Kriminalisasi Praktik Poligami: Identifikasi Istilah
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kriminalisasi berarti proses yang memperlihatkan perilaku yang
semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan
sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.[1]
Dengan demikian kriminalisasi praktik poligami di sini dipahami sebagai sikap
yang mengategorikan praktik/perbuatan poligami sebagai sebuah tindak pidana (crime),
yang diancam dengan bentuk pidana tertentu, baik pidana kurungan maupun pidana
denda.[2]
Adapun istilah poligami berasal
dari bahasa Latin polygamia (poly dan gamia)[3]
atau gabungan kata bahasa Yunani poly dan gamy dari akar kata polus
(banyak)[4]
dan gamos (kawin).[5]
Jadi secara harfiyah poligami berarti perkawinan dalam jumlah banyak. Sedangkan
secara terminologi poligami adalah suatu praktik atau kondisi (perkawinan)
lebih dari satu istri, suami, pasangan, yang dilakukan pada satu waktu
(bersamaan).[6] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami
didefinisikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.[7]
Jika
menilik definisi poligami di atas, tampak tidak ada perbedaan istilah antara
perkawinan yang dilakukan oleh pria (suami) atau wanita (istri), apabila
dilakukan lebih dari satu pasangan dan dilakukan pada saat bersamaan (masih
dalam ikatan perkawinan dengan pasangan lain), maka praktik tersebut masuk
dalam cakupan terminologi poligami. Namun di kalangan umum, istilah ini justeru
sering dibatasi wilayah penggunaannya khusus bagi perkawinan jamak yang dilakukan
seorang pria (suami). Padahal bentuk perkawinan yang terakhir disebut ini
secara terminologi dikenal dengan istilah poligini. Jika ia dilakukan oleh
wanita maka disebut dengan istilah poliandri.[8]
Dalam The Encyclopedia Americana disebutkan:[9]
“Poligamy is a
form of poligamy in which one male is married to more than one female.
Poliandry is a form of poligamy in which one female is married to more than one
male.”
Lawan
kata poligami adalah monogami, berasal dari bahasa Latin monogamia, atau
paduan kata dari bahasa Yunani, mono dan gamy,[10] yang
berakar dari kata monos (satu, tunggal, sendirian)[11]
dan gamos (perkawinan).[12]
Secara simpel monogami dapat diartikan dengan perkawinan tunggal (hanya ada
satu ikatan perkawinan). Sedangkan secara terminologi, monogami memiliki dua
pengertian:[13]
a.
Suatu
kebiasaan atau kondisi dari perkawinan yang dilakukan hanya pada satu orang
(pasangan) pada satu waktu.
b.
Suatu
keadaan dimana perkawinan satu pasangan berlangsung bagi seumur hidup.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah monogami telah mengalami penyempitan
cakupan. Dalam hal ini monogami diartikan sebagai sistem yang memperbolehkan
seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu. Untuk
pengertian yang relatif sama juga digunakan istilah lain, yakni monogini.[14]
Khusus
dalam tulisan ini, penulis masih tetap menggunakan istilah poligami dan
monogami sebagai acuan. “Ketidaktepatan” dalam penggunaan istilah poligami dan
monogami sebagaimana dikemukakan di atas
untuk sementara dikesampingkan, beralih kepada istilah yang “terlanjur” lebih
populer dikenal.
D.
Kriminalisasi Praktik Poligami dalam Perspektif Doktrin Hukum Islam
Konvensional
Pembahasan mengenai
kriminalisasi poligami dilihat dari sudut doktrin hukum konvensional setidaknya
memerlukan dua segi tinjauan: pertama, konsep kriminalisasi; kedua, status
hukum poligami. Segi yang pertama diarahkan pada kajian hukum jinayat (pidana
Islam), sementara segi yang kedua ditinjau dari kajian tafsir nas dan pandangan
mazhab fikih. Identifikasi kedua sudut tersebut penting diungkapkan dalam
rangka memahami seberapa jauh langkah kriminalisasi poligami punya keterkaitan
atau tidak dengan doktrin hukum konvensional.
