Jumat, 17 Mei 2013

Ketentuan Hukum yang berkaitan dengan Malapraktek:
     C.1 Dalam KUHPidana : 
           Dalam beberapa kasus ada kecenderungan pasien yang merasa dirugikan membawa kasusnya ke pidana. Artinya dia melaporkan baik terhadap rumah sakit maupun dokter ke pihak kepolisian dengan pasal tertentu tergantung dari kasusnya. Pasal pidana tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
           Pasal 340:
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Pasal 344:
Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sungguh sungguh dari orang itu sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 345:
Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri. 


Pasal 359:
Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain meninggal, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 360:
  1. Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya)  menyebabkan orang lain mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
  2. Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.


Pasal 361:
Bila kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pekerjaan, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak yang bersalah untuk menjalankan pekerjaan dalam mana dilakukan kejahatan itu dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan. (KUHP 10, 35, 43, 92.)

    C.2 Dalam KUHPerdata
              Rumah Sakit termasuk dokter didalamnya dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien disamping mempunyai risiko atas tuntutan secara pidana sebagaimna diatas maka aspek hukum lainnya yang harus diperhatikan dengan seksama adalah adanya tuntutan secara perdata. Tuntutan  secara perdata atau gugatan secara perdata ini diajukan oleh pihak yang merasa haknya dilanggar.
           Sebagaimana lazimnya hubungan hukum antara satu pihak dengan pihak lainnya menurut ketentuan pasal 1233 KUHPerdata adalah  lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Kalau antara Rumah Skit, Dokter dengan pasien dalampelayanan kesehatan tersebut dilakukan atas dasar anya sutu perjanjian diantara mereka. Maka  hak dan kewajiban antara pihak Rumah Sakit dengan pasien seyogyanya dituangkan dalam suatu perjanjian, termasuk pilihan penyelesaian bila ada sengketa diantara mereka.Bila ada salah satu pihak yang dinggap melanggar janji atau prestas yaitu melakukan tapi terlambat , melakukan tapi tidak sesuai dengan kesepakatan, melakukan apa yang dilarang atau sama sekali tidak melakukan.  Maka pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat melakukan gugatan di Pengadilan  atau lembaga lain yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut.
             Namun dalam hal-hal yang khusus terutama bila pasien dalam keadaan gawat darurat maka person in charge yang muncul dan membantu menangani adalah dokter. Penanganan oleh dokter ini kalau membuat pasien sembuh tentunya  tidak akan muncul tuntutan. Namun bila penangan terhadap pasien tersebut menimbulkan sakitnya tambah parah bahkan meninggal dunia, bila tidak mendapat penjelasan yang baik dan diterima baik oleh pasien maupun keluarganya  dan tidak ada perjanjian sebelumnya maka hal ini akan membawa konsekwensi adanya tuntutan secara perdata. Dengan perkataan lain  walau tidak ada perjanjian sebelumnya tapi karena ada salah satu pihak yang merasa dilanggar haknya. Dan pelanggran tersebut dianggap merugikan maka dia  biasanya akan melakukan gugatan secara perdata didasarkan pasal 1365 atau 1366 KUHPerdata. Disini munculnya hubungan hukum yaitu perjanjian yang lahir karena UU sebagaimana yang dimaksud pasal 1233 KUHPerdata.
Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa tiap perbuatan melawan hukum  yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian.[1] Oleh karena itu Mariam Darus Badrulzaman dalam Rancangan UU (RUU) Perikatan berusaha mematerialisasikannya dengan rumusan lengkap dalam undang-undang, sebagai berikut : [2]

  1. Suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahan atau kelalaiannya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
  2. Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan kemasyarakatan terhadap pribadi atau harta benda orang lain.
  3. Seorang yang sengaja tidak melakukan suatu perbuatan yang wajib dilakukannya, disamakan dengan seorang yang melakukan suatu perbuatan terlarang dan karenanya melanggar hukum.


