Senin, 20 Mei 2013

BAB 1
DEFENISI DAN RUANG LINGKP FILSAFAT HUKUM

Tujuan Instruksional Umum:

Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat:
1.       Memahami pengertian filsafat.
2.       Memahami pengertian hukum.
3.       Mengetahui pengertian filsafat hukum.

Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:
1.       Membedakan pengertian Ilmu Filsafat dan Agama.
2.       Menyebutkan ruang lingkup Ilmu Filsafat.
3.       Menyebutkan pengertian hukum dari berbagai sarjana.
4.       Mengetahui pengertian Filsafat Hukum dari berbagai sarjana.

1.      Pengertian Filsafat dan Agama

      Adakalanya orang mengatakan bahwa orang harus berfilsafat. Sehingga untuk dapat berfilsafat, terlebih dahulu orang harus mengetahui apa yang disebut dengan filsafat. Sesungguhnya, istilah “filsafat” merupakan suatu istilah dari bahasa Arab yang terkait dengan istilah dari bahasa Yunani, yaitu: Filosofia.[1]
      Secara etimologis, kata “filsafat” berasal dari kata majemuk, yakni: filo dan sofia. Filo artinya ‘cinta’ dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena ingin itu, lalu berusaha mencapai yang diingini. Sedangkan Sofia artinya ‘kebijaksanaan’. Bijaksana inipun merupakan kata asing, yang artinya ialah ‘pandai’: mengerti dengan mendalam. Jadi secara etimologis, filsafat dapat dimaknakan: “Ingin mengerti dengan mendalam” atau “cinta kepada kebijaksanaan”. Dengan demikian, rumusan tersebut di atas dapat disebut sebagai suatu definisi atau pembatasan yang semata-mata berdasarkan atas keterangan nama atau pembatasan nama.     
      Dari sudut isinya, terdapat banyak perumusan yang dikemukakan para penulis filsafat. Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup manusia, yang tercermin dalam berbagai pepatah, slogan, lambang dan sebagainya.[2] Filsafat dapat juga diartikan sebagai ilmu. Dikatakan sebagai ilmu karena filsafat adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan dengan kata lain filsafat memiliki objek, metode, dan sistematika tertentu, terlebih-lebih bersifat universal. Dalam kaitannya dengan salah satu unsur yang dipenuhi filsafat sebagai suatu ilmu, yaitu adanya objek tertentu yang dimiliki filsafat.
      Menurut Poedjawijatna, objek suatu ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yakni objek materia dan objek forma. Objek materia adalah lapangan atau bahan penyelidikan suatu ilmu, sedangkan objek forma adalah sudut pandang tertentu yang menentukan jenis suatu ilmu. Objek materia filsafat adalah sesuatu yang ada dan mungkin ada. Pada intinya objek materia filsafat dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu tentang hakikat Tuhan, hakikat alam, dan hakikat manusia. Barangkali, objek materia filsafat sama dengan objek ilmu lainnya, tetapi yang membedakan adalah objek formanya. Objek forma filsafat terdapat pada sudut pandangnya  yang tidak membatasi diri dan hendak mencari keterangan sampai sedalam-dalamnya atau sampai kepada hakikat sesuatu, sehingga terdapat kebenaran, jika filsafat dikatakan sebagai ilmu tanpa batas.[3]
      Jika ditelaah lebih mendalam, filsafat memiliki sedikitnya tiga sifat pokok, yaitu: menyeluruh, mendasar, dan spekulatif.[4] Menyeluruh, artinya cara berfikir filsafat tidak sempit, dari sudut pandang ilmu itu sendiri (fragmentaris atau sektoral), senantiasa melihat persoalan dari tiap sudut yang ada. Mendasar, artinya bahwa untuk dapat menganalisa suatu persoalan bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat pertanyaan-pertanyaan yang dibahas berada di luar jangkauan “ilmu biasa”.
      Untuk itu, ciri ketiga dari filsafat yang berperan, yaitu spekulatif. Langkah-langkah spekulatif yang dijalankan oleh filsafat tidak boleh sembarangan, tetapi harus memiliki dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
      Di samping ketiga ciri filsafat tersebut di atas, ada ciri lain yang perlu ditambahkan, yaitu sifat refleksif kritis dari filsafat.[5] Refleksi berarti pengendapan dari pemikiran yang dilakukan secara berulang-ulang dan mendalam (contemplation). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan yang lebih jauh lagi dan dilakukan secara terus-menerus. Kritis berarti analisis yang dibuat filsafat tidak berhenti pada fakta saja, melainkan analisis nilai. Sebab, jika yang dianalisis hanya fakta saja, maka subjek (manusia) tersebut baru melakukan observasi, dan hasilnya ialah gejala-gejala semata. Lain halnya, jika yang dianalisis nilai, maka hasilnya bukan gejala-gejala melainkan hakikat.
      Ada beberapa sarjana penulis filsafat yang mengemukakan pendapatnya tentang filsafat, antara lain:

