinas.
Hukum adalah
peraturan yang berasal dari akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh seorang
yang mempunyai kewajiban untuk menjaga masyarakatnya dan mengundangkannya. Oleh
karena dunia ini diatur oleh tatanan ketuhanan, seluruh masyarakat dunia ini
diatur oleh akal ketuhanan. Hukum ketuhanan adalah yang tertinggi. Thomas
Aquinas membedakan empat macam hukum yaitu :
Lex aeterna, lex
naturalis, lex divina dan lex humana (Rahardjo, 1991 : 264).
8. teori Pemidanaan : Bentham
Manusia akan
berbuat sedemikian rupa sehingga ia mendapat kenikmatan yang sebesar-besarnya
dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Penilaian etis terhadap kejahatan
dan pemidanaan dilihat dari segi suatu perbuatan itu, apakah perbuatan membawa
kepada suatu kebahagiaan atau sebaliknya. Pemidanaan hanya bias diterima jika
ia memberikan harapan, bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar (Rahardjo,
1986 :239).
9. Teori Aristoteles.
Hukum itu merupakan
pembadanan dari akal yang bebas dari nafsu-nafsu. Hanya Tuhan dan akal saja
yang boleh memerintah (Rahardjo, 1991 : 257).
10. Teori Cicero.
Hukum yang
sesungguhnya adalah akal yang benar yang sesuai dengan alam, ia bisa diterapkan
dimanapun, tidak berubah dan abadi, ia menuntut kewajiban melalui
perintah-perintahnya dan mencegah perbuatan yang salah melalui
larangan-larangannya (Rahardjo, 1991 : 259).
11. Teori Paul Scholten
Asas-asas hukum
sebagai tendens-tendens, yang dituntut dari hukum oleh rasa susila kita, yang
dapat diketemukan dengan menunjukan hal-hal yang sama dari peraturan-peraturan
yang berjauhan satu sama lain, atau yang merupakan anggapan-anggpan, yang
memancarkan pengaturan suatu “lapangan hukum”(Sudarto, 1983 : 19).
12. Teori De Langen.
Asas-asas hukum
itu adalah ungkapan-ungkapan hukum yang sangat umum sifatnya, yang bertumpu
pada perasaan, yang hidup di setiap orang, dorongan-dorongan batin dari
pembetuk undang-undang, ialah sesuatu yang ditaati oleh orang-orang, apabila
mereka ikut bekerja dalam mewujudkan undang-undang (Sudarto, 1983 :19).
13. Teori wiarda
Asas-asas hukum
itu untuk sebagian dapat diketemukan dengan menyelidiki fikiran-fikiran yang
memberi arah/pimpinan, yang menjadi dasar kepada tata hukum yang ada,
sebagaimana dipositifkan dalam undang-undang dan yurisprudensi, dan untuk
sebagian berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan kita, yang
secara langsung dan jelas sekali menonjol kepada kita (Sudarto, 1983 :19).
14. Teori Kontrak Sosial : Beccaria
Tiap individu
menyerahkan kebebasan atau kemerdekaannya secukupnya kepada Negara, agar
masyarakat tersebut dapat berlangsung secara terus. Oleh karena itu hukum
seharusnya hanya ada untuk melindungi dan mempertahankan keseluruhan kemerdekaan
yang dilakukan oleh orang lain. Prinsip dasar yang dijadikan pedoman adalah
sebanyak-banyaknya (Muladi, 1992 : 30).
15. Teori Garofalo tentang hukum.
Definisi hukum
dari kejahatan hanya merupakan undang-undang terhadap tipe-tipe perilaku
tertentu. Hal ini tidak dapat memberikan penjelasan kepada mereka yang ingin
mencari informasi lebih lanjut terhadap kejahatan. Untuk menerangkan mengapa
orang-orang berbuat jahat, ia mengusulkan suatu konsep yang dinamakan konsep
kejahatan natural (Muladi, 1992 :35).
0 komentar:
Posting Komentar