ALIRAN-ALIRAN
DALAM FILSAFAT HUKUM
Tujuan Instruksional Umum:
1. Mahasiswa dapat memahami berbagai
aliran dalam Filsafat Hukum.
2. Mahasiswa dapat membandingkan
berbagai aliran dalam Filsafat Hukum.
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mahasiswa dapat menyebutkan berbagai
aliran dalam Filsafat Hukum, yaitu: a. Aliran Hukum Alam.
b. Aliran Hukum Positif.
c. Aliran
Utilitarianisme.
d. Aliran Sejarah.
e. Alian Positivisme.
f. Aliran Sociological
Jurisprudence.
g. Aliran Legal Realism.
1.
Berbagai Aliran Dalam Filsafat Hukum
dan Perbedaannya
Dalam filsafat
hukum dikenal pembagian pelbagai aliran atau mazhab, yang dikemukakan oleh
beberapa orang sarjana, antara lain F.S.G. Northrop dan Lili Rasjidi.[1]
Northrop membagi
aliran atau madzhab filsafat hukum ke dalam 5 (lima) aliran, yaitu:
a. Legal Positivism.
b. Pragmatic Legal Realism.
c. Neo Kantian and Kelsenian Ethical
Jurisprudence.
d. Functional Anthropological or
Sociological Jurisprudence.
e. Naturalistic Jurisprudence.
Sedangkan Lili Rasjidi membagi aliran/madzhab filsafat hukum
ke dalam 6 (enam) aliran besar, masing-masing:
a. Aliran Hukum Alam:
1) Yang Irrasional.
2) Yang Rasional.
b. Aliran Hukum Positif:
1) Analitis.
2) Murni.
c. Aliran Utilitarianisme.
d. Madzhab Sejarah.
e. Sociological Jurisprudence.
f. Pragmatic Legal Realism.
Selain kedua
orang tokoh tersebut ada juga sarjana lain, yaitu Soehardjo Sastrosoehardjo
yang membagi filsafat hukum ke dalam 9 (sembilan) aliran atau madzhab, yaitu:[2]
a. Aliran Hukum Kodrat/Hukum Alam.
b. Aliran Idealisme Transendental
(Kantianisme).
c. Aliran Neo Kantianisme.
d. Aliran Sejarah.
e. Aliran Positivisme.
f. Aliran Ajaran Hukum Umum.
g. Aliran Sosiologi Hukum.
h. Aliran Realisme Hukum.
i.
Aliran
Hukum Bebas.
Ketiga sarjana
tersebut dalam membagi-bagi aliran dalam filsafat hukum tidak sama, karena
memang tergantung pada penafsiran masing-masing orang dalam memilah-milahkan
aliran dalam filsafat hukum.
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan
pembagian aliran/madzhab filsafat hukum menurut pendapat dari Lili Rasjidi,
seorang guru besar imu hukum dari Universitas Padjadjaran, Bandung dengan
penjelasan sebagai berikut:
a. Aliran Hukum Alam:
Aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut
Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan manusia dalam mencari keadilan
yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku secara
universal dan abadi.[3]
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui
penalaran, hakikat mahkluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut
menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum
alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Aliran hukum alam ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Irrasional:
Aliran ini
berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi bersumber dari Tuhan
secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain: Thomas Aquinas (Aquino),
John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wyclife.
Thomas
Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan, yaitu:
a) Lex Aeterna,
merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan merupakan sumber
dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.
b) Lex Divina,
bagia dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang
diterimanya.
c) Lex Naaturalis,
inilah yang dikenal sebagai hukum alam dan merupakan penjelmaan dari rasio
manusia.
d) Lex Posistivis,
hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan hukum alam oleh manusia berhubung
dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum ini diwujudkan
ke dalam kitab-kitab suci dan hukum positif buatan manusia.
Penulis
lain, William Occam dari Inggris mengemukakn adanya hirarkis hukum, dengan
penjelasan sebagai berikut:
a) Hukum Universal, yaitu hukum yang
mengatur tingkah laku manusia yang bersumber dari rasio alam.
b) Apa yang disebut sebagai hukum yang
mengikat masyarakat berasal dari alam.
c) Hukum yang juga bersumber dari
prinsip-prinsip alam tetapi dapat diubah oleh penguasa.
