SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat membedakan sejarah
perkembangan filsafat hukum dari zaman Yunani sampai dengan abad dewasa ini.
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bahasan ini
mahasiswa mampu:
1. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah
Filsafat Hukum pada zaman Yunani (Kuno).
2. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah
Filsafat Hukum pada zaman pertengahan.
3. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah
Filsafat Hukum pada zaman modern.
4. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah
Filsafat Hukum pada zaman sekarang.
1.
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman
Yunani (Kuno)
Berbicara sejarah tidak akan terlepas dari dimensi waktu, karena waktu
yang sangat menentukan terjadinya sejarah, yaitu dimensi waktu yang terdiri
waktu pada masa lampau, sekarang, dan masa depan. Hal ini berlaku juga pada
saat membicarakan sejarah perkembangan filsafat hukum yang diawali dengan zaman
Yunani (Kuno).
Pada zaman Yunani hiduplah
kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah
yang berperan dalam perkembangan sejarah filsaft hukum pada zaman Yunani.
Tokoh-tokoh penting yang hidup pada zaman ini, antara lain: Anaximander,
Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato, dan Aristoteles.[1]
Para filsuf alam yang bernama Anaximander (610-547 SM), Herakleitos (540-475
SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya keharusan alam ini.
Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya dapat diperoleh dengan
nomos
yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos (rasio).[2]
Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang dimengerti
manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus
disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah
keadilan (dike).
Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai
dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan dengan
pengertian-pengertian yang berasal dari logos.
Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat
bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu
keteraturan yang terang dan tetap.
Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi
ke dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak
menentukan isi hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena
dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam
membentuk undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat
bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif,
karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.
Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates
berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas
dari hukum itu memiliki kebenaran objektif
atau tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya anarkisme, yakni
ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari kesediaannya untuk dihukum
mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara itu salah. Dalam mempertahankan
pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa untuk dapat memahami kebenaran objektif
orang harus memiliki pengetahuan (theoria).
Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak
dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan
menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan
agar dalam setiap undang-undang dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya.
Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai
kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan
dari hukum dan negara yang ideal.
Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles
berpendapat bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran
Aristoteles sudah membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles,
manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang
bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu ketaatan terhadap hukum
yang dibuat penguasa polis.
Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum
positif. Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif
muncul, kedua hukum tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut
Aristoteles, hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan
di mana-mana, karena hubungannya dengan aturan alam, sehingga hukum tidak
pernah berubah, lenyap dan berlaku dengan sendirinya.
Hukum alam berbeda dengan hukum positif yang seluruhnya tergantung pada
ketentuan manusia. Misalnya, hukum alam menuntut sumbangan warga negara bagi
kepentingan umum, jenis dan besarnya sumbangan ditentukan oleh hukum positif,
yakni undang-undang negara, yang baru berlaku setelah ditetapkan dan diresmikan
isinya oleh instansi yang berwibawa.
Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan
kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme (berasal dari nama
filsuf Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang dicetuskan oleh
Zeno). Kedua aliran ini menekankan filsafatnya pada bidang etika. Meskipun
demikian, dari Epikurisme muncul konsep penting tentang undang-undang (hukum
posistif) yang mengakomodasi kepentingan individu sebagai perjanjian antar
individu, sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme merupakan embrio dari
teori perjanjian masyarakat.
Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip kesederajatan manusia dalam
hukum. Ide dasar aliran ini terletak pada kesatuan yang teratur (kosmos) yang bersumber dari jiwa dunia (logos), yakni Budi Ilahi yang menjiwai
segalanya. Dengan kata lain, telah timbul keterikatan antara manusia dengan
logos, yang selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh karena itu, menurut
Stoisisme, tujuan hukum adalah keadilan menurut logos, bukan menurut hukum
positif. Sehingga ketaatan menurut hukum positif baru dapat dilakukan sepanjang
hukum positif sesuai dengan hukum alam.
2.
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman
Pertengahan
Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak
runtuhnya kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa gelap/the dark ages) yang ditandai dengan kejayaan agama
Kristen di Eropa (masa scholastic),[3]
dan mulai berkembangnya agama Islam. Sebelum ada zaman pertengahan terdapat
suatu fase yang disebut dengan Masa Gelap, terjadi pada saat Kekaisaran Romawi
runtuh dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga tidak ada satupun
peninggalan peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga masa ini dikenal
sebagai masa gelap.
Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain
Augustinus (354-430) dan Thomas Aquino/Thomas Aquinas (1225-1275). Dalam
perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman pertengahan tidak terlepas dari
pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya saja Augustinus mendapat pengaruh
dari Plato tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda duniawi.
Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang
diketemukan dalam jiwa manusia.
Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Katolik telah
meletakkan perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu Tuhan
(Lex Aeterna), hukum yang dijangkau
akal budi manusia (Lex Divina), hukum
yang berdasarkan akal budi manusia (Lex
Naturalis), dan hukum positif (Lex
Positivis).[4]
Pembagian hukum atas keempat jenis hukum yang dilakukan oleh Thomas Aquinas
nantinya akan dibahas dalam pelbagai aliran filsafat hukum pada bagian lain
dari tulisan ini.
