Senin, 20 Mei 2013


SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM

Tujuan Instruksional Umum:
      Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat membedakan sejarah perkembangan filsafat hukum dari zaman Yunani sampai dengan abad dewasa ini.

Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:
1.      Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman Yunani (Kuno).
2.      Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman pertengahan.
3.      Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman modern.
4.      Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman sekarang.

1.      Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)
      Berbicara sejarah tidak akan terlepas dari dimensi waktu, karena waktu yang sangat menentukan terjadinya sejarah, yaitu dimensi waktu yang terdiri waktu pada masa lampau, sekarang, dan masa depan. Hal ini berlaku juga pada saat membicarakan sejarah perkembangan filsafat hukum yang diawali dengan zaman Yunani (Kuno).
      Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan sejarah filsaft hukum pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada zaman ini, antara lain: Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato, dan Aristoteles.[1] Para filsuf alam yang bernama Anaximander (610-547 SM), Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya keharusan alam ini. Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya dapat diperoleh dengan nomos yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos (rasio).[2] Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah keadilan (dike).
      Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos.
      Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu keteraturan yang terang dan tetap.
      Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak menentukan isi hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam membentuk undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif, karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.
      Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas dari hukum itu memiliki kebenaran objektif  atau tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus memiliki pengetahuan (theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
      Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan agar dalam setiap undang-undang dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya. Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan dari hukum dan negara yang ideal.
      Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles berpendapat bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran Aristoteles sudah membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles, manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu ketaatan terhadap hukum yang dibuat penguasa polis.   
      Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum positif. Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif muncul, kedua hukum tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Aristoteles, hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan di mana-mana, karena hubungannya dengan aturan alam, sehingga hukum tidak pernah berubah, lenyap dan berlaku dengan sendirinya.
      Hukum alam berbeda dengan hukum positif yang seluruhnya tergantung pada ketentuan manusia. Misalnya, hukum alam menuntut sumbangan warga negara bagi kepentingan umum, jenis dan besarnya sumbangan ditentukan oleh hukum positif, yakni undang-undang negara, yang baru berlaku setelah ditetapkan dan diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa.
      Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme (berasal dari nama filsuf Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang dicetuskan oleh Zeno). Kedua aliran ini menekankan filsafatnya pada bidang etika. Meskipun demikian, dari Epikurisme muncul konsep penting tentang undang-undang (hukum posistif) yang mengakomodasi kepentingan individu sebagai perjanjian antar individu, sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme merupakan embrio dari teori perjanjian masyarakat.
      Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip kesederajatan manusia dalam hukum. Ide dasar aliran ini terletak pada kesatuan yang teratur (kosmos) yang bersumber dari jiwa dunia (logos), yakni Budi Ilahi yang menjiwai segalanya. Dengan kata lain, telah timbul keterikatan antara manusia dengan logos, yang selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh karena itu, menurut Stoisisme, tujuan hukum adalah keadilan menurut logos, bukan menurut hukum positif. Sehingga ketaatan menurut hukum positif baru dapat dilakukan sepanjang hukum positif sesuai dengan hukum alam.

2.      Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Pertengahan 
      Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak runtuhnya kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa gelap/the dark ages) yang ditandai dengan kejayaan agama Kristen di Eropa (masa scholastic),[3] dan mulai berkembangnya agama Islam. Sebelum ada zaman pertengahan terdapat suatu fase yang disebut dengan Masa Gelap, terjadi pada saat Kekaisaran Romawi runtuh dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga tidak ada satupun peninggalan peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga masa ini dikenal sebagai masa gelap.
      Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain Augustinus (354-430) dan Thomas Aquino/Thomas Aquinas (1225-1275). Dalam perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman pertengahan tidak terlepas dari pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya saja Augustinus mendapat pengaruh dari Plato tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda duniawi. Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang diketemukan dalam jiwa manusia.
      Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Katolik telah meletakkan perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina), hukum yang berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis), dan hukum positif (Lex Positivis).[4] Pembagian hukum atas keempat jenis hukum yang dilakukan oleh Thomas Aquinas nantinya akan dibahas dalam pelbagai aliran filsafat hukum pada bagian lain dari tulisan ini.

3.      Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern
      Pada zaman ini para filsuf telah meletakkan dasar bagi hukum yang mandiri, yang terlepas sama sekali dari hukum abadi yang berasal dari Tuhan. Tokoh-tokoh yang berperan sangat penting pada abad pertengahan ini, antara lain: William Occam (1290-1350), Rene Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776), Francis Bacon (1561-1626), Samuel Pufendorf (1632-1694), Thomasius (1655-1728), Wolf (1679-1754), Montesquieu (1689-1755), J.J. Rousseau (1712-1778), dan Immanuel Kant (1724-1804). Zaman modern ini juga disebut Renaissance. Terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja zaman Renaissance membawa dampak perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia, perkembangan teknologi yang sangat pesat, berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu baru, dan sebagainya.
      Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh para penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham positivisme hukum.

