TREN
KRIMINALISASI HUKUM KELUARGA
DI NEGARA-NEGARA
MUSLIM
A. Pendahuluan
Salah satu trend reformasi hukum
keluarga di Dunia Islam modern adalah diberlakukannya sangsi hukum
(kriminalisasi). Keberanjakan dari hukum klasik yang cenderung tidak memiliki
sanksi hukum, misalnya, beralih kepada aturan-aturan dan hukum produk negara
yang tidak saja membatasi dan mempersulit, namun bahkan melarang dan
mengategorikan suatu masalah seputar hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal.
Dalam hal poligami
misalnya, meskipun kriminalisasi poligami belum menjadi potret umum dari
hukum/undang-undang yang berlaku di negara-negara Muslim, namun keberadaannya
semakin dipertimbangkan dan tetap menjadi salah satu topik hangat masyarakat
Muslim Dunia saat ini. Adalah menarik jika kriminalisasi poligami di Indonesia
juga dapat ditelaah lebih dekat, dan melihat bagaimana sebagian negara Muslim
lain memberlakukannya, kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam konteks
doktrin Hukum Islam konvensional, antar negara, dan posisinya sebagai salah
satu citra dinamisasi dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga Negara Muslim
modern. Demikian pula jika dibandingkan dengan kebijakan hukum di negara-negara
non-Muslim (negara Barat).
Seperti disebut dalam judul di
atas, tulisan ini hanya memfokuskan kajian pada beberapa negara Muslim : Turki,
Tunisia, Irak, Malaysia, dan Indonesia,[1]
dengan menggunakan pendekatan komparatif, meliputi: komparasi vertikal (hukum
negara-doktrin hukum klasik); komparasi horizontal (hukum antar negara);
komparasi diagonal (tingkat dinamisasi hukum). Selain itu, guna mendapatkan
perbandingan yang lebih luas, penulis juga akan melengkapi tulisan ini
dengan tinjauan terhadap kebijakan hukum
mengenai poligami di negara-negara non-Muslim (negara Barat).
B. Pemberlakuan Sanksi Hukum dalam Hukum Keluarga
Negara Muslim
Pemberlakuan
sanksi hukum menjadi salah satu ciri dalam UU hukum keluarga di negara-negara
Muslim modern. Secara umum sanksi hukum tersebut terkait dengan pelanggaran
berbagai masalah seputar perkawinan, perceraian, nafkah, perlakuan terhadap
istri, hak perempuan pasca cerai, dan hak waris. Untuk memperoleh gambaran yang
lebih jelas, berikut ini rincian sejumlah persoalan tersebut:[2]
1. Perkawinan di bawah umur (masalah batasan usia
nikah)
Masalah ini setidaknya mendapatkan
perhatian dari 4 negara Muslim, yakni Bangladesh, Iran, Pakistan, Yaman
(Selatan). Hukum Keluarga yang berlaku di keempat negara tersebut secara eksplisit memberlakuan sanksi hukum
terhadap pelanggaran masalah ini.
Di Bangladesh, seseorang yang menikahi anak di bawah
umur dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000
taka; atau kedua sekaligus.[3]
Sedangkan di Iran, siapa pun yang menikahi atau menikahkan seseorang yang di
bawah usia nikah minimal dapat dikenakan hukuman penjara 6 bulan hingga 2
tahun.[4]
Di Pakistan, terhadap
pria (berumur di atas 18 tahun) yang menikahi anak di bawah usia nikah, dapat
dihukum penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya
sekaligus.[5]
Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang menyelenggarakan;
memerintahkan; atau memimpin pernikahan mempelai di bawah umur (nikah).[6]
Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai orang tua atau wali
atau pihak lain yang punya kapasitas/ berhak menurut hukum atau tidak) yang
menganjurkan; atau mengizinkan dilangsungkannya pernikahan; atau lalai mencegah
terjadinya pernikahan di bawah umur.[7]
Sedangkan terhadap setiap pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang
dikeluarkan Pengadilan (terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu
keputusan tersebut melarang perbuatan
yang dilakukannya dapat dijatuhi hukuman
penjara maksimal 3 bulan.[8]
Dalam pada itu, berdasarkan Hukum
Keluarga yang berlaku di Yaman (Selatan) semua pelaku/pihak yang terkait
pelanggaran (pendukung) melakukan perkawinan yang bertentangan dengan UU No.1.
