Senin, 20 Mei 2013

Kriminalisasi Praktik Poligami: Identifikasi Istilah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kriminalisasi berarti proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.[1] Dengan demikian kriminalisasi praktik poligami di sini dipahami sebagai sikap yang mengategorikan praktik/perbuatan poligami sebagai sebuah tindak pidana (crime), yang diancam dengan bentuk pidana tertentu, baik pidana kurungan maupun pidana denda.[2]
                  Adapun istilah poligami berasal dari bahasa Latin polygamia (poly dan gamia)[3] atau gabungan kata bahasa Yunani poly dan gamy dari akar kata polus (banyak)[4] dan gamos (kawin).[5] Jadi secara harfiyah poligami berarti perkawinan dalam jumlah banyak. Sedangkan secara terminologi poligami adalah suatu praktik atau kondisi (perkawinan) lebih dari satu istri, suami, pasangan, yang dilakukan pada satu waktu (bersamaan).[6]  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami didefinisikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.[7]
                  Jika menilik definisi poligami di atas, tampak tidak ada perbedaan istilah antara perkawinan yang dilakukan oleh pria (suami) atau wanita (istri), apabila dilakukan lebih dari satu pasangan dan dilakukan pada saat bersamaan (masih dalam ikatan perkawinan dengan pasangan lain), maka praktik tersebut masuk dalam cakupan terminologi poligami. Namun di kalangan umum, istilah ini justeru sering dibatasi wilayah penggunaannya khusus bagi perkawinan jamak yang dilakukan seorang pria (suami). Padahal bentuk perkawinan yang terakhir disebut ini secara terminologi dikenal dengan istilah poligini. Jika ia dilakukan oleh wanita maka disebut dengan istilah poliandri.[8] Dalam The Encyclopedia Americana disebutkan:[9]
“Poligamy is a form of poligamy in which one male is married to more than one female. Poliandry is a form of poligamy in which one female is married to more than one male.”   
           
              Lawan kata poligami adalah monogami, berasal dari bahasa Latin monogamia, atau paduan kata dari bahasa Yunani, mono dan gamy,[10] yang berakar dari kata monos (satu, tunggal, sendirian)[11] dan gamos (perkawinan).[12] Secara simpel monogami dapat diartikan dengan perkawinan tunggal (hanya ada satu ikatan perkawinan). Sedangkan secara terminologi, monogami memiliki dua pengertian:[13]
a.      Suatu kebiasaan atau kondisi dari perkawinan yang dilakukan hanya pada satu orang (pasangan) pada satu waktu.
b.   Suatu keadaan dimana perkawinan satu pasangan berlangsung bagi  seumur hidup. 
              Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah monogami telah mengalami penyempitan cakupan. Dalam hal ini monogami diartikan sebagai sistem yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu. Untuk pengertian yang relatif sama juga digunakan istilah lain, yakni monogini.[14]
              Khusus dalam tulisan ini, penulis masih tetap menggunakan istilah poligami dan monogami sebagai acuan. “Ketidaktepatan” dalam penggunaan istilah poligami dan monogami  sebagaimana dikemukakan di atas untuk sementara dikesampingkan, beralih kepada istilah yang “terlanjur” lebih populer dikenal.  

D. Kriminalisasi Praktik Poligami dalam Perspektif Doktrin Hukum Islam Konvensional
              Pembahasan mengenai kriminalisasi poligami dilihat dari sudut doktrin hukum konvensional setidaknya memerlukan dua segi tinjauan: pertama, konsep kriminalisasi; kedua, status hukum poligami. Segi yang pertama diarahkan pada kajian hukum jinayat (pidana Islam), sementara segi yang kedua ditinjau dari kajian tafsir nas dan pandangan mazhab fikih. Identifikasi kedua sudut tersebut penting diungkapkan dalam rangka memahami seberapa jauh langkah kriminalisasi poligami punya keterkaitan atau tidak dengan doktrin hukum konvensional.
              Dalam kajian hukum jinayah, dilihat dari segi kualitas dan kuantitas sanksi hukum (‘uq­b±t), fuqaha umumnya mengklasifikasikan tindak pidana (jar³mah) kepada tiga bagian: pertama, jar³mah ¥ud­d; kedua, jar³mah qi¡±¡-diy±t; ketiga, jar³mah ta‘z³r. [15] Berikut ini gambaran umum mengenai ketiga kategori tersebut:
              Kategori pertama, ¥ud­d (bentuk jamak dari kata ¥ad), adalah jenis hukuman yang bentuk dan ukurannya telah ditetapkan (oleh syara‘), terkait dengan hak Allah atau demi kemaslahatan umum. Mengenai bentuk-bentuk tindak pidana yang dikategorikan sebagai  jar³mah ¥ud­d ada tujuh macam, yaitu: 1) perzinahan 2) melakukan tuduhan zina 3) mengonsumsi minuman keras 4) pencurian 5) perampokan 6) pindah agama 7) pemberontakan.[16] 
              Adapun kategori kedua, qi¡±¡-diyat,[17] mencakup tindak pidana: 1) pembunuhan dengan sengaja 2) pembunuhan semi sengaja 3) pembunuhan yang keliru 4) penganiayaan secara sengaja 5) penganiayaan yang keliru. Bentuk sanksi hukum bagi tindak pidana qi¡±s-diyat, secara variatif, meliputi: qi¡±s-diyat, kafarat, terhalang dari hak waris, terhalang dari hak wasiat.[18] 
              Kategori ketiga adalah pidana ta‘©³r, suatu tindak pidana berupa perbuatan maksiat atau jahat yang dikenai sanksi hukuman yang tidak ditentukan oleh syara‘ (non-¥ad dan non-kaff±rat), baik yang berkaitan dengan hak Allah maupun hak hamba.[19] Dengan kata lain hukuman ta‘z³r adalah hukuman yang dijatuhkan pada perbuatan jinayah selain kedua kategori di atas (jar³mah ¥ud­d dan jar³mah qi¡±¡-diyat). Kebijakan pidana ta‘©³r sendiri merupakan otoritas ulul amri (pemerintah/yudikatif) dimana bentuk sanksi hukumannya pun beragam bisa berupa pemukulan, penahanan (kurungan/pemenjaraan),  teguran/peringatan, dan bentuk hukuman lainnya sesuai dengan pertimbangan kontekstual.[20] Malah sebagian ulama, kalangan Hanafiyah dan Malikiyah, membolehkan penjatuhan hukuman mati terhadap tindak pidana yang dilakukan berulang kali atau sadis, homo seksual, pelecehan agama/simbol agama, perbuatan sihir (santet), dan perbuatan zindiq. Semua langkah hukum ini  diletakkan dalam kerangka siyasah berdasarkan pertimbangan hakim mana yang dipandang lebih maslahat (tepat).[21] Sedangkan, kalangan Malikiyah dan Hanabilah juga memasukkan perbuatan spionase dan  bid’ah dalam kategori ta‘z³r yang dapat dijatuhi hukuman mati.[22]
              Adapun mengenai jenis tindak pidana yang dapat dikenai ancaman hukuman kurungan/penjara, dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Kalangan Hanafiyah menetapkan hukuman kurungan/penjara dapat dikenakan pada semua jar³mah ta‘©³r. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa hukuman tersebut tidak berlaku pada semua jar³mah ta‘©³r.  Menurut mereka hanya 8 (delapan) tindak pidana yang dapat dikenai hukuman kurungan /penjara, yaitu: (1) percobaan pembunuhan; (2) pelarian diri oleh budak; (3) pengingkaran penunaian kewajiban; (4) pengakuan palsu atas kebangkrutan; (5) perbuatan maksiat; (5) keengganan melaksanakan kewajiban sebagai muslim yang tidak dapat diwakilkan; (7) pengakuan kepemilikan secara paksa; (8) keengganan melakukan kewajiban ibadah (hak Allah) yang tak dapat diwakilkan.[23]
              Dalam hal dapat diberlakukan tidaknya hukuman denda, para ulama juga berbeda pendapat. Sebagian ulama tidak membolehkannya dengan alasan hal itu sama dengan pengambilan harta secara zalim. Sedangkan Abu Yusuf, Imam Malik ibn Anas, Imam Syafi‘i (salah satu qaul-nya), dan Imam A¥mad ibn ¦anbal membolehkannya berdasarkan praktik yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan sahabatnya, Khalifah Umar ibn Kha¯¯±b dan Khalifah Ali ibn Abi Talib. 
              Sedangkan mengenai hukuman fisik (berupa pemukulan misalnya) ulama sepakat membolehkannya berdasarkan praktik yang pernah diterapkan oleh Rasulullah dan Khulafa’ ar-Rasyidin, meskipun dalam hal ketentuan dan batas maksimalnya terdapat perbedaan pendapat.[24] 
              Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa poligami, jika dilihat dari kategori dan bentuk  hukum pidana Islam di atas, bukanlah termasuk tindak pidana kategori pertama (¥ud­d) dan juga tidak termasuk kategori kedua (qi¡±¡-diyat). Jika demikian, dapat disimpulkan bahwa hanya ada satu kemungkinan bahwa poligami lebih cenderung diposisikan dan dilihat dalam wilayah kategori ketiga, yaitu tindak pidana ta‘z³r, dimana peran politik hukum (siyasah) memerankan peran dominan dalam penentuan kategori dan bentuknya. Dari sudut tinjauan ini, secara teoritis, dapat dikatakan bahwa kriminalisasi poligami tetap relevan dengan doktrin hukum Islam konvensional, khususnya yang terkait dalam wilayah jin±yah. Namun, apakah poligami dapat dianggap perbuatan   maksiat atau jahat sehingga dapat dijatuhi hukuman ta‘z³r atau tidak? merupakan pertanyaan yang perlu ditelusuri jawabannya.
              Mengenai masalah poligami, sepanjang penelusuran pustaka oleh penulis, fokus pembicaraan dalam literatur mazhab fikih pada umumnya sama sekali tidak mempersoalkan kebolehan poligami. Hal yang diperdebatkan adalah lebih kepada persoalan jumlah maksimal istri yang boleh dipoligami, sebagai akibat perbedaan dalam memahami ayat Alquran yang memuat persoalan poligami (S. an-Nisa: 3).[25] Berbagai ulasan fikih lebih cenderung memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suami yang ingin berpoligami seperti kemampuan materi dan kewajiban berlaku adil kepada istri/istri-istri mereka.[26] Sikap yang relatif sama juga ditunjukkan oleh para mufassir (kalangan klasik khususnya) ketika memahami pernyataan nas tersebut. Berbagai uraian dalam masalah ini tampaknya terkait erat dengan pemahaman dan interpretasi mereka atas sejumlah pernyataan Alquran dan as-Sunnah. 
              Di dalam Alquran, surat an-Nisa: 3, dinyatakan:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا(3)

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
        Para mufasir sepakat bahwa sebab turun ayat  diatas berkaitan dengan perbuatan para wali yang tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perlindungan mereka. Ada sejumlah riwayat mengenai asb±b an-nuz­l ayat ini, di antaranya riwayat :
         Ab­ Bakr at-Tam³m³ telah mengabarkan kepada kami, ‘Abdullah ibn Mu¥ammad telah mengabarkan kepada kami, katanya: Ab­ Ya¥y± menceritakan kepada kami, katanya: Sahl ibn ‘U£m±n menceritakan kepada kami, katanya: Ya¥ya ibn Z±’idah menceritakan kepada kami, dari Hisy±m ibn ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘²isyah ra. mengenai firman Allah (wa in khiftum alla tuqsi¯­…), ia berkata: Ayat ini diturunkan berkaitan dengan seorang laki-laki yang menjadi wali  seorang anak yatim perempuan yang memiliki harta sementara tak ada seorang pun yang melindunginya, ayat ini melarang laki-laki tersebut menikahi anak perempuan tersebut hanya karena menginginkan hartanya, namun menyengsarakan dan menyakitinya, sehingga Allah berfirman: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi. Allah (dalam kondisi seperti ini seolah-olah ingin, pen.) mengatakan: Aku tidak menghalalkannya bagimu karena itu tinggalkanlah (Riwayat Muslim dari Ab³ Kuraib dari Ab³ Us±mah, dari Hisy±m).[27]     
        Setelah Allah melarang mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim secara tidak benar (an-Nisa : 2), bagian berikutnya Allah mengingatkan agar  tidak berbuat aniaya terhadap diri (individu) anak-anak yatim tersebut. Allah menegaskan: Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berbuat adil terhadap perempuan yatim, di sisi lain kamu merasa cukup percaya diri dapat  berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain mereka, maka nikahi apa yang kamu senangi sesuai keinginanmu dan halal dari perempuan-perempuan tersebut, kamu dapat menikahi mereka dua, tiga, atau empat orang, tapi jangan lebih, dalam waktu bersamaan. Namun jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (dalam kebutuhan dan persoalan lahiriah, bukan dalam soal perasaan/cinta) apabila kamu mempunyai lebih dari seorang istri,  maka nikahilah seorang saja atau nikahilah hamba-hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian itu (menikahi selain anak yatim yang mengakibatkan ketidakadilan dan mencukupkan satu orang istri) adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya, yakni lebih mengantarkan kamu pada keadilan.[28]       
              Sedangkan hadis yang sering dikemukakan antara lain adalah:

حدثنا هناد حدثنا عبدة عن سعيد بن أبي عروة , عن معمر, عن الزهري , عن سالم بن عبد الله , عن ابن عمر : أن غيلان بن سلمة الثقفي أسلم وله عشرة  نسوة  في جاهلية , فأسلم معه. فأمره النبي صلى الله عليه وسلم أن يتخير أربعا منهن .


“Dari Ibn Umar : bahwa Ghail±n ibn Salamah ketika masuk Islam memiliki 10 orang istri (yang disuntingnya di saat jahiliyah), maka Nabi saw. memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang di antara mereka sebagai istri.”[29]   

              Dalam memahami ayat-ayat Alquran yang terkait dengan poligami, kecuali batasan maksimal jumlah istri yang boleh dipoligami, secara umum hampir tidak terdapat perbedaan penafsiran di kalangan tradisionalis. Mayoritas ulama, dengan berdalilkan petunjuk ayat dan hadis di atas serta praktik generasi salaf menegaskan jumlah maksimal poligami adalah empat orang istri. Sedangkan sebagian ulama lain (minoritas), juga dengan dasar argumentasi ayat yang sama (S. an-Nisa ayat 3), antara aliran ar-R±fi«ah (salah satu sekte Syi‘ah) berpendapat jumlah maksimal adalah sembilan orang istri; pendapat lain (aliran ahl a§-¨±hir) menyatakan delapan belas istri.[30]
              Interpretasi juga lebih ditekankan kepada seruan berlaku adil terhadap para istri. Hal ini dimotivasi pesan historis ayat, sebagaimana terlihat dalam asb±b an-nuz­l di atas, yang berbicara mengenai perlakuan zalim terhadap anak-anak yatim perempuan (obyek eksploitasi) sehingga menghimbau kepada kaum Muslimin (para suami) untuk berlaku adil kepada mereka, ketika muncul kekhawatiran tidak dapat berlaku adil maka sepatutnya membatasi nikah hanya dengan seorang istri, atau dengan hamba sahaya perempuan miliknya.[31] Tampaknya penafsiran dalam kerangka ini lebih bertendensi pada telaah tekstual, di samping dukungan historis praktik Rasulullah, para Sahabat dan generasi setelahnya yang menunjukkan bahwa poligami bukanlah suatu yang dilarang. Dalam pengertian lain, menurut penafsiran tradisional izin berpoligami mempunyai kekuatan hukum, sedangkan keharusan untuk berbuat adil kepada para istri, meskipun sangat penting, terserah kepada kebaikan sang suami (walaupun hukum Islam tradisional memberikan hak kepada para wanita untuk meminta pertolongan atau perceraian apabila mereka diperlakukan suami mereka dengan buruk). Dari sudut normatif, keadilan terhadap para istri yang memiliki posisi lemah ini tergantung pada kebaikan suami, meskipun pasti akan dilanggar.
              Sebaliknya kalangan modernis cenderung mengedepankan keharusan bersikap adil dan pernyataan Al-Qur’an bahwa perlakuan adil tersebut adalah mustahil, firman Allah:
             
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا
فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا(129)
“Dan kamu tidak akan dapat berbuat adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (S. an-Nis±’: 129)

 mereka menegaskan bahwa izin berpoligami itu hanya bersifat tentatif dan untuk tujuan-tujuan tertentu.[32]
              Menurut Muhammad Abduh (1849-1905) persoalan poligami yang terdapat dalam ayat 3 an-Nis±’ berkaitan erat dengan konteks ayat perihal anak yatim dan larangan memanfaatkan harta mereka meskipun dengan perantaraan perkawinan. Ketika  seseorang merasa khawatir (akan) mengonsumsi harta anak (perempuan) yatim yang bakal dinikahinya maka ia wajib tidak menikah dengannya, sebab Allah telah memberi pilihan untuk menikah dengan perempuan-perempuan lain hingga empat orang. Namun apabila ia juga khawatir tidak akan mampu berlaku adil kepada para istri tersebut maka wajib baginya menikah dengan satu orang istri saja.[33] 
              Adapun ungkapan “fa in khiftum all± ta‘dil­ fa w±¥idah” (Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka [nikahilah] seorang saja), Abduh menjelaskan bahwa hal itu terkait dengan alasan “©±lika adn± all± ta‘­l­” (Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim), yakni lebih dekat kepada tidak terjadi perbuatan dosa dan kezaliman. Hal ini memperkuat adanya syarat dan kewajiban agar berlaku adil. Sikap adil ini sendiri adalah hal yang langka, Adapun adil yang dimaksud dalam firman Allah dalam ayat 129 di atas (wa lan tasta¯³‘­ an ta‘dil­ baina an-nis±’ wa lau ¥ara¡tum…) adalah adil dalam hal kecenderungan hati, yang  jelas tak seorang pun mampu melakukannya.
              Berdasarkan dua ayat di atas dapat dipahami bahwa pembolehan poligami bagi suami dalam ayat tersebut merupakan hal yang amat dibatasi dengan ketat, sehingga seolah-olah mencapai tingkat darurat, pembolehannya harus memenuhi syarat bahwa suami harus dipercaya untuk dapat berlaku adil dan aman dari berbuat dosa (perbuatan menzalimi istri dan atau anak-anaknya). Abduh menilai bahwa jika memperhatikan poligami yang cenderung dipraktikkan secara destruktif pada masa sekarang, dapat dipastikan bahwa tidak seorang pun mampu membina suatu umat yang menyalahgunakan poligami  secara luas. Sebab rumah tangga yang terdiri dari dua orang istri cenderung tidak stabil dan sulit terwujud ketenangan. Bahkan suami dan para istri sebetulnya memberi andil bagi kehancuran rumah tangga tersebut, karena di antara para istri satu sama lain bermusuhan, demikian pula antara anak-anak mereka. Bahaya yang ditimbulkan tersebut akan meluas dari lingkungan individu ke lingkungan keluarga, dari keluarga ke lingkungan masyarakat, selanjutnya kepada kehidupan bangsa dan negara.[34]
              Dengan melihat dampak buruk yang sering terjadi akibat poligami di Mesir, Abduh menyarankan kepada ahli hukum di masanya untuk memformulasi hukum yang lebih kontekstual yang mengacu kepada kemaslahatan dan menepis segala kemudaratan, dengan memperhatikan kaidah dar’ al-maf±sid muqaddam ‘ala jalb al-ma¡±li¥ sebagai acuan. Ia menyimpulkan bahwa di saat timbul kekhawatiran tidak adanya keadilan maka hukum poligami adalah haram.[35]        
              Dalam pada itu muridnya, Muhammad Rasyid Ri«±, menjelaskan bahwa ayat 3 surat an-Nisa’ juga mengandung pesan agar berlaku adil dan bersikap hati-hati terhadap perempuan, sebagaimana terhadap anak yatim. Sebab perlakuan tidak adil terhadap kedua kelompok ini akan merusak tatanan hidup yang berujung pada kemurkaan Allah. Pemahaman ini terefleksi dari jalinan beberapa komponen dalam ayat, yakni ungkapan ayat “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya)” dijawab dengan “maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi” yang selanjutnya diperkuat dengan “Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” [36] 
              Rasyid Ri«± menambahkan bahwa poligami secara alamiah bertentangan dengan tujuan perkawinan, sebab pada dasarnya perkawinan adalah antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan. Poligami hanya untuk kondisi darurat, seperti dalam situasi perang, selain itu juga disertai syarat yang ketat, tidak boleh mengandung unsur dosa dan ketidakadilan. Ketika poligami menimbulkan lebih banyak mudarat dibandingkan manfaat, maka para hakim dapat mengharamkan poligami.[37]
              Rasyid Rida juga melihat poligami sebagai persoalan sosial yang penegasan status hukumnya tidaklah sederhana, akan tetapi perlu pertimbangan multidimensional. Berbagai pertimbangan tersebut mencakup persoalan watak dan potensi antara laki-laki dan perempuan, dan bagaimana hubungan keduanya dari sudut perkawinan dan tujuannya. Selain itu juga terkait dengan keseimbangan jumlah populasi jenis laki-laki dan perempuan, problem kehidupan rumah tangga dan tanggung jawab laki-laki atas perempuan atau sebaliknya; atau posisi kemandirian masing-masing. Perlu dikaji pula sudut sejarah perkembangan manusia khususnya keberadaan laki-laki dengan memiliki satu pasangan (istri). Hal terakhir yang juga perlu ditinjau adalah bagaimana konsepsi Alquran mengenai persoalan poligami, apakah poligami merupakan urusan agama dan sesuatu keharusan atau hanya sekedar rukh¡ah (dispensasi) yang dibolehkan dalam keadaan darurat disertai dengan sejumlah syarat yang ketat.  
              Berpijak dari pertimbangan dan sudut pandang di atas Rasyid Rida menyimpulkan bahwa pada prinsipnya kebahagiaan dalam suatu perkawinan dan kehidupan rumah tangga hanya dapat dibangun oleh suami yang hanya memiliki seorang istri. Konsep inilah yang semestinya dibangun oleh semua orang dalam bahtera perkawinan mereka. Poligami sendiri sebetulnya bukanlah potret umum dari kehidupan manusia, ia hanya dipraktikkan dalam jumlah terbatas oleh sebagian kecil kalangan masyarakat.[38]     
              Meskipun demikian Rasyid Rida juga memaklumi bahwa poligami tetap punya sisi positif (maslahat), baik bagi individu maupun kolektif. Sebagai contoh kasus, pada  pasangan yang tidak dikaruniai anak, suami terpaksa berpoligami karena si istri tidak dapat memberikan keturunan akibat mandul atau faktor usia lanjut (menopause), atau istri mengalami sakit parah atau berbagai problem fisik lainnya yang tidak memungkinnya untuk melayani suami dengan baik, atau berbagai alasan lain yang jika tidak dapat dicarikan solusinya (poligami) berpotensi besar menjerumuskan suami kepada perbuatan zina. Sedangkan sisi positif dalam skala kolektif adalah manakala terjadi ketimpangan jumlah populasi antara perempuan dan laki-laki, seperti kondisi yang dialami oleh negeri-negeri yang terlibat dalam peperangan dan beberapa negara Eropa dimana kaum perempuan terpaksa bekerja keras menghidupi keluarga dan beraktivitas di bidang-bidang pekerjaan yang berat dengan tingkat resiko yang sangat tinggi mengancam keselamatan mereka. Ironis bahwa pembolehan poligami ini tak jarang  disalahgunakan sebagian kaum laki-laki (suami) hanya untuk melampiaskan keinginan biologisnya tanpa memperhatikan upaya realisasi kemaslahatan dalam poligami. Oleh karena itu, sejatinya rumah tangga ideal adalah monogami, Islam membolehkan poligami hanyalah sebagai rukhsah (keringanan), bukan anjuran apalagi kewajiban.[39] Selain itu, pembolehannya pun lebih cenderung dihubungkan pada situasi dan kondisi darurat yang bernuansa sosiologis.[40]
              Melengkapi penjelasannya di atas, Rasyid Rida sekali lagi menekankan bahwa poligami merupakan penyimpangan dari prinsip dan idealitas, ia dapat memupus ketenangan jiwa, cinta dan kasih sayang (sak³nah, mawaddah wa ra¥mah) yang merupakan pondasi dan pilar hidup berumah tangga. Tidak ada perbedaan antara perkawinan pasangan suami istri yang tidak membangun pondasi-pondasi luhur  tersebut dan pasangan yang berorientasi kepuasan biologis  semata. Oleh karena itu sepatutnya seorang Muslim menghindari poligami kecuali karena kondisi darurat yang disertai keyakinan mampu berlaku adil, lebih dari sekedar meraih sak³nah, mawaddah wa ra¥mah.[41]      
              Pendapat dari sudut yang lain namun tetap senafas dengan dua tokoh di atas dikemukakan oleh Qasim Amin (1865-1908), ia membenarkan bahwa ayat 3 surat an-Nisa itu sepintas mengisyaratkan kebolehan poligami, namun sebenarnya sekaligus tersirat ancaman bagi pelaku poligami. Pada hakikatnya seorang suami yang akan berpoligami sudah tahu bahwa dirinya sebenarnya tidak mampu berlaku adil. Jadi sebelum melakukannya, ia sudah diliputi perasaan takut (khawatir). Oleh karena itu kebolehan poligami hanya ditujukan bagi orang-orang tertentu yang sangat yakin bahwa dirinya tidak akan terjerumus dalam prilaku tidak adil, dan yang tahu persis tentang hal ini hanya Tuhan dan dirinya sendiri.[42]
              Sementara Ahmad Mustafa al-Maragi (w. 1952) berpendapat bahwa kebolehan yang disebut pada surat an-Nis±’ :3 tersebut merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya, poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang benar membutuhkan. Poligami, katanya, hanya dapat dilakukan jika dalam kondisi sebagai berikut: pertama, istrinya terbukti mandul sementara pasangan  suami-istri ini sangat menginginkan keturunan; kedua, suami memiliki libido seks yang sangat tinggi, sementara istri tidak sanggup melayaninya; ketiga, suami memiliki kekayaan yang mampu menopang segala kebutuhan istri dan anak-anaknya; keempat, kuantitas wanita lebih banyak dibandingkan pria akibat peperangan, sehingga banyak anak yatim dan janda yang perlu dilindungi. Seperti halnya Abduh, dalam persoalan ini al-Maragi juga mengacu kepada kaidah fiqhiyyah dar’ al-Maf±sid muqaddam ‘ala jalb al-ma¡±li¥ di atas.[43] Mengenai pengertian adil pada ayat 129 surat an-Nis±’, menurut al-Maragi yang dimaksud di sini adalah yang sesuai dengan kemampuan manusia, seperti dalam  hal memberi fasilitas sandang, pangan, dan tempat tinggal, sedangkan dalam hal cinta (kecenderungan hati) maka hal itu di luar kemampuan manusia.[44]
              Berdasarkan pendekatan fikih dan perspektif tafsir (tradisionalis) di atas tampak jelas bahwa poligami adalah hal yang legal menurut doktrin hukum Islam konvensional, oleh karena itu pelarangan dan kriminalisasi terhadap poligami merupakan deviasi dari ketentuan doktrin “Syariah”. Namun apa yang dikemukakan oleh sejumlah mufasir modern di atas tersirat urgensi upaya formulasi hukum yang dapat mempersulit praktik poligami dan mencegah efek negatif dari penyalahgunaan poligami dalam masyarakat. Interpretasi seperti inilah yang kelihatan turut mengilhami sejumlah negeri Muslim untuk memberlakukan aturan ketat bahkan keras terhadap praktik poligami di dalam Undang-Undang mereka.























