Senin, 20 Mei 2013


ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM

Tujuan Instruksional Umum:
1.      Mahasiswa dapat memahami berbagai aliran dalam Filsafat Hukum.
2.      Mahasiswa dapat membandingkan berbagai aliran dalam Filsafat Hukum.

Tujuan Instruksional Khusus:
1.      Mahasiswa dapat menyebutkan berbagai aliran dalam Filsafat Hukum, yaitu: a. Aliran Hukum Alam.
                      b. Aliran Hukum Positif.
                      c. Aliran Utilitarianisme.
                      d. Aliran Sejarah.
                      e. Alian Positivisme.
                      f. Aliran Sociological Jurisprudence.
                      g. Aliran Legal Realism.

1.      Berbagai Aliran Dalam Filsafat Hukum dan Perbedaannya
      Dalam filsafat hukum dikenal pembagian pelbagai aliran atau mazhab, yang dikemukakan oleh beberapa orang sarjana, antara lain F.S.G. Northrop dan Lili Rasjidi.[1]
      Northrop membagi aliran atau madzhab filsafat hukum ke dalam 5 (lima) aliran, yaitu:
a.      Legal Positivism.
b.      Pragmatic Legal Realism.
c.      Neo Kantian and Kelsenian Ethical Jurisprudence.
d.      Functional Anthropological or Sociological Jurisprudence.
e.      Naturalistic Jurisprudence.
Sedangkan Lili Rasjidi membagi aliran/madzhab filsafat hukum ke dalam 6 (enam) aliran besar, masing-masing:
a.      Aliran Hukum Alam:
1)     Yang Irrasional.
2)     Yang Rasional.
b.      Aliran Hukum Positif:
1)     Analitis.
2)     Murni.
c.      Aliran Utilitarianisme.
d.      Madzhab Sejarah.
e.      Sociological Jurisprudence.
f.       Pragmatic Legal Realism.
      Selain kedua orang tokoh tersebut ada juga sarjana lain, yaitu Soehardjo Sastrosoehardjo yang membagi filsafat hukum ke dalam 9 (sembilan) aliran atau madzhab, yaitu:[2]
a.      Aliran Hukum Kodrat/Hukum Alam.
b.      Aliran Idealisme Transendental (Kantianisme).
c.      Aliran Neo Kantianisme.
d.      Aliran Sejarah.
e.      Aliran Positivisme.
f.       Aliran Ajaran Hukum Umum.
g.      Aliran Sosiologi Hukum.
h.      Aliran Realisme Hukum.
i.        Aliran Hukum Bebas.
      Ketiga sarjana tersebut dalam membagi-bagi aliran dalam filsafat hukum tidak sama, karena memang tergantung pada penafsiran masing-masing orang dalam memilah-milahkan aliran dalam filsafat hukum.
      Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pembagian aliran/madzhab filsafat hukum menurut pendapat dari Lili Rasjidi, seorang guru besar imu hukum dari Universitas Padjadjaran, Bandung dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Aliran Hukum Alam:   
      Aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan manusia dalam mencari keadilan yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku secara universal dan abadi.[3]
      Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat mahkluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia. Aliran hukum alam ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1)     Irrasional:
      Aliran ini berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi bersumber dari Tuhan secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain: Thomas Aquinas (Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wyclife.
      Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan, yaitu:
a)   Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.
b)  Lex Divina, bagia dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.
c)   Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai hukum alam dan merupakan penjelmaan dari rasio manusia.
d)  Lex Posistivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan hukum alam oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum ini diwujudkan ke dalam kitab-kitab suci dan hukum positif buatan manusia.
       Penulis lain, William Occam dari Inggris mengemukakn adanya hirarkis hukum, dengan penjelasan sebagai berikut:
a)   Hukum Universal, yaitu hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang bersumber dari rasio alam.
b)  Apa yang disebut sebagai hukum yang mengikat masyarakat berasal dari alam.
c)   Hukum yang juga bersumber dari prinsip-prinsip alam tetapi dapat diubah oleh penguasa.