Dalam kajian hukum
jinayah, dilihat dari segi kualitas dan kuantitas sanksi hukum (‘uqb±t),
fuqaha umumnya mengklasifikasikan tindak pidana (jar³mah) kepada tiga
bagian: pertama, jar³mah ¥udd; kedua, jar³mah qi¡±¡-diy±t;
ketiga, jar³mah ta‘z³r. [15]
Berikut ini gambaran umum mengenai ketiga kategori tersebut:
Kategori pertama, ¥udd
(bentuk jamak dari kata ¥ad), adalah jenis hukuman
yang bentuk dan ukurannya telah ditetapkan (oleh syara‘), terkait dengan hak
Allah atau demi kemaslahatan umum. Mengenai bentuk-bentuk tindak pidana yang
dikategorikan sebagai jar³mah ¥udd ada
tujuh macam, yaitu: 1) perzinahan 2) melakukan tuduhan zina 3) mengonsumsi
minuman keras 4) pencurian 5) perampokan 6) pindah agama 7) pemberontakan.[16]
Adapun kategori kedua,
qi¡±¡-diyat,[17]
mencakup tindak pidana: 1) pembunuhan dengan sengaja 2) pembunuhan semi sengaja
3) pembunuhan yang keliru 4) penganiayaan secara sengaja 5) penganiayaan yang
keliru. Bentuk sanksi hukum bagi tindak pidana qi¡±s-diyat, secara
variatif, meliputi: qi¡±s-diyat, kafarat, terhalang dari hak
waris, terhalang dari hak wasiat.[18]
Kategori ketiga adalah
pidana ta‘©³r, suatu tindak pidana berupa perbuatan maksiat atau jahat
yang dikenai sanksi hukuman yang tidak ditentukan oleh syara‘ (non-¥ad
dan non-kaff±rat), baik yang berkaitan dengan hak Allah maupun
hak hamba.[19] Dengan
kata lain hukuman ta‘z³r adalah hukuman yang dijatuhkan pada perbuatan
jinayah selain kedua kategori di atas (jar³mah ¥udd dan jar³mah qi¡±¡-diyat).
Kebijakan pidana ta‘©³r sendiri merupakan otoritas ulul amri
(pemerintah/yudikatif) dimana bentuk sanksi hukumannya pun beragam bisa berupa
pemukulan, penahanan (kurungan/pemenjaraan),
teguran/peringatan, dan bentuk hukuman lainnya sesuai dengan
pertimbangan kontekstual.[20]
Malah sebagian ulama, kalangan Hanafiyah dan Malikiyah, membolehkan penjatuhan
hukuman mati terhadap tindak pidana yang dilakukan berulang kali atau sadis,
homo seksual, pelecehan agama/simbol agama, perbuatan sihir (santet), dan
perbuatan zindiq. Semua langkah hukum ini
diletakkan dalam kerangka siyasah berdasarkan pertimbangan hakim mana
yang dipandang lebih maslahat (tepat).[21]
Sedangkan, kalangan Malikiyah dan Hanabilah juga memasukkan perbuatan spionase
dan bid’ah dalam kategori ta‘z³r
yang dapat dijatuhi hukuman mati.[22]
Adapun mengenai jenis
tindak pidana yang dapat dikenai ancaman hukuman kurungan/penjara, dalam hal
ini, ulama berbeda pendapat. Kalangan Hanafiyah menetapkan hukuman
kurungan/penjara dapat dikenakan pada semua jar³mah ta‘©³r. Sedangkan
jumhur ulama berpendapat bahwa hukuman tersebut tidak berlaku pada semua jar³mah
ta‘©³r. Menurut mereka hanya 8 (delapan)
tindak pidana yang dapat dikenai hukuman kurungan /penjara, yaitu: (1)
percobaan pembunuhan; (2) pelarian diri oleh budak; (3) pengingkaran penunaian
kewajiban; (4) pengakuan palsu atas kebangkrutan; (5) perbuatan maksiat; (5)
keengganan melaksanakan kewajiban sebagai muslim yang tidak dapat diwakilkan;
(7) pengakuan kepemilikan secara paksa; (8) keengganan melakukan kewajiban
ibadah (hak Allah) yang tak dapat diwakilkan.[23]
Dalam hal dapat
diberlakukan tidaknya hukuman denda, para ulama juga berbeda pendapat. Sebagian
ulama tidak membolehkannya dengan alasan hal itu sama dengan pengambilan harta
secara zalim. Sedangkan Abu Yusuf, Imam Malik ibn Anas, Imam Syafi‘i (salah
satu qaul-nya), dan Imam A¥mad ibn ¦anbal membolehkannya berdasarkan
praktik yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan sahabatnya, Khalifah Umar ibn
Kha¯¯±b dan Khalifah Ali ibn Abi Talib.
Sedangkan mengenai
hukuman fisik (berupa pemukulan misalnya) ulama sepakat membolehkannya
berdasarkan praktik yang pernah diterapkan oleh Rasulullah dan Khulafa’
ar-Rasyidin, meskipun dalam hal ketentuan dan batas maksimalnya terdapat
perbedaan pendapat.[24]
Dari uraian di atas
dapat dipahami bahwa poligami, jika dilihat dari kategori dan bentuk hukum pidana Islam di atas, bukanlah termasuk
tindak pidana kategori pertama (¥udd) dan juga tidak termasuk kategori
kedua (qi¡±¡-diyat). Jika demikian, dapat disimpulkan bahwa hanya ada
satu kemungkinan bahwa poligami lebih cenderung diposisikan dan dilihat dalam
wilayah kategori ketiga, yaitu tindak pidana ta‘z³r, dimana peran
politik hukum (siyasah) memerankan peran dominan dalam penentuan kategori dan
bentuknya. Dari sudut tinjauan ini, secara teoritis, dapat dikatakan bahwa
kriminalisasi poligami tetap relevan dengan doktrin hukum Islam konvensional,
khususnya yang terkait dalam wilayah jin±yah. Namun, apakah poligami
dapat dianggap perbuatan maksiat atau
jahat sehingga dapat dijatuhi hukuman ta‘z³r atau tidak? merupakan
pertanyaan yang perlu ditelusuri jawabannya.
Mengenai masalah
poligami, sepanjang penelusuran pustaka oleh penulis, fokus pembicaraan dalam
literatur mazhab fikih pada umumnya sama sekali tidak mempersoalkan kebolehan
poligami. Hal yang diperdebatkan adalah lebih kepada persoalan jumlah maksimal
istri yang boleh dipoligami, sebagai akibat perbedaan dalam memahami ayat
Alquran yang memuat persoalan poligami (S. an-Nisa: 3).[25]
Berbagai ulasan fikih lebih cenderung memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh suami yang ingin berpoligami seperti kemampuan materi dan kewajiban
berlaku adil kepada istri/istri-istri mereka.[26]
Sikap yang relatif sama juga ditunjukkan oleh para mufassir (kalangan klasik
khususnya) ketika memahami pernyataan nas tersebut. Berbagai uraian dalam
masalah ini tampaknya terkait erat dengan pemahaman dan interpretasi mereka
atas sejumlah pernyataan Alquran dan as-Sunnah.
Di dalam Alquran,
surat an-Nisa: 3, dinyatakan:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا
فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ
وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا(3)
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka
nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi
jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja,
atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat
agar kamu tidak berbuat zalim.”
Para
mufasir sepakat bahwa sebab turun ayat
diatas berkaitan dengan perbuatan para wali yang tidak adil terhadap
anak yatim yang berada dalam perlindungan mereka. Ada sejumlah riwayat mengenai
asb±b an-nuzl ayat ini, di antaranya riwayat :
Ab Bakr at-Tam³m³ telah mengabarkan kepada
kami, ‘Abdullah ibn Mu¥ammad telah mengabarkan kepada kami, katanya: Ab Ya¥y±
menceritakan kepada kami, katanya: Sahl ibn ‘U£m±n menceritakan kepada kami,
katanya: Ya¥ya ibn Z±’idah menceritakan kepada kami, dari Hisy±m ibn ‘Urwah,
dari ayahnya, dari ‘²isyah ra. mengenai firman Allah (wa in khiftum alla
tuqsi¯…), ia berkata: Ayat ini diturunkan berkaitan dengan seorang
laki-laki yang menjadi wali seorang anak
yatim perempuan yang memiliki harta sementara tak ada seorang pun yang
melindunginya, ayat ini melarang laki-laki tersebut menikahi anak perempuan
tersebut hanya karena menginginkan hartanya, namun menyengsarakan dan
menyakitinya, sehingga Allah berfirman: “Dan jika kamu khawatir tidak akan
mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi. Allah (dalam
kondisi seperti ini seolah-olah ingin, pen.) mengatakan: Aku tidak
menghalalkannya bagimu karena itu tinggalkanlah (Riwayat Muslim dari Ab³ Kuraib
dari Ab³ Us±mah, dari Hisy±m).[27]
Setelah Allah melarang mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim secara
tidak benar (an-Nisa : 2), bagian berikutnya Allah mengingatkan agar tidak berbuat aniaya terhadap diri (individu)
anak-anak yatim tersebut. Allah menegaskan: Dan jika kamu khawatir tidak akan
dapat berbuat adil terhadap perempuan yatim, di sisi lain kamu merasa cukup
percaya diri dapat berlaku adil terhadap
perempuan-perempuan selain mereka, maka nikahi apa yang kamu senangi sesuai
keinginanmu dan halal dari perempuan-perempuan tersebut, kamu dapat menikahi
mereka dua, tiga, atau empat orang, tapi jangan lebih, dalam waktu bersamaan.
Namun jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (dalam kebutuhan dan
persoalan lahiriah, bukan dalam soal perasaan/cinta) apabila kamu mempunyai
lebih dari seorang istri, maka nikahilah
seorang saja atau nikahilah hamba-hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian
itu (menikahi selain anak yatim yang mengakibatkan ketidakadilan dan
mencukupkan satu orang istri) adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya,
yakni lebih mengantarkan kamu pada keadilan.[28]
Sedangkan hadis yang sering dikemukakan antara lain
adalah:
حدثنا هناد حدثنا عبدة عن سعيد بن أبي عروة , عن معمر,
عن الزهري , عن سالم بن عبد الله , عن ابن عمر : أن غيلان بن سلمة الثقفي أسلم وله
عشرة نسوة في جاهلية , فأسلم معه. فأمره النبي صلى الله
عليه وسلم أن يتخير أربعا منهن .
“Dari Ibn
Umar : bahwa Ghail±n ibn Salamah ketika masuk Islam memiliki 10 orang istri
(yang disuntingnya di saat jahiliyah), maka Nabi saw. memerintahkan kepadanya
agar memilih empat orang di antara mereka sebagai istri.”[29]
Dalam memahami ayat-ayat Alquran yang terkait dengan
poligami, kecuali batasan maksimal jumlah istri yang boleh dipoligami, secara
umum hampir tidak terdapat perbedaan penafsiran di kalangan tradisionalis.
Mayoritas ulama, dengan berdalilkan petunjuk ayat dan hadis di atas serta
praktik generasi salaf menegaskan jumlah maksimal poligami adalah empat orang
istri. Sedangkan sebagian ulama lain (minoritas), juga dengan dasar argumentasi
ayat yang sama (S. an-Nisa ayat 3), antara aliran ar-R±fi«ah (salah satu
sekte Syi‘ah) berpendapat jumlah maksimal adalah sembilan orang istri; pendapat
lain (aliran ahl a§-¨±hir) menyatakan delapan belas istri.[30]
Interpretasi
juga lebih ditekankan kepada seruan berlaku adil terhadap para istri. Hal ini
dimotivasi pesan historis ayat, sebagaimana terlihat dalam asb±b an-nuzl
di atas, yang berbicara mengenai perlakuan zalim terhadap anak-anak yatim
perempuan (obyek eksploitasi) sehingga menghimbau kepada kaum Muslimin (para
suami) untuk berlaku adil kepada mereka, ketika muncul kekhawatiran tidak dapat
berlaku adil maka sepatutnya membatasi nikah hanya dengan seorang istri, atau
dengan hamba sahaya perempuan miliknya.[31]
Tampaknya penafsiran dalam kerangka ini lebih bertendensi pada telaah tekstual,
di samping dukungan historis praktik Rasulullah, para Sahabat dan generasi
setelahnya yang menunjukkan bahwa poligami bukanlah suatu yang dilarang. Dalam
pengertian lain, menurut penafsiran tradisional izin berpoligami mempunyai
kekuatan hukum, sedangkan keharusan untuk berbuat adil kepada para istri,
meskipun sangat penting, terserah kepada kebaikan sang suami (walaupun hukum
Islam tradisional memberikan hak kepada para wanita untuk meminta pertolongan
atau perceraian apabila mereka diperlakukan suami mereka dengan buruk). Dari
sudut normatif, keadilan terhadap para istri yang memiliki posisi lemah ini
tergantung pada kebaikan suami, meskipun pasti akan dilanggar.