Occam juga
berpendapat bahwa hukum identik dengan kehendak mutlak Tuhan Sementara itu
Fransisco Suarez dari Spanyol berpendapat demikian, manusia yang bersusila
dalam pergaulan hidupnya diatur oleh suatu peraturan umum yang harus memuat
unsusr-unsur kemauan dan akal. Tuhan adalah pencipta hukum alam yang berlaku di
semua tempat dan waktu. Berdasarkan akalnya manusia dapat menerima hukum alam
tersebut, sehingga manusia dapat membedakan antara yang adil dan tidak adil,
buruk atau jahat dan baik atau jujur. Hukum alam yang dapat diterima oleh
manusia adalah sebagian saja, sedang selebihnya adalah hasil dari akal (rasio)
manusia.
1) Rasional:
Sebaliknya, aliran ini mengatakan bahwa sumber dari hukum yang universal
dan abadi adalah rasio manusia. Pandangan ini muncul setelah zaman Renaissance
(pada saat rasio manusia dipandang terlepas dari tertib ketuhanan/lepas dari
rasio Tuhan) yang berpendapat bahwa hukum alam muncul dari pikiran (rasio)
manusia tentang apa yang baik dan buruk penilaiannya diserahkan kepada
kesusilaan (moral) alam. Tokoh-tokohnya, antara lain: Hugo de Groot (Grotius),
Christian Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel Pufendorf.
Pendasar
hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot (Grotius), ia menekankan adanya
peranan rasio manusia dalam garis depan, sehingga rasio manusia sama sekali
terlepas dari Tuhan. Oleh karena itu rasio manusialah sebagai satu-satunya
sumber hukum.
Tokoh
penting lainnya dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari Kant
dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant
dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik der reinen Vernunft yang terkait
dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis (kritik
der praktischen Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya
Adirasa (kritik der Urteilskraft yang
terkait dengan estetika dan harmoni). Ajaran Kant tersebut ada korelasinya
dengan tiga macam aspek jiwa manusia, yaitu cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition, and feeling).[4]
Metode kritis tidak skeptis, tidak
dogmatis (trancendental). Hakekat
manusia (homo noumenon) tidak terletak pada akalnya, beserta corak berfikir
yang bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten
schappelijke denkwijze), tetapi pada kebebasan jiwa susila manusia yang
mampu secara mandiri menciptakan hukum kesusilaan bagi dirinya sendiri dan juga
orang lain. Yang penting bukan manusia
ideal berilmu atau ilmuwan, tetapi justru pada manusia ideala berkepribadian
humanistis.
Salah satu
karya Kant yang berjudul Metaphysische
Anfangsgruende der Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika Ajaran Hukum
merupakan bagian dari karyanya yang berjudul Metaphysik der Sitten) pokok pikirannya ialah bahwa manusia menurut
darma kesusilaannya mempunyai hak untuk berjuang bagi kebebasan lahiriahnya
untuk menghadirkan dan melaksanakan kesusilaan. Dan hukum berfungsi untuk
menciptakan situasi kondisi guna mendukung perjuangan tersebut. Hakekat hukum
bagi Kant adalah bahwa hukum itu merupakan keseluruhan kondisi-kondisi di mana
kehendak sendiri dari seseorang dapat digabungkan dengan kehendak orang lain di
bawah hukum kebebasan umum yang meliputi kesemuanya.
Katagori imperatif Kant mewajibkan semua anggota masyarakat tetap
mentaati hukum positif negara sekalipun di dalam hukum terebut terdapat
unsur-unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan. Jadi, di sini
sudah terdapat larangan mutlak bagi perilaku yang tergolong melawan penguasa
negara, sehingga dengan katagori imperatif ini ajaran dari Immanuel Kant juga
dapat digolongkan ke dalam aliran positivisme. Pendapat Kant ini diikuti oleh
Fichte yang mengatakan bahwa hukum alam itu bersumber dari rasio manusia.
Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah Hegel dari Jerman. Yang
dijadikan motto oleh Hegel ialah: Apa yang nyata menurut nalar adalah nyata,
dan apa yang nyata adalah menurut nalar (Was
vernunftig ist, das ist wirklich ist, das ist vernunftig. What is reasonable is
real, and what is real is reasonable). Tidak ada antimoni antara nalar/akal
dengan kenyataan atau realitas. Bagi Hegel, seluruh kenyataan kodrat alam dan
kejiwaan merupakan proses perkembangan sejarah secara dialektis dari
roh/cita/spirit mutlak yang senantiasa maju dan berkembang. Jiwa mutlak
mengandung dan mencakup seluruh tahap-tahap perkembangan sebelumnya jadi
merupakan permulaan dan kelahiran segala sesuatu. Pertumbuhan dan perkembangan
dialektis melalui tesa, antitesa, san sintesa yang berlangsung secara
berulang-ulang dan terus-menerus. Filsafat hukum dalam bentuk maupun isinya,
penampilan dan esensinya juga dikuasai oleh hukum dialektika. Negara merupakan
perwujudan jiwa mutlak, demikan juga dengan hukum.
b. Aliran Hukum Positif
Sebelum aliran ini lahir, telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu
hukum yang disebut dengan Legisme yang memandang tidak ada hukum di luar
undang-undang, dalam hal ini satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.
1)
Analitis
Pemikiran ini berkembang di Inggris namun sedikit ada perbedaan dari
tempat asal kelahiran Legisme di Jerman. Di Inggris, berkembang bentuk yang
agak lain, yang dikenal dengan ajaran Positivisme Hukum dari John Austin, yaitu
Analytical Jurisprudence. Austin
membagi hukum atas 2 hal, yaitu:
a)
Hukum
yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.
b)
Hukum
yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
-
hukum
dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai hukum positif yang
terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti: undang-undang, peraturan
pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau disusun rakyat secara
individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-haknya, contoh hak wali
terhadap perwaliannya.
-
Hukum
dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan dalam organisasi atau
perkumpulan-perkumpulan.
Menurut Austin, dalam hukum yang
nyata pada point pertama, di dalamnya terkandung perintah, sanksi, kewajiban,
dan kedaulatan. Sehingga ketentuan yang tidak memenuhi keempat unsur tersebut
tidak dapat dikatakan sebagai hukum.
2)
Murni
Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam aliran positivisme, karena
pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan ajaran Auistin. Hans Kelsen
seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit berbeda apabila dibandingkan
dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak pada penggunaan hukum alam.
Stanmmler masih menerima dan menganut berlakunya suatu hukum alam walaupun
ajaran hukum alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans Kelsen secara
tegas mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam, walaupun Kelsen
mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.
Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan mewakili aliran positivisme kritis (aliran Wina). Ajaran tersebut dikenal
dengan nama Reine Rechtslehre atau ajaran hukum murni. Menurut ajaran
tersebut, hukum harus dibersihkan dari dan/atau tidak boleh dicampuri oleh
politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Ilmu (hukum) adalah susunan
formal tata urutan/hirarki norma-norma. Idealisme hukum ditolak sama sekali,
karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak ilmiah. Adapun pokok-pokok ajaran
Kelsen adalah sebagai berikut:
a) Tujuan teori ilmu hukum sama halnya
dengan ilmu-ulmu yang lain adalah meringkas dan merumuskan bahan-bahan yang
serba kacau dan keserbanekaragaman menjadi sesuatu yang serasi.
b) Teori filsaft hukum adalah ilmu,
bukan masalah apa yang dikehendaki, masalah cipta, bukan karsa dan rasa.
c) Hukum adalah ilmu normatif, bukan
ilmu ke-alaman (natuurwetenschap)
yang dikuasai oleh hukum kausalitas.
d) Teori/filsafat hukum adalah teori
yang tidak bersangkut paut dengan kegunaaan atau efektivitas norma-norma hukum.
e) Teori hukum adalah formal, teori tentang
ara atau jalannya mengatur perubahan-perubahan dalam hukum secara khusus.
f) Hubungan kedudukan antara tori hukum
dengan sistem hukum positif tertentu adalah hubungan antara hukum yang serba
mungkin dan hukum yang senyatanya.
Fungsi teori hukum ilah menjelaskan
hubungan antara norma-norma dasar dan norma-norma lebih rendah dari hukum,
tetapi tidak menentukan apakah norma dasar itu baik atau tidak. Yang disebut
belakangan adalah tugas ilmum politik, etiika atau agama.
