DEFENISI DAN RUANG LINGKP FILSAFAT
HUKUM
Tujuan Instruksional Umum:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat:
1. Memahami pengertian filsafat.
2. Memahami pengertian hukum.
3. Mengetahui pengertian filsafat hukum.
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bahasan ini
mahasiswa mampu:
1. Membedakan pengertian Ilmu Filsafat
dan Agama.
2. Menyebutkan ruang lingkup Ilmu
Filsafat.
3. Menyebutkan pengertian hukum dari
berbagai sarjana.
4. Mengetahui pengertian Filsafat Hukum
dari berbagai sarjana.
1.
Pengertian
Filsafat dan Agama
Adakalanya orang
mengatakan bahwa orang harus berfilsafat. Sehingga untuk dapat berfilsafat,
terlebih dahulu orang harus mengetahui apa yang disebut dengan filsafat.
Sesungguhnya, istilah “filsafat”
merupakan suatu istilah dari bahasa Arab yang terkait dengan istilah dari
bahasa Yunani, yaitu: Filosofia.[1]
Secara etimologis, kata “filsafat” berasal dari
kata majemuk, yakni: filo dan sofia. Filo artinya ‘cinta’ dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin
dan karena ingin itu, lalu berusaha mencapai yang diingini. Sedangkan Sofia artinya ‘kebijaksanaan’. Bijaksana
inipun merupakan kata asing, yang artinya ialah ‘pandai’: mengerti dengan
mendalam. Jadi secara etimologis, filsafat dapat dimaknakan: “Ingin mengerti
dengan mendalam” atau “cinta kepada kebijaksanaan”. Dengan demikian, rumusan
tersebut di atas dapat disebut sebagai suatu definisi atau pembatasan yang
semata-mata berdasarkan atas keterangan nama atau pembatasan nama.
Dari sudut
isinya, terdapat banyak perumusan yang dikemukakan para penulis filsafat.
Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup manusia, yang tercermin dalam
berbagai pepatah, slogan, lambang dan sebagainya.[2]
Filsafat dapat juga diartikan sebagai ilmu. Dikatakan sebagai ilmu karena filsafat
adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh
kenyataan dengan kata lain filsafat memiliki objek, metode, dan sistematika
tertentu, terlebih-lebih bersifat universal. Dalam kaitannya dengan salah satu
unsur yang dipenuhi filsafat sebagai suatu ilmu, yaitu adanya objek tertentu yang dimiliki filsafat.
Menurut
Poedjawijatna, objek suatu ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yakni objek materia dan objek forma. Objek materia adalah lapangan atau bahan penyelidikan
suatu ilmu, sedangkan objek forma adalah sudut pandang tertentu yang menentukan
jenis suatu ilmu. Objek materia filsafat adalah sesuatu yang ada dan
mungkin ada. Pada
intinya objek materia filsafat dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
tentang hakikat Tuhan, hakikat alam, dan hakikat manusia. Barangkali, objek
materia filsafat sama dengan objek ilmu lainnya, tetapi yang membedakan adalah
objek formanya. Objek forma filsafat terdapat pada sudut pandangnya yang tidak membatasi diri dan hendak mencari
keterangan sampai sedalam-dalamnya atau sampai kepada hakikat sesuatu, sehingga
terdapat kebenaran, jika filsafat dikatakan sebagai ilmu tanpa batas.[3]
Jika ditelaah lebih mendalam, filsafat memiliki sedikitnya tiga sifat
pokok, yaitu: menyeluruh, mendasar, dan spekulatif.[4] Menyeluruh, artinya cara berfikir
filsafat tidak sempit, dari sudut pandang ilmu itu sendiri (fragmentaris atau sektoral), senantiasa melihat persoalan dari tiap sudut yang ada. Mendasar, artinya bahwa untuk dapat
menganalisa suatu persoalan bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat
pertanyaan-pertanyaan yang dibahas berada di luar jangkauan “ilmu biasa”.
Untuk itu, ciri ketiga dari filsafat yang berperan, yaitu spekulatif.
Langkah-langkah spekulatif yang dijalankan oleh filsafat tidak boleh
sembarangan, tetapi harus memiliki dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
Di samping ketiga ciri filsafat tersebut di atas, ada ciri lain yang
perlu ditambahkan, yaitu sifat refleksif kritis dari filsafat.[5] Refleksi
berarti pengendapan dari pemikiran yang dilakukan secara berulang-ulang dan
mendalam (contemplation). Hal ini
dimaksudkan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan yang lebih jauh lagi dan
dilakukan secara terus-menerus. Kritis
berarti analisis yang dibuat filsafat tidak berhenti pada fakta saja, melainkan
analisis nilai. Sebab, jika yang dianalisis hanya fakta saja, maka subjek
(manusia) tersebut baru melakukan observasi, dan hasilnya ialah gejala-gejala
semata. Lain halnya, jika yang dianalisis nilai, maka hasilnya bukan
gejala-gejala melainkan hakikat.
Ada beberapa sarjana penulis filsafat yang mengemukakan pendapatnya
tentang filsafat, antara lain:
- Platofilsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
- AristotelesFilsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu matematika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
- Al FarabiFilsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud bagaimana hakekat yang sebenarnya.
- DescartesFilsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
- Immanuel KantFilsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang tercakup di dalam empat persoalan, yaitu metafisika, etika, agama, dan antropologi.[6]
Dari perumusan
filsafat sebagaimana dikemukakan oleh para penulis filsafat tersebut dapat
ditarik intisarinya bahwa filsafat merupakan karya manusia tentang hakikat
sesuatu.
Pada uraian
terdahulu telah dikemukakan bahwa filsafat dapat diartikan sebagai ilmu,
meskipun demikian antara filsafat dengan keseluruhan ilmu yang bertemu pada obyek materia (segala yang ada dan
mungkin ada) tetap berbeda, karena perbedaan itu terletak pada obyek formanya.
Tentu saja
perbedaan itu tidak berlaku pada kedudukan filsafat dengan agama, karena agama
merupakan sesuatu yang ada, sehingga agama juga masuk ke dalam lingkungan
filsafat, dari sini muncul apa yang dinamakan filsafat agama.
Dalam agama ada
beberapa hal penting yang diselidiki oleh filsafat, misalnya: Tuhan, kebajikan,
baik dan buruk, dan sebagainya, karena hal-hal tersebut ada atau paling tidak
mungkin ada, namun antara filsafat dan agama memiliki dasar penyelidikan yang
berbeda. Di satu sisi, sudut pandang penyelidikan agama didasarkan atas wahyu
Tuhan atau firman Tuhan. Pada agama, kebenaran tergantung kepada diwahyukan
atau tidak. Yang diwahyukan Tuhan harus dipercayai, oleh akrena itu agama ada
dan disebut kepercayaan.
Di sisi lain,
kebenaran diterima oleh filsafat bukan karena kepercayaan, melainkan diterima
dengan penyelidikan sendiri, pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau
mengurangi wahyu, tetapi tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu. Dengan
kata lain, filsafat berdasarkan pikiran belaka, sedangkan agama berdasarkan
wahyu.
2.
Ruang Lingkup Ilmu Filsafat
Objek materia
filsafat adalah segala sesuatu yang ada
dan mungkin ada, dengan kata lain
objek filsafat itu ada. Adapun ada ini dapat ditinjau atau dilihat
dari berbagai penjuru sudut pandang, sehingga muncul bermacam-macam bagian
filsafat. Pembagian filsafat dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:
a. Berdasarkan Objek, yang dibedakan
menjadi dua:
1) Filsafat Umum (Ada-Umum):
Pada filsafat umum, ada
mungkin dipandang dari sudut keumumannya. Segala sesuatunya itu ada. Dalam
realitas, terdapat bermacam-macam hal, yang semuanya mungkin ditangkap dalam
adanya. Oleh karena itu, terdapat ada yang bermacam-macam dan ada-umum.
Ada menjadi dasar dari segala yang ada, misalnya sifat-sifatnya, sehingga
filsafat ada-umum disebut Ontologia atau Metaphysica generalis.
2) Filsafat Khusus (Ada-Khusus):
Dalam filsafat khusus (ada-khusus),
ada dipandang dari sudut pandang tertentu yang lain dari umum. Oleh karena itu
sudut pandang tersebut banyak macamnya, sehingga memunculkan filsaft bagian
yang bermacam-macam pula, yang terdiri dari:
a) Theodicea (Ada-Mutlak):
Kekhususan dari ada
itu mungkin terdapat dalam mutlaknya. Padahal di dunia terdapat ada yang tidak
mutlak. Jadi, apabila nanti terdapat ada yang mutlak, maka harus
diselidiki sifat-sifatnya, kemampuannya, dan hubungannya dengan ada-khusus-tak
mutlak. Dengan demikian, filsafat yang mempersoalkan ada-mutlak disebut
filsafat
ada-mutlak, yang lazim disebut sebagai Theodicea.
b) Ada-Tidak-Mutlak:
Di samping ada-mutlak
terdapat ada-tidak mutlak. Pada ada-tidak mutlak terdapat banyak
macamnya ke golongan ini yang harus diselidiki oleh filsafat darti sudut
pandang tertentu, yang hendak dicari sebabnya
yang terakhir atau sebab yang
sedalam-dalamnya, yang dapat dibagi-bagi lagi ke dalam:
1)) Filsafat Alam (Cosmologia):
Alam semesta dan isinya
merupakan ada yang tidak harus ada, sehingga dapat disebut sebagai ada-tidak
mutlak. Alam dicari intinya oleh filsafat inti alam itu, apakah
sebenarnya itu, apakah isi alam pada umumnya, dan apakah hubungannya satu
dengan yang lain serta hubungannya dengan ada-mutlak, dengan demikian filsafat
alam disebut kosmologia.
2)) Manusia:
Alam merupakan ada-tidak mutlak, karena ada-nya
tidak dengan niscaya. Segala isi alam mungkin lenyap dan pernah tidak ada,
namun alam mempunyai kedudukan yang istimewa yang menyelidiki semuanya, yaitu:
manusia, yang dapat dibagi lagi ke dalam tiga kelompok sebagaimana
diuraikan dalam uraian di bawah ini:
a)) Filsafat
Manusia (Anthropologia-Metaphysika):
Dengan
sendirinya, kekhususan ada-tidak mutlak merupakan manusia
yang mempunyai kemanusiaan yang tercakup di dalamnya soal-soal tentang manusia,
seperti: apakah manusia itu sebenarnya, apakah hubungannya satu sama lain,
apakah kemampuan-kemampuannya, apa pendorong hidupnya, apa sifat-sifat
pendorong hidup itu, dan lain-lain. Sehingga filsafatnya disebut filsafat
manusia atau anthropologia metphysica.
b)) Filsafat
Tingkah Laku (Ethica):
Pada filsafat
tingkah laku (ethica) yang diselidiki adalah tindakan-tindakan manusia,
yang terdorong oleh kehendaknya dan diternagi budinya. Tindakan manusia sendiri
dapat dibedakan lagi menjadi tindakan yang baik atau buruk sehingga untuk
menilai tindakan tersebut diperlukan tolok ukur yang terdiri dari norma (aturan) subyektif maupun yang obyektif (terlepas dari subyek yang menilai)
dan ini dilakukan dalam ethica atau filsafat tingkah laku.
c)) Filsafat
Budi (Logika):
Untuk melakukan
penyelidikan, manusia memerlukan alat penyelidikan yang disebut budi yang
harus diselidiki, sebab tanpa budi tidak akan ada penyelidikan. Oleh karena itu
dicari jawabannya mengenai persoalan-persoalan sebagai berikut: adakah manusia mempunyai budi dan akal, dapatkah budi mencapai kebenaran? Dari
sini timbul persoalan baru: apakah kebenaran
itu, sampai di mana kebenaran itu
dapat dicapai budi, seluruh kebenaran
ataukah hanya sebagian saja? Dengan kata lain, seluruh isi budi diselidiki
oleh filsafat
yang disebut filsafat budi (logika). Namun, dalam bekerjanya budi, ia harus
mentaati aturan-aturan yang ada, seperti: pengertian,
jalan pikiran, serta putusan-putusan.
Penyelidikan tentang bahan dan aturan
berfikir merupakan bagian dari logika dan disebut logika minor. Sedangkan
penyelidikan terhadap isi berfikir
disebut logika mayor.
b.
Pembagian filsafat berdasarkan Subjek:
Selain pembagian filsafat berdasarkan objek, dalam filsafat
juga dikenal pembagian filsafat berdasarkan subjek, karena dalam
filsafat tentu ada yang berfilsafat, dan itu dilakukan oleh subjeknya, yaitu
manusia, sehingga perlu dikenali pembagian filsafat menurut subjeknya,
yang terdiri dari 3 (tiga) bidang, yaitu:
1) Soal Tahu (Pengetahuan):
Soal pengetahuan ada 2
macam menurut sifatnya, yaitu pengetahuan bermacam-macam yang tidak tetap dan
pengeatahuan yang berlaku umum, yang tidak beruba-ubah dan tetap satu macam.
Dari sini timbul persoalan menganai: bagaimanakah cara mencapai pengetahuan
itu? Adakah bawaan yang dibekalkan kepada manusia waktu lahir ataukah itu hasil
dari usaha kemampuan yang ada padanya dan merupakan pengambilan dari objek yang
dikenalnya itu. Mungkinkah itu hanya gambaran samar-samar atau nama-nama belaka
yang tidak ada hubungannya dengan realitas? Tentu saja semua pertanyaan
tersebut harus dijawab sebagian oleh Logika dan sebagian oleh Anthropologia.
2) Soal Ada:
Orang berfikir tentu ada.
Sehingga, jika ia tidak ada maka dia tidak berfikir. Oleh karena itu, timbul
pertanyaan-pertanyaan tentang ada
yang memiliki bermacam-macam sudut pandang, dan ini dijawab oleh filsafat
tentang ada (ontologia, theodicea,
kosmologia, dan anthropologia).
3) Soal Pernilaian:
Dalam berfikir dan
mengadakan putusan, setiap orang akan memiliki pernialaian yang berbeda dan
saling bertentangan, misalnya: ada yang tinggi dan rendah, baik lawan buruk,
indah lawan jelek, dan sebagainya. Tentu saja untuk melakukan pernilaian harus
ada tolok ukurnya (kriteria), sehingga timbul pertanyaan seperti: apakah
sebetulnya nilai itu dan lebih-lebih dalam tingkah laku manusia, apakah yang
dipakai ukuran untuk menentukan baik buruknya? Pertanyaan tersebut dijawab oleh
Ethica.
Jadi, secara
garis besar, pembagian filsafat menurut obyek dan subyek dapat digambarkan
dalam ikhtisar berikut ini:
a. Menurut Objek:
Ada-umum
(fils. ada-umum, ontologia, metaphysica generalis)
Ada Ada-mutlak (filsafat
ada-mutlak, theodicea)
Ada-khusus Alam
(filsafat alam, kosmologia)
Fils.
manusia (anthropologia)
Tidak-ada
mutlak
Manusia Fils. tingkah laku (ethica)
Fils. budi (logika mayor & minor)
b. Menurut Subjek:
Logika
Mayor & Minor
Soal Pengetahuan
Anthropologia
Ontologia
Theodicea
Soal Ada
Kosmologia
Anthropologia
Soal
Penilaian Ethica
3. Pengertian Hukum
Bagi mahasiswa yang baru belajar tentang hukum tentu sangat bermanfaat
jika disodori definisi atau pengertian hukum sebelum mengetahui dan mempelajari
filsafat hukum.
MacIver menggambarkan masyarakat sebagai sarang laba-laba, karena di
dalamnya terdapat berbagai kaidah yang mengatur hubungan antarindividu yang
bertujuan untuk menciptakan kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan.[7]
Kaidah/norma sengaja diciptakan agar tidak terjadi benturan-benturan dalam
masyarakat, terutama anatara kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan.
Dengan adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda dan saling berlawanan,
terciptalah 4 (empat) kaedah/norma, yaitu: kaedah kepercayaan (keagamaan),
kaedah kesusilaan, kaedah sopan santun (adat), dan kaedah hukum.[8]
Dari ke-4 kaedah/norma tersebut hanya kaedah hukum-lah yang lebih melindungi
kepentingan-kepentingan manusia yang sudah dan belum mendapat perlindungan dari
ketiga kaedah tersebut, dengan alasan sebagai berikut:
a. Dari segi tujuan, kaedah hukum
ditujukan kepada pelaku yang konkrit, untuk ketertiban masyarakat, agar jangan
sampai jatuh korban.
b. Dari segi isi, kaedah hukum ditujukan
kepada sikap lahir.
c. Dari segi asal-usul, berasal dari
kekuasaan luar yang memaksa.
d. Dari segi sanksi, berasal dari
masyarakat secara resmi.
e. Dari segi daya kerja, membebani
kewajiban dan memberikan hak.
Dengan melihat gambaran mengenai kaedah hukum sebagaimana telah
diuraikan tersebut, rasanya masih terlalu sulit untuk mendefinisikan hukum,
karena memang tidak ada satu pun sarjana yang dapat membuat pengertian atau
definisi hukum secara sempurna. Tentu saja, untuk mendefinisikan hukum bukanlah
pekerjaan yang mudah dan ini terkait dengan perkembangan sejarah hukum dan
aliran-aliran dalam filsafat hukum yang tentunya dapat mempengaruhi pengertian
dari hukum.
Sebagai contoh pertama, pada zaman Romawi, para pemikir hukum lebih
banyak dituntut untuk memberikan sumbangan pemikiran ke arah pembentukan hukum
yang dapat diberlakukan secara luas di semua wilayah Romawi.
Kedua, pada Zaman Pertengahan, kekuasaan gereja sedemikian besar
sehingga turut melakukan intervensi ke dalam masalah duniawi, termasuk mengatur
pemerintahan, sehingga hukum yang dihasilkan pada waktu itu bernafaskan keagamaan dengan mengaitkan inti
pemikiran hukum dengan ajaran-ajaran gereja, misalnya saja Thomas Aquino, yang
membagi hukum ke dalam 4 (empat) golongan, yaitu:[9] Lex Aeterna, Lex Divina, Lex Naturalis,
dan Lex Positivis yang nantinya akan
dikupas dalam bagian lain dari tulisan ini mengenai berbagai aliran dalam
filsafat hukum.
Ketiga, pada abad ke-19 hukum dipengaruhi oleh perkembangan dunia
ekonomi yang dibarengi dengan kedudukan negara yang semakin kuat dan kukuh
dalam hal melakukan kontrol dan mengarahkan masyarakat ke arah yang
dikehendakinya, sehingga pada masa ini lahirlah aliran positivisme (analitis
maupun murni) yang menekankan pentingnya kedudukan negara sebagai pembentuk
hukum. Pada masa ini, pemikiran dari John Austin dan Hans Kelsen sangat
berpengaruh pada dunia ilmu maupun teori hukum, baik pada masa tersebut maupun
sesudahnya.
