Jumat, 10 Mei 2013

A.     Permasalahan Substansial dan Sistematika Substansial UU No. 5 tahun 1999

1.       Kesalahan Pemahaman tentang Kategorisasi  Tindakan Anti-Persaingan
Pada hakekatnya tindakan anti-persaingan usaha (sehat) terdiri dari 2 (dua) kategorisasi atau jenis:
a.       Tindakan anti persaingan yang berdimensi persekongkolan (kartel) atau kesepakatan jahat di antara para pelaku usaha yang bersaing untuk menyatukan atau mengkonsentrasikan kekuatan di pasar bersangkutan untuk melakukan pengaturan (tata cara) kegiatan di antara mereka baik terkait dengan harga, wilayah, produksi baik kualitas maupun out put yang dapat memaksimalkan keuntungan di antara mereka, thus mengeksploitasi konsumen dan atau pelaku usaha lain yang memiliki keterkaitan jenjang produksi atau kegiatan usaha secara vertikal baik yang berfungsi sebagai penyedia input maupun konsumen antara. Tindakan-tindakan yang masuk dalam lingkup kategorisasi ini antara lain price fixing, market or customer allocation, restrain on production (quota system), bid rigging (collusive tendering), group boycott, dan lain-lain. Sebagai catatan, tindakan anti persaingan yang berdimensi persekongkolan (kartel) ini hanya akan efektif membahayakan pasar bila dilakukan oleh sekumpulan pelaku usaha yang gabungan pangsa pasarnya menghasilkan posisi dominan.

b.      Tindakan anti persaingan yang berdimensi penyalahgunaan posisi dominan baik dilakukan oleh pelaku usaha secara sendiri maupun bersama pelaku usaha terafiliasi yang memiliki keterkaitan jenjang produksi atau kegiatan usaha secara veritikal (vertical integration) dengan tujuan untuk mengeksploitasi konsumen dan atau dan atau pelaku usaha lain yang memiliki keterkaitan jenjang produksi atau kegiatan usaha secara vertikal baik yang berfungsi sebagai penyedia input maupun konsumen antara dan atau menyinkirkan pelaku usaha yang menjadi pesaing dari pelaku usaha yang terafiliasi dengannya. Tindakan-tindakan anti persaingan yang berdimensi penyalahgunaan posisi dominan adalah perlakuan diskriminatif, resale price maintenance, refusal to deal, dan lain-lain. Sebagai catatan, bahwa teknis penentuan atau identifikasi posisi dominan di pasar bersangkutan sangat amat crucial dan menjadi unsur pertama dan utama di dalam proses pembuktian tindakan anti persaingan ini. Tanpa bukti yang kuat atas kepemilikan posisi dominan maka dugaan tindakan anti persaingan ini menjadi kehilangan argumenasi utamanya. Penentuan posisi dominan yang dilakukan berdasarkan besaran prosentase kepemilikan pangsa pasar secara rigid misalnya “lebih besar dari 50% (lima puluh prosen)” pada hakekatnya telah menafikan kemungkinan kepemilikan posisi dominan yang meskipun tidak lebih besar dari 50% namun pada faktanya sangat efektif di dalam melakukan tindakan penyalahgunaan posisi dominan. Oleh karenanya penetapan parameter kepemilikan posisi dominan tersebut perlu dikoreksi dengan menyerahkan parameter tersebut secara kasus per kasus dengan menggunakan metode perhitungan ekonomi yang lebih justified.

2.      Sumber-Sumber Hukum Persaingan Usaha di Indonesia

Setelah diundangkan pada 5 Maret 1999, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999) mulai diberlakukan satu tahun kemudian. Meskipun UU No. 5/1999 bukan merupakan peraturan atau kaedah hukum pertama yang mengatur mengenai aspek hukum persaingan usaha di Indonesia, tetapi UU No. 5/1999 telah menjadi tonggak sejarah penegakan hukum persaingan usaha secara terintegrasi dalam suatu produk hukum yang khusus dalam bingkai sistem hukum di Indonesia yang diharapkan dapat diterapkan dengan  efektif serta mendukung peningkatan efisiensi perekonomian nasional demi pembangunan nasional yang berkesinambungan.

Selanjutnya, dalam rangka menjalankan perintah Pasal 30 ayat (1) UU No. 5/1999, dibentuklah sebuah lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah dan pihak lain untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5/1999 yang dikenal dengan nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia atau disingkat KPPU. KPPU dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 75 tahun 1999 (“Keppres No. 75/1999”). Namun demikian, baru pada tahun 2000, lembaga ini memiliki anggota yang diangkat oleh dan bertanggung-jawab kepada Presiden. Adapun tugas dan wewenang KPPU diatur lebih lanjut dalam Pasal 35 dan Pasal 36 UU No. 5/1999.

