Senin, 20 Mei 2013

TREN KRIMINALISASI HUKUM KELUARGA 
DI NEGARA-NEGARA  MUSLIM

A. Pendahuluan
Salah satu trend reformasi hukum keluarga di Dunia Islam modern adalah diberlakukannya sangsi hukum (kriminalisasi). Keberanjakan dari hukum klasik yang cenderung tidak memiliki sanksi hukum, misalnya, beralih kepada aturan-aturan dan hukum produk negara yang tidak saja membatasi dan mempersulit, namun bahkan melarang dan mengategorikan suatu masalah seputar hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal. Dalam  hal  poligami  misalnya, meskipun kriminalisasi poligami belum menjadi potret umum dari hukum/undang-undang yang berlaku di negara-negara Muslim, namun keberadaannya semakin dipertimbangkan dan tetap menjadi salah satu topik hangat masyarakat Muslim Dunia saat ini. Adalah menarik jika kriminalisasi poligami di Indonesia juga dapat ditelaah lebih dekat, dan melihat bagaimana sebagian negara Muslim lain memberlakukannya, kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam konteks doktrin Hukum Islam konvensional, antar negara, dan posisinya sebagai salah satu citra dinamisasi dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga Negara Muslim modern. Demikian pula jika dibandingkan dengan kebijakan hukum di negara-negara non-Muslim (negara Barat).            
Seperti disebut dalam judul di atas, tulisan ini hanya memfokuskan kajian pada beberapa negara Muslim : Turki, Tunisia, Irak, Malaysia, dan Indonesia,[1] dengan menggunakan pendekatan komparatif, meliputi: komparasi vertikal (hukum negara-doktrin hukum klasik); komparasi horizontal (hukum antar negara); komparasi diagonal (tingkat dinamisasi hukum). Selain itu, guna mendapatkan perbandingan yang lebih luas, penulis juga akan melengkapi tulisan ini dengan  tinjauan terhadap kebijakan hukum mengenai poligami di negara-negara non-Muslim (negara Barat).  
B. Pemberlakuan Sanksi Hukum dalam Hukum Keluarga Negara Muslim
            Pemberlakuan sanksi hukum menjadi salah satu ciri dalam UU hukum keluarga di negara-negara Muslim modern. Secara umum sanksi hukum tersebut terkait dengan pelanggaran berbagai masalah seputar perkawinan, perceraian, nafkah, perlakuan terhadap istri, hak perempuan pasca cerai, dan hak waris. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, berikut ini rincian sejumlah persoalan  tersebut:[2]
1.      Perkawinan di bawah umur (masalah batasan usia nikah)
            Masalah ini setidaknya mendapatkan perhatian dari 4 negara Muslim, yakni Bangladesh, Iran, Pakistan, Yaman (Selatan). Hukum Keluarga yang berlaku di keempat negara tersebut  secara eksplisit memberlakuan sanksi hukum terhadap pelanggaran masalah ini. 
            Di Bangladesh, seseorang yang menikahi anak di bawah umur dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 taka; atau kedua sekaligus.[3] Sedangkan di Iran, siapa pun yang menikahi atau menikahkan seseorang yang di bawah usia nikah minimal dapat dikenakan hukuman penjara 6 bulan hingga 2 tahun.[4]
            Di Pakistan, terhadap pria (berumur di atas 18 tahun) yang menikahi anak di bawah usia nikah, dapat dihukum penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus.[5] Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang menyelenggarakan; memerintahkan; atau memimpin pernikahan mempelai di bawah umur (nikah).[6] Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai orang tua atau wali atau pihak lain yang punya kapasitas/ berhak menurut hukum atau tidak) yang menganjurkan; atau mengizinkan dilangsungkannya pernikahan; atau lalai mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur.[7] Sedangkan terhadap setiap pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang dikeluarkan Pengadilan (terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu keputusan  tersebut melarang perbuatan yang dilakukannya  dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 3 bulan.[8]
Dalam pada itu, berdasarkan Hukum Keluarga yang berlaku di Yaman (Selatan) semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pendukung) melakukan perkawinan yang bertentangan dengan UU No.1. 1974 (antara lain mengenai usia minimal kawin: 18 (pria) dan 16 (perempuan) dan selisih usia maksimal 20 tahun, terkecuali jika calon istri telah mencapai usia 25 tahun), dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau keduanya sekaligus.[9]
2.      Perkawinan secara paksa
Irak dan Malaysia merupakan negara yang mencantumkan sanksi hukum dalam Hukum Keluarga mereka dalam persoalan ini. Di Irak, ketentuan hukum dirinci menurut pelakunya. Sebagai contoh, setiap pihak yang mengawinkan secara paksa, selain keluarga garis pertama, dapat dijerat dengan hukuman penjara maksimal 3 tahun beserta denda; jika pelakunya adalah pihak keluarga garis pertama maka hukumannya adalah penjara maksimal 3 tahun tanpa denda; apabila pelakunya adalah salah satu calon mempelai maka dapat dijatuhi hukuman penjara  maksimal 10 tahun atau kurungan minimal 3 tahun.[10]
Sanksi yang kelihatannya sedikit lebih ringan di berlakukan oleh Malaysia. Berdasarkan Hukum Keluarga di sana, siapa saja yang memaksa seseorang untuk menikah di luar alasan yang diizinkan hukum syara‘ dapat dikenakan hukuman denda maksimal 1000 ringgit atau  penjara maksimal 6 bulan atau kedua sekaligus.[11]

3.      Pencegahan terhadap perkawinan yang dibolehkan syara’
Tampaknya hanya Malaysia yang secara eksplisit menerapkan hukuman dalam masalah yang satu ini. Siapapun yang mencegah seseorang untuk menikah di luar alasan yang diizinkan hukum syara‘, menurut Hukum Keluarga Malaysia, dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 1000 ringgit atau  penjara maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.[12]

4.      Perkawinan yang dilarang
Jika pada Hukum Keluarga negara-negara Muslim yang lain cenderung hanya memuat sejumlah bentuk perkawinan yang dilarang dan menetapkan batalnya perkawinan tersebut, Somalia dan Srilanka tampaknya mengambil langkah yang lebih maju, dengan menetapkan kriminalisasi terhadap pelanggaran atas hal tersebut. Di Somalia, pelaku (pria) yang menikahi kembali mantan istri yang dicerai talak tiga, sebelum mantan istri tersebut menyelesaikan masa iddahnya dari perceraiannya dengan pria (suami) lain dan sudah pernah berhubungan biologis dengan suami yang menceraikannya tersebut, dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 6 bulan dan denda maksimal 1000 SO Sh.[13]
Srilanka memberlakukan hukuman penjara maksimal 3 tahun bagi setiap pria muslim yang secara sengaja melakukan perkawinan, atau telah atau berupaya untuk mendapatkan (hak) berhubungan badan dengan perempuan-perempuan yang  dilarang syara‘ untuk dinikahi.[14] Hukuman yang sama juga berlaku bagi wanita muslim (berusia di atas 12 tahun) yang secara sengaja melakukan perkawinan, atau mengizinkan untuk berhubungan badan dengan pria yang dilarang syara‘ untuk menikahinya.[15]
Hukum Srilanka juga memberlakukan sanksi terhadap setiap wanita muslimah yang selama masa iddahnya mengikat tali pernikahan atau ikut serta sebagai pengantin dalam suatu upacara perkawinan, dan setiap orang yang mendukung atau membantu terselenggaranya ikatan perkawinan atau perlaksanaan upacara perkawinan tersebut. Para pelaku tersebut dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee.[16]
5.      Pendaftaran dan pencatatan perkawinan
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masalah ini merupakan salah satu hal yang paling banyak diatur dalam Hukum Keluarga negara-negara Muslim. Minimal tercatat ada 5 Hukum Keluarga yang mencantumkan ketentuan tentang masalah ini, yakni Indonesia, Iran, Yaman (Selatan), Yordania, dan Srilanka.
Di Indonesia, sanksi hukuman dapat dijatuhkan terhadap petugas (pencatatan) yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan. Dalam hal ini hukumannya adalah penjara/kurungan maksimal 3 bulan  atau denda maksimal Rp. 7.500.,-[17] Sedangkan di Iran sanksi hukum diberlakukan dalam kasus perkawinan yang dilakukan tanpa registrasi. Pihak bersangkutan (pria yang menikah) diancam hukuman penjara 1 –  6 bulan.[18]
Yaman (Selatan) memberlakukan hukuman denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau kedua sekaligus terhadap semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pelaku & pendukung) melakukan perkawinan atau mendaftarkan perkawinan yang bertentangan dengan UU No.1/ 1974.[19] Sementara di Yordania, mempelai (yang melangsungkan pernikahan), pihak pelaksana dan para saksi terkait perkawinan yang tak terdaftar (tanpa registrasi pihak berwenang) dapat dikenakan hukuman penjara berdasarkan ketentuan Jordanian Penal Code (UU Hukum Pidana Yordania) dan denda maksimal 1000 dinar.[20]
Menarik untuk dicatat bahwa Srilanka, meskipun penduduk Muslimnya bukanlah mayoritas, malah cenderung lebih banyak memasukkan aturan kriminalisasi dalam Hukum Keluarga Muslim yang diberlakukan di sana.[21] Hal tersebut tercermin dalam ketentuan-ketentuan berikut:
a.      Membuat data palsu pada pencatatan, buku, izin, dokumen, salinan (copy) sekitar perkawinan dan perceraian dapat dikenakan hukuman penjara maks. 3 tahun.[22]
b.      Melanggar ketentuan Ps. 81:
  • -      Mempelai pria; petugas pencatatan yang lalai atau enggan mencatatkan pernikahannya; atau lalai/enggan melaksanakan tugas pencatatan  suatu pernikahan;
  • Siapa saja yang mendukung atau membantu seorang laki-laki Muslim untuk memperoleh atau mempengaruhi atau mendaftarkan suatu perceraian di luar (tidak sesuai dengan) ketentuan dalam UU ini atau bersekongkol melanggar melalui cara lain;
  • Qadi, petugas pencatatan, dan pihak yang turut andil (berpartisipasi) melanggar berbagai aturan dalam Ps. 56 ayat (1) tentang larangan bagi qadi atau petugas pencatatan mengizinkan orang lain untuk menempati posisi mereka dan menjaga semua buku, dokumen, berkas terkait; atau Ps. 56 (4) tentang larangan, kecuali qadi atau petugas pencatatan, menyimpan buku, daftar, atau catatan yang dimaksudkan sebagai daftar suatu perkawinan atau perceraian orang Muslim, atau rekaman berita acara mengenai perceraian yang diakibatkan atau mengaku diakibatkan oleh pihak lain.

              Mereka di atas akan dijatuhi hukuman untuk pertama kali adalah denda maksimal 100 rupee, sedangkan hukuman untuk yang kedua /selanjutnya maksimal 100 rupee atau penjara  maksimal 6 bulan atau keduanya sekaligus (denda dan penjara).[23]

c.      Petugas pencatatan yang sengaja melakukan pencatatan, dan  pihak lain yang mendukung atau membantu pencatatan suatu perkawinan yang bertentangan dengan aturan Pasal 22 (kawin pada masa iddah), 23 (Perkawinan di bawah umur), atau 24 ayat (4) (berpoligami melalui izin Hakim) dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee; atau penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus.[24]
d.      Setiap pihak, bukan seorang qadi (hakim), yang mengeluarkan atau menyatakan untuk mengeluarkan izin atau daftar/catatan sebuah perceraian berdasarkan UU ini, atau pihak yang bukan petugas pencatatan, melakukan pencatatan atau menyatakan akan mencatat suatu perkawinan berdasarkan UU ini dapat dijatuhi denda 100 rupee; atau hukuman penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus [25]
e.      Setiap pihak yang sengaja atau mengetahui membuat keterangan palsu dalam suatu pernyataan yang ditandatanganinya berdasarkan Ps. 18 ayat (1) (tentang pengisian dan penandatangan formulir registrasi perkawinan oleh pasangan pengantin dan wali pihak perempuan) dapat dikenakan denda maks. 100 rupee; atau penjara maks. 6 bulan; atau keduanya sekaligus.[26]
f.       Setiap petugas pencatatan:
1)    Lalai atau menolak tanpa sebab/alasan yang sah melakukan pencatatan perkawinan;
2)    Kecuali dalam kasus yang terdapat pada Pasal 11, melakukan pencatatan suatu perkawinan yang diadakan di luar wilayah tugasnya;
3)    Melakukan pencatatan suatu perkawinan yang melanggar kondisi-kondisi atau batasan yang terdapat pada surat tugasnya;
4)    Mencatat suatu perkawinan yang tidak dihadirinya;
5)    Sengaja menolak untuk melaksanakan atau yang terkait  dengan pencatatan suatu Perkawinan; suatu kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh Pasal 18, 19, atau ps. 58;
6)    Sengaja melanggar / menentang berbagai aturan dalam UU ini.

                  dapat dikenakan hukuman Denda maksimal 100 rupee.[27]

6.      Perkawinan diluar Pengadilan
Di Irak, pria yang melakukan perkawinan di luar pengadilan dapat dijatuhi hukuman Penjara minimal 6 bulan & maksimal 1 tahun; denda minimal 300 dinar & maksimal 1000 dinar.[28] Melakukan perkawinan di luar pengadilan saat perkawinan sebelumnya masih berlangsung/terjalin dapat diganjar hukuman penjara minimal 3 tahun & maksimal 5 tahun.[29]

7.  Mas kawin dan biaya perkawinan
            Di kawasan Asia Selatan (anak Benua India) persoalan mas kawin, hantaran dan biaya perkawinan sering menjadi isu kritis dan menimbulkan persoalan sosial, sebagai akibat masih kuatnya pengaruh tradisi (non Islamis) yang berlaku di masyarakat. Hal inilah yang kelihatan memotivasi Bangladesh dan Pakistan memberi perhatian khusus dan menggariskan aturan sanksi hukum  dalam masalah ini.
            Di Bangladesh, memberi atau mengambil atau bersekongkol memberi atau mengambil hantaran kawin diancam dengan hukuman penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 5000 taka; atau keduanya sekaligus. Hukuman yang sama juga berlaku bagi siapa pun yang meminta hantaran kawin kepada orang tua atau wali dari pihak mempelai wanita atau pria.[30] Sedangkan di Pakistan, pelanggaran atas UU dalam masalah mas kawin/mahar, biaya dan hadiah (hantaran) perkawinan (Dowry and Bridal Gifts [Restriction] Act 1976) dapat dihukum penjara maksimal  6 bulan; atau denda minimal setara batas maksimum yang diatur UU ini; atau keduanya sekaligus.  Dalam pada itu apabila mas kawin, berbagai barang hantaran dan hadiah yang diberi atau diterima tidak sesuai dengan ketentuan UU ini maka akan diserahkan kepada Pemerintah federal untuk digunakan bagi perkawinan gadis-gadis miskin sebagaimana diatur dalam UU ini.[31]

8.      Poligami & hak istri dalam poligami
Poligami merupakan masalah yang paling banyak dikenakan pemberlakuan sanksi hukum oleh Hukum Keluarga di negara-negara Muslim modern. Di luar negara-negara yang memberlakukan aturan yang mempersulit ruang gerak poligami tanpa menjatuhkan sanksi hukum terhadap pelakunya, setidaknya 8 negara Muslim telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah Iran, Pakistan, Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia, dan Indonesia. Uraian lebih lanjut mengenai ketentuan kriminalisasi praktik poligami ini akan dipaparkan secara khusus dalam bahasan mendatang.           

9.      Talak/cerai di muka pengadilan dan pendaftaran perceraian 
Iran, Malaysia, Mesir, Pakistan, Yordania, dan Srilanka mencantunkan sanksi hukum dalam pasal-pasal Hukum Keluarga mereka terkait persoalan ini. Di Iran, misalnya, para suami yang melakukan perceraian atau menarik kembali penjatuhan talak/cerai yang dilakukan tanpa registrasi dapat diancam hukuman penjara 1 –  6 bulan.[32]
Menurut ketentuan Hukum Keluarga di Malaysia, penjatuhan talak di luar dan tanpa izin pengadilan dapat dikenakan denda 1000 ringgit; atau penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus.[33] Sedangkan di Mesir, berdasarkan Law on Personal Status 1929 yang dipertegas lagi dalam amandemennya UU No.100 1985 Pasal 23 A, suami yang tidak melakukan   pendaftaran perceraian dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 6 bulan; atau denda 200 pound; atau keduanya sekaligus. Begitu pula petugas pencatatan yang menolak atau tidak melaksanakan tugas pencatatan perceraian dapat dikenakan sanksi penjara maksimal 1 bulan & denda minimal 50 pound Mesir.[34]
Di Pakistan, menceraikan istri tanpa mengajukan permohonan tertulis ke Pejabat (chairman) berwenang; atau dan tanpa memberikan salinan (copy)nya  kepada istri,  dapat dihukum penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus.[35] Dalam pada itu, Yordania memberlakukan hukuman menurut UU Hukum Pidana negara itu terhadap suami yang menceraikan istri (di luar Pengadilan) tanpa melakukan langkah registrasi.[36] Sementara di Srilanka, membuat data palsu pada pencatatan, buku, izin, dokumen, salinan (copy) sekitar perceraian dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 3 tahun[37]

10. Hak-hak istri yang dicerai suaminya
            Tunisia tampaknya bergerak sendiri dalam masalah yang satu ini. Menurut UU Tunisia, suami yang menghindar dari kewajiban memberi nafkah atau kompensasi selama 1 bulan dapat dikenakan hukuman penjara  3 hingga 12 bulan dan denda antara 100 hingga 1000 dinar. [38]

11. Masalah hak waris perempuan
Harus diakui, mungkin, hanya Libya yang secara khusus memberikan perhatian dalam masalah ini. Berdasarkan UU yang berlaku di Libya, pengabaian (tidak memberi) hak warisan wanita dapat diancam dengan hukuman penjara sampai hak warisan wanita bersangkutan diberikan/dipenuhi.[39]

12. Pelanggaran terhadap UU Hukum keluarga yang berlaku (diluar pasal-pasal  yang sudah ditentukan sanksi hukumnya)
Jika dalam Hukum Keluarga mayoritas negara-negara Muslim hanya mencantumkan sanksi hukum dalam beberapa pasalnya, tidak demikian keadaannya dengan Hukum Keluarga Muslim Srilanka. Di luar pasal-pasal tertentu yang sudah ditentukan sanksi hukumnya,  setiap pelanggaran di luar pasal-pasal tersebut dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee.[40]

Dari keterangan di atas dapat ditarik sejumlah catatan sebagai berikut:
a.       Bahwa poligami menempati urutan teratas (8 negara) dalam daftar persoalan Hukum Keluarga yang diancam dengan sanksi hukum (kriminalisasi poligami), menyusul masalah perceraian di luar pengadilan/ tanpa registrasi (6 negara), dan berikutnya adalah masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan (5 negara).
b.      Meskipun secara umum sanksi yang dijatuhkan masih diarahkan kepada si pelaku pelanggaran, namun di beberapa negara selain pelaku, hukuman juga dijatuhkan kepada pihak pendukung, penyelenggara, bahkan petugas berwenang yang terkait dengan pelanggaran.
c.       Sanksi yang diberikan pada umumnya berupa hukuman penjara/kurungan; atau denda; atau keduanya sekaligus. Meskipun bersifat relatif, hukuman tertinggi terdapat di Irak yakni 10 tahun & minimal 3 tahun penjara dalam kasus perkawinan secara  paksa. Sedangkan sanksi paling rendah ada di Mesir yakni 1 bulan penjara dalam kasus petugas pencatat yang menolak/tidak melaksanakan tugas pencatatan. 
d.      Srilanka tercatat sebagai negara terbanyak mencantumkan sanksi hukum  dalam Hukum Keluarga Muslim (sekitar 11 masalah); sedangkan Libya (tentang hak waris wanita) dan Somalia (larangan menikahi mantan istri yang ditalak tiga sebelum dipenuhi persyaratannya) sejauh ini menjadi  negara yang paling sedikit meletakkan sanksi dalam Hukum Keluarga mereka.



