Ketentuan Hukum Poligami di Negara-negara Barat
Sebelum kedatangan Islam, poligami sudah dikenal di kalangan mayoritas
bangsa-bangsa kuno. Ia dibolehkan dan telah dipraktikkan di Mesir, Persia,
Cina, dan kalangan masyarakat Yahudi (ajaran hukum Nabi Musa). Dalam agama
Kristen, meskipun Perjanjian Baru mengabsahkan monogami sebagai bentuk ideal
perkawinan, tidak ada secara eksplisit melarang poligami selain terhadap uskup
dan pembantu gereja. Para tokoh agama Kristen era awal tidak menemukan
keperluan mengutuk poligami karena monogami adalah hal biasa di kalangan
masyarakat sebagaimana diajarkan dalam agama Kristen. Bahkan, tak satupun
lembaga gereja di abad awal yang menyalahkan poligami, jadi tidak ada halangan
mempraktikkannya. Sebaliknya, banyak tokoh agama membicarakan poligami dengan nuansa penuh toleransi. Sebagai
contoh, Saint Augustine sama sekali tidak pernah menyalahkan poligami, begitu
pula Martin Luther, menyetujui perkawinan bigami yang dilakukan Philip Hesse.
Hingga abad ke-16, sejumlah tokoh reformis Jerman menerima sahnya perkawinan
yang kedua kali, bahkan perkawinan ketiga. Pada tahun 1650, beberapa tokoh
Kristen memutuskan seseorang boleh menikahi dua orang perempuan.[1] Lebih belakangan,
ditemukan doktrin sekte Brigham Young’s
Mormon, yang mengabsahkan praktik poligami hingga tahun 1880-an, saat Konggres
Amerika Serikat mensahkan sebuah resolusi larangan praktik poligami.[2] Poligami juga merupakan
bagian dari kebiasaan di kalangan suku-suku Afrika dan Australia. Begitu pula
dengan hukum perkawinan Hindu yang tidak membatasi jumlah istri yang boleh
dimiliki oleh seorang laki-laki.[3]
Singkatnya, dalam
masalah praktik poligami, orang-orang Kristen tidaklah sebanyak orang Yahudi
ataupun Muslim. Namun, penting untuk ditekankan bahwa ajaran Kristen tidak
pernah mengintrodusir monogami kepada dunia Barat, juga tidak pernah mengukuhkan perlunya
mereformasi masyarakat. Tampaknya monogami hanyalah bentuk legal dari
perkawinan di masyarakat Barat dimana agama Kristenlah yang pertama kali
diperkenalkan. Hal ini semakin diperkuat
oleh fakta bahwa tradisi kuatnya monogami formal merupakan hal yang
lazim di Yunani dan Roma. Selain itu, kenyataannya ajaran Kristen telah
mengakar di kalangan masyarakat kelas atas tempo dulu, yang bukan saja tidak
berpoligami, namun lebih jauh mereka mendukung monogami.[4]
Gambaran historis di atas perlu
dikemukakan untuk melihat rentang sejarah praktik poligami di masyarakat Dunia
dan sejauhmana titik hubungnya dengan
perkembangan di Dunia Barat era modern. Tak dipungkiri bahwa negara-negara Barat, era modern,
sama sekali menolak keberadaan poligami dalam kehidupan institusi keluarga
mereka. Hal ini ditunjukkan dan dikukuhkan oleh produk hukum negara mereka yang
secara umum menempatkan poligami sebagai sesuatu yang illegal atau malah
dianggap sebagai perbuatan kriminal. Ketentuan yang sama berlaku bagi komunitas
lain yang menetap di negara Barat yang diikat keharusan tunduk pada ketentuan
UU di sana. Namun demikian seiring semakin meningkatnya jumlah komunitas Muslim
dan keberadaan mereka yang menyatu dengan kehidupan masyarakat Barat perlahan
menjadi pertimbangan lebih lanjut oleh pemerintah negara Barat dalam merespon
kepentingan seluruh elemen masyarakatnya. Bahasan ini akan mencoba menyoroti,
dan membatasi hanya pada beberapa contoh negara Barat seperti Perancis, Jerman,
Inggris, dan Amerika Serikat.