[19] Wahbah az-Zuhail³, op. cit., hlm. 5591.
[20] Ibid., hlm, 5592.
[21] Ibid., hlm. 5594.
[22]Ibid.
[23]Ibid., hlm. 5592-5593.


[26] Ibid., Jld. IV, hlm. 221; Wahbah az-Zuhaili, op.cit., hlm. 6669-6670.
[27] Riwayat lain berasal dari Sa‘³d ibn Jubair, Qat±dah, ar-Rab³‘, a«-¬a¥¥±k, dan as-Sud±, bahwa para wali tersebut menginginkan harta anak-anak yatim, mereka juga menikahi  wanita manapun yang mereka inginkan, adakalanya mereka berlaku adil; adakalanya tidak, tatkala mereka mempertanyakan soal anak-anak yatim tersebut maka turun ayat al-yat±m± : wa ²tu al-yat±m± amw±lahum…, dan ayat : wa in khiftum all± tuqsi¯­ f³ al-yat±m±…, Allah (seakan-akan hendak, pen.) menegaskan: Sebagaimana kekhawatiranmu tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka kamu juga semestinya khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan, oleh karena itu janganlah kamu nikahi  perempuan melebihi dari kesanggupanmu memenuhi hak-hak mereka, karena para perempuan itu keadaannya sama dengan para yatim yang lemah dan tak memiliki kekuatan. Demikian pendapat Ibn ‘Abb±s dalam riwayat al-W±¥id³, Asb±b an-Nuz­l, D±r al-¦arm li at-Tur±£, Kairo, 1996, hlm. 101. 
[28] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. II, Lentera Hati, Jakarta, 2000, hlm. 321.
[29] Lihat hadis no. 1131 (Kit±b an-Nik±¥) dalam at-Tirmi©³, Sunan at-Tirmi©³, juz II, D±r al-Fikr, Beirut, 1994, hlm. 368; hadis no. 2240 (Kit±b a¯-°al±q) dalam Ab³ D±wud, Sunan Ab³ D±wud, juz I, D±r al-Fikr, 1994, hlm. 515.
[30] Lihat argumentasi mereka dalam al-Qur¯­b³, al-J±mi‘ li A¥k±m al-Qur’±n, juz V, t.p., Kairo, t.t., hlm. 17.
[31] Lihat antara lain Mu¥ammad Ibn Jar³r a¯-°ab±r³, J±mi‘ al-Bay±n ‘an Ta’w³l ²yi al-Qur’±n, juz III, D±r al-Fikr, Beirut, 1988, hlm. 236-237; az-Zajj±j, Ma‘±n³ al-Qur’±n wa I’r±buhu, juz II, ²lam al-Kutub, Beirut, 1988, hlm. 8-10; al-Ja¡¡±¡, A¥k±m al-Qur’±n, juz II, D±r al-Fir, Beirut, 1993, hlm. 77-82.;  al-Qur¯­b³, op. cit. hlm. 12. Dalam pada itu patut dicatat bahwa sedikit berbeda dengan kebanyakan ulama tradisionalis, az-Zamakhsar³ (467-538 H.) cenderung memberi tekanan (perintah) lebih tegas agar membatasi pada seorang istri saja jika peluang keadilan lebih dapat direalisasikan. Lihat az-Zamakhsyar³, juz I, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1995, hlm. 458; Sedangkan Ibn al-‘Arabi (468–543 H.) bahkan menegaskan bahwa berlaku adil kepada para istri adalah wajib, lihat Ibn al-‘Arab³, A¥k±m al-Qur‘±n, Jld. I, D±r al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut, 1988, hlm. 409.
.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

‘Audah, ‘Abd al-Q±dir, at-Tasyr³‘ al-Jin±’³ al-Islam³ Muq±ranan bi al-Q±n­n al-Wa«‘³, Mu’assat ar-Ris±lah, Beirut, 1997.

A. Jawad, Haifaa, The Right of Women in Islam: An Authentic Approach, St. Martin’s Press, Inc., New York, 1998.
Ab³ D±wud, Sunan Ab³ D±wud, juz I, D±r al-Fikr, 1994.
Amin, Qasim, Ta¥r³r al-Mar’ah, D±r al-Ma‘±rif, Tunisia, t.t.
Anderson, James Norman Dalrymple (J.N.D), Islamic law in the Modern World, Edisi Indonesia: Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress, Surabaya.
_______________ , “The Tunisian Law of Personal Status”, dalam International and Comparative Law Quarterly, 7 April 1985. 
Anderson, Norman, Law Reform in the Muslim World, The Athlone Press, London, 1976.
Buxbaum, David C. (Ed.), Family Law and Customary Law in Asia: a Contemporary Legal Perspective, Martinus Nijhoff, The Haque, 1968
Dahlan, Abdul Aziz (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jld. IV, Ichtiar Baru van Houve, Jakarta, 1997.
Esposito, John L. (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, Oxford University Press, Oxford, 1991. 
Gupta, Kiran, “Polygamy Law Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and Comparative Law, vol XVIII, No. 2 Thaun 1992.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Ibn al-‘Arab³, A¥k±m al-Qur‘±n, Jld. I, D±r al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut, 1988,
Ibn Rusyd, Bid±yat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqta¡id, juz II, D±r al-Fikr, Beirut, 1995.
al-Jaz³r³, ‘Abdurra¥man, Kit±b al-Fiqh ‘ala al-Ma©±hib al-Arba‘ah, jld. V, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999.
al-Ja¡¡±¡, A¥k±m al-Qur’±n, juz II, D±r al-Fir, Beirut, 1993.
Kartanegara, Satochid, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1990.   












0 komentar:

Posting Komentar