Sebaliknya
kalangan modernis cenderung mengedepankan keharusan bersikap adil dan
pernyataan Al-Qur’an bahwa perlakuan adil tersebut adalah mustahil, firman
Allah:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ
النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا
كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا
فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا(129)
“Dan kamu tidak akan dapat berbuat adil di antara
istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” (S. an-Nis±’: 129)
mereka menegaskan bahwa izin
berpoligami itu hanya bersifat tentatif dan untuk tujuan-tujuan tertentu.[32]
Menurut Muhammad Abduh (1849-1905) persoalan
poligami yang terdapat dalam ayat 3 an-Nis±’ berkaitan erat dengan konteks ayat
perihal anak yatim dan larangan memanfaatkan harta mereka meskipun dengan
perantaraan perkawinan. Ketika seseorang
merasa khawatir (akan) mengonsumsi harta anak (perempuan) yatim yang bakal
dinikahinya maka ia wajib tidak menikah dengannya, sebab Allah telah memberi
pilihan untuk menikah dengan perempuan-perempuan lain hingga empat orang. Namun
apabila ia juga khawatir tidak akan mampu berlaku adil kepada para istri
tersebut maka wajib baginya menikah dengan satu orang istri saja.[33]
Adapun ungkapan “fa in khiftum
all± ta‘dil fa w±¥idah” (Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil, maka [nikahilah] seorang saja), Abduh menjelaskan bahwa hal itu
terkait dengan alasan “©±lika adn± all± ta‘l” (Yang demikian itu lebih
dekat agar kamu tidak berbuat zalim), yakni lebih dekat kepada tidak terjadi
perbuatan dosa dan kezaliman. Hal ini memperkuat adanya syarat dan kewajiban
agar berlaku adil. Sikap adil ini sendiri adalah hal yang langka, Adapun adil
yang dimaksud dalam firman Allah dalam ayat 129 di atas (wa lan tasta¯³‘ an
ta‘dil baina an-nis±’ wa lau ¥ara¡tum…) adalah adil dalam hal
kecenderungan hati, yang jelas tak
seorang pun mampu melakukannya.
Berdasarkan dua ayat di atas dapat
dipahami bahwa pembolehan poligami bagi suami dalam ayat tersebut merupakan hal
yang amat dibatasi dengan ketat, sehingga seolah-olah mencapai tingkat darurat,
pembolehannya harus memenuhi syarat bahwa suami harus dipercaya untuk dapat
berlaku adil dan aman dari berbuat dosa (perbuatan menzalimi istri dan atau
anak-anaknya). Abduh menilai
bahwa jika memperhatikan poligami yang cenderung dipraktikkan secara destruktif
pada masa sekarang, dapat dipastikan bahwa tidak seorang pun mampu membina
suatu umat yang menyalahgunakan poligami
secara luas. Sebab rumah tangga yang terdiri dari dua orang istri
cenderung tidak stabil dan sulit terwujud ketenangan. Bahkan suami dan para
istri sebetulnya memberi andil bagi kehancuran rumah tangga tersebut, karena di
antara para istri satu sama lain bermusuhan, demikian pula antara anak-anak
mereka. Bahaya yang ditimbulkan tersebut akan meluas dari lingkungan individu
ke lingkungan keluarga, dari keluarga ke lingkungan masyarakat, selanjutnya
kepada kehidupan bangsa dan negara.[34]
Dengan melihat dampak
buruk yang sering terjadi akibat poligami di Mesir, Abduh menyarankan kepada
ahli hukum di masanya untuk memformulasi hukum yang lebih kontekstual yang
mengacu kepada kemaslahatan dan menepis segala kemudaratan, dengan
memperhatikan kaidah dar’ al-maf±sid muqaddam ‘ala jalb al-ma¡±li¥
sebagai acuan. Ia menyimpulkan bahwa di saat timbul kekhawatiran tidak adanya
keadilan maka hukum poligami adalah haram.[35]
Dalam pada itu muridnya, Muhammad Rasyid Ri«±,
menjelaskan bahwa ayat 3 surat an-Nisa’ juga mengandung pesan agar berlaku adil
dan bersikap hati-hati terhadap perempuan, sebagaimana terhadap anak yatim.
Sebab perlakuan tidak adil terhadap kedua kelompok ini akan merusak tatanan
hidup yang berujung pada kemurkaan Allah. Pemahaman ini terefleksi dari jalinan
beberapa komponen dalam ayat, yakni ungkapan ayat “Dan jika kamu khawatir
tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
menikahinya)” dijawab dengan “maka nikahilah perempuan (lain) yang
kamu senangi” yang selanjutnya diperkuat dengan “Yang
demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” [36]
Rasyid Ri«± menambahkan bahwa
poligami secara alamiah bertentangan dengan tujuan perkawinan, sebab pada
dasarnya perkawinan adalah antara satu orang laki-laki dan satu orang
perempuan. Poligami hanya untuk kondisi darurat, seperti dalam situasi perang,
selain itu juga disertai syarat yang ketat, tidak boleh mengandung unsur dosa
dan ketidakadilan. Ketika poligami menimbulkan lebih banyak mudarat
dibandingkan manfaat, maka para hakim dapat mengharamkan poligami.[37]
Rasyid Rida juga melihat poligami
sebagai persoalan sosial yang penegasan status hukumnya tidaklah sederhana,
akan tetapi perlu pertimbangan multidimensional. Berbagai pertimbangan tersebut
mencakup persoalan watak dan potensi antara laki-laki dan perempuan, dan
bagaimana hubungan keduanya dari sudut perkawinan dan tujuannya. Selain itu
juga terkait dengan keseimbangan jumlah populasi jenis laki-laki dan perempuan,
problem kehidupan rumah tangga dan tanggung jawab laki-laki atas perempuan atau
sebaliknya; atau posisi kemandirian masing-masing. Perlu dikaji pula sudut
sejarah perkembangan manusia khususnya keberadaan laki-laki dengan memiliki
satu pasangan (istri). Hal terakhir yang juga perlu ditinjau adalah bagaimana
konsepsi Alquran mengenai persoalan poligami, apakah poligami merupakan urusan
agama dan sesuatu keharusan atau hanya sekedar rukh¡ah (dispensasi) yang
dibolehkan dalam keadaan darurat disertai dengan sejumlah syarat yang
ketat.
Berpijak dari pertimbangan dan
sudut pandang di atas Rasyid Rida menyimpulkan bahwa pada prinsipnya
kebahagiaan dalam suatu perkawinan dan kehidupan rumah tangga hanya dapat
dibangun oleh suami yang hanya memiliki seorang istri. Konsep inilah yang
semestinya dibangun oleh semua orang dalam bahtera perkawinan mereka. Poligami
sendiri sebetulnya bukanlah potret umum dari kehidupan manusia, ia hanya
dipraktikkan dalam jumlah terbatas oleh sebagian kecil kalangan masyarakat.[38]
Meskipun demikian Rasyid Rida juga
memaklumi bahwa poligami tetap punya sisi positif (maslahat), baik bagi
individu maupun kolektif. Sebagai contoh kasus, pada pasangan yang tidak dikaruniai anak, suami
terpaksa berpoligami karena si istri tidak dapat memberikan keturunan akibat
mandul atau faktor usia lanjut (menopause), atau istri mengalami sakit parah
atau berbagai problem fisik lainnya yang tidak memungkinnya untuk melayani
suami dengan baik, atau berbagai alasan lain yang jika tidak dapat dicarikan
solusinya (poligami) berpotensi besar menjerumuskan suami kepada perbuatan
zina. Sedangkan sisi positif dalam skala kolektif adalah manakala terjadi
ketimpangan jumlah populasi antara perempuan dan laki-laki, seperti kondisi
yang dialami oleh negeri-negeri yang terlibat dalam peperangan dan beberapa
negara Eropa dimana kaum perempuan terpaksa bekerja keras menghidupi keluarga
dan beraktivitas di bidang-bidang pekerjaan yang berat dengan tingkat resiko
yang sangat tinggi mengancam keselamatan mereka. Ironis bahwa pembolehan
poligami ini tak jarang disalahgunakan
sebagian kaum laki-laki (suami) hanya untuk melampiaskan keinginan biologisnya
tanpa memperhatikan upaya realisasi kemaslahatan dalam poligami. Oleh karena
itu, sejatinya rumah tangga ideal adalah monogami, Islam membolehkan poligami
hanyalah sebagai rukhsah (keringanan), bukan anjuran apalagi kewajiban.[39]
Selain itu, pembolehannya pun lebih cenderung dihubungkan pada situasi dan
kondisi darurat yang bernuansa sosiologis.[40]
Melengkapi penjelasannya di atas,
Rasyid Rida sekali lagi menekankan bahwa poligami merupakan penyimpangan dari
prinsip dan idealitas, ia dapat memupus ketenangan jiwa, cinta dan kasih sayang
(sak³nah, mawaddah wa ra¥mah) yang merupakan pondasi dan pilar hidup
berumah tangga. Tidak ada perbedaan antara perkawinan pasangan suami istri yang
tidak membangun pondasi-pondasi luhur
tersebut dan pasangan yang berorientasi kepuasan biologis semata. Oleh karena itu sepatutnya seorang
Muslim menghindari poligami kecuali karena kondisi darurat yang disertai
keyakinan mampu berlaku adil, lebih dari sekedar meraih sak³nah, mawaddah wa
ra¥mah.[41]
Pendapat dari sudut yang lain
namun tetap senafas dengan dua tokoh di atas dikemukakan oleh Qasim Amin
(1865-1908), ia membenarkan bahwa ayat 3 surat an-Nisa itu sepintas
mengisyaratkan kebolehan poligami, namun sebenarnya sekaligus tersirat ancaman
bagi pelaku poligami. Pada hakikatnya seorang suami yang akan berpoligami sudah
tahu bahwa dirinya sebenarnya tidak mampu berlaku adil. Jadi sebelum
melakukannya, ia sudah diliputi perasaan takut (khawatir). Oleh karena itu
kebolehan poligami hanya ditujukan bagi orang-orang tertentu yang sangat yakin
bahwa dirinya tidak akan terjerumus dalam prilaku tidak adil, dan yang tahu
persis tentang hal ini hanya Tuhan dan dirinya sendiri.[42]
Sementara Ahmad Mustafa al-Maragi
(w. 1952) berpendapat bahwa kebolehan yang disebut pada surat an-Nis±’ :3
tersebut merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya,
poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat, yang hanya bisa dilakukan
oleh orang-orang yang benar membutuhkan. Poligami, katanya, hanya dapat
dilakukan jika dalam kondisi sebagai berikut: pertama, istrinya terbukti mandul
sementara pasangan suami-istri ini
sangat menginginkan keturunan; kedua, suami memiliki libido seks yang sangat
tinggi, sementara istri tidak sanggup melayaninya; ketiga, suami memiliki
kekayaan yang mampu menopang segala kebutuhan istri dan anak-anaknya; keempat,
kuantitas wanita lebih banyak dibandingkan pria akibat peperangan, sehingga
banyak anak yatim dan janda yang perlu dilindungi. Seperti halnya Abduh, dalam
persoalan ini al-Maragi juga mengacu kepada kaidah fiqhiyyah dar’
al-Maf±sid muqaddam ‘ala jalb al-ma¡±li¥ di atas.[43]
Mengenai pengertian adil pada ayat 129 surat an-Nis±’, menurut al-Maragi yang
dimaksud di sini adalah yang sesuai dengan kemampuan manusia, seperti
dalam hal memberi fasilitas sandang,
pangan, dan tempat tinggal, sedangkan dalam hal cinta (kecenderungan hati) maka
hal itu di luar kemampuan manusia.[44]
Berdasarkan pendekatan fikih dan
perspektif tafsir (tradisionalis) di atas tampak jelas bahwa poligami adalah
hal yang legal menurut doktrin hukum Islam konvensional, oleh karena itu
pelarangan dan kriminalisasi terhadap poligami merupakan deviasi dari ketentuan
doktrin “Syariah”. Namun apa yang dikemukakan oleh sejumlah mufasir modern di
atas tersirat urgensi upaya formulasi hukum yang dapat mempersulit praktik
poligami dan mencegah efek negatif dari penyalahgunaan poligami dalam
masyarakat. Interpretasi seperti inilah yang kelihatan turut mengilhami sejumlah
negeri Muslim untuk memberlakukan aturan ketat bahkan keras terhadap praktik
poligami di dalam Undang-Undang mereka.
[19] Wahbah az-Zuhail³, op.
cit., hlm. 5591.
[20] Ibid., hlm, 5592.
[21] Ibid., hlm. 5594.
[22]Ibid.
[23]Ibid., hlm. 5592-5593.
[26] Ibid., Jld. IV, hlm. 221;
Wahbah az-Zuhaili, op.cit., hlm. 6669-6670.
[27] Riwayat lain berasal dari
Sa‘³d ibn Jubair, Qat±dah, ar-Rab³‘, a«-¬a¥¥±k, dan as-Sud±, bahwa para wali
tersebut menginginkan harta anak-anak yatim, mereka juga menikahi wanita manapun yang mereka inginkan,
adakalanya mereka berlaku adil; adakalanya tidak, tatkala mereka mempertanyakan
soal anak-anak yatim tersebut maka turun ayat al-yat±m± : wa ²tu
al-yat±m± amw±lahum…, dan ayat : wa in khiftum all± tuqsi¯ f³
al-yat±m±…, Allah (seakan-akan hendak, pen.) menegaskan: Sebagaimana
kekhawatiranmu tidak akan mampu berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka kamu juga
semestinya khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan, oleh
karena itu janganlah kamu nikahi
perempuan melebihi dari kesanggupanmu memenuhi hak-hak mereka, karena
para perempuan itu keadaannya sama dengan para yatim yang lemah dan tak
memiliki kekuatan. Demikian pendapat Ibn ‘Abb±s dalam riwayat al-W±¥id³, Asb±b
an-Nuzl, D±r
al-¦arm li at-Tur±£, Kairo, 1996, hlm. 101.