3.
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman
Modern
Pada zaman ini para filsuf telah meletakkan dasar bagi hukum yang
mandiri, yang terlepas sama sekali dari hukum abadi yang berasal dari Tuhan.
Tokoh-tokoh yang berperan sangat penting pada abad pertengahan ini, antara
lain: William Occam (1290-1350), Rene Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes
(1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), David Hume
(1711-1776), Francis Bacon (1561-1626), Samuel Pufendorf (1632-1694), Thomasius
(1655-1728), Wolf (1679-1754), Montesquieu (1689-1755), J.J. Rousseau
(1712-1778), dan Immanuel Kant (1724-1804). Zaman modern ini juga disebut Renaissance. Terlepasnya alam pikiran
manusia dari ikatan-ikatan keagamaan menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja
zaman Renaissance membawa dampak perubahan yang tajam dalam segi kehidupan
manusia, perkembangan teknologi yang sangat pesat, berdirinya negara-negara
baru, ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu baru, dan
sebagainya.
Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi
dapat dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama
sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai
satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh para
penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham positivisme
hukum.
4.
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman
Sekarang
Yang dimaksud dengan zaman sekarang
dimulai pada abad ke-19. Filsafat hukum yang berkembang di zaman modern berbeda
dengan filsafat hukum yang berkembang pada zaman modern. Jika pada zaman modern
berkembang rsionalisme, maka pada zaman sekarang rasionalisme yang berkembang
dilengkapi dengan empirisme, seperti Hobbes. Namun, aliran ini berkembang pesat
pada abad ke-19, sehingga faktor sejarah juga mendapat perhatian dari para
pemikir hukum pada waktu itu, seperti Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883),
juga von Savigny sebagai pelopor mazhab sejarah.
Hegel merupakan tokoh utama dalam idealisme Jerman, ia merupakan penerus
rasionalisme yang dikembangkan oleh Immanuel Kant. Menurut Hegel, rasio tidak
hanya rasio individual melainkan juga rasio Keilahian. Teorinya disebut Dialektika, yang popularitasnya
mengalahkah ahli pikir di zamannya, seperti J.F. Fichte (1762-1814) dan F.W.J.
Schelling (1775-1854).
Menurut teori dialektika
Hagel, setiap fase dalam perkembangan dunia merupakan rentetan dari fase
berikutnya, artinya setiap pengertian mengandung lawan dari pengertian itu
sendiri. Perkembangan dari yang ada kepada yang tidak ada atau sebaliknya
mengandung katagori yang ketiga, yaitu akan menjadi. Tritunggal tersebut
terdiri dari these-antithese-synthese, yang pada akhirnya dari setiap synthese
merupakan titik tolak dari tritunggal yang baru.[5]
Teori dialektika Hegel ini dapat digambarkan dalam ikhtisar berikut
ini:
Ada Tidak Ada
Negara diktator Negara Anarkhis
Ide Menjadi Negara
demokratis konstitusional
Selain Hegel, masih ada beberapa ahli
pikir lain, seperti Karl Marx dan Engels yang menyatakan bahwa hukum dipandang
sebagai pernyataan hidup dalam masyarakat. Di samping Marx dan Engels, juga von
Savigny yang menyatakan bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh bersama-sama
dengan perkembangan masyarakat. Pandangan Savigny ini telah memasukkan faktor
sejarah ke dalam pemikiran hukum yang selanjutnya melahirkan pandangan relatif
terhadap hukum. Sehingga pandangan dari Savigny melahirkan Mazhab Sejarah.[6]
Dari beberapa fase perkembangan filsafat hukum yang diawali sejak zaman
Yunani (Kuno) dapat digambarkan dalam suatu ikhtisar berikut ini:
Z. Yunani
(Kuno) Z. Pertengahan Z. Modern Z. Sekarang
Masa
Gelap
Anaximander Augustinus W. Occam Hegel
Herakleitos Thomas Aquino R.
Descartes Fichte
Parmenides T.
Hobbes Schelling
Socrates J.
Locke von Savigny
Plato G.
Berkeley
Aristoteles D.
Hume
F.
Bacon
Wolf
Montesquieu
J.J.
Rousseau
Immanuel
Kant
5.
Latihan Soal
- Mengapa kaum Sofis (Anaximander, Herakleitos, dan Parmenides) berpendapat untuk dapat menciptakan keteraturan dan keadilan diperlukan nomos yang bersumber pada logos (rasio)?
- Mengapa Socrates tidak percaya terhadap kebenaran subjektif sebagaimana dikemukakan oleh kaum Sofis?
- Di mana letak pengaruh pemikiran filsuf zaman Yunani terhadap pemikiran para filsuf di zaman pertengahan? Bagaimana pula Thomas Aquinas membagi hukum?
- Mengapa zaman modern dikatakan sebagai zaman Renaissance? Jelaskan!
- Mengapa Hegel dikatakan sebagai penerus Immanuel Kant?
- Jelaskan teori dialektika Hegel?
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji
& Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat
Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.
0 komentar:
Posting Komentar