Senin, 20 Mei 2013


KRIMINALISASI POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA 
DI TUNISIA

1.      Tunisia
              Tunisia merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim Sunni,[1]  bermazhab Maliki dan sebagian Hanafi, karena itu dalam persoalan perdata, kedua mazhab tersebut sama-sama dipergunakan. Namun banyak di antara berbagai dinasti yang pernah berkuasa di Tunisia baik asing maupun asli Tunisia memiliki keyakinan yang berbeda-beda, seperti Dinasti Syi’ah Fatimiyah sekitar abad X. Setelah dinasti ini tumbang, praktis kaum Syi’ah menjadi kelompok minoritas. Demikian pula mazhab Hanafi yang membentuk minoritas kecil di Tunisia, namun memberi pengaruh penting di negeri ini sampai protektorat Perancis datang pada tahun 1883.[2]
              Langkah nasionalisme bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan elit intelektual yang dikenal dengan Young Tunisans, yang bertujuan mengasimilasi (memadukan) peradaban Perancis sampai akhirnya mereka dapat mengatur negara mereka sendiri. Mereka menggerakkan semangat egalitarisme, namun Perancis tidak menanggapinya secara serius. Langkah yang lebih serius dalam gerakan dasar nasionalis yang terjadi hanya sesaat sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam sebuah gerakan yang dipimpin oleh Abd al-Aziz Thaalbi. Langkah ketiga datang pada tahun 1930-an saat seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan hubungan dengan DESTOUR PARTY dan memproklamasikan  Neo-Destour. Prancis mengakui otonomi Tunisia pada tahun 1955 dan kemerdekaannya pada Maret 1956. Pada tahun 1957 negara Tunisia memilih Bourguiba sebagai presiden  pertamanya.[3]
              Setelah merdeka pada 20 Maret 1956, Tunisia segera menyusun berbagai pembaharuan dan kodifikasi hukum berdasarkan mazhab Maliki dan Hanafi. Upaya pembaharuan ini didasarkan pada penafsiran liberal terhadap Syariah, terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga. Lahirlah Majallat al-Ahwal asy-Syak¡iyyah yang kontroversial. Di bawah kepemimpinan Presiden Habib Bourguiba Tunisia menjadi negara Arab pertama yang melarang poligami.[4] Majallat  itu sendiri mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak, yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam klasik. Pada perkembangan selanjutnya, Majallat atau Undang-Undang Status Personal tahun 1956 ini telah mengalami beberapa kali perubahan, penambahan, dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen Undang-undang sampai dengan tahun 1981. Selanjutnya pemerintah Tunisia pada saat itu membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh al-Islam yaitu Muhammad Ju‘ayad untuk memberlakukan undang-undang secara resmi. Syekh Universitas Zaituna juga ikut berpartisipasi dalam komite tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang diperoleh, dari hasil-hasil komite Lai’hat, hukum keluarga ala Mesir, Yordania, Syiria, dan Turki Usmani. Komite tersebut mengajukan rancangan undang-undang hukum keluarga kepada pemerintah, dan akhirnya diberlakukanlah undang-undang tersebut pada tahun 1956.[5]     
              Undang-Undang tersebut terdiri dari 167 pasal yang ditulis dalam 10 jilid yang dianggap cukup komprehensif, meskipun belum memuat undang-undang mengenai kewarisan. Undang-undang ini telah mengalami tujuh kali amandemen selama periode 1958-1966. Terakhir kali Undang-Undang ini diamandemen pada tahun 1981 (UU No. 7/1981), yang memperkenalkan beberapa modifikasi penting dari undang-undang sebelumnya.
              Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut, yaitu:[6]
1)     Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki;
2)     Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;
3)     Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
4)     Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;
5)     Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas;
              Undang-Undang Tunisa tersebut berlaku bagi semua warga negara Tunisia, khususnya setelah tercapai kesepakatan dengan Perancis pada 1 Juli 1957. dari berbagai pembaharuan yang terdapat dalam UU baru ini, ada dua hal yang (awalnya) mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan, yaitu larangan poligami dan keharusan perceraian di pengadilan.[7]    
              Berkaitan dengan kriminalisasi poligami di Tunisia, pasal 18  menyatakan:
a.      Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
b.      Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957  yang berhubungan dengan aturan sipil  dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama.
c.      Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang  yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan  hukuman yang sama.[8]

              UU mengenai Status Perorangan tahun 1957 Tunisia di atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon mempunyai landasan hukum pada ayat lain  dalam Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya (Q.S. an-Nisa [4] : 3).  Ternyata, baik dari pengalaman maupun pernyataan wahyu (Q.S. an-Nisa [4]: 128), keadilan yang dimaksud tidak akan dapat dipenuhi. Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqah±’ salaf, dengan alasan cukup masuk akal, menyatakan bahwa Alquran tidak dapat begitu saja dianggap bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.[9]
              Ada dua alasan yang dikemukakan Tunisia melarang poligami: pertama, bahwa institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya; dan kedua, bahwa syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi saw. yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.[10]
              Sebelum kehadiran hukum ini para kadi di Tunisia terdiri dari kadi-kadi bermazhab Hanafi dan bermazhab Maliki, meskipun rakyat pada umumnya menganut mazhab Maliki. Namun sekarang hukum baru yang bercorak eklektik ini justeru dinyatakan berlaku bagi semua orang Islam (dan lebih lanjut telah diterima oleh dan dinyatakan berlaku bagi orang-orang Yahudi), sehingga semua mahkamah dijadikan satu jenis dan semua jurisdiksi peradilan berada di tangan pengadilan-pengadilan nasional. Presiden Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang berlaku di masa lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati nurani manusia—misalnya tentang poligami dan perceraian yang sekarang diatur dengan hukum baru itu, dan juga semua masalah yang muncul dalam kehidupan moderin saat ini.” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan jiwa dan menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai manusia. Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan pandangan-pandangan dari kalangan Salaf.[11]  
              Selain itu, para reformis di Tunisia  menegaskan bahwa di samping seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para istri, Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada mereka. Aturan Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya sekedar sebuah desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam artian bahwa tidak satupun perkawinan  kedua dapat diizinkan kecuali dan sampai terbukti dapat berlaku sama (egaliter) dimana para istri diperlakukan dengan adil.  Namun melihat kondisi sosial dan ekonomi modern sepertinya sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika kondisi dasar poligami tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara singkat menyatakan “poligami adalah dilarang.” [12] 
              Tunisia dapat dianggap contoh terdepan bagaimana, pasca 1945, pembaruan cenderung lebih didasarkan pada hal yang dinyatakan sebagai hak  negara Muslim, lewat penguasanya, untuk berijtihad. Tunisia  menghapus hak poligami melalui Pasal 18 UU Status Personal Tunisia 1956, yang didasarkan  pada penafsiran ulang Surat an-Nisa ayat 3.  Tunisia menyamakan keadilan tidak saja dengan nafkah (topangan finansial), namun juga dengan cinta dan kasih sayang. Dinyatakan pula bahwa hanya Nabi saw. yang dapat berlaku adil kepada dua orang stri dengan cara demikian; oleh karena itu, dalm kondisi sekarang, anggapan tak terbantahkannya adalah bahwa seorang suami muslim tidak mungkin memenuhi persyaratan Alquran.[13]                   
              Apa yang dilakukan oleh Tunisia dengan menerapkan UU tersebut, menurut Atho Mudzhar sebagaimana dikutip Fauzul Iman, bukan berarti  telah keluar dari hukum Islam, akan tetapi lebih dilihat dari apa yang melatarbelakangi lahirnya UU tersebut. Antara tahun 1885 sampai tahun 1912, sekitar 3000 anak Tunisia dikirim untuk belajar ke Paris, meskipun pada saat yang sama orang-orang Perancis  melakukan kolonisasi di Tunisia. Pada tahun 1906 tercatat 34.000 orang Perancis tinggal di Tunisia dan angka itu melonjak menjadi 144.000 pada tahun 1945. Mereka memperkenalkan pertanian dan pendidikan modern kepada masyarakat Tunisia. Di pihak lain orang Tunisia juga belajar ke Paris, setelah kembali mereka melakukan pembaharuan pendidikan melalui Zaituna dan Sadi College yang kemudian melahirkan Khalduniyyah College—yang menjadi pusat gerakan”The Young Tunisians”.[14]Jadi terobosan yang dilakukan Tunisia tampaknya tak lebih dari revolusi interpretasi “fikih baru” dari sebuah negara yang sedang gencar-gencarnya mengadakan pembaharuan di berbagai dimensi kehidupan masyarakatnya.



[1] Larry A.. Barrie, “Tunisia” dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s),  op. cit., hlm. 1796.
[2] Lihat John P. Entelis, “Tunisia” dalam John L. Esposito (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, jld IV, Oxford University Press, 1991. 
[3] Larry A. Barrie, “Tunisia” dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s),  op. cit., hlm. 1798.
[4] Ibid., hlm. 235-239.
[5]  Tahir Mahmood, Personal Law…, hlm. 152.
[6]J.N.D. Anderson, “The Tunisian Law of Personal Status”, dalam International and Comparative Law Quarterly, 7 April 1985, hlm. 262. 
[7] Kiran Gupta, “Polygamy Law Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and Comparative Law, vol XVIII, No. 2 Thaun 1992, hlm. 121.
[8] Tahir Mahmood, Personal Law…, hlm. 155-157.
[9] Ibid., hlm. 54.
[10] Norman Anderson, Law Reform in the Muslim World, The Athlone Press, London, 1976, hlm. 63.
[11] J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, Edisi Indonesia: Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress, Surabaya, 1991, hlm. 35.
[12] Entri “Islam” dalam Ilan Yeshua (CEO), The New Encylopaedia Britannica, vol. 22, Edisi, XV, Encylopaedia Britannica, Inc., Chicago, 2003, hlm. 35.
[13] Lihat  Gordon N. Newby, “Family Law” dalam John L. Esposito (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, jld IV, Oxford University Press, 1991. 
[14]Fauzul Iman, Pemikiran Muhammad Rasyid Ridla tentang Ijtihad dan Manifestasinya dalam Fiqh (Kajian terhadap Kitab Yusr al-Islam wa Ushul at-Tasyri‘ al-‘Am), Sinopsis Disertasi, Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004, hlm. 32.

0 komentar:

Posting Komentar