4.      Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Sekarang
Yang dimaksud dengan zaman sekarang dimulai pada abad ke-19. Filsafat hukum yang berkembang di zaman modern berbeda dengan filsafat hukum yang berkembang pada zaman modern. Jika pada zaman modern berkembang rsionalisme, maka pada zaman sekarang rasionalisme yang berkembang dilengkapi dengan empirisme, seperti Hobbes. Namun, aliran ini berkembang pesat pada abad ke-19, sehingga faktor sejarah juga mendapat perhatian dari para pemikir hukum pada waktu itu, seperti Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883), juga von Savigny sebagai pelopor mazhab sejarah.
      Hegel merupakan tokoh utama dalam idealisme Jerman, ia merupakan penerus rasionalisme yang dikembangkan oleh Immanuel Kant. Menurut Hegel, rasio tidak hanya rasio individual melainkan juga rasio Keilahian. Teorinya disebut Dialektika, yang popularitasnya mengalahkah ahli pikir di zamannya, seperti J.F. Fichte (1762-1814) dan F.W.J. Schelling (1775-1854).
      Menurut teori dialektika Hagel, setiap fase dalam perkembangan dunia merupakan rentetan dari fase berikutnya, artinya setiap pengertian mengandung lawan dari pengertian itu sendiri. Perkembangan dari yang ada kepada yang tidak ada atau sebaliknya mengandung katagori yang ketiga, yaitu akan menjadi. Tritunggal tersebut terdiri dari these-antithese-synthese, yang pada akhirnya dari setiap synthese merupakan titik tolak dari tritunggal yang baru.[5] Teori dialektika Hegel ini dapat digambarkan dalam ikhtisar berikut ini:
      Ada                       Tidak Ada        Negara diktator          Negara Anarkhis

                Ide Menjadi                                               Negara demokratis konstitusional

Selain Hegel, masih ada beberapa ahli pikir lain, seperti Karl Marx dan Engels yang menyatakan bahwa hukum dipandang sebagai pernyataan hidup dalam masyarakat. Di samping Marx dan Engels, juga von Savigny yang menyatakan bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh bersama-sama dengan perkembangan masyarakat. Pandangan Savigny ini telah memasukkan faktor sejarah ke dalam pemikiran hukum yang selanjutnya melahirkan pandangan relatif terhadap hukum. Sehingga pandangan dari Savigny melahirkan Mazhab Sejarah.[6]                
      Dari beberapa fase perkembangan filsafat hukum yang diawali sejak zaman Yunani (Kuno) dapat digambarkan dalam suatu ikhtisar berikut ini:


            Z. Yunani (Kuno)     Z. Pertengahan          Z. Modern      Z. Sekarang
                                  Masa  Gelap

               Anaximander               Augustinus          W. Occam           Hegel        
               Herakleitos               Thomas Aquino      R. Descartes       Fichte
               Parmenides                                                 T. Hobbes           Schelling
               Socrates                                                      J. Locke            von Savigny          
               Plato                                                                        G. Berkeley
               Aristoteles                                                 D. Hume
                                                                                    F. Bacon
                                                                                    Wolf
                                                                                    Montesquieu
                                                                                    J.J. Rousseau
                                                                                    Immanuel Kant

5.      Latihan Soal
  1. Mengapa kaum Sofis (Anaximander, Herakleitos, dan Parmenides) berpendapat untuk dapat menciptakan keteraturan dan keadilan diperlukan nomos yang bersumber pada logos (rasio)?
  2. Mengapa Socrates tidak percaya terhadap kebenaran subjektif sebagaimana dikemukakan oleh kaum Sofis?
  3. Di mana letak pengaruh pemikiran filsuf zaman Yunani terhadap pemikiran para filsuf di zaman pertengahan? Bagaimana pula Thomas Aquinas membagi hukum?
  4. Mengapa zaman modern dikatakan sebagai zaman Renaissance? Jelaskan!
  5. Mengapa Hegel dikatakan sebagai penerus Immanuel Kant?
  6. Jelaskan teori dialektika Hegel?

DAFTAR PUSTAKA
     
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.

Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.



      [1] Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 70-71.
      [2] Logos menciptakan bentuk , ukuran, dan harmoni yang menghasilkan aturan. Aturan ini terwujud dalam polis di mana warga-warga polis memberi bentuk kepada hidupya sesuai dengan logos (Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 20).
      [3] Lihat Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, halaman 13.
      [4] Lihat Theo Huijbers, Op. Cit., halaman 39.

      [5] Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 37.
      [6] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 82.

0 komentar:

Posting Komentar