Di Perancis, suatu perkawinan
menurut tata cara Islami tidak memiliki kekuatan hukum apabila perkawinan
tersebut mengambil tempat di wilayah Perancis. Poligami tidak hanya menjadi halangan
untuk mendapat nasionalisasi Perancis namun pasal 147 Civil Code
Perancis secara khusus menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi perkawinan kedua
kecuali jika perkawinan pertama telah bubar. Sebagai akibatnya, meskipun
pasangan suami istri tersebut berasal dari negeri yang mengizinkan poligami,
tidak ada lembaga poligami dapat secara legal diakui di Perancis. Perkawinan
kedua sama sekali dinyatakan batal. Atas dasar inilah pengadilan beberapa kali
menolak kepentingan wanita muslim tinggal di Perancis dalam ikatan perkawinan
poligami. Pada tahun 1992, misalnya, Cour d’Appel de Versailles (Pengadilan Banding) menolak jaminan keamanan
sosial bagi istri kedua dari suaminya
yang muslim dan pada tahun 1988 Cour d’Appel d’Aix-en-Provence juga
menolak pemberian hak tunjangan cerai seorang wanita muslim dengan alasan bahwa
dia istri kedua dan bahwa poligami dianggap bertentangan dengan tatanan
(ketertiban) publik Perancis.
Namun
demikian, jika upacara secara Islami itu diadakan di negeri asal pasangan
suami-istri tersebut, perkawinan itu dianggap memiliki kekuatan hukum menurut hukum Perancis selama ia tidak
menyalahi tatanan publik Perancis. Cour de Cassation berulang kali
menegaskan bahwa poligami bukanlah pelanggaran pokok dari aturan publik
Perancis menurut adat tradisi mereka, sekalipun lembaga yang sama dinyatakan sama sekali tidak sah
jika dilangsungkan di Perancis. Sebagai konsekuensinya berbagai hak jaminan
kesehatan dapat diberikan kepada seorang wanita yang didaftarkan oleh suaminya
sebagai orang yang tidak mandiri, tanpa melihat apakah perkawinannya dianggap
sah secara hukum. Apabila istri pertama telah menerima fasilitas keamanan
sosial, maka istri kedua tidak dapat menuntutnya juga, sekalipun istri pertama
tidak lama hidup di Perancis. Oleh karena itu, para suami muslim dipaksa untuk
membayar nafkah anak meskipun anak tersebut berasal dari buah perkawinan secara
agama bukan melalui upacara sipil.
Hingga
tahun 1980, reunifikasi keluarga poligami dilarang di Perancis: Pemerintah
Perancis menolak kewarganegaraan penuh bagi para istri dan anak-anak dari para
suami yang telah lebih dahulu menetap di Perancis dengan istri dan anak-anaknya
yang lain. Dalam kasus Montcho pada tahun 1980, bagaimanapun juga, Conseil
d’Etat untuk pertama kalinya
memberikan status kewarganegaraan penuh bagi istri kedua dari seorang laki-laki
Aljazair, suatu pemberian signifikan bagi hak penyatuan kembali keluarga.
Pengadilan beralasan bahwa, untuk tujuan terbatas fasilitas keamanan sosial,
poligami adalah sesuatu yang berbeda, tetapi
meskipun begitu format perkawinan sah. Yang jelas, pemerintah Perancis
bereaksi melawan ekspansi poligami di wilayah Perancis. Menurut UU baru yang
disahkan pada Agustus 1993, suatu perkawinan poligami tidak lagi memberi hak suami untuk membawa istri
keduanya dan anak-anak mereka ke Perancis. Anak-anak hasil perkawinan poligami
yang tinggal di luar negeri tanpa ayahnya hanya dapat menghubungi ayahnya yang
berada di Perancis di saat ibu mereka yang berada di negeri asal telah
meninggal dunia. UU 24 Agustus 1993 Pasal 30 selanjutnya menyatakan:
“Ketika
seorang warga asing yang berpoligami menetap di wilayah Perancis bersama
istri pertamanya, kepentingan/hak penyatuan keluarga kembali tidak dapat
diberikan kepada istrinya yang lain. Kecuali jika istri pertama tersebut
meninggal dunia atau kehilangan hak sebagai orang tua, anak-anaknya tidak
mendapat hak dari penyatuan kembali keluarga yang lain.”
UU ini dikritik oleh banyak
organisasi imigran karena dinilai memperlakukan wanita muslim secara tidak adil
yang, berhadapan dengan kemustahilan secara legal hidup bersama suami mereka,
sering masuk ke negara tersebut secara illegal dan kemudian ditempatkan pada
posisi yang mudah diserang/kritik.[5]
Sedangkan
di Jerman, dalam masalah hukum keluarga dan hukum waris, penerapan berbagai
norma hukum ditetapkan berdasarkan hukum nasional yang (dipandang) lebih baik
dibanding hukum tempat berdomisili. Sebagai contoh, penerapan hukum dalam kasus
perceraian pasangan Syria yang perkawinannya dilangsungkan di Syria adalah
didasarkan pada hukum keluarga Islam atau Syria, termasuk tuntutan tunjangan
bagi mantan istri pasca perceraian. Hukum setempat hanya akan diterapkan dalam
kasus tuntutan nafkah anak atau kewarganegaraan yang majemuk dari pihak
tertentu.
Monogami
adalah salah satu prinsip konstitusi Jerman yang terkemuka, sebagaimana diatur
oleh § 1306 BGB. Oleh karena itu, tidak
mungkin memasukkan perkawinan poligami secara legal di Jerman. Sama halnya
dengan Perancis, hukum Jerman memperlakukan perkawinan poligami menjadi sah
secara hukum selama perkawinan itu masuk pada suatu negeri yang mengizinkan
poligami. Pada kenyataannya, pengakuan terhadap perkawinan poligami memberi
pengertian bahwa wanita muslim dapat memperoleh fasilitas jaminan keamanan
sosial, begitu pula waris, hak asuh, dan biaya pemeliharaan anak.
Adapun
mengenai hak menyatukan keluarga kembali (reunifikasi), OVG
Nordrhein-Westfalen menetapkan bahwa seorang wanita Muslim Yordania tidak
berhak berkumpul dengan suami dan istri pertama di Jerman. Dalam kasus yang
sama, beberapa pengadilan menetapkan bahwa para istri (poligami) tidak punya
hak untuk berkumpul dengan suaminya di Jerman, sekalipun suatu ketika mereka
berada (tinggal) di negeri itu dengan suami mereka, penuntutan tidak bisa
diajukan karena poligami tidak dianggap sebagai
perbuatan melawan tata aturan publik Jerman.[6]
Berbeda dengan kedua negara di atas, Inggris cenderung memberlakukan
kebijakan yang lebih tegas. Dari potret historis, dapat dikatakan sampai tahun 1604, tidak ada satu pun UU Inggris
yang mendefinisikan dan menetapkan hukuman bagi bigami/poligami sebagai
perbuatan kriminal. Hukum Inggris mengenai hal ini lebih terkebelakang dari
hukum Skotlandia, yang lebih dahulu pada tahun 1551 menyatakan bigami sebagai
sebuah perbuatan kriminal yang dapat dijatuhi hukuman ancaman sumpah palsu,
penyitaan harta harta, kurungan, dan perlakuan buruk (siksaan). Melalui UU
Inggris 1604, yang menjadi contoh hukum-hukum Inggris dan Amerika Serikat di
kemudian hari, ditegaskan bahwa siapa
saja yang melangsungkan perkawinan dalam wilayah Inggris atau Wales, sementara
suami atau istri pertamanya masing hidup, dinyatakan sebagai kesalahan/kejahatan
pidana perkawinan.
Sedangkan
UU Inggris 1861, yang berlaku sekarang, hanya membebaskan perkawinan kedua dari
hukuman jika salah satu pasangan (suami/istri) raib selama 7 tahun
berturut-turut, dan pasangan yang menikah lagi tidak tahu bahwa suami atau
istrinya ternyata masih hidup pada saat itu. Pelanggaran terhadap ketentuan ini
menurut UU dapat dijatuhi hukuman maksimal 7 tahun dan minimal 3 tahun atau
kurungan tidak lebih dari 2 tahun. Bigami merupakan tindakan kriminal menurut
UU, jika dilakukan oleh orang Inggris, maka kapanpun dapat diambil tindakan.
Tidak jauh berbeda dengan sikap hukum Inggris, boleh jadi turut
dipengaruhi oleh ikatan sejarah kedua negara, Amerika Serikat memberlakukan
larangan poligami di wilayahnya, kecuali jika salah satu pasangan dinyatakan
hilang (tidak diketahui rimbanya) selama 5 tahun, tidak diketahui apakah ia
masih hidup dan diyakini ia telah meninggal dunia, atau terjadi perceraian,
atau penghapusan/pembatalan oleh
pengadilan [menyangkut] perkawinan yang sebelumnya. Adapun sanksi yang
dijatuhkan kepada pelakunya adalah berupa denda maksimal 500 dolar dan penjara
tidak kurang dari 5 tahun.[7]
Beberapa kitab UU
dari sejumlah negara (bagian) Amerika Serikat berisi hukum–hukum yang dibuat
atas, dan dengan peraturan-peraturan yang lebih kurang sama dengan, UU hukum
Inggris 1604, dan mendefinisikan bigami, atau dalam per-UU-an beberapa negara
bagian disebut poligami, sebagai suatu perbuatan kriminal. Tadinya oleh hukum
Virginia dan hukum North Carolina, pelaku bigami dijatuhi hukuman mati.
Sekarang hukuman poligami di Virginia adalah dipenjara maksimal 8 tahun dan minimal 3 tahun.
Sedangkan di North Carolina maksimal 10 tahun dan minimal 4 bulan. Di New York
hukumannya maksimal 5 tahun, dan masa raib [yang] membebaskan perkawinan yang
kedua ditetapkan lima tahun, istri atau suami terdahulu yang raib dari pasangan
yang menikah lagi tanpa diketahui olehnya (suami/istri) pada waktu itu masih
hidup dan yang diyakininya (suami/istri) telah mati. Perceraian (kecuali jika
untuk menggagalkan satu pihak untuk kawin kembali) mendapat izin pengadilan,
atau pembatalan perkawinan sebelumnya, atau hukuman penjara terhadap suami atau
istri juga dapat membebaskan kawin lagi. Raib, karena itu, tidak membatalkan
perkawinan sebelumnya, atas dasar bukti bahwa suami atau istri yang telah
dinyatakan meninggal dunia ternyata masih hidup, perkawinan kedua dapat
dihukumkan batal. Tidak ada hukum atas
sangsi bagi bigami yang mengakui dua perkawinan sah secara bersamaan/ dalam
waktu yang sama. Menurut hukum New York, perkawinan yang terdahulu berhenti
mengikat hingga salah satu dari 3 pihak pada dua perkawinan memperoleh suatu
keputusan hukum yang menyatakan perkawinan kedua tidak berlaku lagi.[8]
G. Analisa Komparatif
Dari uraian di
atas dapat diperoleh pemahaman bahwa secara vertikal, langkah kriminalisasi
poligami kelima negara Muslim di atas telah menunjukkan suatu keberanjakan
Hukum Keluarga dari aturan doktrin hukum Islam konvensional. Keberanjakan
tersebut bersifat variatif, Turki, misalnya, lebih cenderung memakai metode extra-doctrinal
reform semata yang akhirnya menghasilkan kesimpulan larangan mutlak
terhadap poligami. Penerapan hukum sipil Barat oleh Turki diklaim oleh sebagian
sarjana Turki bukan penyimpangan dari hukum keluarga Islam, melainkan sebagai
hasil penafsiran baru terhadap pemahaman yang ada. Demikian pula Tunisia
mengambil kebijakan yang hampir sama dengan Turki bahkan dalam bentuk yang
lebih ekstrim. Dengan demikian dapat dikatakan pengaruh mazhab-mazhab,
baik mazhab mayoritas di kedua negara
tersebut (Hanafi untuk Turki dan Maliki untuk Tunisia) atau mazhab-mazhab
lainnya paling tidak dalam masalah poligami
telah digeser dan digantikan oleh penafsiran baru yang dititikberatkan
pada pertimbangan rasional dan kontekstual.
