KRIMINALISASI
POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA
DI TUNISIA
1. Tunisia
Tunisia
merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara
yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara.
Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim Sunni,[1] bermazhab Maliki dan sebagian Hanafi, karena
itu dalam persoalan perdata, kedua mazhab tersebut sama-sama dipergunakan.
Namun banyak di antara berbagai dinasti yang pernah berkuasa di Tunisia baik
asing maupun asli Tunisia memiliki keyakinan yang berbeda-beda, seperti Dinasti
Syi’ah Fatimiyah sekitar abad X. Setelah dinasti ini tumbang, praktis kaum
Syi’ah menjadi kelompok minoritas. Demikian pula mazhab Hanafi yang membentuk
minoritas kecil di Tunisia, namun memberi pengaruh penting di negeri ini sampai
protektorat Perancis datang pada tahun 1883.[2]
Langkah
nasionalisme bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan elit intelektual yang
dikenal dengan Young Tunisans, yang bertujuan mengasimilasi (memadukan)
peradaban Perancis sampai akhirnya mereka dapat mengatur negara mereka sendiri.
Mereka menggerakkan semangat egalitarisme, namun Perancis tidak menanggapinya
secara serius. Langkah yang lebih serius dalam gerakan dasar nasionalis yang
terjadi hanya sesaat sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam sebuah gerakan
yang dipimpin oleh Abd al-Aziz Thaalbi. Langkah ketiga datang pada tahun
1930-an saat seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan hubungan
dengan DESTOUR PARTY dan memproklamasikan
Neo-Destour. Prancis mengakui otonomi Tunisia pada tahun 1955 dan
kemerdekaannya pada Maret 1956. Pada tahun 1957 negara Tunisia memilih
Bourguiba sebagai presiden pertamanya.[3]
Setelah
merdeka pada 20 Maret 1956, Tunisia segera menyusun berbagai pembaharuan dan
kodifikasi hukum berdasarkan mazhab Maliki dan Hanafi. Upaya pembaharuan ini
didasarkan pada penafsiran liberal terhadap Syariah, terutama yang berkaitan
dengan hukum keluarga. Lahirlah Majallat al-Ahwal asy-Syak¡iyyah yang
kontroversial. Di bawah kepemimpinan Presiden Habib Bourguiba Tunisia menjadi
negara Arab pertama yang melarang poligami.[4]
Majallat itu sendiri mencakup
materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak, yang berbeda dengan
ketetapan hukum Islam klasik. Pada perkembangan selanjutnya, Majallat
atau Undang-Undang Status Personal tahun 1956 ini telah mengalami beberapa kali
perubahan, penambahan, dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen
Undang-undang sampai dengan tahun 1981. Selanjutnya pemerintah Tunisia pada
saat itu membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh al-Islam yaitu
Muhammad Ju‘ayad untuk memberlakukan undang-undang secara resmi. Syekh
Universitas Zaituna juga ikut berpartisipasi dalam komite tersebut. Dengan
menggunakan sumber-sumber yang diperoleh, dari hasil-hasil komite Lai’hat,
hukum keluarga ala Mesir, Yordania, Syiria, dan Turki Usmani. Komite tersebut
mengajukan rancangan undang-undang hukum keluarga kepada pemerintah, dan
akhirnya diberlakukanlah undang-undang tersebut pada tahun 1956.[5]
Undang-Undang
tersebut terdiri dari 167 pasal yang ditulis dalam 10 jilid yang dianggap cukup
komprehensif, meskipun belum memuat undang-undang mengenai kewarisan.
Undang-undang ini telah mengalami tujuh kali amandemen selama periode
1958-1966. Terakhir kali Undang-Undang ini diamandemen pada tahun 1981 (UU No.
7/1981), yang memperkenalkan beberapa modifikasi penting dari undang-undang
sebelumnya.
Ada
sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut, yaitu:[6]
1)
Untuk
menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki;
2)
Untuk
penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi
perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;
3)
Untuk
membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
4)
Untuk
menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya
perbedaan dari mazhab klasik;
5)
Untuk
memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas;
Undang-Undang
Tunisa tersebut berlaku bagi semua warga negara Tunisia, khususnya setelah
tercapai kesepakatan dengan Perancis pada 1 Juli 1957. dari berbagai
pembaharuan yang terdapat dalam UU baru ini, ada dua hal yang (awalnya)
mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan, yaitu larangan poligami dan
keharusan perceraian di pengadilan.[7]
Berkaitan
dengan kriminalisasi poligami di Tunisia, pasal 18 menyatakan:
a.
Poligami
dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya
benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama
satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
b.
Siapa
yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun
1957 yang berhubungan dengan aturan
sipil dan kontrak pernikahan kedua,
sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama.
c.
Siapa
yang dengan sengaja menikahkan seseorang
yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga
dikenakan hukuman yang sama.[8]
UU
mengenai Status Perorangan tahun 1957 Tunisia di atas secara tegas menetapkan
bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon mempunyai landasan hukum pada ayat
lain dalam Alquran, yang menyatakan
bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak
mampu berbuat adil kepada istri-istrinya (Q.S. an-Nisa [4] : 3). Ternyata, baik dari pengalaman maupun
pernyataan wahyu (Q.S. an-Nisa [4]: 128), keadilan yang dimaksud tidak akan
dapat dipenuhi. Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqah±’ salaf,
dengan alasan cukup masuk akal, menyatakan bahwa Alquran tidak dapat begitu
saja dianggap bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang
dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang
dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.[9]
Ada dua alasan yang dikemukakan
Tunisia melarang poligami: pertama, bahwa institusi budak dan poligami hanya
boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat Islam, tetapi dilarang
pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya; dan kedua, bahwa syarat
mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara
fakta sejarah membuktikan hanya Nabi saw. yang mampu berlaku adil terhadap
istri-istrinya.[10]
Sebelum
kehadiran hukum ini para kadi di Tunisia terdiri dari kadi-kadi bermazhab
Hanafi dan bermazhab Maliki, meskipun rakyat pada umumnya menganut mazhab
Maliki. Namun sekarang hukum baru yang bercorak eklektik ini justeru dinyatakan
berlaku bagi semua orang Islam (dan lebih lanjut telah diterima oleh dan dinyatakan
berlaku bagi orang-orang Yahudi), sehingga semua mahkamah dijadikan satu jenis
dan semua jurisdiksi peradilan berada di tangan pengadilan-pengadilan nasional.
Presiden Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang
berlaku di masa lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati
nurani manusia—misalnya tentang poligami dan perceraian yang sekarang diatur
dengan hukum baru itu, dan juga semua masalah yang muncul dalam kehidupan
moderin saat ini.” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan jiwa dan
menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama sehingga mereka dapat
menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai manusia. Pernyataan ini jelas jauh
berbeda dengan pandangan-pandangan dari kalangan Salaf.[11]
Selain
itu, para reformis di Tunisia menegaskan
bahwa di samping seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk
menghidupi para istri, Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat
berlaku adil kepada mereka. Aturan Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak
hanya sekedar sebuah desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum bagi
poligami, dalam artian bahwa tidak satupun perkawinan kedua dapat diizinkan kecuali dan sampai
terbukti dapat berlaku sama (egaliter) dimana para istri diperlakukan dengan
adil. Namun melihat kondisi sosial dan
ekonomi modern sepertinya sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika
kondisi dasar poligami tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara singkat
menyatakan “poligami adalah dilarang.” [12]
Tunisia
dapat dianggap contoh terdepan bagaimana, pasca 1945, pembaruan cenderung lebih
didasarkan pada hal yang dinyatakan sebagai hak
negara Muslim, lewat penguasanya, untuk berijtihad. Tunisia menghapus hak poligami melalui Pasal 18 UU
Status Personal Tunisia 1956, yang didasarkan
pada penafsiran ulang Surat an-Nisa ayat 3. Tunisia menyamakan keadilan tidak saja dengan
nafkah (topangan finansial), namun juga dengan cinta dan kasih sayang.
Dinyatakan pula bahwa hanya Nabi saw. yang dapat berlaku adil kepada dua orang
stri dengan cara demikian; oleh karena itu, dalm kondisi sekarang, anggapan tak
terbantahkannya adalah bahwa seorang suami muslim tidak mungkin memenuhi
persyaratan Alquran.[13]
Apa
yang dilakukan oleh Tunisia dengan menerapkan UU tersebut, menurut Atho Mudzhar
sebagaimana dikutip Fauzul Iman, bukan berarti
telah keluar dari hukum Islam, akan tetapi lebih dilihat dari apa yang
melatarbelakangi lahirnya UU tersebut. Antara tahun 1885 sampai tahun 1912,
sekitar 3000 anak Tunisia dikirim untuk belajar ke Paris, meskipun pada saat
yang sama orang-orang Perancis melakukan
kolonisasi di Tunisia. Pada tahun 1906 tercatat 34.000 orang Perancis tinggal
di Tunisia dan angka itu melonjak menjadi 144.000 pada tahun 1945. Mereka
memperkenalkan pertanian dan pendidikan modern kepada masyarakat Tunisia. Di
pihak lain orang Tunisia juga belajar ke Paris, setelah kembali mereka
melakukan pembaharuan pendidikan melalui Zaituna dan Sadi College yang kemudian
melahirkan Khalduniyyah College—yang menjadi pusat gerakan”The Young
Tunisians”.[14]Jadi
terobosan yang dilakukan Tunisia tampaknya tak lebih dari revolusi interpretasi
“fikih baru” dari sebuah negara yang sedang gencar-gencarnya mengadakan
pembaharuan di berbagai dimensi kehidupan masyarakatnya.
[1]
Larry A.. Barrie , “Tunisia ”
dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s), op. cit., hlm. 1796.
[2] Lihat John P. Entelis,
“Tunisia” dalam John L. Esposito (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of
the Modern Islamic World, jld IV, Oxford University Press, 1991.
[3] Larry A. Barrie,
“Tunisia” dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s), op. cit., hlm. 1798.
[4] Ibid., hlm. 235-239.
[5] Tahir Mahmood, Personal Law…, hlm. 152.
[6]J.N.D. Anderson, “The
Tunisian Law of Personal Status”, dalam International and
Comparative Law Quarterly, 7 April 1985, hlm. 262.
[7] Kiran Gupta, “Polygamy
Law Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and Comparative
Law, vol XVIII,
No. 2 Thaun 1992, hlm. 121.
[8] Tahir Mahmood, Personal
Law…, hlm.
155-157.
[9] Ibid., hlm. 54.
[11] J.N.D. Anderson, Islamic
Law in the Modern World, Edisi Indonesia :
Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress, Surabaya , 1991, hlm. 35.
[12] Entri “Islam” dalam Ilan
Yeshua (CEO), The New Encylopaedia Britannica, vol. 22, Edisi, XV,
Encylopaedia Britannica, Inc., Chicago, 2003, hlm. 35.
[13] Lihat Gordon N. Newby, “Family Law” dalam John L.
Esposito (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, jld IV, Oxford
University Press, 1991.
[14]Fauzul Iman, Pemikiran
Muhammad Rasyid Ridla tentang Ijtihad dan Manifestasinya dalam Fiqh (Kajian
terhadap Kitab Yusr al-Islam wa Ushul at-Tasyri‘ al-‘Am), Sinopsis Disertasi,
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004, hlm. 32.
0 komentar:
Posting Komentar