Sebagaimana disebutkan di atas, sebenarnya UU No. 5/1999 bukan merupakan peraturan atau produk hukum pertama yang mengatur mengenai aspek hukum persaingan usaha di Indonesia. Sebelum diundangkannya UU No. 5/1999 telah ada produk hukum atau perundang-undangan lain yang mengatur hal tersebut, antara lain:
a.       Pasal 382 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah, bila perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkuran-konkurennya atau konkuren-konkuren orang lain itu.

b.      Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

c.       Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
-         Pasal 7
Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri, untuk:
1)      Mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil guna;
2)      Mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur;
3)      Mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.
-         Pasal 9
Pengaturan dan pembinaan bidang usaha industri dilakukan dengan memperhatikan:
2)   penciptaan iklim yang sehat bagi pertumbuhan industri dan pencegahan persaingan yang tidak jujur antara perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan industri, agar dapat dihindarkan pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat;

d.      Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
(1)   Perbuatan hukum penggabung, peleburan, dan pengambilalihan perseroan harus memperhatikan:
a.       kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas dan karyawan perseroan; dan
b.       kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam usaha.
(2)   Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan tidak mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga yang wajar.

3.      Kesalahan Sistematika dan Pengulangan Substansial UU No. 5 tahun 1999

Di dalam UU No. 5/1999 didapati sistematika substansi praktek anti-persaingan yang terbagi menjadi 3 (tiga) bab, yaitu “Perjanjian yang Dilarang” (Bab III), “Kegiatan yang Dilarang” (Bab IV) dan “(Penyalahgunaan) Posisi Dominan (Bab V). Pada bab tentang “perjanjian yang dilarang”, UU No. 5/1999 memasukkan di dalamnya antar lain praktek perjanjian diskriminasi harga dan praktek perjanjian penetapan harga jual kembali di samping praktek penetapan harga antar pesaing, pembagian wilayah dan kartel. Sedangkan dalam bab tentang “kegiatan yang dilarang”, UU No. 5/1999 memasukan di dalamnya monopoli, monopsoni, penguasaan pasar melalui, salah satunya, praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu, jual rugi dan persekongkolan. Terakhir, dalam bab tentang “(penyalahgunaan) posisi dominan”, UU No. 5/1999 memasukan di dalamnya praktek jabatan rangkap, pemilikan saham, dan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.

Sistematika ini berbeda dengan sistematika yang umumnya dikenal (best practices) dan diadopsi negara-negara lain ataupun Model Hukum Persaingan Usaha (Model Law on Competition), sebagaimana yang disusun oleh United Nations Conference on Trande and Development (UNCTAD)[1]. Sebagai contoh, UNCTAD Model Law on Competition membagi praktek yang dilarang dalam 3 (tiga) bagian, yaitu “perjanjian yang dilarang” (Bab III tentang Perjanjian atau Pengaturan yang Menghambat), “penyalahgunaan posisi dominan” (Bab IV tentang Tindakan atau Perilaku yang Menunjukan Penyalahgunaan Posisi Dominan atas Kekuatan Pasar) dan “pengendalian merger” (Bab VI tentang Notifikasi, Penyelidikan, dan Larangan Merger yang Mempengaruhi Pasar yang Sudah Terkonsentrasi). Perjanjian yang dilarang umumnya mencakup praktek kartel atau perjanjian antar pesaing, pembagian wilayah, persekongkolan tender, dan kuota. Penyalahgunaan posisi dominan mencakup praktek diskriminasi, jual rugi, dan praktek penetapan harga jual kembali. Sedangkan pengendalian merger mencakup integrasi vertikal, praktek jabatan rangkap, dan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.

Pada dasarnya, setiap negara bebas untuk menetapkan ataupun mengatur hukum maaupun sistematikanya berdasarkan pertimbangan kebutuhan ataupun karakteristik dari negara yang bersangkutan. Meskipun demikian, tentu saja kebebasan tersebut perlu tetap mengacu kepada prinsip ataupun asas umum (best practices) yang berlaku, baik dari aspek ilmu hukum maupun ilmu ekonomi[2] demi efektivitas dan manfaat dari keberlakuan peraturan hukum persaingan usaha itu sendiri. Dalam kaitannya dengan hukum persaingan usaha, asas atau prinsip yang berlaku dalam bidang ekonomi merupakan asas atau prinsip yang sangat penting dan tidak bisa dilepaskan ataupun dikesampingkan keberlakuannya. Hal ini karena hukum persaingan usaha pada dasarnya mengatur mengenai praktek atau kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya yang dianggap sebagai praktek monopolisasi atau praktek yang anti-persaingan. Banyak konsep dan terminologi ilmu ekonomi yang sering digunakan dalam pembahasan mengenai hukum persaingan, misalnya struktur pasar, hambatan masuk atau keluar pasar, harga, biaya, skala ekonomi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, penyusunan dan pengaturan substansial termasuk sistematika dari hukum persaingan usaha seharusnya tetap memperhatikan dan sejalan dengan prinsip ataupun asas yang berlaku umum dalam ilmu ekonomi dan praktek umum yang berlaku di banyak negara yang telah menerapkan hukum persaingan usaha[3].