Teori konkretisasi hukum menganggap suatu sistem hukum sebagai atau
susunan yang piramidal. Stufentheorie
diciptakan pertama kali oleh Adolf Merkl (1836-1896), seorang murid dari Rudolf
von Jhering,[5] yang
kemudian diambil alih oleh Hans Kelsen. Kekuatan berlakunya hukum tertentu
tergantung pada norma hukum yang lebih tinggi, demikian seterusnya hingga
sampai pada suatu Grundnorm, yang
berfungsi sebagai dasar terakhir/tertinggi bagi berlakunya keseluruhan hukum
positif yang bersangkutan. Fungsi hukum tersebut bukan dalam arti hukum kodrat,
tetapi sebagai suatu Transcendental
Logische Voraussetzung, yaitu dalil yang secara transendental menentukan
bahwa norma dasar terakhir/tertinggi secara logis harus ada lebih dahulu, yang
sekaligus berfungsi sebagai penjelasan atau pembenaran ilmiah bahwa keseluruhan
norma-norma c.q. peraturan-peraturan dalam hukum positif yang bersangkutan itu
pada hakekatnya merupakan satu kesatuan yang serasi.
Penulis lain bernama Rudolf Stammler
(1856-1938) merupakan tokoh kebangkitan kembali filsafat c.q. hukum
kodrat gaya baru, yaitu hukum kodrat yang senantiasa berubah yang mengajarkan
bahwa filsafat hukum adalah ilmu/ajaran tentang hukum yang adil (die
lehre vom richtigen recht). Apabila ilmu hukum meneliti dan mengkaji,
secara positif, maka tugas dan fungsi filsafat hukum ialah dengan abstraksi
bahan-bahan variabel tersebut, meneliti secara transendental kritis (metode
yang berasal dari Kant) bentuk-bentuk kesadaran manusia hingga menerobos sampai
pada landasan/dasar transendental logis penghayatan hukum yang berujud hakekat
pengertian hukum.
Hakekat pengertian hukum atau pengertian hukum yang transendental ini
mempunyai unsur-unsur: kehendak/karsa, mengikat, berkuasa atas diri dan tidak
bisa diganggu (wollen, verbinden,
selbstherrlichkeit unverletzbarkeit). Dari hakekat ini lebih lanjut ditarik
8 (delapan) macam kategori hukum, yaitu: subjek hukum, objek hukum, dasar
hukum, hubungan hukum, kekuasaan hukum, penundukan hukum, menurut hukum (rechtmatigeheid), dan melawan hukum.
Pengertian dasar atau kategori hukum itu berupa metode pikiran formil yang
adanya tidak ditentukan oleh atau digantungkan pada isi atau aturan hukum.
Asas-asas hukum umum yang menentukan kebaikan isi atuan hukum, tidak termasuk
pengertian hukum tetapi tergolong pada cita hukum. Hukum yang adil adalah hukum
yang memenuhi syarat atau tertentu “social-ideal”, yakni ujud dari manusia
dalam kehidupan masyarakat yang memiliki kehendak bebas (Gemeinschaft frei wollender Menschen). Cita hukum yang sosial ini
berfungsi regulatif terhadap sistem hukum positif, tidak semata-mata pada
bentuk hukumnya.
a.
Aliran Utilitarianisme
Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill
(1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Bentham berpendapat bahwa alam
memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak
kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan adalah kebahagiaan dan
kejahatan adalah kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah
kejahatan. Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan. Keberadaan hukum
diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi bentrokan kepentingan individu
dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya, untuk itu perlu ada batasan
yang diwujudkan dalam hukum, jikas tidak demikian, maka akan terjadi homo
homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain). Oleh
karena itu, ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme
yang individual.
Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang
lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa
tujuan manusia ialah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan
melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Mill juga menolak pandangan Kant
yang mengajarkan bahwa individu harus bersimpati pada kepentingan umum.
Kemudian Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada
hakekatnya, perasaan individu akan keadilan dapat membuat individu itu menyesal
dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya.
Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara
utilitarianisme yang individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal
sebagai pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial, jadi merupakan gabungan antara teori yang
dikemukakan oleh Bentham, Mill, dan positivisme hukum dari John Austin. Bagi
Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam
mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai
pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan tetapi kepentingan individu
dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi
seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.
b.
Aliran Sejarah
Tokoh-tokohnya antara lain Friedrich Carl von Savigny (1778-1861) dan
Puchta (1789-1846). Sebagian dari pokok ajarannya ialah bahwa hukum itu tidak
dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir dan tumbuh dari dan dengan rakyat,
berkembang bersama dengan rakyat, namun ia akan mati, manakala rakyat
kehilangan kepribadiannya (das recht
wirdnicht gemacht, es wachst mit dem volke vort, bilden sich aus mit diesem,
und strirbt endlich ab sowie das volk seineen eigentuum lichkeit verliert).
Sumber hukum intinya adalah hukum kebiasaan adalah volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat.
Paton memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny sebagai
berikut:
1) Jangan sampai kepentingan dari
golongan masyarakat tertentu dinyatakan sebagai volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya.
2) Tidak selamanya peraturan
perundang-undangan timbul begitu saja, karena dalam kenyataannya banyak
ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris yang tidak akan terbentuk tanpa
perjuangan keras.
3) Jangan sampai peranan hakim dan ahli
hukum lainnya tidak mendapat perhatian, karena walaupun volksgeist itu dapat menjadi bahan kasarnya, tetap saja perlu ada
yang menyusunnya kembali untuk diproses menjadi bentuk hukum.
4) Dalam banyak kasus peniruan memainkan
peranan yang lebih besar daripada yang diakui oleh penganut Mazhab Sejarah.
Banyak bangsa yang dengan sadar mengambil alih Hukum Romawi dan mendapat
pengaruh dari Hukum Perancis.
Tulisan von Savigny sebenarnya
merupakan reaksi langsung terhadap Thibaut , di samping itu juga hendak memberi
tempat yang terhormat bagi hukum rakyat
Jerman yang asli di negara Jerman sendiri. Von Savigny berkeinginan agar hukum
Jerman itu berkembang menjadi hukum nasional Jerman. Tantangan von Savigny
terhadap kodifikasi Perancis itu telah menyebabkan hampir satu abad lamanya
Jerman tidak memiliki kodifikasi hukum perdata. Pengaruh pandangan von Savigny juga
terasa sampai jauh ke luar batas negeri Jerman.
Sedang Puchta, termasuk penganut aliran sejarah dan sebagai murid von
Savigny berpendapat bahwa hukum dapat
berbentuk:
1) Langsung, berupa adat-istiadat.
2) Melalui undang-undang.
3) Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya
para ahli hukum.
Namun ketika pembentukan hukum
tersebut masih berhubungan erat dengan jiwa bangsa (volksgeist) yang bersangkutan.
Lebih lanjut, Puchta membedakan pengertian “bangsa” ke dalam dua jenis,
yaitu bangsa dalam pengertian etnis yang disebut “bangsa alam” dan bangsa dalam
arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara. Adapun yang
memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara),
sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus
disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara.
Negera mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang, Puchta mengutamakan
pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak ada
tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik hukum dalam
adat-istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum.
Adat-istadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara.
Sama halnya dengan pengolahan hukum oleh kaum Yuris, pikiran-pikiran mereka
tentang hukum memerlukan pengesahan negara supaya berlaku sebagai hukum. Di
lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan dukungan apapun. Ia berhak
membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris, tanpa menghiraukan apa yang
hidup dalam jiwa orang dan dipraktikkan sebagai adat-istiadat.
Dengan adanya pemikiran dan pandangan puchta yang demikian ini, menurut
Theo Huijbers dikatakan tidak jauh berbeda dengan Teori Absolutisme negara dan
Positivisme Yuridis.[6]
Buku Puchta yang terkenal berjudul Gewohnheitsrecht.
c.
Aliran Sociological Jurisprudence
Pendasar aliran ini, antara lain: Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benjamin
Cardozo, Kontorowics, Gurvitch dan lain-lain. Aliran ini berkembang di Amerika,
pada intinya aliran ini hendak mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[7]
Kata “sesuai” diartikan sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup
di dalam masyarakat.
Aliran Sociological Jurisprudence
berbeda dengan Sosiologi Hukum.
Dengan rasio demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang
mempelajari hukum sebagai gejala sosial, sedang Sociological Jurisprudence merupakan
suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara
hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi
yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana
gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping
juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap
masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas (sociological jurisprudence dan
sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya. Sociological
jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada masyarakat, sedang
sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada hukum.
Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law
as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan
menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan
dan kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha
penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan
anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu
diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara.
Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak persamaannya dengan
aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam hukum digantikan dengan
primat “pengkajian dan penilaian terhadap kehidupan manusia (Lebens forschung und Lebens bewertung),
atau secara konkritnya lebih memikirkan keseimbangan kepentingan-kepentingan (balancing of interest, private as well as
public interest).
Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law merupakan synthese dari these positivisme hukum dan antithese
mazhab sejarah. Maksudnya, kedua liran tersebut ada kebenarannya. Hanya
hukum yang sanggup menghadapi ujian akal agar dapat hidup terus. Yang menjadi
unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang
terdiri dari atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan
oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman . Tidak ada sesuatu yang dapat
bertahan sendiri di dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan
dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang
membuat undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi
politik dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu.
d.
Pragmatic Legal Realism
Salah seorang sarjana bernama Friedman membahas aliran ini dalam
kaitannya sebagai salah satu subaliran dari positivisme hukum. Sebab, pangkal
pikir dari aliran ini bersumber pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumber
hukum. Pendasar mazhab/aliran ini ialah John Chipman, Gray, Oliver Wendell
Holmes, Karl Llewellyn, Jerome Frank, William James dan sebagainya. Friedman
juga berpendapat bahwa Roscoe Pound juga dapat digolongkan ke dalam Pragmatic Legal Realism di samping masuk
ke dalam Sociological Jurisprudence. Hal ini disebabkan oleh pendapat atau
pandangan Roscoe Pound yang mengatakan bahwa hukum itu adalah a tool of social engineering. Sementara
itu, Llewellyn berpendapat bahwa Pragmatic
Legal Realism bukan aliran tapi suatu gerakan yang memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1) Realisme bukanlah suatu
aliran/mazhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara
bekerja tentang hukum.
2) Realisme adalah suatu konsep mengenai
hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial; maka
tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya. Hal ini
berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada hukum.
3) Realisme mendasarkan ajarannya atas
pemisahan sementara antara sollen dan sein untuk keperluan suatu penyelidikan
agar penyelidikan itu mempunyai tujuan, maka hendaknya diperhatikan adanya
nilai-nilai dan observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan
tidak boleh dipenuhi oleh kehendak observer maupun tujuan-tujuan kesusilaan.
4) Realisme telah mendasarkan pada
konsep-konsep hukum tradisional oleh karena realisme bermaksud melukiskan apa
yang sebenarnya oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan
definisi-definisi dalam peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum tentang
apa yang akan dikerjakan oelh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan keyakinan
ini, maka realisme menciptakan penggolongan-penggolongan perkara dan
keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada jumlah
penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.
5) Gerakan realisme menekankan pada
perkembangan setiap bagian hukum haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai
akibatnya.
Pendekatan yang harus dilakukan oleh gerakan realisme untuk mewujudkan
program tersebut di atas telah digariskan sebagai berikut:
1) Keterampilan diperlukan bagi
seseorang dalam memberikan argumentasinya yang logis atas putusan-putusan yang
telah diambilnya bukan hanya sekedar argumen-argumen yang diajukan oleh ahli
hukum yang nilainya tidak berbobot.
2) Mengadakan perbedaan antara
peraturan-peraturan dengan memperhatikan relativitas makna peraturan-peraturan
tersebut.
3) Menggantikan katagori-katagori hukum
yang bersifat umum dengan hubungan-hubungan khsusus dari keadaan-keadaan yang
nyata.
4) Cara pendekatan seperti tersebut di
atas mencakup juga penyelidikan tentang faktor-faktor/unsur-unsur yang bersifat
perseornagan maupun umum dengan penelitian atas kepribadian sang hakim dengan
disertai data-data statistik tentang ramalan-ramalan apa yang akan diperbuat
oloeh pengadilan dan lain-lain.[8]
Mengenai aliran Pragmatic Legal Realism yang berkembang pada waktu itu
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1)
Aliran
Realisme Hukum Amerika
Tokoh-tokohnya adalah Oliver Wendell Holmes dan Jerome Frank. “The path of Law” berasal dari Holmes,
sedang “Law in the modern mind”
berasal dari Jerome Frank. Sifat normatif hukum agak dikesampingkan. Hukum pada
hakekatnya adalah berupa pola perilaku/tindakan (pattern of behaviour) nyata
dari hakim dan petugas/pejabat hukum (law
officials) lainnya. Pendorong utama perilaku Hakim atau pejabat-pejabat
hukum segarusnya berpijak pada moral positif dan kemaslahatan masyarakat (social advanrage). Bagi Frank, hukum
dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum yang senyatanya dan hukum yang mungkin (actual law and probable law).
Peraturan-peraturan hukum dan asas-asas hukum tidak lain adalah semacam stimuli
yang mempengaruhi perilaku hakim yang dapat dilihat dalam putusan-putusan
hakim, di samping faktor-faktor lain, yakni, prasangka politis, ekonomis, dan
moril, simpati maupun antipati pribadi (Frank). Terhadap sikap yang agak
ekstrim dari kedua tokoh tersebut, yakni Roscoe Pound dan benjamin Cardozo
dalam bukunya yang berjudul “The nature
of the juridical process” mengambil pendirian yang lebih moderat, yakni
wawasan sosiologis.
2)
Aliran
Realisme Skandinavia
Di Skandinavia, para sarjana hukum modern mengembangkan cara berfikir
tentang hukum yang memiliki ciri khas ala Skandinavia yang tidak ada
persamaannya di negara-negara lain. Walaupun istilah realisme sering
dipergunakan untuk gerakan cara berfikir di Skandinavia akan tetapi persamaan
nama dengan gerakan cara berfikir di Amerika Serikat, hanyalah sebatas persamaan
nama saja. Realisme Skandinavia adalah dasar-dasar filsafat yang memberikan
kritik-kritik terhadap dasar-dasar metafisika hukum (Skandinavian realism is essentialy a philosophical critique of the
metaphysical foundations law). Gerakan ini menolak cara pendekatan yang
dipergunakan oleh kaum realis Amerika Serikat yang mempunyai nilai rendah.
Dalam caranya memberi kritik dan pengupasan prinsip-prinsip pertama yang
seringkali sangat abstrak, grakan realis mempunyai ciri-ciri yang mirip sekali
dengan ciri-ciri Filsafat Hukum Eropa. Adanya persamaan cara pendekatan antara
penganut-penganut gerakan relaisme Skandinavia diusebabkan oleh pengaruh dari
Axel Hagestrom terhadap tokoh-tokoh gerakan realisme Skandinavia pada waktu
itu, yaitu Oliverscrona, Lundstedt, sekalipun pengaruh Axel tidak sebesar Ross.
Para ahli hukum tersebut di atas menolak adanya pengertian-pengertian
mutlak tentang keadilan yang menguasai dan yang memberi pedoman pada
sistem-sistem hukum positif. Mengenai nilai-nilai hukum gerakan realisme
Skandinaviamempunyai pendirian yang sama dengan filsafat relativisme; mereka
menolak pendirian yang mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hukum dapat
disalurkan secara memaksa dari prinsip-prinsip tentang keadilan yang tidak
adapat diubah.
Menureut Friedman,[9]
keberadaan realisme Skandinavia telah memberikan sumbangan yang amat besar
kepada teori hukum, yaitu tentang penggunaan pengertian kehendak kolektif, satu
kehendak umum atau kehendak negara (a
collective or general will or of the state) oleh ilmu hukum analitis.
Menurut Hargerstrom dan kawan-kawan, pengertian-pengertian tersebut adalah
semacam satu pengertian gaib yang dipergunakan mereka untuk memberi dasar hukum
pada kemahakuasaan orang-orang yang memegang perintah negara; dan cara mereka
membuktikan legitimitas (dasar hukum) kekuasaan negara tersebut menurut
Hargerstrom dan kawan-kawan adalah pada dasarnya sama dengan cara-cara yang
dipergunakan filsafat hukum kodrat.
2.
Latihan Soal
a. Mengapa hukum alam dianggap lebih
tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia? Jelaskan!
b. Apa yang melatarbelakangi Thomas
Aquinas membagi hukum menjadi 4, serta sebutkan dan jelaskan ke-4 hukum menurut
Thomas Aquinas?
c. Mengapa dalam aliran hukum positif
timbul aliran analitis dan murni dan bagaimana pula perbedaan yang menonjol
antara dua liran tersebut? Jelaskan!
d. Siapakah pendasar aliran
Utilitarianisme dan bagaimana pula pendapat atau pandangan para ahli hukum
penganut aliran Utilitarianisme terhadap hukum? Sebut dan jelaskan!
e. Adakah perbedaan pendapat antara Karl
von Savigny dan Puchta? Jelaskan jawaban Sdr.!
f. Ada berapa pandangan realisme hukum?
Di manakah pertama kali realisme hukum itu timbul? Jelaskan perbedaannya
masing-masing!
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji &
Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum,
Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. 1995.
Huijbers, Theo Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit
PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990, halaman.
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum,
Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT.
Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.
[9] Ibid., halaman 86.
0 komentar:
Posting Komentar