1.
Posisi
Hukum Persaingan Usaha dalam Pembidangan Hukum Konvensional
Kekhasan yang sangat menonjol
dari hukum persaingan usaha dalam kerangka hukum ekonomi adalah kondisi
karakteristik substansialnya yang melingkupi seluruh aspek dari bidang-bidang
hukum yang selama ini dikenal (hukum perdata dan hukum publik) di dalam sistem
hukum nasional. Untuk itu layak dicermati pendapat pakar hukum di bawah ini.
Sri
Redjeki Hartono[1]
berpendapat bahwa luasnya bidang kajian hukum ekonomi membuatnya mampu
mengakomodasi dua aspek hukum sekaligus sebagai suatu kajian yang komprehensif.
Dua aspek hukum itu meliputi aspek hukum publik maupun aspek hukum perdata.
Oleh karenanya hukum ekonomi dapat mengandung berbagai aspek hukum yang
bersumber dari kedua aspek hukum tersebut yang dapat digambarkan sebagai
berikut:
Oleh karenanya, dapat
disimpulkan bahwa memang hukum persaingan usaha sebagai bagian dari hukum
ekonomi memiliki dimensi baik hukum publik dan hukum perdata (privat). Atas
dasar itu, maka hukum persaingan usaha dalam konteks pembidangan hukum konvensional
dapat dilihat sebagaimana Skema Lingkaran Hukum Persaingan Usaha[2] di bawah
ini.
Bahwa benar di banyak kasus
persaingan usaha terdapat unsur peristiwa hukum perdata di dalamnya seperti
adanya perjanjian atau kesepakatan di antara para pelaku usaha yang bersaing,
namun sebenarnya jika dipahami maka hubungan perdata tersebut adalah bagian
dari suatu persekongkolan jahat (seperti kartel) yang merugikan publik
(konsumen dalam jumlah besar) atau pelaku usaha lain sehingga sebenarnya
peristiwa perdata tersebut telah masuk ke ranah hukum pidana atau setidaknya
suatu tindakan perdata yang merugikan pihak perdata lainnya. Sementara jika
terdapat suatu kasus yang seolah-olah perselisihan perdata di antara dua pelaku
usaha, maka sebenarnya peristiwa perselisihan tersebut bukan didasarkan adanya
hubungan keperdataan (dalam arti perjanjian atau kesepakatan) namun lebih
kepada hubungan persaingan usaha yang jika pun tidak masuk ke dalam ranah hukum
pidana maka masuk wilayah perbuatan melawan hukum (PMH). Bahkan untuk beberapa
tindakan persaingan tidak sehat seperti kartel (perjanjian atau kesepakatan di
antara seluruh pesaing di pasar bersangkutan tertentu) yang dikarenakan unsur
kejahatan (kerugian)-nya pada publik (konsumen dalam jumlah besar) sangat kuat,
maka kartel di beberapa negara dinyatakan sebagai tindak pidana.
Berangkat dari beberapa
konsepsi di atas, ternyata lebih dari 10 (sepuluh) tahun ini terdapat kesalahan
persepsi posisi hukum persaingan usaha di dalam sistem hukum nasional yang
berdampak pada aplikasinya di dalam hukum acaranya. Dimana masih banyak
kalangan ahli hukum (jurist) termasuk
di kalangan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Mahkamah Agung) yang menganggap
bahwa atau setidaknya memasukan bidang hukum persaingan usaha sebagai bagian
dari hukum perdata sehingga acara hukum persaingan usaha juga pada akhirnya
menginduk kepada hukum acara perdata nasional.
Oleh karena itu, keberlakuan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya
Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU (“Perma
No. 3/2005”) yang mencabut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2003
tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU sebagai
implementasi UU No. 5/1999 dalam hukum acaranya yang menetapkan bahwa upaya
hukum Keberatan atas putusan KPPU dikualifikasikan dalam hukum acara perdata
menjadi kurang tepat.
Idealnya, segera dilakukan
revisi terhadap UU No. 5 tahun 1999 untuk memberikan ketegasan tentang
independensi karena kekhasannya dari bidang hukum persaingan usaha termasuk
hukum acara yang mengaturnya. Namun jika pun secara politik hukum tidak
dikehendaki adanya revisi terhadap UU No. 5 tahun 1999 maka setidaknya dibuat
peraturan pelaksanaan baik berbentuk Peraturan Pemerintah atau setidaknya
Peraturan Mahkamah Agung yang setidaknya mengatur bahwa:
-
untuk kasus tindakan anti-persaingan sehat yang
berdimensi kejahatan yang merugikan negara atau publik seperti tindakan anti
persaingan dalam kerangka kartel, seyogyanya digunakan hukum acara pidana atau
hukum acara publik khusus dimana KPPU sebagai lembaga penyidik dan penuntut;
sementara,
untuk kasus tindakan anti-persaingan yang berdimensi perselisihan antar pelaku
usaha atau yang berdimensi consumer class
action maka KPPU berfungsi sebagai quasi peradilan tingkat pertama, dimana
Komisioner menjadi “hakim”-nya atau bisa juga dimungkinkan untuk dilakukan
dalam forum peradilan perdata (civil
action) di Pengadilan Negeri tanpa melalui KPPU
[1] Sri Redjeki Hartono, Kapita
Selekta Hukum Ekonomi, Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 2000. Hal. 39.
[2] Diadopsi dan disempurnakan dari
skema yang dibuat oleh Agus Brotosusilo (Agus Brotosusilo, Pengantar Hukum
Ekonomi, Kertas Kerja, Disajikan pada diskusi antar bagian di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 25 Oktober 1994).
0 komentar:
Posting Komentar