  1. Plato
    filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
  2. Aristoteles
    Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu matematika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
  3. Al Farabi
    Filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud bagaimana hakekat yang sebenarnya.
  4. Descartes
    Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
  5. Immanuel Kant
    Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang tercakup di dalam empat persoalan, yaitu metafisika, etika, agama, dan antropologi.[6]

      Dari perumusan filsafat sebagaimana dikemukakan oleh para penulis filsafat tersebut dapat ditarik intisarinya bahwa filsafat merupakan karya manusia tentang hakikat sesuatu.
      Pada uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa filsafat dapat diartikan sebagai ilmu, meskipun demikian antara filsafat dengan keseluruhan ilmu yang bertemu pada obyek materia (segala yang ada dan mungkin ada) tetap berbeda, karena perbedaan itu terletak pada obyek formanya.
      Tentu saja perbedaan itu tidak berlaku pada kedudukan filsafat dengan agama, karena agama merupakan sesuatu yang ada, sehingga agama juga masuk ke dalam lingkungan filsafat, dari sini muncul apa yang dinamakan filsafat agama.
      Dalam agama ada beberapa hal penting yang diselidiki oleh filsafat, misalnya: Tuhan, kebajikan, baik dan buruk, dan sebagainya, karena hal-hal tersebut ada atau paling tidak mungkin ada, namun antara filsafat dan agama memiliki dasar penyelidikan yang berbeda. Di satu sisi, sudut pandang penyelidikan agama didasarkan atas wahyu Tuhan atau firman Tuhan. Pada agama, kebenaran tergantung kepada diwahyukan atau tidak. Yang diwahyukan Tuhan harus dipercayai, oleh akrena itu agama ada dan disebut kepercayaan.
      Di sisi lain, kebenaran diterima oleh filsafat bukan karena kepercayaan, melainkan diterima dengan penyelidikan sendiri, pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu. Dengan kata lain, filsafat berdasarkan pikiran belaka, sedangkan agama berdasarkan wahyu. 

2.      Ruang Lingkup Ilmu Filsafat
      Objek materia filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, dengan kata lain objek filsafat itu ada. Adapun ada ini dapat ditinjau atau dilihat dari berbagai penjuru sudut pandang, sehingga muncul bermacam-macam bagian filsafat. Pembagian filsafat dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:
a.      Berdasarkan Objek, yang dibedakan menjadi dua:
1)     Filsafat Umum (Ada-Umum):
Pada filsafat umum, ada mungkin dipandang dari sudut keumumannya. Segala sesuatunya itu ada. Dalam realitas, terdapat bermacam-macam hal, yang semuanya mungkin ditangkap dalam adanya. Oleh karena itu, terdapat ada yang bermacam-macam dan ada-umum. Ada menjadi dasar dari segala yang ada, misalnya sifat-sifatnya, sehingga filsafat ada-umum disebut Ontologia atau Metaphysica generalis.
2)     Filsafat Khusus (Ada-Khusus):
Dalam filsafat khusus (ada-khusus), ada dipandang dari sudut pandang tertentu yang lain dari umum. Oleh karena itu sudut pandang tersebut banyak macamnya, sehingga memunculkan filsaft bagian yang bermacam-macam pula, yang terdiri dari:
a)     Theodicea (Ada-Mutlak):
Kekhususan dari ada itu mungkin terdapat dalam mutlaknya. Padahal di dunia terdapat ada yang tidak mutlak. Jadi, apabila nanti terdapat ada yang mutlak, maka harus diselidiki sifat-sifatnya, kemampuannya, dan hubungannya dengan ada-khusus-tak mutlak. Dengan demikian, filsafat yang mempersoalkan ada-mutlak disebut filsafat ada-mutlak, yang lazim disebut sebagai Theodicea.
b)     Ada-Tidak-Mutlak:
Di samping ada-mutlak terdapat ada-tidak mutlak. Pada ada-tidak mutlak terdapat banyak macamnya ke golongan ini yang harus diselidiki oleh filsafat darti sudut pandang tertentu, yang hendak dicari sebabnya yang terakhir atau sebab yang sedalam-dalamnya, yang dapat dibagi-bagi lagi ke dalam:
1)) Filsafat Alam (Cosmologia):
                        Alam semesta dan isinya merupakan ada yang tidak harus ada, sehingga dapat disebut sebagai ada-tidak mutlak. Alam dicari intinya oleh filsafat inti alam itu, apakah sebenarnya itu, apakah isi alam pada umumnya, dan apakah hubungannya satu dengan yang lain serta hubungannya dengan ada-mutlak, dengan demikian filsafat alam disebut kosmologia.
                  2)) Manusia:
                        Alam merupakan ada-tidak mutlak, karena ada-nya tidak dengan niscaya. Segala isi alam mungkin lenyap dan pernah tidak ada, namun alam mempunyai kedudukan yang istimewa yang menyelidiki semuanya, yaitu: manusia, yang dapat dibagi lagi ke dalam tiga kelompok sebagaimana diuraikan dalam uraian di bawah ini:
                        a)) Filsafat Manusia (Anthropologia-Metaphysika):
                              Dengan sendirinya, kekhususan ada-tidak mutlak merupakan manusia yang mempunyai kemanusiaan yang tercakup di dalamnya soal-soal tentang manusia, seperti: apakah manusia itu sebenarnya, apakah hubungannya satu sama lain, apakah kemampuan-kemampuannya, apa pendorong hidupnya, apa sifat-sifat pendorong hidup itu, dan lain-lain. Sehingga filsafatnya disebut filsafat manusia atau anthropologia metphysica.
                        b)) Filsafat Tingkah Laku (Ethica):
                              Pada filsafat tingkah laku (ethica) yang diselidiki adalah tindakan-tindakan manusia, yang terdorong oleh kehendaknya dan diternagi budinya. Tindakan manusia sendiri dapat dibedakan lagi menjadi tindakan yang baik atau buruk sehingga untuk menilai tindakan tersebut diperlukan tolok ukur yang terdiri dari norma (aturan) subyektif maupun yang obyektif (terlepas dari subyek yang menilai) dan ini dilakukan dalam ethica atau filsafat tingkah laku.
                        c)) Filsafat Budi (Logika):
                              Untuk melakukan penyelidikan, manusia memerlukan alat penyelidikan yang disebut budi yang harus diselidiki, sebab tanpa budi tidak akan ada penyelidikan. Oleh karena itu dicari jawabannya mengenai persoalan-persoalan sebagai berikut: adakah manusia mempunyai budi dan akal, dapatkah budi mencapai kebenaran? Dari sini timbul persoalan baru: apakah kebenaran itu, sampai di mana kebenaran itu dapat dicapai budi, seluruh kebenaran ataukah hanya sebagian saja? Dengan kata lain, seluruh isi budi diselidiki oleh filsafat yang disebut filsafat budi (logika). Namun, dalam bekerjanya budi, ia harus mentaati aturan-aturan yang ada, seperti: pengertian, jalan pikiran, serta putusan-putusan. Penyelidikan tentang bahan dan aturan berfikir merupakan bagian dari logika dan disebut logika minor. Sedangkan penyelidikan terhadap isi berfikir disebut logika mayor.
b. Pembagian filsafat berdasarkan Subjek:
      Selain pembagian filsafat berdasarkan objek, dalam filsafat juga dikenal pembagian filsafat berdasarkan subjek, karena dalam filsafat tentu ada yang berfilsafat, dan itu dilakukan oleh subjeknya, yaitu manusia, sehingga perlu dikenali pembagian filsafat menurut subjeknya, yang terdiri dari 3 (tiga) bidang, yaitu:
1)     Soal Tahu (Pengetahuan):
Soal pengetahuan ada 2 macam menurut sifatnya, yaitu pengetahuan bermacam-macam yang tidak tetap dan pengeatahuan yang berlaku umum, yang tidak beruba-ubah dan tetap satu macam. Dari sini timbul persoalan menganai: bagaimanakah cara mencapai pengetahuan itu? Adakah bawaan yang dibekalkan kepada manusia waktu lahir ataukah itu hasil dari usaha kemampuan yang ada padanya dan merupakan pengambilan dari objek yang dikenalnya itu. Mungkinkah itu hanya gambaran samar-samar atau nama-nama belaka yang tidak ada hubungannya dengan realitas? Tentu saja semua pertanyaan tersebut harus dijawab sebagian oleh Logika dan sebagian oleh Anthropologia.
2)     Soal Ada:
Orang berfikir tentu ada. Sehingga, jika ia tidak ada maka dia tidak berfikir. Oleh karena itu, timbul pertanyaan-pertanyaan tentang ada yang memiliki bermacam-macam sudut pandang, dan ini dijawab oleh filsafat tentang ada (ontologia, theodicea, kosmologia, dan anthropologia).
3)     Soal Pernilaian:
Dalam berfikir dan mengadakan putusan, setiap orang akan memiliki pernialaian yang berbeda dan saling bertentangan, misalnya: ada yang tinggi dan rendah, baik lawan buruk, indah lawan jelek, dan sebagainya. Tentu saja untuk melakukan pernilaian harus ada tolok ukurnya (kriteria), sehingga timbul pertanyaan seperti: apakah sebetulnya nilai itu dan lebih-lebih dalam tingkah laku manusia, apakah yang dipakai ukuran untuk menentukan baik buruknya? Pertanyaan tersebut dijawab oleh Ethica
      Jadi, secara garis besar, pembagian filsafat menurut obyek dan subyek dapat digambarkan dalam ikhtisar berikut ini:
a.      Menurut Objek:
           Ada-umum (fils. ada-umum, ontologia, metaphysica generalis)

Ada                             Ada-mutlak (filsafat ada-mutlak, theodicea)
                                                              

           Ada-khusus                                       Alam (filsafat alam, kosmologia)

                                                                                     Fils. manusia (anthropologia)
                                   Tidak-ada mutlak
                                                                 


                                                                  Manusia         Fils. tingkah laku (ethica)
                                                                        


                                                                                      Fils. budi (logika mayor & minor)

b.      Menurut Subjek:



                                    Logika Mayor & Minor
Soal Pengetahuan

                              Anthropologia

                         Ontologia
                         
                         Theodicea         
Soal Ada
                        Kosmologia

                         Anthropologia



Soal Penilaian                 Ethica


3. Pengertian Hukum
      Bagi mahasiswa yang baru belajar tentang hukum tentu sangat bermanfaat jika disodori definisi atau pengertian hukum sebelum mengetahui dan mempelajari filsafat hukum.
      MacIver menggambarkan masyarakat sebagai sarang laba-laba, karena di dalamnya terdapat berbagai kaidah yang mengatur hubungan antarindividu yang bertujuan untuk menciptakan kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan.[7] Kaidah/norma sengaja diciptakan agar tidak terjadi benturan-benturan dalam masyarakat, terutama anatara kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan. Dengan adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda dan saling berlawanan, terciptalah 4 (empat) kaedah/norma, yaitu: kaedah kepercayaan (keagamaan), kaedah kesusilaan, kaedah sopan santun (adat), dan kaedah hukum.[8] Dari ke-4 kaedah/norma tersebut hanya kaedah hukum-lah yang lebih melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang sudah dan belum mendapat perlindungan dari ketiga kaedah tersebut, dengan alasan sebagai berikut:
a.      Dari segi tujuan, kaedah hukum ditujukan kepada pelaku yang konkrit, untuk ketertiban masyarakat, agar jangan sampai jatuh korban.
b.      Dari segi isi, kaedah hukum ditujukan kepada sikap lahir.
c.      Dari segi asal-usul, berasal dari kekuasaan luar yang memaksa.
d.      Dari segi sanksi, berasal dari masyarakat secara resmi.
e.      Dari segi daya kerja, membebani kewajiban dan memberikan hak.
      Dengan melihat gambaran mengenai kaedah hukum sebagaimana telah diuraikan tersebut, rasanya masih terlalu sulit untuk mendefinisikan hukum, karena memang tidak ada satu pun sarjana yang dapat membuat pengertian atau definisi hukum secara sempurna. Tentu saja, untuk mendefinisikan hukum bukanlah pekerjaan yang mudah dan ini terkait dengan perkembangan sejarah hukum dan aliran-aliran dalam filsafat hukum yang tentunya dapat mempengaruhi pengertian dari hukum.
      Sebagai contoh pertama, pada zaman Romawi, para pemikir hukum lebih banyak dituntut untuk memberikan sumbangan pemikiran ke arah pembentukan hukum yang dapat diberlakukan secara luas di semua wilayah Romawi.
      Kedua, pada Zaman Pertengahan, kekuasaan gereja sedemikian besar sehingga turut melakukan intervensi ke dalam masalah duniawi, termasuk mengatur pemerintahan, sehingga hukum yang dihasilkan pada waktu itu  bernafaskan keagamaan dengan mengaitkan inti pemikiran hukum dengan ajaran-ajaran gereja, misalnya saja Thomas Aquino, yang membagi hukum ke dalam 4 (empat) golongan, yaitu:[9] Lex Aeterna, Lex Divina, Lex Naturalis, dan Lex Positivis yang nantinya akan dikupas dalam bagian lain dari tulisan ini mengenai berbagai aliran dalam filsafat hukum.
      Ketiga, pada abad ke-19 hukum dipengaruhi oleh perkembangan dunia ekonomi yang dibarengi dengan kedudukan negara yang semakin kuat dan kukuh dalam hal melakukan kontrol dan mengarahkan masyarakat ke arah yang dikehendakinya, sehingga pada masa ini lahirlah aliran positivisme (analitis maupun murni) yang menekankan pentingnya kedudukan negara sebagai pembentuk hukum. Pada masa ini, pemikiran dari John Austin dan Hans Kelsen sangat berpengaruh pada dunia ilmu maupun teori hukum, baik pada masa tersebut maupun sesudahnya.
      Di samping itu, masih banyak pendapat dari pemikir-pemikir hukum lain, seperti Carl von Savigny dan Puchta, juga yang lainnya yang nantinya akan dibahas dalam madzab filsafat hukum.