Di samping itu, masih banyak pendapat dari pemikir-pemikir hukum lain,
seperti Carl von Savigny dan Puchta, juga yang lainnya yang nantinya akan
dibahas dalam madzab filsafat hukum.
3.
Pengertian Filsafat Hukum
Untuk mengupas pengertian filsafat hukum, terlebih dahulu kita harus
mengetahui di mana letak filsafat hukum dalam filsafat. Sebagaimana telah
diketahui bahwa hukum terkait dengan tingkah laku/perilaku manusia, terutama
untuk mengatur perilaku manusia agar tidak terjadi kekacauan. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia
yang disebut dengan etika atau filsafat tingkah laku. Jadi, tepat dikatakan
bahwa filsafat manusia berkedudukan sebagai genus, etika sebagai species dan
filsafat hukum sebagai subspecies.[10]
Hal ini dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:
Umum
Ada Ada Mutlak
Ada
Khusus
Alam
Ada
Tidak
Mutlak Anthropologia
Manusia Etika Filsafat Hukum
Logika
Filsafat hukum sebagai sub dari cabang filsafat manusia, yaitu etika
mempelajari hakikat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis. Rasionya, filsafat hukum adalah hukum dan
objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang
disebut hakikat. Hakikat dari hukum
dapat dijelaskan dengan jalan memberikan definisi dari hukum. Definisi hukum
sangat bervariasi tergantung dari sudut pandang para ahli hukum melihatnya
seperti yang dikemukakan oleh beberapa sarjana dalam uraian di bawah ini.
J. van Kan mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan
kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang
dalam masyarakat. Pendapat ini senada dengan pendapat Rudolf von Jhering yang
menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku
dalam suatu negara. Sementara itu Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari
norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat tersebut didukung oleh
salah seorang ahli hukum Indonesia Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan hukum
adalah serangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota
suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin
keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat. Definisi-definisi
hukum tersebut menunjukkan betapa luasnya hukum itu. Dengan mengetahui definisi
hukum yang luas tersebut kita dapat menguraikan definisi dari filsafat hukum.
Uraian tentang definisi filsafat hukum dikemukakan oleh Rudolf Stammler
yang menyatakan bahwa definisi filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang
hukum yang adil. Sementara itu, J.J. Von Schid menyatakan filsafat hukum merupakan
suatu perenungan metodis mengenai hakekat dari hukum (Metodische bebezinning over het wezen van he recht). Sedangkan
D.H.M. Meuwissen berpendapat bahwa filsafat hukum adalah pemikiran sistematis
tentang masalah-masalah fundamental dan perbatasan yang berhubungan dengan
fenomena hukum, dan/atau hakekat kenyataan hukum sebagai realisasi dari cita
hukum (het systematisch nadenken over
alle fundamentele kwesties en grensproblemen het verschijnsel recht
samenhangen; over de werkelijkheid van het recht als de realisatie van de
rechtsidee).[11]
Uraian lainnya tentang definisi dari filsafat hukum dikemukakan oleh
Kusumadi Pudjosewojo yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar
tentang hukum yang tidak bisa dijawab oleh ilmu hukum mengenai pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat keadilan?
Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan keadilan? Dengan
adanya pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendasar, dengan sendirinya orang
melewati batas-batas jangkauan ilmu hukum, dan pada saat menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang sudah menginjakkan kakinya ke lapangan
filsafat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji
& Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat
Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Mertokusumo, Sudikno,
Mengenal Hukum, Suatu Pengantar,
Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1988.
Poedjawijatna, I.R., Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat,
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.
________________, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?,
Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.
Sastrosoehardjo,
Soehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat
Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang,
1997.
Suriasumantri, Jujun
S., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar
Populer, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998.
[9] Lili
Rasjidi, Op. Cit., halaman 29-30.
[10] Lihat
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op.
Cit., halaman 10. Bandingkan juga dengan Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1988, halaman 4.
0 komentar:
Posting Komentar