UU
Irak pada prinsipnya ia merupakan pengembangan pemikiran mazhab-mazhab Sunni
maupun Syi‘i yang dikombinasikan dengan hasil reinterpretasi ayat-ayat Alquran
seputar poligami. Pengecualian poligami bagi para janda, contohnya, didasari
pada tujuan poligami yang dimaksud Alquran, yakni memelihara dan menjamin anak
yatim dan janda. Sedangkan Malaysia dan Indonesia masih berpegang pada konsepsi
mazhab-mazhab Sunni, utamanya mazhab Syafi‘i, dalam hal kebolehan poligami.
Ditetapkannya sejumlah alasan poligami diinspirasi oleh konsepsi fikih mengenai
kewajiban suami atas istri dan alasan terjadinya fasakh. Sementara peran
pengadilan dalam pemberian izin poligami dan kriminalisasi poligami merupakan
bagian dari bentuk siyasah syariah yang bertujuan mengantisipasi dan memberi
daya jera terhadap penyalahgunaan poligami. Di samping itu penafsiran baru
terhadap pesan Alquran terkait masalah poligami dan semakin tingginya perhatian
terhadap hak-hak kaum wanita juga menjiwai penetapan dan pemberlakuan aturan
kriminalisasi poligami tersebut. Dengan
demikian Irak, Malaysia, dan Indonesia, dalam melakukan pembaharuan hukum
keluarganya, khususnya dalam persoalan poligami, telah menggunakan metode intra-doctrinal
dan extra-doctrinal sekaligus.
Secara
horizontal, kecuali Turki, empat negara lainnya memiliki kesamaan dalam hal
bentuk sanksi hukum yang dijatuhkan kepada pelaku poligami, yakni hukuman
penjara dan atau denda. Tunisia, Irak, dan Malaysia malah menetapkan
kemungkinan penjatuhan hukuman penjara dan denda sekaligus. Sementara Indonesia
hanya memberlakukan hukuman denda kepada pelakunya; penjara atau denda bagi
petugas pencatat perkawinan poligami tersebut. Meskipun Turki tidak secara
eksplisit menyebutkan bentuk sanksinya, namun secara implisit UU Turki
menegaskan bahwa perkawinan poligami adalah tidak sah dan akan dikenai ancaman
hukuman (penalty).
Turki
dan Tunisia merupakan pengusung terdepan pelarangan dan penegasian keabsahan
poligami. Sedangkan Irak, Malaysia, dan Indonesia mengambil arah kebijakan
poligami bersyarat, yakni tetap melegalkan poligami sepanjang telah mendapatkan
izin dari pengadilan dan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh UU. Mengenai
hal yang terakhir ini, Malaysia dan Indonesia memiliki aturan yang tidak jauh
berbeda. Keduanya sama-sama memasukkan faktor kondisi/prilaku baik dari suami
maupun istri sebagai dasar pertimbangan oleh pengadilan. Sedangkan Irak hanya
mengaitkan persyaratan pada pihak suami dalam hal kemampuan finansial dan
adanya kebutuhan yang sah secara hukum (kemaslahatan syar‘i), di samping dapat
berlaku adil pada para istri. Irak punya ‘ciri khas’ lain dengan mengecualikan
kasus poligami bagi janda, suatu hal yang tak diatur baik dalam Hukum keluarga
Malaysia maupun Indonesia. Berbeda dengan Turki dan Tunisia, baik Irak,
Malaysia, maupun Indonesia, meskipun memberlakukan sanksi hukum dalam poligami,
namun tidak mengisyaratkan penolakan keabsahan poligami yang dilakukan. Pada
bagian lain, Tunisia dan Indonesia memiliki kesamaan dalam hal penjatuhan
sanksi yang dapat menjerat pihak diluar pelaku poligami, suatu ketentuan yang
tidak ditemukan baik pada Turki, Irak, maupun Malaysia.
Secara
diagonal, Tunisia tampak telah beranjak paling jauh dan radikal dengan menutup
pintu poligami serapat-rapatnya melalui pelarangan mutlak disertai hukuman bagi
pelanggarnya. Kemudian menyusul Turki dalam posisi selanjutnya, dengan menegasi
keabsahan perkawinan poligami. Sedangkan Irak, Malaysia, dan Indonesia pada
prinsipnya berada dalam garis keberanjakan yang hampir sama, yakni membolehkan
praktik poligami dengan persyaratan tertentu dan menempatkan peran Pengadilan
dalam posisi menentukan. Meskipun demikian, secara hirarkis Irak agaknya
sedikit berada di bawah Malaysia karena sikapnya yang tampak lebih longgar
dibanding Malaysia dimana UU-nya memberi pengizinan terhadap poligami terhadap
janda. Diikuti Indonesia, meskipun UU
perkawinannya didasarkan pada asas monogami, namun hal tersebut tidak
terefleksi pada kualitas dan kuantitas sanksinya yang dijatuhkan, sehingga
Indonesia dapat dikatakan berada dalam posisi yang paling lunak. Dengan
demikian, dari sudut komparasi diagonal dapat digambarkan tangga hirarkisnya
adalah Tunisia, kemudian Turki,
Malaysia, Irak, dan terakhir Indonesia.
Dari
komparasi hukum di Dunia Barat diperoleh gambaran bahwa poligami mutlak
dinyatakan sebagai suatu tindakan kriminal. Inggris dan Amerika Serikat tampak
tidak memberi sedikit pun ruang bagi poligami, para pelaku dapat dijatuhi
hukuman penjara dan malah di Amerika disertai dengan denda. Dibanding kedua
negara tersebut, Perancis dan Jerman relatif lebih moderat. Meskipun Perancis
melarang dan menolak keabsahan poligami yang berakibat hilangnya hak fasilitas
sosial yang diberikan negara bagi warganya, namun perkawinan yang diadakan di
negeri asal pasangan suami-istri dianggap memiliki kekuatan hukum menurut hukum
Perancis selama ia tidak menyalahi tatanan publik Perancis. Sebagai
konsekuensinya berbagai hak jaminan kesehatan dapat diberikan kepada seorang
wanita yang didaftarkan oleh suaminya sebagai orang yang tidak mandiri, tanpa
melihat apakah perkawinannya dianggap sah secara hukum. Sedangkan di Jerman,
dalam masalah hukum keluarga dan hukum waris, penerapan berbagai norma hukum
ditetapkan berdasarkan hukum nasional yang (dipandang) lebih baik dibanding
hukum tempat berdomisili. Monogami adalah salah satu prinsip konstitusi Jerman
yang terkemuka sehingga tidak mungkin memasukkan perkawinan poligami secara
legal di Jerman. Sama halnya dengan Perancis, hukum Jerman memperlakukan
perkawinan poligami menjadi sah secara hukum selama perkawinan itu masuk pada
suatu negeri yang mengizinkan poligami. Pada kenyataannya, pengakuan terhadap
perkawinan poligami memberi pengertian bahwa wanita muslim dapat memperoleh
fasilitas jaminan keamanan sosial, begitu pula waris, hak asuh, dan biaya
pemeliharaan anak. Di bagian lain, baik Perancis maupun Jerman tetap melarang reunifikasi keluarga
poligami. Dari perbandingan sejumlah aturan hukum dan keputusan Pengadilan di
negara-negara Barat tersebut, jika dibuat suatu hirarki dari sudut yang paling
tegas hingga relatif lunak adalah Inggris, Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman.
Dalam
perspektif titik hubung antara Hukum Keluarga di Dunia Islam modern dan hukum
yang berlaku di Dunia Barat, khususnya yang terkait dengan poligami, antara
keduanya terdapat kemiripan—jika tidak dapat dikatakan malah dipengaruhi.
Sejumlah hal itu adalah asas monogami, sanksi penjara dan denda, pelarangan dan
penetapan poligami sebagai suatu tindak kriminal, dan status perkawinan
poligami yang dinyatakan invalid (tidak sah). Fenomena Hukum Keluarga di Turki
dan Tunisia sedikit banyak merepresentasikan hal tersebut.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Audah, ‘Abd al-Q±dir, at-Tasyr³‘
al-Jin±’³ al-Islam³ Muq±ranan bi al-Q±nn al-Wa«‘³, Mu’assat ar-Ris±lah, Beirut, 1997.
A. Jawad, Haifaa, The Right of
Women in Islam: An Authentic Approach, St. Martin’s Press, Inc., New York, 1998.
Ab³ D±wud, Sunan Ab³ D±wud, juz I, D±r al-Fikr, 1994.
Amin, Qasim, Ta¥r³r
al-Mar’ah, D±r al-Ma‘±rif, Tunisia, t.t.
Anderson, James Norman Dalrymple
(J.N.D), Islamic
law in the Modern World, Edisi
Indonesia: Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress,
Surabaya.
_______________ , “The
Tunisian Law of Personal Status”, dalam International and Comparative Law
Quarterly, 7 April 1985.
Anderson, Norman, Law Reform in the Muslim World, The Athlone Press, London, 1976.
Buxbaum, David C. (Ed.), Family Law and
Customary Law in Asia: a Contemporary Legal Perspective, Martinus Nijhoff, The Haque, 1968
Dahlan, Abdul Aziz (Ed.), Ensiklopedi
Hukum Islam, jld. IV, Ichtiar Baru van
Houve, Jakarta, 1997.
Esposito, John L. (Ed.), The Oxford
Encyclopaedia of the Modern Islamic World, Oxford University Press, Oxford, 1991.
Gupta, Kiran, “Polygamy Law
Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and
Comparative Law, vol XVIII, No. 2 Thaun 1992.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Ibn al-‘Arab³, A¥k±m al-Qur‘±n, Jld. I, D±r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, Beirut, 1988,
Ibn Rusyd, Bid±yat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqta¡id, juz II, D±r al-Fikr, Beirut, 1995.
al-Jaz³r³, ‘Abdurra¥man, Kit±b al-Fiqh
‘ala al-Ma©±hib al-Arba‘ah, jld.
V, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999.
al-Ja¡¡±¡, A¥k±m al-Qur’±n, juz II, D±r al-Fir, Beirut,
1993.
Kartanegara, Satochid, Dasar-Dasar
Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung,
1990.
Lindsey, Timothy (Ed.), Indonesia: Law
and Society, The Federation Press,
Leichhardt, 1999.
M. Hawes, Joseph & Elizabeth
F. Shores (Ed.s), The
Family in a America an Encyclopedia, vol. II, ABC-CLIO, Inc., Santa Barbara California, 2001.
Mahmood, Tahir, Family Law
Reform in the Muslim World,
N.M.Tripathi PVT, Ltd., Bombay, 1972.
______________ , Personal Law in
Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion New Delhi, New Delhi,
1987.
Mallat, Chibli, & Jane
Connors, Islamic
Family Law, Graham & Trotman, London,
1993.
al-Maragi, A¥mad Mu¡taf±, Tafs³r
al-Mar±g³, juz IV, Mustaf± al-B±b³ al-¦alab³
wa Aul±duh, 1974.
Morris, William, The Heritage
Illustrated Dictionary of the English Language, Vol. II, Houghton Mifflin Campany, Boston, 1979.
Mudzhar, M. Atho’ dan Khairuddin
Nasution (Ed.s), Hukum
Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern
dari Kitab-kitab Fikih,
Ciputat Press, Jakarta, 2003.
Nasution, Khoiruddin, Status
Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim
Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, INIS, Leiden-Jakarta, 2002.
al-Qur¯b³, al-J±mi‘ li A¥k±m al-Qur’±n, juz V, t.p., Kairo, t.t.
Rahman, Fazlur, Major Themes of
the Qur’an, Edisi Indonesia: Tema-tema Pokok
Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, Penerbit
Pustaka, Bandung, 1996.
Ri«±, Mu¥ammad Rasy³d, Tafs³r
al-Man±r, juz IV, D±r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999.
Shahrur, Muhammad, Na¥w U¡l
Jad³dah li al-Fiqh al-Islam³, Edisi Indonesia: Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron
Syamsuddin dan Burhanudin, elSAQ Press, Yogyakarta, 2004.
Shihab, M. Quraish, Tafsir
Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. II, Lentera Hati, Jakarta, 2000.
Simon, Reeva S., Philip Mattar,
Richard W. Bulliet (Ed.s), Encyclopedia of the Modern Middle East, vol.4, Simon & Schuster Macmillan, New York,
1996.
S. Cayne, Bernard (Ed.), The Encyclopedia
Americana, Grolier Incorporated, New York,
1996 & 2001.
a¯-°ab±r³, Mu¥ammad
Ibn Jar³r, J±mi‘ al-Bay±n ‘an Ta’w³l ²yi al-Qur’±n, juz III, D±r al-Fikr, Beirut,
1988.
0 komentar:
Posting Komentar