3.      Pengertian Filsafat Hukum
      Untuk mengupas pengertian filsafat hukum, terlebih dahulu kita harus mengetahui di mana letak filsafat hukum dalam filsafat. Sebagaimana telah diketahui bahwa hukum terkait dengan tingkah laku/perilaku manusia, terutama untuk mengatur perilaku manusia agar tidak terjadi kekacauan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia yang disebut dengan etika atau filsafat tingkah laku. Jadi, tepat dikatakan bahwa filsafat manusia berkedudukan sebagai genus, etika sebagai species dan filsafat hukum sebagai subspecies.[10] Hal ini dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:
                Umum
Ada                                   Ada Mutlak
               Ada Khusus                                  Alam
                                          Ada
                                         Tidak Mutlak                         Anthropologia

                                                                    Manusia      Etika      Filsafat Hukum
                                                                                   
                                                                                        Logika
      Filsafat hukum sebagai sub dari cabang filsafat manusia, yaitu etika mempelajari hakikat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Rasionya, filsafat hukum adalah hukum dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut hakikat. Hakikat dari hukum dapat dijelaskan dengan jalan memberikan definisi dari hukum. Definisi hukum sangat bervariasi tergantung dari sudut pandang para ahli hukum melihatnya seperti yang dikemukakan oleh beberapa sarjana dalam uraian di bawah ini.
      J. van Kan mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Pendapat ini senada dengan pendapat Rudolf von Jhering yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Sementara itu Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat tersebut didukung oleh salah seorang ahli hukum Indonesia Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan hukum adalah serangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat. Definisi-definisi hukum tersebut menunjukkan betapa luasnya hukum itu. Dengan mengetahui definisi hukum yang luas tersebut kita dapat menguraikan definisi dari filsafat hukum.
      Uraian tentang definisi filsafat hukum dikemukakan oleh Rudolf Stammler yang menyatakan bahwa definisi filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang hukum yang adil. Sementara itu, J.J. Von Schid menyatakan filsafat hukum merupakan suatu perenungan metodis mengenai hakekat dari hukum (Metodische bebezinning over het wezen van he recht). Sedangkan D.H.M. Meuwissen berpendapat bahwa filsafat hukum adalah pemikiran sistematis tentang masalah-masalah fundamental dan perbatasan yang berhubungan dengan fenomena hukum, dan/atau hakekat kenyataan hukum sebagai realisasi dari cita hukum (het systematisch nadenken over alle fundamentele kwesties en grensproblemen het verschijnsel recht samenhangen; over de werkelijkheid van het recht als de realisatie van de rechtsidee).[11]
      Uraian lainnya tentang definisi dari filsafat hukum dikemukakan oleh Kusumadi Pudjosewojo yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang hukum yang tidak bisa dijawab oleh ilmu hukum mengenai pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan keadilan? Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendasar, dengan sendirinya orang melewati batas-batas jangkauan ilmu hukum, dan pada saat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang sudah menginjakkan kakinya ke lapangan filsafat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum.

 DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1988.

Poedjawijatna, I.R., Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1990.

Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.

________________, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.

Sastrosoehardjo, Soehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998.






      [1] I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1990, halaman 1. 
      [2] Lihat Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 4.
      [3] I. R. Poedjawijatna, Op. Cit., halaman 6-9.
      [4] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998.
      [5] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 7.
      [6] Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, halaman 5.
      [7] Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, halaman 31.
      [8] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1988, halaman 5.

      [9] Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 29-30.

      [10] Lihat Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 10. Bandingkan juga dengan Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1988, halaman 4.

      [11] Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 5.

0 komentar:

Posting Komentar