Sebagai contoh, praktek diskriminasi dalam UU No. 5/1999 diatur dalam Pasal 6[4] (yang termasuk dalam Bab III tentang Perjanjian yang Dilarang) dan Pasal 19[5] (yanng termasuk dalam Bab IV tentang Kegiatan yang Dilarang). Kedua pasal tersebut tidak menyebutkan mengenai adanya kepemilikan posisi dominan sebagai dasar untuk melarang praktek diskriminasi. Padahal, tanpa adanya kekuatan pasar atau posisi dominan, maka praktek diskriminasi tidak akan membahayakan pasar bersangkutan atau setidaknya merupakan kebijakan usaha yang mungkin hanya akan merugikan dirinya sendiri. Konsumen yang merasa dirugikan dengan praktek diskriminasi yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak dominan dapat berpindah kepada pelaku usaha lain yang menyediakan produksi substitusi yang pada akhirnya justru akan menghancurkan pelaku usaha yang melakukan praktek diskriminasi itu sendiri. Sehingga tanpa harus dihukum oleh otoritas pengawas persaingan usaha, maka pasar sendiri yang akan menghukumnya.

Sementara pengaturan atau penerapan pasal tentang larangan diskriminasi yang diadopsi dalam UNCTAD Model Law on Competition mengaitkannya dengan kepemilikan posisi dominan. UNCTAD Model Law on Competition mengatur mengenai praktek diskriminasi dalam Bab IV tentang Tindakan atau Perilaku yang Menunjukan Penyalahgunaan Posisi Dominan atas Kekuatan Pasar. Praktek penerapan harga yang berbeda untuk penjualan yang berbeda syarat dan kondisinya misalnya berbeda dalam kuantitas item pembeliannya atau perhitungan atas perbedaan resiko ekonomi dalam transaksi terkait tidak bertentangan dengan prinsip atau asas ilmu ekonomi. Justru pemberian harga yang sama untuk semua penjualan tanpa mempertimbangkan perbedaan syarat dan kondisi penjualannya merupakan praktek yang mengarah kepada praktek persaingan usaha yang tidak sehat[6]. Sehingga yang semestinya dilarang adalah hanya pembedaan harga untuk transaksi yang sama tanpa alasan ekonomi yang wajar dan proporsional oleh pelaku usaha yang dominan karena kebijakan harga itulah yang mengarah kepada praktek persaingan usaha yang tidak sehat.

Tambahan lagi, dengan sistematika UU No. 5/1999 yang ada maka untuk setiap perjanjian yang melatar-belakangi suatu tindakan anti-persaingan sehat belum tentu dapat dibatalkan karena tindakan anti-persaingannya terkait termasuk di dalam Bab III tentang perjanjian yang dilarang. Hal ini tentunya menjadi kendala dalam penghentian suatu tindakan anti-persaingan usaha yang sehat yang diakibatkan oleh suatu perjanjian yang anti-persaingan yang sehat. Memang dalam satu kasusnya KPPU, untuk menghentikan tindakan monopolisasi yang dilatarbelakangi oleh suatu perjanjian, maka KPPU tidak dapat membatalkan perjanjian karena monopoli tidak berada pada Bab III tentang perjanjian yang dilarang dan untuk itu KPPU menyatakan perjanjian terkait batal demi hukum karena tindakan (monopolisiasi)-nya dinyatakan melanggar hukum[7].


[1] UNCTAD adalah suatu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang khusus mengurus mengenai perdagangan antar negara anggota PBB. UNCTAD menyusun sebuah model atau standar hukum persaingan yang dikenal dengan nama UNCTAD Model Law on Competition.
[2] Kaitan antara ilmu atau teori ekonomi dan hukum persaingan dapat dilihat dan dipelajari salah satunya melalui buku Josef Drexl, Laurence Idot, dan Joel Moneger, Economic Theory and Competition Law, 2009.
[3] Kesesuaian konsep dan pengaturan hukum persaingan usaha antar negara akan menjadi semakin penting sejalan dengan makin luasnya penerapan pasar bebas antar negara yang mengharuskan adanya kondisi persaingan yang sehat yang didukung oleh hukum persaingan yang harmonis antar yurisdiksi.
[4] Pasal 6 UU No. 5/1999 berbunyi “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
[5] Pasal 19 UU No. 5/1999 berbunyi “pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa … melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu”.
[6] M. Nawir Messi, 2003; Lisan kepada penulis.
[7] Bandingkan dengan UNCTAD Model Law on Competition yang menggunakan istilah “unjustifiably differentiated” yang merujuk kepada praktek diskriminasi.

0 komentar:

Posting Komentar