Senin, 20 Mei 2013


HUKUM KEDOKTERAN DALAM PIDANA

     Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, dalam perkembangan selanjutnya timbul permasalahan tanggung jawab pidana seorang dokter, khususnya yang menyangkut dengan kelalaian, hal mana dilandaskan pada teori-teori kesalahan dalam hukum pidana.
     Tanggung jawab pidana di sini timbul bila pertama-tama dapat dibuktikan adanya kesalahan profesional, misalnya kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan dalam cara-cara pengobatan atau perawatan.
     Dari segi hukum, kesalahan / kelalaian akan selalu berkait dengan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat menginsafi makna yang senyatanya dari perbuatannya, dapat menginsafi perbuatannya itu tidak dipandang patut dalam pergaulan masyarakat dan mampu untuk menentukan niat / kehendaknya dalam melakukan perbuatan tersebut.
      Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal malpractice apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu : Perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah yaitu berupa kesengajaan, kecerobohan atau kelapaan.
      Kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dapat terjadi di bidang hukum pidana, diatur antara lain dalam : Pasal 263, 267, 294 ayat (2), 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 351, 359, 360, 361, 531 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
      Ada perbedaan penting antara tindak pidana biasa dengan ‘tindak pidana medis’. Pada tindak pidana biasa yang terutama diperhatikan adalah ‘akibatnya’, sedangkan pada tindak pidana medis adalah ‘penyebabnya’. Walaupun berakibat fatal, tetapi jika tidak ada unsur kelalaian atau kesalahan maka dokternya tidak dapat dipersalahkan.
      Beberapa contoh dari criminal malpractice yang berupa kesengajaan adalah melakukan aborsi tanpa indikasi medis, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan seseorang yang dalam keadaan emergency, melakukan eutanasia, menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar, membuat visum et repertum yang tidak benar dan memberikan keterangan yang tidak benar di sidang pengadilan dalam kapasitas sebagai ahli.
      Dalam literatur hukum kedokteran negara Anglo-Saxon antara lain dari Taylor14 dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum apabila dia sudah memenuhi syarat 4 – D, yaitu : Duty (Kewajiban), Derelictions of That Duty (Penyimpangan kewajiban), Damage (Kerugian), Direct Causal Relationship (Berkaitan langsung)
      Duty atau kewajiban bisa berdasarkan perjanjian (ius contractu) atau menurut undang-undang (ius delicto). Juga adalah  kewajiban dokter untuk bekerja berdasarkan standar profesi. Kini adalah kewajiban dokter pula untuk memperoleh informed consent, dalam arti wajib memberikan informasi yang cukup dan mengerti sebelum mengambil tindakannya. Informasi itu mencakup antara lain : risiko yang melekat pada tindakan, kemungkinan timbul efek sampingan, alternatif  lain jika ada, apa akibat jika tidak dilakukan dan sebagainya. Peraturan tentang persetujuan tindakan medis (informed consent) sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI  No. 585 Tahun 1989.
      Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari standar profesi medis (Dereliction of The Duty) adalah sesuatu yang didasarkan atas fakta-fakta secara kasuistis yang harus dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi ahli. Namun sering kali pasien mencampuradukkan antara akibat dan kelalaian. Bahwa timbul akibat negatif atau keadaan pasien yang tidak bertambah baik belum membuktikan adanya kelalaian. Kelalaian itu harus dibuktikan dengan jelas. Harus dibuktikan dahulu bahwa dokter itu telah melakukan ‘breach of duty’.
      Damage berarti kerugian yang diderita pasien itu harus berwujud dalam bentuk fisik, finansial, emosional atau berbagai kategori kerugian lainnya, di dalam kepustakaan dibedakan : Kerugian umum (general damages) termasuk kehilangan pendapatan yang akan diterima, kesakitan dan penderitaan dan kerugian khusus (special damages) kerugian finansial nyata yang harus dikeluarkan, seperti biaya pengobatan, gaji yang tidak diterima.
      Sebaliknya jika tidak ada kerugian, maka juga tidak ada penggantian kerugian. Direct causal relationship berarti bahwa harus ada kaitan kausal antara tindakan yang dilakukan dengan kerugian yang diderita. 

Hukum Dokter dalam Bidang Administrasi

     Dikatakan pelanggaran administrative malpractice jika dokter melanggar hukum tata usaaha negara. Contoh tindakan dokter yang dikategorikan sebagai administrative malpractice adalah menjalankan praktek tanpa ijin, melakukan tindakan medis yang tidak sesuai dengan ijin yang dimiliki, melakukan praktek dengan menggunakan ijin yang sudah daluwarsa dan tidak membuat rekam medis.
     Menurut peraturan yang berlaku, seseorang yang telah lulus dan diwisuda sebagai dokter tidak secara otomatis boleh melakukan pekerjaan dokter. Ia harus lebih dahulu mengurus lisensi agar memperoleh kewenangan, dimana tiap-tiap jenis lisensi  memerlukan basic science dan mempunyai kewenangan sendiri-sendiri. Tidak dibenarkan melakukan tindakan medis yang melampaui batas kewenangan yang telah ditentukan. Meskipun seorang dokter ahli kandungan mampu melakukan operasi amandel namun lisensinya tidak membenarkan dilakukan tindakan medis tersebut. Jika ketentuan tersebut dilanggar maka dokter dapat dianggap telah melakukan administrative malpractice dan dapat dikenai sanksi administratif, misalnya berupa pembekuan lisensi untuk sementara waktu.
      Pasal 11 Undang-Undang No. 6 Tahun 1963, sanksi administratif dapat dijatuhkan terhadap dokter yang melalaikan kewajiban,  melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang dokter, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai dokter, mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh dokter dan melanggar ketentuan menurut atau berdasarkan Undang-Undang  No. 6 Tahun 1963. 

Daftar Pustaka
Arras, John & Hans, Robert. 1983. Ethical Issues In Modern Medicine. Mayfield Publising Company, USA.
Bertens, K.  2001. Dokumen Etika dan Hukum Kedokteran. Universitas Atmajaya , Jakarta.
Dahlan, Sofwan. 2000. Hukum Kesehatan. Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter. BP UNDIP, Semarang.
Dupuis, Heleen, M. Tengker , F. 1990 . Apa Yang Laik Bagi Dokter Dan Pasien. Nova, Bandung.
Gunawan. 1991. Memahami Etika Kedokteran. Kanisius, Yogyakarta.
Guwandi, J. Tanpa tahun. Dokter Dan Hukum. Monella , Jakarta.
_________. 1991. Dokter dan Rumah Sakit. FK UI, Jakarta.
_________. 1993. Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk Medik. FK UI, Jakarta.
_________. 1996. Dokter, Pasien dan Hukum. FK UI, Jakarta.
_________. 2002. Hospital Law (Emerging Doctrines & Jurisprudence). FK UI, Jakarta.
Hanafiah, M Yusuf & Amir, Amri. 1987. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan EGC, Jakarta.
Hart, H.L.A. 1972. The Concept of Law. Clarendon Press Oxford, London.
Iskandar, Dalmy. 1998. Hukum Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan. Sinar Grafika, Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar