HUKUM KEDOKTERAN DALAM PIDANA
Seiring
dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, dalam perkembangan
selanjutnya timbul permasalahan tanggung jawab pidana seorang dokter, khususnya
yang menyangkut dengan kelalaian, hal mana dilandaskan pada teori-teori
kesalahan dalam hukum pidana.
Tanggung
jawab pidana di sini timbul bila pertama-tama dapat dibuktikan adanya kesalahan
profesional, misalnya kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan dalam cara-cara
pengobatan atau perawatan.
Dari
segi hukum, kesalahan / kelalaian akan selalu berkait dengan sifat melawan
hukumnya suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat menginsafi makna yang
senyatanya dari perbuatannya, dapat menginsafi perbuatannya itu tidak dipandang
patut dalam pergaulan masyarakat dan mampu untuk menentukan niat / kehendaknya
dalam melakukan perbuatan tersebut.
Suatu
perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal malpractice apabila
memenuhi rumusan delik pidana yaitu : Perbuatan tersebut harus merupakan
perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah yaitu berupa
kesengajaan, kecerobohan atau kelapaan.
Kesalahan
atau kelalaian tenaga kesehatan dapat terjadi di bidang hukum pidana, diatur
antara lain dalam : Pasal 263, 267, 294 ayat (2), 299, 304, 322, 344, 347, 348,
349, 351, 359, 360, 361, 531 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ada
perbedaan penting antara tindak pidana biasa dengan ‘tindak pidana medis’. Pada
tindak pidana biasa yang terutama diperhatikan adalah ‘akibatnya’, sedangkan
pada tindak pidana medis adalah ‘penyebabnya’. Walaupun berakibat fatal, tetapi
jika tidak ada unsur kelalaian atau kesalahan maka dokternya tidak dapat
dipersalahkan.
Beberapa
contoh dari criminal malpractice yang berupa kesengajaan adalah
melakukan aborsi tanpa indikasi medis, membocorkan rahasia kedokteran, tidak
melakukan pertolongan seseorang yang dalam keadaan emergency, melakukan eutanasia,
menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar, membuat visum et
repertum yang tidak benar dan memberikan keterangan yang tidak benar di
sidang pengadilan dalam kapasitas sebagai ahli.
Dalam
literatur hukum kedokteran negara Anglo-Saxon antara lain dari Taylor14
dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut
hukum apabila dia sudah memenuhi syarat 4 – D, yaitu : Duty (Kewajiban),
Derelictions of That Duty (Penyimpangan kewajiban), Damage
(Kerugian), Direct Causal Relationship (Berkaitan langsung)
Duty
atau kewajiban bisa berdasarkan perjanjian (ius contractu) atau menurut
undang-undang (ius delicto). Juga adalah kewajiban dokter untuk
bekerja berdasarkan standar profesi. Kini adalah kewajiban dokter pula untuk
memperoleh informed consent, dalam arti wajib memberikan informasi yang
cukup dan mengerti sebelum mengambil tindakannya. Informasi itu mencakup antara
lain : risiko yang melekat pada tindakan, kemungkinan timbul efek sampingan,
alternatif lain jika ada, apa akibat jika tidak dilakukan dan sebagainya.
Peraturan tentang persetujuan tindakan medis (informed consent) sudah
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585 Tahun 1989.
Penentuan
bahwa adanya penyimpangan dari standar profesi medis (Dereliction of The
Duty) adalah sesuatu yang didasarkan atas fakta-fakta secara kasuistis yang
harus dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi ahli. Namun sering kali pasien
mencampuradukkan antara akibat dan kelalaian. Bahwa timbul akibat negatif atau
keadaan pasien yang tidak bertambah baik belum membuktikan adanya kelalaian.
Kelalaian itu harus dibuktikan dengan jelas. Harus dibuktikan dahulu bahwa
dokter itu telah melakukan ‘breach of duty’.