1974 (antara lain mengenai usia minimal kawin: 18 (pria) dan 16 (perempuan) dan
selisih usia maksimal 20 tahun, terkecuali jika calon istri telah mencapai usia
25 tahun), dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 200 dinar; atau penjara
maksimal 2 tahun; atau keduanya sekaligus.[9]
2. Perkawinan secara paksa
Irak dan Malaysia merupakan negara yang mencantumkan sanksi hukum dalam
Hukum Keluarga mereka dalam persoalan ini. Di Irak, ketentuan hukum dirinci
menurut pelakunya. Sebagai contoh, setiap pihak yang mengawinkan secara paksa,
selain keluarga garis pertama, dapat dijerat dengan hukuman penjara maksimal 3
tahun beserta denda; jika pelakunya adalah pihak keluarga garis pertama maka
hukumannya adalah penjara maksimal 3 tahun tanpa denda; apabila pelakunya
adalah salah satu calon mempelai maka dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 10 tahun atau kurungan minimal 3
tahun.[10]
Sanksi yang kelihatannya sedikit lebih ringan di berlakukan oleh
Malaysia. Berdasarkan Hukum Keluarga di sana, siapa saja yang memaksa seseorang
untuk menikah di luar alasan yang diizinkan hukum syara‘ dapat dikenakan
hukuman denda maksimal 1000 ringgit atau
penjara maksimal 6 bulan atau kedua sekaligus.[11]
3. Pencegahan terhadap perkawinan yang dibolehkan
syara’
Tampaknya hanya Malaysia yang
secara eksplisit menerapkan hukuman dalam masalah yang satu ini. Siapapun yang
mencegah seseorang untuk menikah di luar alasan yang diizinkan hukum syara‘,
menurut Hukum Keluarga Malaysia, dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 1000
ringgit atau penjara maksimal 6 bulan
atau kedua-duanya.[12]
4.
Perkawinan yang dilarang
Jika pada Hukum Keluarga negara-negara Muslim yang lain cenderung hanya
memuat sejumlah bentuk perkawinan yang dilarang dan menetapkan batalnya
perkawinan tersebut, Somalia dan Srilanka tampaknya mengambil langkah yang
lebih maju, dengan menetapkan kriminalisasi terhadap pelanggaran atas hal
tersebut. Di Somalia, pelaku (pria) yang menikahi kembali mantan istri yang
dicerai talak tiga, sebelum mantan istri tersebut menyelesaikan masa iddahnya
dari perceraiannya dengan pria (suami) lain dan sudah pernah berhubungan
biologis dengan suami yang menceraikannya tersebut, dapat dijatuhi hukuman penjara
maksimal 6 bulan dan denda maksimal 1000 SO Sh.[13]
Srilanka memberlakukan hukuman penjara maksimal 3 tahun bagi setiap pria
muslim yang secara sengaja melakukan perkawinan, atau telah atau berupaya untuk
mendapatkan (hak) berhubungan badan dengan perempuan-perempuan yang dilarang syara‘ untuk dinikahi.[14]
Hukuman yang sama juga berlaku bagi wanita muslim (berusia di atas 12 tahun)
yang secara sengaja melakukan perkawinan, atau mengizinkan untuk berhubungan
badan dengan pria yang dilarang syara‘ untuk menikahinya.[15]
Hukum Srilanka juga memberlakukan sanksi terhadap setiap wanita muslimah
yang selama masa iddahnya mengikat tali pernikahan atau ikut serta sebagai
pengantin dalam suatu upacara perkawinan, dan setiap orang yang mendukung atau
membantu terselenggaranya ikatan perkawinan atau perlaksanaan upacara
perkawinan tersebut. Para pelaku tersebut dapat dijatuhi hukuman denda maksimal
100 rupee.[16]
5.
Pendaftaran dan pencatatan
perkawinan
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masalah ini merupakan salah satu
hal yang paling banyak diatur dalam Hukum Keluarga negara-negara Muslim.
Minimal tercatat ada 5 Hukum Keluarga yang mencantumkan ketentuan tentang
masalah ini, yakni Indonesia, Iran, Yaman (Selatan), Yordania, dan Srilanka.
Di Indonesia, sanksi hukuman dapat dijatuhkan terhadap petugas
(pencatatan) yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan
berpoligami tanpa izin Pengadilan. Dalam hal ini hukumannya adalah
penjara/kurungan maksimal 3 bulan atau
denda maksimal Rp. 7.500.,-[17]
Sedangkan di Iran sanksi hukum diberlakukan dalam kasus perkawinan yang
dilakukan tanpa registrasi. Pihak bersangkutan (pria yang menikah) diancam
hukuman penjara 1 – 6 bulan.[18]
Yaman (Selatan) memberlakukan hukuman
denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau kedua sekaligus
terhadap semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pelaku & pendukung)
melakukan perkawinan atau mendaftarkan perkawinan yang bertentangan dengan UU
No.1/ 1974.[19]
Sementara di Yordania, mempelai (yang melangsungkan pernikahan), pihak
pelaksana dan para saksi terkait perkawinan yang tak terdaftar (tanpa
registrasi pihak berwenang) dapat dikenakan hukuman penjara berdasarkan
ketentuan Jordanian Penal Code (UU Hukum Pidana Yordania) dan denda
maksimal 1000 dinar.[20]
Menarik untuk dicatat bahwa
Srilanka, meskipun penduduk Muslimnya bukanlah mayoritas, malah cenderung lebih
banyak memasukkan aturan kriminalisasi dalam Hukum Keluarga Muslim yang
diberlakukan di sana.[21]
Hal tersebut tercermin dalam ketentuan-ketentuan berikut:
a.
Membuat data palsu pada
pencatatan, buku, izin, dokumen, salinan (copy) sekitar perkawinan dan
perceraian dapat dikenakan hukuman penjara maks. 3 tahun.[22]
b.
Melanggar ketentuan Ps. 81:
- - Mempelai pria; petugas pencatatan yang lalai atau enggan mencatatkan pernikahannya; atau lalai/enggan melaksanakan tugas pencatatan suatu pernikahan;
- Siapa saja yang mendukung atau membantu seorang laki-laki Muslim untuk memperoleh atau mempengaruhi atau mendaftarkan suatu perceraian di luar (tidak sesuai dengan) ketentuan dalam UU ini atau bersekongkol melanggar melalui cara lain;
- Qadi, petugas pencatatan, dan pihak yang turut andil (berpartisipasi) melanggar berbagai aturan dalam Ps. 56 ayat (1) tentang larangan bagi qadi atau petugas pencatatan mengizinkan orang lain untuk menempati posisi mereka dan menjaga semua buku, dokumen, berkas terkait; atau Ps. 56 (4) tentang larangan, kecuali qadi atau petugas pencatatan, menyimpan buku, daftar, atau catatan yang dimaksudkan sebagai daftar suatu perkawinan atau perceraian orang Muslim, atau rekaman berita acara mengenai perceraian yang diakibatkan atau mengaku diakibatkan oleh pihak lain.
Mereka di atas akan dijatuhi hukuman untuk pertama kali adalah denda
maksimal 100 rupee, sedangkan hukuman untuk yang kedua /selanjutnya maksimal
100 rupee atau penjara maksimal 6 bulan
atau keduanya sekaligus (denda dan penjara).[23]
c.
Petugas pencatatan
yang sengaja melakukan pencatatan, dan
pihak lain yang mendukung atau membantu pencatatan suatu perkawinan yang
bertentangan dengan aturan Pasal 22 (kawin pada masa iddah), 23 (Perkawinan di
bawah umur), atau 24 ayat (4) (berpoligami melalui izin Hakim) dapat dijatuhi
hukuman denda maksimal 100 rupee; atau
penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus.[24]
d.
Setiap
pihak, bukan seorang qadi (hakim), yang mengeluarkan atau menyatakan untuk
mengeluarkan izin atau daftar/catatan sebuah perceraian berdasarkan UU ini,
atau pihak yang bukan petugas pencatatan, melakukan pencatatan atau menyatakan
akan mencatat suatu perkawinan berdasarkan UU ini dapat dijatuhi denda
100 rupee; atau hukuman penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus [25]
e.
Setiap pihak yang sengaja atau
mengetahui membuat keterangan palsu dalam suatu pernyataan yang ditandatanganinya
berdasarkan Ps. 18 ayat (1) (tentang pengisian dan penandatangan formulir
registrasi perkawinan oleh pasangan pengantin dan wali pihak perempuan) dapat
dikenakan denda maks. 100 rupee; atau penjara maks. 6 bulan; atau keduanya
sekaligus.[26]
f.
Setiap petugas pencatatan:
1)
Lalai atau menolak tanpa
sebab/alasan yang sah melakukan pencatatan perkawinan;
2)
Kecuali dalam kasus yang terdapat
pada Pasal 11, melakukan pencatatan suatu perkawinan yang diadakan di luar
wilayah tugasnya;
3)
Melakukan pencatatan suatu perkawinan
yang melanggar kondisi-kondisi atau batasan yang
terdapat pada surat tugasnya;
4)
Mencatat suatu
perkawinan yang tidak dihadirinya;
5)
Sengaja menolak untuk
melaksanakan atau yang terkait dengan
pencatatan suatu Perkawinan; suatu kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh
Pasal 18, 19, atau ps. 58;
6)
Sengaja melanggar /
menentang berbagai aturan dalam UU ini.
dapat
dikenakan hukuman Denda maksimal 100 rupee.[27]
6. Perkawinan diluar Pengadilan
Di Irak, pria yang melakukan perkawinan di luar pengadilan dapat dijatuhi
hukuman Penjara minimal 6 bulan & maksimal 1 tahun; denda minimal 300 dinar
& maksimal 1000 dinar.[28]
Melakukan perkawinan di luar pengadilan saat perkawinan sebelumnya masih
berlangsung/terjalin dapat diganjar hukuman penjara minimal 3 tahun & maksimal
5 tahun.[29]
7. Mas kawin dan biaya perkawinan
Di kawasan Asia Selatan (anak Benua
India) persoalan mas kawin, hantaran dan biaya perkawinan sering menjadi isu
kritis dan menimbulkan persoalan sosial, sebagai akibat masih kuatnya pengaruh
tradisi (non Islamis) yang berlaku di masyarakat. Hal inilah yang kelihatan
memotivasi Bangladesh dan Pakistan memberi perhatian khusus dan menggariskan
aturan sanksi hukum dalam masalah ini.
Di Bangladesh, memberi
atau mengambil atau bersekongkol memberi atau mengambil hantaran kawin diancam
dengan hukuman penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 5000 taka; atau
keduanya sekaligus. Hukuman yang sama juga berlaku bagi siapa pun yang meminta
hantaran kawin kepada orang tua atau wali dari pihak mempelai wanita atau pria.[30]
Sedangkan di Pakistan, pelanggaran atas UU dalam masalah mas kawin/mahar, biaya
dan hadiah (hantaran) perkawinan (Dowry and Bridal Gifts [Restriction] Act
1976) dapat dihukum penjara maksimal
6 bulan; atau denda minimal setara batas maksimum yang diatur UU ini;
atau keduanya sekaligus. Dalam pada itu
apabila mas kawin, berbagai barang hantaran dan hadiah yang diberi atau
diterima tidak sesuai dengan ketentuan UU ini maka akan diserahkan kepada
Pemerintah federal untuk digunakan bagi perkawinan gadis-gadis miskin
sebagaimana diatur dalam UU ini.[31]
8. Poligami & hak istri dalam poligami
Poligami merupakan masalah yang paling
banyak dikenakan pemberlakuan sanksi hukum oleh Hukum Keluarga di negara-negara
Muslim modern. Di luar negara-negara yang memberlakukan aturan yang mempersulit
ruang gerak poligami tanpa menjatuhkan sanksi hukum terhadap pelakunya,
setidaknya 8 negara Muslim telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap
masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah
Iran, Pakistan, Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia, dan Indonesia.
Uraian lebih lanjut mengenai ketentuan kriminalisasi praktik poligami ini akan
dipaparkan secara khusus dalam bahasan mendatang.
9. Talak/cerai di muka pengadilan dan pendaftaran
perceraian
Iran, Malaysia, Mesir, Pakistan, Yordania, dan Srilanka mencantunkan
sanksi hukum dalam pasal-pasal Hukum Keluarga mereka terkait persoalan ini. Di
Iran, misalnya, para suami yang melakukan perceraian atau menarik kembali
penjatuhan talak/cerai yang dilakukan tanpa registrasi dapat diancam hukuman penjara
1 – 6 bulan.[32]
Menurut ketentuan Hukum Keluarga di Malaysia, penjatuhan talak di luar
dan tanpa izin pengadilan dapat dikenakan denda 1000 ringgit; atau penjara
maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus.[33]
Sedangkan di Mesir, berdasarkan Law on Personal Status 1929 yang
dipertegas lagi dalam amandemennya UU No.100 1985 Pasal 23 A , suami yang tidak
melakukan pendaftaran perceraian dapat
dijatuhi hukuman penjara hingga 6 bulan; atau denda 200 pound ; atau keduanya
sekaligus. Begitu pula petugas pencatatan yang menolak atau tidak melaksanakan
tugas pencatatan perceraian dapat dikenakan sanksi penjara maksimal 1 bulan
& denda minimal 50
pound Mesir.[34]
Di Pakistan, menceraikan istri tanpa mengajukan permohonan tertulis ke
Pejabat (chairman) berwenang; atau dan tanpa memberikan salinan
(copy)nya kepada istri, dapat dihukum penjara maksimal 1 tahun; atau
denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus.[35]
Dalam pada itu, Yordania memberlakukan hukuman menurut UU Hukum Pidana negara
itu terhadap suami yang menceraikan istri (di luar Pengadilan) tanpa melakukan
langkah registrasi.[36]
Sementara di Srilanka, membuat data palsu pada pencatatan, buku, izin, dokumen,
salinan (copy) sekitar perceraian dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 3
tahun[37]
10. Hak-hak istri yang dicerai suaminya
Tunisia tampaknya
bergerak sendiri dalam masalah yang satu ini. Menurut UU Tunisia, suami yang
menghindar dari kewajiban memberi nafkah atau kompensasi selama 1 bulan dapat
dikenakan hukuman penjara 3 hingga 12
bulan dan denda antara 100 hingga 1000 dinar. [38]
11.
Masalah hak waris perempuan
Harus diakui, mungkin, hanya
Libya yang secara khusus memberikan perhatian dalam masalah ini. Berdasarkan UU
yang berlaku di Libya, pengabaian (tidak memberi) hak warisan wanita dapat
diancam dengan hukuman penjara sampai hak warisan wanita bersangkutan
diberikan/dipenuhi.[39]
12. Pelanggaran terhadap UU Hukum keluarga yang
berlaku (diluar pasal-pasal yang sudah
ditentukan sanksi hukumnya)
Jika dalam Hukum Keluarga
mayoritas negara-negara Muslim hanya mencantumkan sanksi hukum dalam beberapa
pasalnya, tidak demikian keadaannya dengan Hukum Keluarga Muslim Srilanka. Di
luar pasal-pasal tertentu yang sudah ditentukan sanksi hukumnya, setiap pelanggaran di luar pasal-pasal
tersebut dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee.[40]
Dari keterangan di atas dapat
ditarik sejumlah catatan sebagai berikut:
a. Bahwa poligami menempati urutan teratas (8 negara)
dalam daftar persoalan Hukum Keluarga yang diancam dengan sanksi hukum
(kriminalisasi poligami), menyusul masalah perceraian di luar pengadilan/ tanpa
registrasi (6 negara), dan berikutnya adalah masalah pendaftaran dan pencatatan
perkawinan (5 negara).
b. Meskipun secara umum sanksi yang dijatuhkan masih
diarahkan kepada si pelaku pelanggaran, namun di beberapa negara selain pelaku,
hukuman juga dijatuhkan kepada pihak pendukung, penyelenggara, bahkan petugas
berwenang yang terkait dengan pelanggaran.
c. Sanksi yang diberikan pada umumnya berupa hukuman
penjara/kurungan; atau denda; atau keduanya sekaligus. Meskipun bersifat
relatif, hukuman tertinggi terdapat di Irak yakni 10 tahun & minimal 3
tahun penjara dalam kasus perkawinan secara
paksa. Sedangkan sanksi paling rendah ada di Mesir yakni 1 bulan penjara
dalam kasus petugas pencatat yang menolak/tidak melaksanakan tugas
pencatatan.
d. Srilanka tercatat sebagai negara terbanyak
mencantumkan sanksi hukum dalam Hukum
Keluarga Muslim (sekitar 11 masalah); sedangkan Libya (tentang hak waris wanita)
dan Somalia (larangan menikahi mantan istri yang ditalak tiga sebelum dipenuhi
persyaratannya) sejauh ini menjadi
negara yang paling sedikit meletakkan sanksi dalam Hukum Keluarga
mereka.
* Dipresentasikan pada forum Annual
Conference Kajian Islam di Lembang, Bandung, 26-30 Nopember 2006.
** Dosen Fak. Syariah IAIN
Sultan Thaha Saifuddin Jambi/Mahasiswa Prog. Doktor UIN Syahid Jakarta.
[1]Pemilihan ke lima negara ini sebagai
model lebih didasari pada pertimbangan subyektifitas penulis, dengan
memperhatikan tingkat variasi dan relevansinya dengan topik yang diangkat
(kriminalisasi praktik poligami). Selain itu penulis juga berupaya menghindari
pengulangan seminimum mungkin dari tulisan-tulisan penulis lain sebelumnya.
[2] Identifikasi ini berpijak
dari hasil telaah penulis terhadap sejumlah UU/ Hukum Keluarga Negara-negara
Muslim. Sumber rujukan yang digunakan adalah dua karya Taher Mahmood, yaitu Family
Law Reform in the Muslim World, N.M.Tripathi PVT, Ltd., Bombay, 1972, dan Personal Law in
Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), Academy of Law and
Religion New Delhi, New Delhi, 1987.
[3]Child
Marriage Testraint Act 1929 dan Amandemennya (Ordonansi No.
28/1984) Pasal 4.
[4] The Marriage Law
1931-1937 Pasal 3.
[5] Child
Marriage Restraint Act 1929 (Act 29 /1929) dan amandemennya (Ordonansi No.8
/1961) Pasal 4.
[6] Ibid., Pasal 5.
[7] Ibid., Pasal 6
ayat (1).
[8] Ibid., Pasal 12
ayat (5).
[9] Family Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 49.
[10] The Code Personal 1959
Pasal 9 (2).
[11] Islamic Family Law
(Federal Teritory) Act 1984 (Act 304 of 1984)
Pasal 37.
[12] Ibid.,.
[13] The Family Code 1975 (UU No. 23/1975) Pasal 15.
[14] Muslim
Marriage and Divorce Act 1951 Pasal 80 ayat (1).
[15] Ibid., Pasal 80
ayat (2).
[16] Ibid., Pasal 87
[17] Peraturan Pemerintah (PP)
No. 9 tahun 1975 Pasal 45 ayat (2).
[18] The
Marriage Law 1931-1937 Pasal 1
[19] Family Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 49. Di
antara bentuk perkawinan yang bertentangan dengan UU ini adalah perkawinan yang
melanggar ketentuan usia minimal dan selisih usia calon mempelai, bigami tanpa
izin Pengadilan setempat.
[20] The
Code of Personal Status 1976 dan amandemennya (UU No. 25 /1977) Pasal 17 ayat (3).
[21] Hal ini tampaknya
dilatarbelakangi oleh keberadaan komunitas Muslim yang relatif signifikan di sana . Atas dasar itu pulalah penulis cenderung memasukkan Srilanka dalam
daftar negara-negara Muslim yang dibahas dalam bagian ini, tentu dalam konteks
pemberlakuan sanksi dalam Hukum Keluarga Muslim.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Buku-buku:
‘Audah, ‘Abd al-Q±dir, at-Tasyr³‘
al-Jin±’³ al-Islam³ Muq±ranan bi al-Q±nn al-Wa«‘³, Mu’assat ar-Ris±lah, Beirut, 1997.
A. Jawad, Haifaa, The Right of
Women in Islam: An Authentic Approach, St. Martin’s Press, Inc., New York, 1998.
Ab³ D±wud, Sunan Ab³ D±wud, juz I, D±r al-Fikr, 1994.
Amin, Qasim, Ta¥r³r
al-Mar’ah, D±r al-Ma‘±rif, Tunisia, t.t.
Anderson, James Norman Dalrymple
(J.N.D), Islamic
law in the Modern World, Edisi
Indonesia: Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress,
Surabaya.
_______________ , “The
Tunisian Law of Personal Status”, dalam International and Comparative Law
Quarterly, 7 April 1985.
Anderson, Norman, Law Reform in the Muslim World, The Athlone Press, London, 1976.
Buxbaum, David C. (Ed.), Family Law and
Customary Law in Asia: a Contemporary Legal Perspective, Martinus Nijhoff, The Haque, 1968
Dahlan, Abdul Aziz (Ed.), Ensiklopedi
Hukum Islam, jld. IV, Ichtiar Baru van
Houve, Jakarta, 1997.
Esposito, John L. (Ed.), The Oxford
Encyclopaedia of the Modern Islamic World, Oxford University Press, Oxford, 1991.
Gupta, Kiran, “Polygamy Law
Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and
Comparative Law, vol XVIII, No. 2 Thaun 1992.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Ibn al-‘Arab³, A¥k±m al-Qur‘±n, Jld. I, D±r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, Beirut, 1988,
Ibn Rusyd, Bid±yat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqta¡id, juz II, D±r al-Fikr, Beirut, 1995.
al-Jaz³r³, ‘Abdurra¥man, Kit±b al-Fiqh
‘ala al-Ma©±hib al-Arba‘ah, jld.
V, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999.
al-Ja¡¡±¡, A¥k±m al-Qur’±n, juz II, D±r al-Fir, Beirut,
1993.
Kartanegara, Satochid, Dasar-Dasar
Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung,
1990.
0 komentar:
Posting Komentar