      Occam juga berpendapat bahwa hukum identik dengan kehendak mutlak Tuhan Sementara itu Fransisco Suarez dari Spanyol berpendapat demikian, manusia yang bersusila dalam pergaulan hidupnya diatur oleh suatu peraturan umum yang harus memuat unsusr-unsur kemauan dan akal. Tuhan adalah pencipta hukum alam yang berlaku di semua tempat dan waktu. Berdasarkan akalnya manusia dapat menerima hukum alam tersebut, sehingga manusia dapat membedakan antara yang adil dan tidak adil, buruk atau jahat dan baik atau jujur. Hukum alam yang dapat diterima oleh manusia adalah sebagian saja, sedang selebihnya adalah hasil dari akal (rasio) manusia.
1)       Rasional:
      Sebaliknya, aliran ini mengatakan bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi adalah rasio manusia. Pandangan ini muncul setelah zaman Renaissance (pada saat rasio manusia dipandang terlepas dari tertib ketuhanan/lepas dari rasio Tuhan) yang berpendapat bahwa hukum alam muncul dari pikiran (rasio) manusia tentang apa yang baik dan buruk penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam. Tokoh-tokohnya, antara lain: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel Pufendorf.
      Pendasar hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot (Grotius), ia menekankan adanya peranan rasio manusia dalam garis depan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari Tuhan. Oleh karena itu rasio manusialah sebagai satu-satunya sumber hukum.
      Tokoh penting lainnya dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari Kant dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik der reinen Vernunft yang terkait dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis (kritik der praktischen Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya Adirasa (kritik der Urteilskraft yang terkait dengan estetika dan harmoni). Ajaran Kant tersebut ada korelasinya dengan tiga macam aspek jiwa manusia, yaitu cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition, and feeling).[4]
      Metode kritis tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat manusia (homo noumenon) tidak terletak pada akalnya, beserta corak berfikir yang bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke denkwijze), tetapi pada kebebasan jiwa susila manusia yang mampu secara mandiri menciptakan hukum kesusilaan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Yang penting bukan manusia ideal berilmu atau ilmuwan, tetapi justru pada manusia ideala berkepribadian humanistis.
      Salah satu karya Kant yang berjudul Metaphysische Anfangsgruende der Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika Ajaran Hukum merupakan bagian dari karyanya yang berjudul Metaphysik der Sitten) pokok pikirannya ialah bahwa manusia menurut darma kesusilaannya mempunyai hak untuk berjuang bagi kebebasan lahiriahnya untuk menghadirkan dan melaksanakan kesusilaan. Dan hukum berfungsi untuk menciptakan situasi kondisi guna mendukung perjuangan tersebut. Hakekat hukum bagi Kant adalah bahwa hukum itu merupakan keseluruhan kondisi-kondisi di mana kehendak sendiri dari seseorang dapat digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah hukum kebebasan umum yang meliputi kesemuanya.
      Katagori imperatif Kant mewajibkan semua anggota masyarakat tetap mentaati hukum positif negara sekalipun di dalam hukum terebut terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan. Jadi, di sini sudah terdapat larangan mutlak bagi perilaku yang tergolong melawan penguasa negara, sehingga dengan katagori imperatif ini ajaran dari Immanuel Kant juga dapat digolongkan ke dalam aliran positivisme. Pendapat Kant ini diikuti oleh Fichte yang mengatakan bahwa hukum alam itu bersumber dari rasio manusia.
       Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah Hegel dari Jerman. Yang dijadikan motto oleh Hegel ialah: Apa yang nyata menurut nalar adalah nyata, dan apa yang nyata adalah menurut nalar (Was vernunftig ist, das ist wirklich ist, das ist vernunftig. What is reasonable is real, and what is real is reasonable). Tidak ada antimoni antara nalar/akal dengan kenyataan atau realitas. Bagi Hegel, seluruh kenyataan kodrat alam dan kejiwaan merupakan proses perkembangan sejarah secara dialektis dari roh/cita/spirit mutlak yang senantiasa maju dan berkembang. Jiwa mutlak mengandung dan mencakup seluruh tahap-tahap perkembangan sebelumnya jadi merupakan permulaan dan kelahiran segala sesuatu. Pertumbuhan dan perkembangan dialektis melalui tesa, antitesa, san sintesa yang berlangsung secara berulang-ulang dan terus-menerus. Filsafat hukum dalam bentuk maupun isinya, penampilan dan esensinya juga dikuasai oleh hukum dialektika. Negara merupakan perwujudan jiwa mutlak, demikan juga dengan hukum.

b. Aliran Hukum Positif
      Sebelum aliran ini lahir, telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum yang disebut dengan Legisme yang memandang tidak ada hukum di luar undang-undang, dalam hal ini satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.
1)     Analitis
      Pemikiran ini berkembang di Inggris namun sedikit ada perbedaan dari tempat asal kelahiran Legisme di Jerman. Di Inggris, berkembang bentuk yang agak lain, yang dikenal dengan ajaran Positivisme Hukum dari John Austin, yaitu Analytical Jurisprudence. Austin membagi hukum atas 2 hal, yaitu:
a)     Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.
b)     Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
-         hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai hukum positif yang terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti: undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau disusun rakyat secara individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-haknya, contoh hak wali terhadap perwaliannya.
-         Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan dalam organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.
Menurut Austin, dalam hukum yang nyata pada point pertama, di dalamnya terkandung perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Sehingga ketentuan yang tidak memenuhi keempat unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hukum. 
2)     Murni
      Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam aliran positivisme, karena pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan ajaran Auistin. Hans Kelsen seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak pada penggunaan hukum alam. Stanmmler masih menerima dan menganut berlakunya suatu hukum alam walaupun ajaran hukum alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans Kelsen secara tegas mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam, walaupun Kelsen mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.
      Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan mewakili aliran positivisme kritis (aliran Wina). Ajaran tersebut dikenal dengan nama Reine Rechtslehre atau ajaran hukum murni. Menurut ajaran tersebut, hukum harus dibersihkan dari dan/atau tidak boleh dicampuri oleh politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Ilmu (hukum) adalah susunan formal tata urutan/hirarki norma-norma. Idealisme hukum ditolak sama sekali, karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak ilmiah. Adapun pokok-pokok ajaran Kelsen adalah sebagai berikut:
a)     Tujuan teori ilmu hukum sama halnya dengan ilmu-ulmu yang lain adalah meringkas dan merumuskan bahan-bahan yang serba kacau dan keserbanekaragaman menjadi sesuatu yang serasi.
b)     Teori filsaft hukum adalah ilmu, bukan masalah apa yang dikehendaki, masalah cipta, bukan karsa dan rasa.
c)     Hukum adalah ilmu normatif, bukan ilmu ke-alaman (natuurwetenschap) yang dikuasai oleh hukum kausalitas.   
d)     Teori/filsafat hukum adalah teori yang tidak bersangkut paut dengan kegunaaan atau efektivitas norma-norma hukum.
e)     Teori hukum adalah formal, teori tentang ara atau jalannya mengatur perubahan-perubahan dalam hukum secara khusus.
f)      Hubungan kedudukan antara tori hukum dengan sistem hukum positif tertentu adalah hubungan antara hukum yang serba mungkin dan hukum yang senyatanya.
Fungsi teori hukum ilah menjelaskan hubungan antara norma-norma dasar dan norma-norma lebih rendah dari hukum, tetapi tidak menentukan apakah norma dasar itu baik atau tidak. Yang disebut belakangan adalah tugas ilmum politik, etiika atau agama.
      Teori konkretisasi hukum menganggap suatu sistem hukum sebagai atau susunan yang piramidal. Stufentheorie diciptakan pertama kali oleh Adolf Merkl (1836-1896), seorang murid dari Rudolf von Jhering,[5] yang kemudian diambil alih oleh Hans Kelsen. Kekuatan berlakunya hukum tertentu tergantung pada norma hukum yang lebih tinggi, demikian seterusnya hingga sampai pada suatu Grundnorm, yang berfungsi sebagai dasar terakhir/tertinggi bagi berlakunya keseluruhan hukum positif yang bersangkutan. Fungsi hukum tersebut bukan dalam arti hukum kodrat, tetapi sebagai suatu Transcendental Logische Voraussetzung, yaitu dalil yang secara transendental menentukan bahwa norma dasar terakhir/tertinggi secara logis harus ada lebih dahulu, yang sekaligus berfungsi sebagai penjelasan atau pembenaran ilmiah bahwa keseluruhan norma-norma c.q. peraturan-peraturan dalam hukum positif yang bersangkutan itu pada hakekatnya merupakan satu kesatuan yang serasi.
      Penulis lain bernama Rudolf Stammler  (1856-1938) merupakan tokoh kebangkitan kembali filsafat c.q. hukum kodrat gaya baru, yaitu hukum kodrat yang senantiasa berubah yang mengajarkan bahwa filsafat hukum adalah ilmu/ajaran tentang hukum yang adil  (die lehre vom richtigen recht). Apabila ilmu hukum meneliti dan mengkaji, secara positif, maka tugas dan fungsi filsafat hukum ialah dengan abstraksi bahan-bahan variabel tersebut, meneliti secara transendental kritis (metode yang berasal dari Kant) bentuk-bentuk kesadaran manusia hingga menerobos sampai pada landasan/dasar transendental logis penghayatan hukum yang berujud hakekat pengertian hukum.
      Hakekat pengertian hukum atau pengertian hukum yang transendental ini mempunyai unsur-unsur: kehendak/karsa, mengikat, berkuasa atas diri dan tidak bisa diganggu (wollen, verbinden, selbstherrlichkeit unverletzbarkeit). Dari hakekat ini lebih lanjut ditarik 8 (delapan) macam kategori hukum, yaitu: subjek hukum, objek hukum, dasar hukum, hubungan hukum, kekuasaan hukum, penundukan hukum, menurut hukum (rechtmatigeheid), dan melawan hukum. Pengertian dasar atau kategori hukum itu berupa metode pikiran formil yang adanya tidak ditentukan oleh atau digantungkan pada isi atau aturan hukum. Asas-asas hukum umum yang menentukan kebaikan isi atuan hukum, tidak termasuk pengertian hukum tetapi tergolong pada cita hukum. Hukum yang adil adalah hukum yang memenuhi syarat atau tertentu “social-ideal”, yakni ujud dari manusia dalam kehidupan masyarakat yang memiliki kehendak bebas (Gemeinschaft frei wollender Menschen). Cita hukum yang sosial ini berfungsi regulatif terhadap sistem hukum positif, tidak semata-mata pada bentuk hukumnya.

a.      Aliran Utilitarianisme
      Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Bentham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan adalah kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan. Keberadaan hukum diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi bentrokan kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya, untuk itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam hukum, jikas tidak demikian, maka akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain). Oleh karena itu, ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual.
      Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia ialah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Mill juga menolak pandangan Kant yang mengajarkan bahwa individu harus bersimpati pada kepentingan umum. Kemudian Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada hakekatnya, perasaan individu akan keadilan dapat membuat individu itu menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya.
      Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara utilitarianisme yang individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal sebagai pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial,  jadi merupakan gabungan antara teori yang dikemukakan oleh Bentham, Mill, dan positivisme hukum dari John Austin. Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.

b.      Aliran Sejarah
      Tokoh-tokohnya antara lain Friedrich Carl von Savigny (1778-1861) dan Puchta (1789-1846). Sebagian dari pokok ajarannya ialah bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir dan tumbuh dari dan dengan rakyat, berkembang bersama dengan rakyat, namun ia akan mati, manakala rakyat kehilangan kepribadiannya (das recht wirdnicht gemacht, es wachst mit dem volke vort, bilden sich aus mit diesem, und strirbt endlich ab sowie das volk seineen eigentuum lichkeit verliert). Sumber hukum intinya adalah hukum kebiasaan adalah volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat.
      Paton memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny sebagai berikut:
1)     Jangan sampai kepentingan dari golongan masyarakat tertentu dinyatakan sebagai volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya.
2)     Tidak selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja, karena dalam kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris yang tidak akan terbentuk tanpa perjuangan keras.
3)     Jangan sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat perhatian, karena walaupun volksgeist itu dapat menjadi bahan kasarnya, tetap saja perlu ada yang menyusunnya kembali untuk diproses menjadi bentuk hukum.
4)     Dalam banyak kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar daripada yang diakui oleh penganut Mazhab Sejarah. Banyak bangsa yang dengan sadar mengambil alih Hukum Romawi dan mendapat pengaruh dari Hukum Perancis.
Tulisan von Savigny sebenarnya merupakan reaksi langsung terhadap Thibaut , di samping itu juga hendak memberi tempat  yang terhormat bagi hukum rakyat Jerman yang asli di negara Jerman sendiri. Von Savigny berkeinginan agar hukum Jerman itu berkembang menjadi hukum nasional Jerman. Tantangan von Savigny terhadap kodifikasi Perancis itu telah menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman tidak memiliki kodifikasi hukum perdata. Pengaruh pandangan von Savigny juga terasa sampai jauh ke luar batas negeri Jerman.
      Sedang Puchta, termasuk penganut aliran sejarah dan sebagai murid von Savigny  berpendapat bahwa hukum dapat berbentuk:
1)     Langsung, berupa adat-istiadat.
2)     Melalui undang-undang.
3)     Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.
Namun ketika pembentukan hukum tersebut masih berhubungan erat dengan jiwa bangsa (volksgeist) yang bersangkutan.
      Lebih lanjut, Puchta membedakan pengertian “bangsa” ke dalam dua jenis, yaitu bangsa dalam pengertian etnis yang disebut “bangsa alam” dan bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara. Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.
      Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negera mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang, Puchta mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik hukum dalam adat-istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum. Adat-istadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara. Sama halnya dengan pengolahan hukum oleh kaum Yuris, pikiran-pikiran mereka tentang hukum memerlukan pengesahan negara supaya berlaku sebagai hukum. Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan dukungan apapun. Ia berhak membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris, tanpa menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan dipraktikkan sebagai adat-istiadat.
      Dengan adanya pemikiran dan pandangan puchta yang demikian ini, menurut Theo Huijbers dikatakan tidak jauh berbeda dengan Teori Absolutisme negara dan Positivisme Yuridis.[6] Buku Puchta yang terkenal berjudul Gewohnheitsrecht.

c.      Aliran Sociological Jurisprudence
      Pendasar aliran ini, antara lain: Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benjamin Cardozo, Kontorowics, Gurvitch dan lain-lain. Aliran ini berkembang di Amerika, pada intinya aliran ini hendak mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[7] Kata “sesuai” diartikan sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.
      Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Dengan rasio demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum sebagai gejala sosial, sedang Sociological Jurisprudence merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas (sociological jurisprudence dan sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya. Sociological jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada masyarakat, sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada hukum.
      Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara.
      Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak persamaannya dengan aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam hukum digantikan dengan primat “pengkajian dan penilaian terhadap kehidupan manusia (Lebens forschung und Lebens bewertung), atau secara konkritnya lebih memikirkan keseimbangan kepentingan-kepentingan (balancing of interest, private as well as public interest).
      Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law merupakan synthese dari these positivisme hukum dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya, kedua liran tersebut ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal agar dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman . Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu.

d.      Pragmatic Legal Realism
      Salah seorang sarjana bernama Friedman membahas aliran ini dalam kaitannya sebagai salah satu subaliran dari positivisme hukum. Sebab, pangkal pikir dari aliran ini bersumber pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumber hukum. Pendasar mazhab/aliran ini ialah John Chipman, Gray, Oliver Wendell Holmes, Karl Llewellyn, Jerome Frank, William James dan sebagainya. Friedman juga berpendapat bahwa Roscoe Pound juga dapat digolongkan ke dalam Pragmatic Legal Realism di samping masuk ke dalam Sociological Jurisprudence.  Hal ini disebabkan oleh pendapat atau pandangan Roscoe Pound yang mengatakan bahwa hukum itu adalah a tool of social engineering. Sementara itu, Llewellyn berpendapat bahwa Pragmatic Legal Realism bukan aliran tapi suatu gerakan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 
1)     Realisme bukanlah suatu aliran/mazhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
2)     Realisme adalah suatu konsep mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial; maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada hukum.
3)     Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen dan sein untuk keperluan suatu penyelidikan agar penyelidikan itu mempunyai tujuan, maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai dan observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipenuhi oleh kehendak observer maupun tujuan-tujuan kesusilaan.
4)     Realisme telah mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional oleh karena realisme bermaksud melukiskan apa yang sebenarnya oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi-definisi dalam peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum tentang apa yang akan dikerjakan oelh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan keyakinan ini, maka realisme menciptakan penggolongan-penggolongan perkara dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.
5)     Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai akibatnya.
      Pendekatan yang harus dilakukan oleh gerakan realisme untuk mewujudkan program tersebut di atas telah digariskan sebagai berikut:
1)     Keterampilan diperlukan bagi seseorang dalam memberikan argumentasinya yang logis atas putusan-putusan yang telah diambilnya bukan hanya sekedar argumen-argumen yang diajukan oleh ahli hukum yang nilainya tidak berbobot.
2)     Mengadakan perbedaan antara peraturan-peraturan dengan memperhatikan relativitas makna peraturan-peraturan tersebut.
3)     Menggantikan katagori-katagori hukum yang bersifat umum dengan hubungan-hubungan khsusus dari keadaan-keadaan yang nyata.
4)     Cara pendekatan seperti tersebut di atas mencakup juga penyelidikan tentang faktor-faktor/unsur-unsur yang bersifat perseornagan maupun umum dengan penelitian atas kepribadian sang hakim dengan disertai data-data statistik tentang ramalan-ramalan apa yang akan diperbuat oloeh pengadilan dan lain-lain.[8]
      Mengenai aliran Pragmatic Legal Realism yang berkembang pada waktu itu dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1)     Aliran Realisme Hukum Amerika
      Tokoh-tokohnya adalah Oliver Wendell Holmes dan Jerome Frank. “The path of Law” berasal dari Holmes, sedang “Law in the modern mind” berasal dari Jerome Frank. Sifat normatif hukum agak dikesampingkan. Hukum pada hakekatnya adalah berupa pola perilaku/tindakan (pattern of behaviour) nyata dari hakim dan petugas/pejabat hukum (law officials) lainnya. Pendorong utama perilaku Hakim atau pejabat-pejabat hukum segarusnya berpijak pada moral positif dan kemaslahatan masyarakat (social advanrage). Bagi Frank, hukum dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum yang senyatanya dan hukum yang mungkin (actual law and probable law). Peraturan-peraturan hukum dan asas-asas hukum tidak lain adalah semacam stimuli yang mempengaruhi perilaku hakim yang dapat dilihat dalam putusan-putusan hakim, di samping faktor-faktor lain, yakni, prasangka politis, ekonomis, dan moril, simpati maupun antipati pribadi (Frank). Terhadap sikap yang agak ekstrim dari kedua tokoh tersebut, yakni Roscoe Pound dan benjamin Cardozo dalam bukunya yang berjudul “The nature of the juridical process” mengambil pendirian yang lebih moderat, yakni wawasan sosiologis.
2)     Aliran Realisme Skandinavia
      Di Skandinavia, para sarjana hukum modern mengembangkan cara berfikir tentang hukum yang memiliki ciri khas ala Skandinavia yang tidak ada persamaannya di negara-negara lain. Walaupun istilah realisme sering dipergunakan untuk gerakan cara berfikir di Skandinavia akan tetapi persamaan nama dengan gerakan cara berfikir di Amerika Serikat, hanyalah sebatas persamaan nama saja. Realisme Skandinavia adalah dasar-dasar filsafat yang memberikan kritik-kritik terhadap dasar-dasar metafisika hukum (Skandinavian realism is essentialy a philosophical critique of the metaphysical foundations law). Gerakan ini menolak cara pendekatan yang dipergunakan oleh kaum realis Amerika Serikat yang mempunyai nilai rendah. Dalam caranya memberi kritik dan pengupasan prinsip-prinsip pertama yang seringkali sangat abstrak, grakan realis mempunyai ciri-ciri yang mirip sekali dengan ciri-ciri Filsafat Hukum Eropa. Adanya persamaan cara pendekatan antara penganut-penganut gerakan relaisme Skandinavia diusebabkan oleh pengaruh dari Axel Hagestrom terhadap tokoh-tokoh gerakan realisme Skandinavia pada waktu itu, yaitu Oliverscrona, Lundstedt, sekalipun pengaruh Axel tidak sebesar Ross.
      Para ahli hukum tersebut di atas menolak adanya pengertian-pengertian mutlak tentang keadilan yang menguasai dan yang memberi pedoman pada sistem-sistem hukum positif. Mengenai nilai-nilai hukum gerakan realisme Skandinaviamempunyai pendirian yang sama dengan filsafat relativisme; mereka menolak pendirian yang mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hukum dapat disalurkan secara memaksa dari prinsip-prinsip tentang keadilan yang tidak adapat diubah.
      Menureut Friedman,[9] keberadaan realisme Skandinavia telah memberikan sumbangan yang amat besar kepada teori hukum, yaitu tentang penggunaan pengertian kehendak kolektif, satu kehendak umum atau kehendak negara (a collective or general will or of the state) oleh ilmu hukum analitis. Menurut Hargerstrom dan kawan-kawan, pengertian-pengertian tersebut adalah semacam satu pengertian gaib yang dipergunakan mereka untuk memberi dasar hukum pada kemahakuasaan orang-orang yang memegang perintah negara; dan cara mereka membuktikan legitimitas (dasar hukum) kekuasaan negara tersebut menurut Hargerstrom dan kawan-kawan adalah pada dasarnya sama dengan cara-cara yang dipergunakan filsafat hukum kodrat.

2.      Latihan Soal
a.      Mengapa hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia? Jelaskan!
b.      Apa yang melatarbelakangi Thomas Aquinas membagi hukum menjadi 4, serta sebutkan dan jelaskan ke-4 hukum menurut Thomas Aquinas?
c.      Mengapa dalam aliran hukum positif timbul aliran analitis dan murni dan bagaimana pula perbedaan yang menonjol antara dua liran tersebut? Jelaskan!
d.      Siapakah pendasar aliran Utilitarianisme dan bagaimana pula pendapat atau pandangan para ahli hukum penganut aliran Utilitarianisme terhadap hukum? Sebut dan jelaskan!
e.      Adakah perbedaan pendapat antara Karl von Savigny dan Puchta? Jelaskan jawaban Sdr.!
f.       Ada berapa pandangan realisme hukum? Di manakah pertama kali realisme hukum itu timbul? Jelaskan perbedaannya masing-masing!

DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995.

Huijbers, Theo Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.

Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990, halaman.

Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.

Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.



      [1] Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990, halaman 26-27.
      [2] Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 1.
      [3] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995, halaman 102.
     
      [4] Soehardjo Sastrosoehardjo, Op. Cit., halaman 12.
      [5] Bandingkan dengan Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 43.
      [6] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 120-121.
      [7] Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 47.
      [8] Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, halaman 77.

      [9] Ibid., halaman 86.

0 komentar:

Posting Komentar