*         Dipresentasikan pada forum Annual Conference Kajian Islam di Lembang, Bandung, 26-30 Nopember 2006.
** Dosen Fak. Syariah IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi/Mahasiswa Prog. Doktor UIN Syahid Jakarta.
[1]Pemilihan ke lima negara ini sebagai model lebih didasari pada pertimbangan subyektifitas penulis, dengan memperhatikan tingkat variasi dan relevansinya dengan topik yang diangkat (kriminalisasi praktik poligami). Selain itu penulis juga berupaya menghindari pengulangan seminimum mungkin dari tulisan-tulisan penulis lain sebelumnya.
[2] Identifikasi ini berpijak dari hasil telaah penulis terhadap sejumlah UU/ Hukum Keluarga Negara-negara Muslim. Sumber rujukan yang digunakan adalah dua karya Taher Mahmood, yaitu Family Law Reform in the Muslim World, N.M.Tripathi PVT, Ltd., Bombay, 1972, dan Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion New Delhi, New Delhi, 1987.
[3]Child Marriage Testraint Act 1929 dan Amandemennya (Ordonansi No. 28/1984) Pasal 4. 
[4] The Marriage Law 1931-1937  Pasal 3.
[5] Child Marriage Restraint Act 1929 (Act 29 /1929) dan amandemennya (Ordonansi No.8 /1961) Pasal 4.
[6] Ibid., Pasal 5.
[7] Ibid., Pasal 6 ayat (1).
[8] Ibid., Pasal 12 ayat (5).

[9] Family Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 49.

[10] The Code Personal 1959 Pasal 9 (2).
[11] Islamic Family Law (Federal Teritory) Act 1984 (Act 304 of 1984)  Pasal 37.
[12] Ibid.,.
[13] The Family Code 1975 (UU No. 23/1975) Pasal 15.
[14] Muslim Marriage and Divorce Act 1951 Pasal 80 ayat (1).
[15] Ibid., Pasal 80 ayat (2).
[16] Ibid., Pasal 87
[17] Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 Pasal 45 ayat (2).
[18] The Marriage Law 1931-1937  Pasal 1

[19] Family Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 49. Di antara bentuk perkawinan yang bertentangan dengan UU ini adalah perkawinan yang melanggar ketentuan usia minimal dan selisih usia calon mempelai, bigami tanpa izin Pengadilan setempat.

[20] The Code of Personal Status 1976 dan amandemennya (UU No. 25 /1977)  Pasal 17 ayat (3).
[21] Hal ini tampaknya dilatarbelakangi oleh keberadaan komunitas Muslim yang relatif signifikan di sana.  Atas dasar itu pulalah  penulis cenderung memasukkan Srilanka dalam daftar negara-negara Muslim yang dibahas dalam bagian ini, tentu dalam konteks pemberlakuan sanksi dalam Hukum Keluarga Muslim.

DAFTAR KEPUSTAKAAN


Buku-buku:

‘Audah, ‘Abd al-Q±dir, at-Tasyr³‘ al-Jin±’³ al-Islam³ Muq±ranan bi al-Q±n­n al-Wa«‘³, Mu’assat ar-Ris±lah, Beirut, 1997.
A. Jawad, Haifaa, The Right of Women in Islam: An Authentic Approach, St. Martin’s Press, Inc., New York, 1998.
Ab³ D±wud, Sunan Ab³ D±wud, juz I, D±r al-Fikr, 1994.
Amin, Qasim, Ta¥r³r al-Mar’ah, D±r al-Ma‘±rif, Tunisia, t.t.
Anderson, James Norman Dalrymple (J.N.D), Islamic law in the Modern World, Edisi Indonesia: Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress, Surabaya.
_______________ , “The Tunisian Law of Personal Status”, dalam International and Comparative Law Quarterly, 7 April 1985. 
Anderson, Norman, Law Reform in the Muslim World, The Athlone Press, London, 1976.
Buxbaum, David C. (Ed.), Family Law and Customary Law in Asia: a Contemporary Legal Perspective, Martinus Nijhoff, The Haque, 1968
Dahlan, Abdul Aziz (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jld. IV, Ichtiar Baru van Houve, Jakarta, 1997.
Esposito, John L. (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, Oxford University Press, Oxford, 1991. 
Gupta, Kiran, “Polygamy Law Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and Comparative Law, vol XVIII, No. 2 Thaun 1992.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Ibn al-‘Arab³, A¥k±m al-Qur‘±n, Jld. I, D±r al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut, 1988,
Ibn Rusyd, Bid±yat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqta¡id, juz II, D±r al-Fikr, Beirut, 1995.
al-Jaz³r³, ‘Abdurra¥man, Kit±b al-Fiqh ‘ala al-Ma©±hib al-Arba‘ah, jld. V, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999.
al-Ja¡¡±¡, A¥k±m al-Qur’±n, juz II, D±r al-Fir, Beirut, 1993.
Kartanegara, Satochid, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1990.   

0 komentar:

Posting Komentar