Upaya perumusan norma dalam konsep Mariam Darus Badrulzaman ini telah mengabsorbsi perkembangan pemikiran yang baru mengenai perbuatan melawan hukum, karena dalam konsepnya tersebut pengertian melawan hukum tidak hanya diartikan sebagai melawan undang-undang (hukum tertulis) tetapi juga bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat (hukum tidak tertulis). 
Secara historis perbuatan melawan hukum dalam pasal 1365 KUHPerdata pada awalnya mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Ajaran Legisme mengatakan bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sama dengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatigedaad). Aliran ini ditandai dengan Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. Perkara bermula dari seorang pedagang menjual mesin jahit dengan nama mesin jahit Singer yang telah disempurnakan. Padahal mesin itu sama sekali bukan produk dari Singer. Kata-kata “Singer” ditulis dengan huruf-huruf yang besar, sedang kata-kata yang lain ditulis kecil-kecil sehingga sepintas yang terbaca adalah ‘Singer’nya saja. Ketika pedagang itu digugat di muka Pengadilan, oleh H.R. antara lain dikatakan bahwa perbuatan pedagang itu bukanlah merupakan tindakan melawan hukum karena tidak setiap tindakan dalam dunia usaha, yang bertentangan dengan tata krama dalam masyarakat dianggap sebagai tindakan melawan hukum.[3]
Berikutnya  Arrest Hoge Raad, tanggal 10 Juni 1910 dalam perkara Zutphense Juffrouw. Perkaranya bermula dari sebuah gudang di Zutphen karena iklim yang sangat dingin pipa air dalam gudang tersebut pecah. Sementara kran induknya berada dalam rumah di tingkat atas namun penghuninya tidak bersedia memenuhi permintaan untuk menutup kran induk (mematikan) tersebut; sekalipun padanya telah dijelaskan bahwa dengan tidak ditutupnya kran induk maka akan timbul kerusakan besar pada barang yang tersimpan dalam gudang  karena tergenang air. Akhirnya barang-barang dalam gudang itu tergenang air. Maatschappij pertanggungan telah membayar ganti  kerugian dan kemudian menuntut penghuni  rumah tingkat atas di muka Pengadilan, tapi  ditolak oleh H.R. dengan alasan bahwa tidak terdapat suatu ketentuan Undang-undang yang mewajibkan penghuni dari rumah tingkat atas tersebut untuk mematikan kran induk untuk kepentingan pihak ketiga.[4] Dengan kata lain Hoge Raad di Belanda memandang perbuatan melawan hukum secara legistis. Pengertian legistis itu kemudian berubah pada  tahun 1919 dengan putusan H.R. 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen melawan Lindenbaum yang dikenal sebagai Drukkers Arrest. Dalam perkara ini, seorang pengusaha percetakan bernama Cohen telah membujuk karyawan pengusaha percetakan Lindenbaum untuk memberikan copy-copy pesanan-pesanan dari langganan-langganannya. Cohen memanfaatkan informasi ini sehingga Lindenbaum mengalami kerugian karena para langganannya lari ke perusahaan Cohen. Selanjutnya, Cohen dituntut membayar ganti kerugian kepada Lindenbaum. Tuntutan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri (Rechtbank). Pengadilan Tinggi (Hof) sebaliknya membatalkan keputusan Pengadilan Negeri dengan mempertimbangkan bahwa sekalipun karyawan tersebut melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, yakni telah melanggar suatu kewajiban hukum, namun tidak berlaku bagi Cohen karena Undang-undang tidak melarang dengan tegas bahwa mencuri informasi adalah melanggar hukum. Hoge Raad membatalkan keputusan tersebut atas dasar pertimbangan bahwa dalam keputusan Pengadilan Tinggi  makna tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) dipandang secara  sempit sehingga yang termasuk di dalamnya hanyalah perbuatan-perbuatan yang secara langsung dilarang oleh undang-undang. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang tidak dilarang oleh undang-undang, sekalipun perbuatan-perbuatan ini bertentangan dengan keharusan dan kepatutan, yang diharuskan dalam pergaulan masyarakat bukan merupakan perbuatan melawan hukum.[5]
                   Dengan adanya Arrest ini maka pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas. Perbuatan melawan hukum diartikan setiap  perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis yaitu bersifat bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar hak subyektif orang lain. Termasuk didalamnya suatu perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga masyarakat.
                   Penilaian apakah suatu perbuatan termasuk perbuatan melawan hukum (ataukah tidak), tidak cukup apabila hanya didasarkan pada pelanggaran terhadap kaidah hukum, tetapi, perbuatan tersebut harus juga dinilai dari sudut pandang kepatutan. Fakta bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum dapat menjadi faktor pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan yang menimbulkan kerugian tadi sesuai atau tidak dengan kepatutan yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat.[6]
             Terminologi perbuatan melawan hukum merupakan terjemahan dari kata onrechtmatigedaad, yang di diatur dalam KUHPerdata Buku III tentang Perikatan, pasal 1365 sampai dengan pasal 1380. Beberapa sarjana ada yang mempergunakan istilah ‘melanggar’ dan ada yang mempergunakan istilah ‘melawan’.  Wirjono Projodikoro  menggunakan istilah Perbuatan Melanggar hukum, dengan mengatakan : “Istilah ‘onrechtmatige  daad’ dalam bahasa Belanda lazimnya mempunyai  arti yang sempit, yaitu arti yang dipakai dalam pasal 1365 Burgelijk Wetboek dan yang hanya berhubungan dengan penafsiran dari pasal tersebut, sedang kini istilah Perbuatan Melanggar Hukum ditujukan kepada hukum yang pada umumnya berlaku di Indonesia dan yang sebagian terbesar merupakan Hukum Adat. [7] Subekti juga menggunakan istilah Perbuatan Melanggar Hukum[8].
        Terminologi  Perbuatan  Melawan  Hukum  menurut Mariam Darus Badrulzaman. Mariam Darus Badrulzaman adalah  sebagai berikut :
“Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian ini mengganti kerugian tersebut’”[9]
Selanjutnya dikatakan bahwa :
“Pasal 1365 KUH Perdata ini sangat penting artinya karena melalui pasal ini hukum yang tidak tertulis diperhatikan oleh Undang-Undang.”[10]
               Sri Soedewi Masjchoen Sofwan[11] dan I.S. Adiwimarta[12] dalam menerjemahkan bukunya H.F.A. Vollmar juga mempergunakan istilah perbuatan melawan hukum.
Selain itu terminologi perbuatan melawan hukum juga digunakan oleh M.A. Moegni Djojodirdjo,[13] dan Setiawan[14]. M.A. Moegni Djojodirdjo mengatakan :
       “Pasal 1365 KUH Perdata tidaklah memberikan perumusan melainkan hanya mengatur bilakah seseorang yang mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, akan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian pada Pengadilan Negeri dengan succes”.
Mengapa menggunakan terminologi Melawan Hukum bukan Melanggar Hukum, menurut M.A. Moegni Djojodirdjo dalam kata “melawan” melekat sifat aktif dan pasif.[15]  Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan sebagai sifat positif dan negatif.[16]
Dalam Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek,[17] konsep onrechtmatigedaad terdapat dalam buku 6 titel 3 artikel 162.  Perbuatan Melawan Hukum dirumuskan sebagai :  “Als onrechtmatige daad worden aangemerkt een inbreuk op een recht en een doen of nalaten in strijd met een wettelijke plicht of met hetgeen volgens ongeschreven recht in het maatschappelijk verkeer betaamt, een  ander behoudens de aanwezigheid van een rechtvaardigingsgrond”.
(Terjemahannya bebasnya yaitu  : Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak (subyektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenar menurut hukum).
            Code Civil  Perancis mengaturnya dalam titel IV Chapter II artikel 1382 sampai dengan artikel 1386 dengan judul Delicts and Quasi-Delicts[18].
Dalam artikel 1382 dikatakan bahwa :
‘Any act whatever of man which causes damage to another obliges him by whose fault it accorred to make reparatio’
Kemudian mengenai tanggung jawab terhadap kelalaian atau kurang hati-hati di atur dalam artikel 1383 sebagai berikut :
               ‘Each one is liable for the damage which he causes not only by his own act but also by his negligence or imprudence’

Selanjutnya artikel 1384 menentukan :
               ‘He is liable not only for the damage which he caused by his own act , but also for that which is caused by the act of  persons for whom he is responsible, or by things which he has in his keeping’
Artikel 1382, 1383 dan 1384 Code Civil Perancis tersebut sama persis bunyinya dengan pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata.     
            Konsep perbuatan melawan hukum dalam sistem Common Law disebut the law of tort.  Beberapa sarjana Inggris memberikan definisi Tort  sebagai berikut :
Sir John Salmond  mengatakan bahwa : [19]
“A. Tort is a civil wrong for which the remedy is a common law action for unliquidated damages and which is not exclusivey the breach of contract or a breach of a trust or other merely equitable obligation”

Sir P. Wienfield mengatakan bahwa :[20]
“Tortious liability arises from the breach of duty primarily fixed by law, such duty is towards persons generally and its breach is redressible by an action for unliquidated damages”

L.B. Curzon memberikan definisi Tort sebagai berikut :[21]
“The Law of Tort is concerned with the determination of disputes which arise where one person  alleges wrong conduct against another. It should be noted that some torts, e.g. assault and battery are tort and crime”.

               Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tort adalah suatu kesalahan perdata, dimana seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu yang mengakibatkan kerugian pada orang lain dengan melanggar hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh hukum yang bukan timbul dari contract atau trust, yang dapat dimintakan ganti rugi terhadap kerugian yang diakibatkannya.
           Oleh karenanya  dalam mengajukan gugatan berdasarkan tort law harus ada perbuatan aktif dan pasif yang dilakukan oleh tergugat yang mengakibatkan kerugian terhadap kepentingan penggugat yang dilindungi oleh hukum.
Tort Law memberikan perlindungan hukum terhadap berbagai kepentingan, seperti keamanan pribadi, harta benda dan kepentingan ekonomi. Perlindungan tersebut diberikan melalui system kompensasi berupa ganti rugi secara perdata. Berdasarkan teori klasik tort law, ganti rugi diberikan untuk mengembalikan   penggugat kepada posisi ketika perbuatan melawan hukum itu belum terjadi.
Hal ini berbeda dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan hubungan kontraktual dimana ganti rugi itu bertujuan untuk menempatkan si penggugat pada posisi seandainya perjanjian itu terlaksana. Berdasarkan hubungan kontraktual, penggugat dapat menuntut kehilangan keuntungan yang diharapkan atau Expectation loss. Teori klasik ini telah mengalami perubahan,  karena sekarang gugatan tort law juga dapat diajukan untuk economic lost.[22]
Konsep perbuatan melawan hukum di Indonesia telah dimasukkan dalam satu kitab undang-undang yang terkodifikasi yaitu dalam KUH Perdata. Sedangkan Tort,  konsep dan pengaturannya tersebar dalam yurisprudensi-yurisprudensi dan dalam undang-undang tertentu seperti Occupier’s Liability Act 1957, Defective Premises Act 1972 dan sebagainya. Perbedaan pengaturan konsep tersebut dipengaruhi oleh perbedaan sistem hukum yang dianut KUH Perdata dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontinental yang cenderung pada paham kodifikasi (Enacted Law) sedangkan Inggris menganut Sistem Common Law dimana hukumnya berkembang dari kebiasaan dan yurisprudensi.
Konsep perbuatan melawan hukum Indonesia yang merupakan bagian hukum Eropa Kontinental diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata sampai dengan pasal 1380 KUH Perdata. Dalam pasal-pasal tersebut diatur bentuk tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang terbagi atas: Pertama, Tanggung jawab tidak hanya atas perbuatan melawan hukum diri sendiri tetapi juga atas perbuatan melawan hukum orang lain dan terhadap barang.

Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa:
“Seseorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri tetapi juga disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.

Berdasarkan ketentuan pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata, yang merupakan rumusan umum, maka pertanggung jawaban dibagi menjadi:
a.         Tanggung jawab terhadap perbuatan orang lain
  1. Tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang menjadi tanggungannya secara umum;
  2. Tanggung jawab orang tua dan wali terhadap anak-anak yang belum dewasa (pasal 1367 ayat 2 KUH Perdata);
  3. Tanggung jawab majikan dan orang yang mewakilkan  urusannya terhadap orang yang diperkerjakannya (pasal 1367 ayat 3 KUH Perdata);
  4. Tanggung jawab guru sekolah dan kepala tukang terhadap murid dan tukangnya (pasal 1367 ayat 4 KUH Perdata).

b.        Tanggung jawab terhadap barang dalam pengawasannya.
  1. Tanggung jawab terhadap barang pada umumnya (pasal 1367 ayat 1 KUH Perdata);
  2. Tanggung jawab terhadap binatang (pasal 1368 KUH Perdata);
  3. Tanggung jawab pemilik terhadap gedung (pasal 1369 KUHPerdata).

          Kedua, Perbuatan melawan hukum terhadap tubuh dan jiwa manusia. Pasal 1370 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal terjadi pembunuhan dengan sengaja atau kelalaiannya, maka suami atau istri, anak, orang tua korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, berhak untuk menuntut ganti rugi yang harus dinilai menurut keadaan dan kekayaan kedua belah pihak.
Ketiga, Perbuatan melawan hukum terhadap nama baik. Masalah penghinaan diatur dalam pasal 1372 sampai dengan pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1372 menyatakan bahwa tuntutan terhadap penghinaan adalah bertujuan untuk mendapat ganti rugi dan pemulihan nama baik, sesuai dengan kedudukan dan keadaan para pihak.
     Beberapa tuntutan yang dapat diajukan karena perbuatan melawan hukum ialah :
1.      Ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan;
2.      Ganti rugi dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam keadaan semula;
3.      Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum;
4.      Melarang dilakukannya perbuatan tertentu.
       Dalam perspektif  RUU Kesehatan dalam pasal 14 ditegaskan Setiap orang berhak menuntut kompensasi dan/atau ganti rugi terhadap seseorang atau tenaga kesehatan dalam memberikan layanan kesehatan yang menimbulkan kerugian.
Namun tuntutan ini tidak berlaku dalam hal tindakan seseorang atau tenaga kesehatan tersebut dilakukan dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa atau badan orang tersebut.
        Baru-baru ini ada berita bila salah satu rumah sakit dilaporkan ke Polda karena dianggap menelantarkan pasiennya dan dianggap menjadi tertular penyakit karena dimasukan dalam satu ruangan dengan penderita penyakit menular. Dalam RUU Kesehatan (pasal 20 dan 21) akan diatur ketentuan yang harus dipatuhi dimana setiap orang  termasuk Rumah Sakit dan Dokter/Dokter Gigi dilarang mengabaikan atau menelantarkan orang lain yang memerlukan pertolongan kesehatan, padahal orang tersebut mampu memberikan pertolongan kesehatan. Hal ini tidak diatur dalam UU No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, dalam pasal 55 hanya diatur adanya pemberian ganti rugi bila ada pihak yang dirugikan.
          Dan adanya larangan bagi setiap orang  dengan sengaja untuk melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan orang lain atau dengan sengaja menularkan suatu penyakit yang ada pada dirinya atau yang ada pada orang lain yang membahayakan jiwa orang tersebut.
Dengan adanya ketentuan tersebut maka pihak Rumah Sakit maupun Dokter yang berwenang menagani pasien tersebut harus hati-hati dengan adanya ketentuan tersebut.


  • R.Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2003) hal.346.
  • St.Remy Sjahdeini dkk., Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan tentang Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman RI, 1993/1994) hal.18.
  • Mr.M.F..H.J.Bolweg, Pitlo Het Nederlands Burgerlijk Wetboek, Deel 3 Algemeen deel van het Verbintenissen recht (Arnhem: Gouda Quint BV., 1979) hal.308.
  • Ibid.
  • L.E.H. Rutten, Mr.C.Asser ‘s Handleiding Tot De Bedefening Van Het Nederlands Burgerlijk Recht, Derde Deel verbintenissenrecht (Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1968) hal.418.
  • Setiawan, Empat Kriteria Perbuatan Melanggar Hukum dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, (Varia Peradilan No.16, Desember 1986).
  • Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum (Bandung: Sumur Bandung, 1993), hal.7.
  • Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 1970.
  • [9]Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata – Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan (Bandung : Alumni, 1983) hal.146.
  • Ibid.
  • Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perutangan, (Yogyakarta: Seksi Hukum Perdata Fakultas  Hukum UGM, 1980) hal.55.
  • H.F.A. Vollmar,  Pengantar /Studi Hukum Perdata Jilid II (Jakarta: C.V. Rajawali, 1984), hal.183.
  • M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982) hal.17.
  • Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: Alumni, 1982) hal.8
  • M.A. Moegni Djojodirdjo, Ibid.
  • Mariam Darus Badrulzaman, Ibid.
  • P.P.C. Haanapel, Ejan Mackaay, Nieuw Nederlands Bugerlijk Wetboek, Het Vermogensrecht (Deventer: Kluwer Law and Taxation, 1990) hal.298.
  • John H.Crabb, The French Civil Cod, (as amanded to July 1, 1976) Translated with an Introduction, (New Jersey: Fred B.Rothman & co., 1977) P.253.
  • P.W.D. Redmond, General Principles of English Law, (Plymouth: Mac. Donald and Evans, 1974), hal.164.
  • Ibid.
  • L.B. Curzon, Basic Law, (Plymouth: Mac Donald and Evans, 1981), hal.113.
  • DR. Rosa Agustina, SH.MH. Perbuatan Melawan Hukum. (Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal.14.


0 komentar:

Posting Komentar