[28] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. II, Lentera Hati, Jakarta , 2000, hlm. 321.
[29] Lihat hadis no. 1131 (Kit±b
an-Nik±¥) dalam at-Tirmi©³, Sunan at-Tirmi©³, juz II, D±r al-Fikr, Beirut , 1994, hlm. 368;
hadis no. 2240 (Kit±b a¯-°al±q) dalam Ab³ D±wud, Sunan Ab³
D±wud, juz I,
D±r al-Fikr, 1994, hlm. 515.
[30] Lihat argumentasi mereka
dalam al-Qur¯b³, al-J±mi‘ li A¥k±m al-Qur’±n, juz V, t.p.,
Kairo, t.t., hlm. 17.
[31] Lihat antara
lain Mu¥ammad Ibn Jar³r a¯-°ab±r³, J±mi‘
al-Bay±n ‘an Ta’w³l ²yi al-Qur’±n, juz III, D±r al-Fikr, Beirut,
1988, hlm. 236-237; az-Zajj±j, Ma‘±n³
al-Qur’±n wa I’r±buhu, juz II, ²lam al-Kutub, Beirut , 1988, hlm. 8-10; al-Ja¡¡±¡, A¥k±m al-Qur’±n, juz II, D±r al-Fir, Beirut , 1993, hlm.
77-82.; al-Qur¯b³, op. cit. hlm. 12. Dalam pada itu patut
dicatat bahwa sedikit berbeda dengan kebanyakan ulama tradisionalis,
az-Zamakhsar³ (467-538 H.) cenderung memberi tekanan (perintah) lebih tegas
agar membatasi pada seorang istri saja jika peluang keadilan lebih dapat
direalisasikan. Lihat az-Zamakhsyar³, juz I, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut , 1995, hlm. 458; Sedangkan Ibn al-‘Arabi (468–543 H.)
bahkan menegaskan bahwa berlaku adil kepada para istri adalah wajib, lihat Ibn
al-‘Arab³, A¥k±m al-Qur‘±n, Jld. I, D±r
al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut ,
1988, hlm. 409.
.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
‘Audah, ‘Abd al-Q±dir, at-Tasyr³‘ al-Jin±’³ al-Islam³ Muq±ranan bi al-Q±nn al-Wa«‘³, Mu’assat ar-Ris±lah, Beirut, 1997.
A. Jawad, Haifaa, The Right of
Women in Islam: An Authentic Approach, St. Martin’s Press, Inc., New York, 1998.
Ab³ D±wud, Sunan Ab³ D±wud, juz I, D±r al-Fikr, 1994.
Amin, Qasim, Ta¥r³r
al-Mar’ah, D±r al-Ma‘±rif, Tunisia, t.t.
Anderson, James Norman Dalrymple
(J.N.D), Islamic
law in the Modern World, Edisi
Indonesia: Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress,
Surabaya.
_______________ , “The
Tunisian Law of Personal Status”, dalam International and Comparative Law
Quarterly, 7 April 1985.
Anderson, Norman, Law Reform in the Muslim World, The Athlone Press, London, 1976.
Buxbaum, David C. (Ed.), Family Law and
Customary Law in Asia: a Contemporary Legal Perspective, Martinus Nijhoff, The Haque, 1968
Dahlan, Abdul Aziz (Ed.), Ensiklopedi
Hukum Islam, jld. IV, Ichtiar Baru van
Houve, Jakarta, 1997.
Esposito, John L. (Ed.), The Oxford
Encyclopaedia of the Modern Islamic World, Oxford University Press, Oxford, 1991.
Gupta, Kiran, “Polygamy Law
Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and
Comparative Law, vol XVIII, No. 2 Thaun 1992.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Ibn al-‘Arab³, A¥k±m al-Qur‘±n, Jld. I, D±r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, Beirut, 1988,
Ibn Rusyd, Bid±yat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqta¡id, juz II, D±r al-Fikr, Beirut, 1995.
al-Jaz³r³, ‘Abdurra¥man, Kit±b al-Fiqh
‘ala al-Ma©±hib al-Arba‘ah, jld.
V, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999.
al-Ja¡¡±¡, A¥k±m al-Qur’±n, juz II, D±r al-Fir, Beirut,
1993.
Kartanegara, Satochid, Dasar-Dasar
Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung,
1990.
0 komentar:
Posting Komentar