Damage
berarti kerugian yang diderita pasien itu harus berwujud dalam bentuk fisik,
finansial, emosional atau berbagai kategori kerugian lainnya, di dalam
kepustakaan dibedakan : Kerugian umum (general damages) termasuk
kehilangan pendapatan yang akan diterima, kesakitan dan penderitaan dan
kerugian khusus (special damages) kerugian finansial nyata yang harus
dikeluarkan, seperti biaya pengobatan, gaji yang tidak diterima.
Sebaliknya
jika tidak ada kerugian, maka juga tidak ada penggantian kerugian. Direct
causal relationship berarti bahwa harus ada kaitan kausal antara tindakan
yang dilakukan dengan kerugian yang diderita.
Hukum Dokter dalam Bidang Administrasi
Dikatakan
pelanggaran administrative malpractice jika dokter melanggar hukum tata
usaaha negara. Contoh tindakan dokter yang dikategorikan sebagai administrative
malpractice adalah menjalankan praktek tanpa ijin, melakukan tindakan medis
yang tidak sesuai dengan ijin yang dimiliki, melakukan praktek dengan menggunakan
ijin yang sudah daluwarsa dan tidak membuat rekam medis.
Menurut
peraturan yang berlaku, seseorang yang telah lulus dan diwisuda sebagai dokter
tidak secara otomatis boleh melakukan pekerjaan dokter. Ia harus lebih dahulu
mengurus lisensi agar memperoleh kewenangan, dimana tiap-tiap jenis
lisensi memerlukan basic science dan mempunyai kewenangan
sendiri-sendiri. Tidak dibenarkan melakukan tindakan medis yang melampaui batas
kewenangan yang telah ditentukan. Meskipun seorang dokter ahli kandungan mampu
melakukan operasi amandel namun lisensinya tidak membenarkan dilakukan tindakan
medis tersebut. Jika ketentuan tersebut dilanggar maka dokter dapat dianggap
telah melakukan administrative malpractice dan dapat dikenai sanksi
administratif, misalnya berupa pembekuan lisensi untuk sementara waktu.
Pasal
11 Undang-Undang No. 6 Tahun 1963, sanksi administratif dapat dijatuhkan
terhadap dokter yang melalaikan kewajiban, melakukan suatu hal yang
seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang dokter, baik mengingat sumpah
jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai dokter, mengabaikan sesuatu yang
seharusnya dilakukan oleh dokter dan melanggar ketentuan menurut atau
berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1963.
Daftar Pustaka
Arras, John & Hans, Robert. 1983.
Ethical Issues In Modern Medicine. Mayfield Publising Company, USA.
Bertens, K. 2001. Dokumen
Etika dan Hukum Kedokteran. Universitas Atmajaya , Jakarta.
Dahlan, Sofwan. 2000. Hukum
Kesehatan. Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter. BP UNDIP, Semarang.
Dupuis, Heleen, M. Tengker , F. 1990
. Apa Yang Laik Bagi Dokter Dan Pasien. Nova, Bandung.
Gunawan. 1991. Memahami Etika
Kedokteran. Kanisius, Yogyakarta.
Guwandi, J. Tanpa tahun. Dokter
Dan Hukum. Monella , Jakarta.
_________. 1991. Dokter dan Rumah
Sakit. FK UI, Jakarta.
_________. 1993. Tindakan Medik
dan Tanggung Jawab Produk Medik. FK UI, Jakarta.
_________. 1996. Dokter, Pasien
dan Hukum. FK UI, Jakarta.
_________. 2002. Hospital Law
(Emerging Doctrines & Jurisprudence). FK UI, Jakarta.
Hanafiah, M Yusuf & Amir, Amri.
1987. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan EGC, Jakarta.
Hart, H.L.A. 1972. The Concept of
Law. Clarendon Press Oxford, London.
Iskandar, Dalmy. 1998. Hukum Rumah
Sakit dan Tenaga Kesehatan. Sinar Grafika, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar