Senin, 20 Mei 2013

Ketentuan Hukum Poligami di Negara-negara Barat

              Sebelum kedatangan Islam, poligami sudah dikenal di kalangan mayoritas bangsa-bangsa kuno. Ia dibolehkan dan telah dipraktikkan di Mesir, Persia, Cina, dan kalangan masyarakat Yahudi (ajaran hukum Nabi Musa). Dalam agama Kristen, meskipun Perjanjian Baru mengabsahkan monogami sebagai bentuk ideal perkawinan, tidak ada secara eksplisit melarang poligami selain terhadap uskup dan pembantu gereja. Para tokoh agama Kristen era awal tidak menemukan keperluan mengutuk poligami karena monogami adalah hal biasa di kalangan masyarakat sebagaimana diajarkan dalam agama Kristen. Bahkan, tak satupun lembaga gereja di abad awal yang menyalahkan poligami, jadi tidak ada halangan mempraktikkannya. Sebaliknya, banyak tokoh agama membicarakan poligami  dengan nuansa penuh toleransi. Sebagai contoh, Saint Augustine sama sekali tidak pernah menyalahkan poligami, begitu pula Martin Luther, menyetujui perkawinan bigami yang dilakukan Philip Hesse. Hingga abad ke-16, sejumlah tokoh reformis Jerman menerima sahnya perkawinan yang kedua kali, bahkan perkawinan ketiga. Pada tahun 1650, beberapa tokoh Kristen memutuskan seseorang boleh menikahi dua orang perempuan.[1] Lebih belakangan, ditemukan  doktrin sekte Brigham Young’s Mormon, yang mengabsahkan praktik poligami hingga tahun 1880-an, saat Konggres Amerika Serikat mensahkan sebuah resolusi larangan praktik poligami.[2] Poligami juga merupakan bagian dari kebiasaan di kalangan suku-suku Afrika dan Australia. Begitu pula dengan hukum perkawinan Hindu yang tidak membatasi jumlah istri yang boleh dimiliki oleh seorang laki-laki.[3]
              Singkatnya, dalam masalah praktik poligami, orang-orang Kristen tidaklah sebanyak orang Yahudi ataupun Muslim. Namun, penting untuk ditekankan bahwa ajaran Kristen tidak pernah mengintrodusir monogami kepada dunia Barat,  juga tidak pernah mengukuhkan perlunya mereformasi masyarakat. Tampaknya monogami hanyalah bentuk legal dari perkawinan di masyarakat Barat dimana agama Kristenlah yang pertama kali diperkenalkan. Hal ini semakin diperkuat  oleh fakta bahwa tradisi kuatnya monogami formal merupakan hal yang lazim di Yunani dan Roma. Selain itu, kenyataannya ajaran Kristen telah mengakar di kalangan masyarakat kelas atas tempo dulu, yang bukan saja tidak berpoligami, namun lebih jauh mereka mendukung monogami.[4]
              Gambaran historis di atas perlu dikemukakan untuk melihat rentang sejarah praktik poligami di masyarakat Dunia dan sejauhmana  titik hubungnya dengan perkembangan di Dunia Barat era modern. Tak dipungkiri bahwa negara-negara Barat, era modern, sama sekali menolak keberadaan poligami dalam kehidupan institusi keluarga mereka. Hal ini ditunjukkan dan dikukuhkan oleh produk hukum negara mereka yang secara umum menempatkan poligami sebagai sesuatu yang illegal atau malah dianggap sebagai perbuatan kriminal. Ketentuan yang sama berlaku bagi komunitas lain yang menetap di negara Barat yang diikat keharusan tunduk pada ketentuan UU di sana. Namun demikian seiring semakin meningkatnya jumlah komunitas Muslim dan keberadaan mereka yang menyatu dengan kehidupan masyarakat Barat perlahan menjadi pertimbangan lebih lanjut oleh pemerintah negara Barat dalam merespon kepentingan seluruh elemen masyarakatnya. Bahasan ini akan mencoba menyoroti, dan membatasi hanya pada beberapa contoh negara Barat seperti Perancis, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat.
              Di Perancis, suatu perkawinan menurut tata cara Islami tidak memiliki kekuatan hukum apabila perkawinan tersebut mengambil tempat di wilayah Perancis. Poligami tidak hanya menjadi halangan untuk mendapat nasionalisasi Perancis namun pasal 147 Civil Code Perancis secara khusus menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi perkawinan kedua kecuali jika perkawinan pertama telah bubar. Sebagai akibatnya, meskipun pasangan suami istri tersebut berasal dari negeri yang mengizinkan poligami, tidak ada lembaga poligami dapat secara legal diakui di Perancis. Perkawinan kedua sama sekali dinyatakan batal. Atas dasar inilah pengadilan beberapa kali menolak kepentingan wanita muslim tinggal di Perancis dalam ikatan perkawinan poligami. Pada tahun 1992, misalnya, Cour d’Appel de Versailles  (Pengadilan Banding) menolak jaminan keamanan sosial bagi istri kedua  dari suaminya yang muslim dan pada tahun 1988 Cour d’Appel d’Aix-en-Provence juga menolak pemberian hak tunjangan cerai seorang wanita muslim dengan alasan bahwa dia istri kedua dan bahwa poligami dianggap bertentangan dengan tatanan (ketertiban) publik Perancis.
              Namun demikian, jika upacara secara Islami itu diadakan di negeri asal pasangan suami-istri tersebut, perkawinan itu dianggap memiliki kekuatan  hukum menurut hukum Perancis selama ia tidak menyalahi tatanan publik Perancis. Cour de Cassation berulang kali menegaskan bahwa poligami bukanlah pelanggaran pokok dari aturan publik Perancis menurut adat tradisi mereka, sekalipun lembaga  yang sama dinyatakan sama sekali tidak sah jika dilangsungkan di Perancis. Sebagai konsekuensinya berbagai hak jaminan kesehatan dapat diberikan kepada seorang wanita yang didaftarkan oleh suaminya sebagai orang yang tidak mandiri, tanpa melihat apakah perkawinannya dianggap sah secara hukum. Apabila istri pertama telah menerima fasilitas keamanan sosial, maka istri kedua tidak dapat menuntutnya juga, sekalipun istri pertama tidak lama hidup di Perancis. Oleh karena itu, para suami muslim dipaksa untuk membayar nafkah anak meskipun anak tersebut berasal dari buah perkawinan secara agama bukan melalui upacara sipil.
              Hingga tahun 1980, reunifikasi keluarga poligami dilarang di Perancis: Pemerintah Perancis menolak kewarganegaraan penuh bagi para istri dan anak-anak dari para suami yang telah lebih dahulu menetap di Perancis dengan istri dan anak-anaknya yang lain. Dalam kasus Montcho pada tahun 1980, bagaimanapun juga, Conseil d’Etat  untuk pertama kalinya memberikan status kewarganegaraan penuh bagi istri kedua dari seorang laki-laki Aljazair, suatu pemberian signifikan bagi hak penyatuan kembali keluarga. Pengadilan beralasan bahwa, untuk tujuan terbatas fasilitas keamanan sosial, poligami adalah sesuatu yang berbeda, tetapi meskipun begitu format perkawinan sah. Yang jelas, pemerintah Perancis bereaksi melawan ekspansi poligami di wilayah Perancis. Menurut UU baru yang disahkan pada Agustus 1993, suatu perkawinan poligami tidak lagi memberi hak suami untuk membawa istri keduanya dan anak-anak mereka ke Perancis. Anak-anak hasil perkawinan poligami yang tinggal di luar negeri tanpa ayahnya hanya dapat menghubungi ayahnya yang berada di Perancis di saat ibu mereka yang berada di negeri asal telah meninggal dunia. UU 24 Agustus 1993 Pasal 30 selanjutnya menyatakan:
“Ketika  seorang warga asing yang berpoligami menetap di wilayah Perancis bersama istri pertamanya, kepentingan/hak penyatuan keluarga kembali tidak dapat diberikan kepada istrinya yang lain. Kecuali jika istri pertama tersebut meninggal dunia atau kehilangan hak sebagai orang tua, anak-anaknya tidak mendapat hak dari penyatuan kembali keluarga yang lain.”
             
              UU ini dikritik oleh banyak organisasi imigran karena dinilai memperlakukan wanita muslim secara tidak adil yang, berhadapan dengan kemustahilan secara legal hidup bersama suami mereka, sering masuk ke negara tersebut secara illegal dan kemudian ditempatkan pada posisi yang mudah diserang/kritik.[5]    
              Sedangkan di Jerman, dalam masalah hukum keluarga dan hukum waris, penerapan berbagai norma hukum ditetapkan berdasarkan hukum nasional yang (dipandang) lebih baik dibanding hukum tempat berdomisili. Sebagai contoh, penerapan hukum dalam kasus perceraian pasangan Syria yang perkawinannya dilangsungkan di Syria adalah didasarkan pada hukum keluarga Islam atau Syria, termasuk tuntutan tunjangan bagi mantan istri pasca perceraian. Hukum setempat hanya akan diterapkan dalam kasus tuntutan nafkah anak atau kewarganegaraan yang majemuk dari pihak tertentu.
              Monogami adalah salah satu prinsip konstitusi Jerman yang terkemuka, sebagaimana diatur oleh § 1306 BGB.  Oleh karena itu, tidak mungkin memasukkan perkawinan poligami secara legal di Jerman. Sama halnya dengan Perancis, hukum Jerman memperlakukan perkawinan poligami menjadi sah secara hukum selama perkawinan itu masuk pada suatu negeri yang mengizinkan poligami. Pada kenyataannya, pengakuan terhadap perkawinan poligami memberi pengertian bahwa wanita muslim dapat memperoleh fasilitas jaminan keamanan sosial, begitu pula waris, hak asuh, dan biaya pemeliharaan anak.  
              Adapun mengenai hak menyatukan keluarga kembali (reunifikasi), OVG Nordrhein-Westfalen menetapkan bahwa seorang wanita Muslim Yordania tidak berhak berkumpul dengan suami dan istri pertama di Jerman. Dalam kasus yang sama, beberapa pengadilan menetapkan bahwa para istri (poligami) tidak punya hak untuk berkumpul dengan suaminya di Jerman, sekalipun suatu ketika mereka berada (tinggal) di negeri itu dengan suami mereka, penuntutan tidak bisa diajukan karena poligami tidak dianggap sebagai perbuatan melawan tata aturan publik Jerman.[6]
              Berbeda dengan kedua negara di atas, Inggris cenderung memberlakukan kebijakan yang lebih tegas. Dari potret historis, dapat dikatakan sampai tahun 1604, tidak ada satu pun UU Inggris yang mendefinisikan dan menetapkan hukuman bagi bigami/poligami sebagai perbuatan kriminal. Hukum Inggris mengenai hal ini lebih terkebelakang dari hukum Skotlandia, yang lebih dahulu pada tahun 1551 menyatakan bigami sebagai sebuah perbuatan kriminal yang dapat dijatuhi hukuman ancaman sumpah palsu, penyitaan harta harta, kurungan, dan perlakuan buruk (siksaan). Melalui UU Inggris 1604, yang menjadi contoh hukum-hukum Inggris dan Amerika Serikat di kemudian hari,  ditegaskan bahwa siapa saja yang melangsungkan perkawinan dalam wilayah Inggris atau Wales, sementara suami atau istri pertamanya masing hidup, dinyatakan sebagai kesalahan/kejahatan pidana perkawinan.
              Sedangkan UU Inggris 1861, yang berlaku sekarang, hanya membebaskan perkawinan kedua dari hukuman jika salah satu pasangan (suami/istri) raib selama 7 tahun berturut-turut, dan pasangan yang menikah lagi tidak tahu bahwa suami atau istrinya ternyata masih hidup pada saat itu. Pelanggaran terhadap ketentuan ini menurut UU dapat dijatuhi hukuman maksimal 7 tahun dan minimal 3 tahun atau kurungan tidak lebih dari 2 tahun. Bigami merupakan tindakan kriminal menurut UU, jika dilakukan oleh orang Inggris, maka kapanpun dapat diambil tindakan.
              Tidak jauh berbeda dengan sikap hukum Inggris, boleh jadi turut dipengaruhi oleh ikatan sejarah kedua negara, Amerika Serikat memberlakukan larangan poligami di wilayahnya, kecuali jika salah satu pasangan dinyatakan hilang (tidak diketahui rimbanya) selama 5 tahun, tidak diketahui apakah ia masih hidup dan diyakini ia telah meninggal dunia, atau terjadi perceraian, atau  penghapusan/pembatalan oleh pengadilan [menyangkut] perkawinan yang sebelumnya. Adapun sanksi yang dijatuhkan kepada pelakunya adalah berupa denda maksimal 500 dolar dan penjara tidak kurang dari 5 tahun.[7]
              Beberapa kitab UU dari sejumlah negara (bagian) Amerika Serikat berisi hukum–hukum yang dibuat atas, dan dengan peraturan-peraturan yang lebih kurang sama dengan, UU hukum Inggris 1604, dan mendefinisikan bigami, atau dalam per-UU-an beberapa negara bagian disebut poligami, sebagai suatu perbuatan kriminal. Tadinya oleh hukum Virginia dan hukum North Carolina, pelaku bigami dijatuhi hukuman mati. Sekarang hukuman poligami di Virginia adalah dipenjara  maksimal 8 tahun dan minimal 3 tahun. Sedangkan di North Carolina maksimal 10 tahun dan minimal 4 bulan. Di New York hukumannya maksimal 5 tahun, dan masa raib [yang] membebaskan perkawinan yang kedua ditetapkan lima tahun, istri atau suami terdahulu yang raib dari pasangan yang menikah lagi tanpa diketahui olehnya (suami/istri) pada waktu itu masih hidup dan yang diyakininya (suami/istri) telah mati. Perceraian (kecuali jika untuk menggagalkan satu pihak untuk kawin kembali) mendapat izin pengadilan, atau pembatalan perkawinan sebelumnya, atau hukuman penjara terhadap suami atau istri juga dapat membebaskan kawin lagi. Raib, karena itu, tidak membatalkan perkawinan sebelumnya, atas dasar bukti bahwa suami atau istri yang telah dinyatakan meninggal dunia ternyata masih hidup, perkawinan kedua dapat dihukumkan batal.  Tidak ada hukum atas sangsi bagi bigami yang mengakui dua perkawinan sah secara bersamaan/ dalam waktu yang sama. Menurut hukum New York, perkawinan yang terdahulu berhenti mengikat hingga salah satu dari 3 pihak pada dua perkawinan memperoleh suatu keputusan hukum yang menyatakan perkawinan kedua tidak berlaku lagi.[8]

G. Analisa Komparatif
                  Dari uraian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa secara vertikal, langkah kriminalisasi poligami kelima negara Muslim di atas telah menunjukkan suatu keberanjakan Hukum Keluarga dari aturan doktrin hukum Islam konvensional. Keberanjakan tersebut bersifat variatif, Turki, misalnya, lebih cenderung memakai metode extra-doctrinal reform semata yang akhirnya menghasilkan kesimpulan larangan mutlak terhadap poligami. Penerapan hukum sipil Barat oleh Turki diklaim oleh sebagian sarjana Turki bukan penyimpangan dari hukum keluarga Islam, melainkan sebagai hasil penafsiran baru terhadap pemahaman yang ada. Demikian pula Tunisia mengambil kebijakan yang hampir sama dengan Turki bahkan dalam bentuk yang lebih ekstrim. Dengan demikian dapat dikatakan pengaruh mazhab-mazhab, baik  mazhab mayoritas di kedua negara tersebut (Hanafi untuk Turki dan Maliki untuk Tunisia) atau mazhab-mazhab lainnya paling tidak dalam masalah poligami  telah digeser dan digantikan oleh penafsiran baru yang dititikberatkan pada pertimbangan rasional dan kontekstual.
                  UU Irak pada prinsipnya ia merupakan pengembangan pemikiran mazhab-mazhab Sunni maupun Syi‘i yang dikombinasikan dengan hasil reinterpretasi ayat-ayat Alquran seputar poligami. Pengecualian poligami bagi para janda, contohnya, didasari pada tujuan poligami yang dimaksud Alquran, yakni memelihara dan menjamin anak yatim dan janda. Sedangkan Malaysia dan Indonesia masih berpegang pada konsepsi mazhab-mazhab Sunni, utamanya mazhab Syafi‘i, dalam hal kebolehan poligami. Ditetapkannya sejumlah alasan poligami diinspirasi oleh konsepsi fikih mengenai kewajiban suami atas istri dan alasan terjadinya fasakh. Sementara peran pengadilan dalam pemberian izin poligami dan kriminalisasi poligami merupakan bagian dari bentuk siyasah syariah yang bertujuan mengantisipasi dan memberi daya jera terhadap penyalahgunaan poligami. Di samping itu penafsiran baru terhadap pesan Alquran terkait masalah poligami dan semakin tingginya perhatian terhadap hak-hak kaum wanita juga menjiwai penetapan dan pemberlakuan aturan kriminalisasi poligami  tersebut. Dengan demikian Irak, Malaysia, dan Indonesia, dalam melakukan pembaharuan hukum keluarganya, khususnya dalam persoalan poligami, telah menggunakan metode intra-doctrinal dan extra-doctrinal  sekaligus.
                  Secara horizontal, kecuali Turki, empat negara lainnya memiliki kesamaan dalam hal bentuk sanksi hukum yang dijatuhkan kepada pelaku poligami, yakni hukuman penjara dan atau denda. Tunisia, Irak, dan Malaysia malah menetapkan kemungkinan penjatuhan hukuman penjara dan denda sekaligus. Sementara Indonesia hanya memberlakukan hukuman denda kepada pelakunya; penjara atau denda bagi petugas pencatat perkawinan poligami tersebut. Meskipun Turki tidak secara eksplisit menyebutkan bentuk sanksinya, namun secara implisit UU Turki menegaskan bahwa perkawinan poligami adalah tidak sah dan akan dikenai ancaman hukuman (penalty).
                  Turki dan Tunisia merupakan pengusung terdepan pelarangan dan penegasian keabsahan poligami. Sedangkan Irak, Malaysia, dan Indonesia mengambil arah kebijakan poligami bersyarat, yakni tetap melegalkan poligami sepanjang telah mendapatkan izin dari pengadilan dan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh UU. Mengenai hal yang terakhir ini, Malaysia dan Indonesia memiliki aturan yang tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama memasukkan faktor kondisi/prilaku baik dari suami maupun istri sebagai dasar pertimbangan oleh pengadilan. Sedangkan Irak hanya mengaitkan persyaratan pada pihak suami dalam hal kemampuan finansial dan adanya kebutuhan yang sah secara hukum (kemaslahatan syar‘i), di samping dapat berlaku adil pada para istri. Irak punya ‘ciri khas’ lain dengan mengecualikan kasus poligami bagi janda, suatu hal yang tak diatur baik dalam Hukum keluarga Malaysia maupun Indonesia. Berbeda dengan Turki dan Tunisia, baik Irak, Malaysia, maupun Indonesia, meskipun memberlakukan sanksi hukum dalam poligami, namun tidak mengisyaratkan penolakan keabsahan poligami yang dilakukan. Pada bagian lain, Tunisia dan Indonesia memiliki kesamaan dalam hal penjatuhan sanksi yang dapat menjerat pihak diluar pelaku poligami, suatu ketentuan yang tidak ditemukan baik pada Turki, Irak, maupun Malaysia.
                  Secara diagonal, Tunisia tampak telah beranjak paling jauh dan radikal dengan menutup pintu poligami serapat-rapatnya melalui pelarangan mutlak disertai hukuman bagi pelanggarnya. Kemudian menyusul Turki dalam posisi selanjutnya, dengan menegasi keabsahan perkawinan poligami. Sedangkan Irak, Malaysia, dan Indonesia pada prinsipnya berada dalam garis keberanjakan yang hampir sama, yakni membolehkan praktik poligami dengan persyaratan tertentu dan menempatkan peran Pengadilan dalam posisi menentukan. Meskipun demikian, secara hirarkis Irak agaknya sedikit berada di bawah Malaysia karena sikapnya yang tampak lebih longgar dibanding Malaysia dimana UU-nya memberi pengizinan terhadap poligami terhadap janda.  Diikuti Indonesia, meskipun UU perkawinannya didasarkan pada asas monogami, namun hal tersebut tidak terefleksi pada kualitas dan kuantitas sanksinya yang dijatuhkan, sehingga Indonesia dapat dikatakan berada dalam posisi yang paling lunak. Dengan demikian, dari sudut komparasi diagonal dapat digambarkan tangga hirarkisnya adalah Tunisia, kemudian Turki,  Malaysia, Irak, dan terakhir Indonesia.
                  Dari komparasi hukum di Dunia Barat diperoleh gambaran bahwa poligami mutlak dinyatakan sebagai suatu tindakan kriminal. Inggris dan Amerika Serikat tampak tidak memberi sedikit pun ruang bagi poligami, para pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara dan malah di Amerika disertai dengan denda. Dibanding kedua negara tersebut, Perancis dan Jerman relatif lebih moderat. Meskipun Perancis melarang dan menolak keabsahan poligami yang berakibat hilangnya hak fasilitas sosial yang diberikan negara bagi warganya, namun perkawinan yang diadakan di negeri asal pasangan suami-istri dianggap memiliki kekuatan hukum menurut hukum Perancis selama ia tidak menyalahi tatanan publik Perancis. Sebagai konsekuensinya berbagai hak jaminan kesehatan dapat diberikan kepada seorang wanita yang didaftarkan oleh suaminya sebagai orang yang tidak mandiri, tanpa melihat apakah perkawinannya dianggap sah secara hukum. Sedangkan di Jerman, dalam masalah hukum keluarga dan hukum waris, penerapan berbagai norma hukum ditetapkan berdasarkan hukum nasional yang (dipandang) lebih baik dibanding hukum tempat berdomisili. Monogami adalah salah satu prinsip konstitusi Jerman yang terkemuka sehingga tidak mungkin memasukkan perkawinan poligami secara legal di Jerman. Sama halnya dengan Perancis, hukum Jerman memperlakukan perkawinan poligami menjadi sah secara hukum selama perkawinan itu masuk pada suatu negeri yang mengizinkan poligami. Pada kenyataannya, pengakuan terhadap perkawinan poligami memberi pengertian bahwa wanita muslim dapat memperoleh fasilitas jaminan keamanan sosial, begitu pula waris, hak asuh, dan biaya pemeliharaan anak. Di bagian lain, baik Perancis maupun  Jerman tetap melarang reunifikasi keluarga poligami. Dari perbandingan sejumlah aturan hukum dan keputusan Pengadilan di negara-negara Barat tersebut, jika dibuat suatu hirarki dari sudut yang paling tegas hingga relatif lunak adalah Inggris, Amerika Serikat, Perancis,  dan Jerman.
                  Dalam perspektif titik hubung antara Hukum Keluarga di Dunia Islam modern dan hukum yang berlaku di Dunia Barat, khususnya yang terkait dengan poligami, antara keduanya terdapat kemiripan—jika tidak dapat dikatakan malah dipengaruhi. Sejumlah hal itu adalah asas monogami, sanksi penjara dan denda, pelarangan dan penetapan poligami sebagai suatu tindak kriminal, dan status perkawinan poligami yang dinyatakan invalid (tidak sah). Fenomena Hukum Keluarga di Turki dan Tunisia sedikit banyak merepresentasikan hal tersebut. 

DAFTAR KEPUSTAKAAN
 Audah, ‘Abd al-Q±dir, at-Tasyr³‘ al-Jin±’³ al-Islam³ Muq±ranan bi al-Q±n­n al-Wa«‘³, Mu’assat ar-Ris±lah, Beirut, 1997.
A. Jawad, Haifaa, The Right of Women in Islam: An Authentic Approach, St. Martin’s Press, Inc., New York, 1998.
Ab³ D±wud, Sunan Ab³ D±wud, juz I, D±r al-Fikr, 1994.
Amin, Qasim, Ta¥r³r al-Mar’ah, D±r al-Ma‘±rif, Tunisia, t.t.
Anderson, James Norman Dalrymple (J.N.D), Islamic law in the Modern World, Edisi Indonesia: Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress, Surabaya.
_______________ , “The Tunisian Law of Personal Status”, dalam International and Comparative Law Quarterly, 7 April 1985. 
Anderson, Norman, Law Reform in the Muslim World, The Athlone Press, London, 1976.
Buxbaum, David C. (Ed.), Family Law and Customary Law in Asia: a Contemporary Legal Perspective, Martinus Nijhoff, The Haque, 1968
Dahlan, Abdul Aziz (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jld. IV, Ichtiar Baru van Houve, Jakarta, 1997.
Esposito, John L. (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, Oxford University Press, Oxford, 1991. 
Gupta, Kiran, “Polygamy Law Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and Comparative Law, vol XVIII, No. 2 Thaun 1992.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Ibn al-‘Arab³, A¥k±m al-Qur‘±n, Jld. I, D±r al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut, 1988,
Ibn Rusyd, Bid±yat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqta¡id, juz II, D±r al-Fikr, Beirut, 1995.
al-Jaz³r³, ‘Abdurra¥man, Kit±b al-Fiqh ‘ala al-Ma©±hib al-Arba‘ah, jld. V, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999.
al-Ja¡¡±¡, A¥k±m al-Qur’±n, juz II, D±r al-Fir, Beirut, 1993.
Kartanegara, Satochid, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1990.  
Lindsey, Timothy (Ed.), Indonesia: Law and Society, The Federation Press, Leichhardt, 1999.
M. Hawes, Joseph & Elizabeth F. Shores (Ed.s), The Family in a America an Encyclopedia, vol. II, ABC-CLIO, Inc., Santa Barbara California, 2001.
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Muslim World, N.M.Tripathi PVT, Ltd., Bombay, 1972.
______________ , Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion New Delhi, New Delhi, 1987.
Mallat, Chibli, & Jane Connors, Islamic Family Law, Graham & Trotman, London, 1993.
al-Maragi, A¥mad Mu¡taf±, Tafs³r al-Mar±g³, juz IV, Mustaf± al-B±b³ al-¦alab³ wa Aul±duh, 1974.
Morris, William, The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, Vol. II, Houghton Mifflin Campany, Boston, 1979.
Mudzhar, M. Atho’ dan Khairuddin Nasution (Ed.s), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, Ciputat Press, Jakarta, 2003.
Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, INIS, Leiden-Jakarta, 2002.
al-Qur¯­b³, al-J±mi‘ li A¥k±m al-Qur’±n, juz V, t.p., Kairo, t.t.
Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur’an, Edisi Indonesia: Tema-tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, Penerbit Pustaka, Bandung, 1996.
Ri«±, Mu¥ammad Rasy³d, Tafs³r al-Man±r, juz IV, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999.
Shahrur, Muhammad, Na¥w U¡­l Jad³dah li al-Fiqh al-Islam³, Edisi Indonesia: Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin, elSAQ Press, Yogyakarta, 2004.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. II, Lentera Hati, Jakarta, 2000.
Simon, Reeva S., Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s), Encyclopedia of the Modern Middle East, vol.4, Simon & Schuster Macmillan, New York, 1996. 
S. Cayne, Bernard (Ed.), The Encyclopedia Americana, Grolier Incorporated, New York, 1996 & 2001.
a¯-°ab±r³, Mu¥ammad Ibn Jar³r, J±mi‘ al-Bay±n ‘an Ta’w³l ²yi al-Qur’±n, juz III, D±r al-Fikr, Beirut, 1988.

0 komentar:

Posting Komentar