Ketentuan
Hukum yang berkaitan dengan Malapraktek:
C.1 Dalam
KUHPidana :
Dalam beberapa kasus ada
kecenderungan pasien yang merasa dirugikan membawa kasusnya ke pidana. Artinya
dia melaporkan baik terhadap rumah sakit maupun dokter ke pihak kepolisian
dengan pasal tertentu tergantung dari kasusnya. Pasal pidana tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut:
Pasal 340:
Barangsiapa dengan sengaja
dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Pasal 344:
Barangsiapa merampas nyawa
orang lain atas permintaan sungguh sungguh dari orang itu sendiri, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 345:
Barangsiapa dengan sengaja
membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau
memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
Pasal 359:
Barangsiapa
karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain meninggal, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama
satu tahun.
Pasal 360:
- Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
- Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 361:
Bila kejahatan yang
diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pekerjaan, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak yang
bersalah untuk menjalankan pekerjaan dalam mana dilakukan kejahatan itu dan
hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan. (KUHP 10, 35, 43, 92.)
C.2 Dalam KUHPerdata
Rumah Sakit termasuk dokter
didalamnya dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien disamping
mempunyai risiko atas tuntutan secara pidana sebagaimna diatas maka aspek hukum
lainnya yang harus diperhatikan dengan seksama adalah adanya tuntutan secara
perdata. Tuntutan secara perdata atau
gugatan secara perdata ini diajukan oleh pihak yang merasa haknya dilanggar.
Sebagaimana lazimnya hubungan hukum
antara satu pihak dengan pihak lainnya menurut ketentuan pasal 1233 KUHPerdata
adalah lahir karena suatu persetujuan
atau karena undang-undang. Kalau antara Rumah Skit, Dokter dengan pasien
dalampelayanan kesehatan tersebut dilakukan atas dasar anya sutu perjanjian
diantara mereka. Maka hak dan kewajiban
antara pihak Rumah Sakit dengan pasien seyogyanya dituangkan dalam suatu
perjanjian, termasuk pilihan penyelesaian bila ada sengketa diantara
mereka.Bila ada salah satu pihak yang dinggap melanggar janji atau prestas
yaitu melakukan tapi terlambat , melakukan tapi tidak sesuai dengan
kesepakatan, melakukan apa yang dilarang atau sama sekali tidak melakukan. Maka pihak yang merasa dirugikan tersebut
dapat melakukan gugatan di Pengadilan
atau lembaga lain yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut.
Namun dalam hal-hal yang khusus
terutama bila pasien dalam keadaan gawat darurat maka person in charge
yang muncul dan membantu menangani adalah dokter. Penanganan oleh dokter ini
kalau membuat pasien sembuh tentunya
tidak akan muncul tuntutan. Namun bila penangan terhadap pasien tersebut
menimbulkan sakitnya tambah parah bahkan meninggal dunia, bila tidak mendapat
penjelasan yang baik dan diterima baik oleh pasien maupun keluarganya dan tidak ada perjanjian sebelumnya maka hal
ini akan membawa konsekwensi adanya tuntutan secara perdata. Dengan perkataan
lain walau tidak ada perjanjian
sebelumnya tapi karena ada salah satu pihak yang merasa dilanggar haknya. Dan
pelanggran tersebut dianggap merugikan maka dia
biasanya akan melakukan gugatan secara perdata didasarkan pasal 1365
atau 1366 KUHPerdata. Disini munculnya hubungan hukum yaitu perjanjian yang
lahir karena UU sebagaimana yang dimaksud pasal 1233 KUHPerdata.
Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa
tiap perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang melakukan
perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian.[1]
Oleh karena itu Mariam Darus Badrulzaman dalam Rancangan UU (RUU) Perikatan
berusaha mematerialisasikannya dengan rumusan lengkap dalam undang-undang,
sebagai berikut : [2]
- Suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahan atau kelalaiannya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
- Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan kemasyarakatan terhadap pribadi atau harta benda orang lain.
- Seorang yang sengaja tidak melakukan suatu perbuatan yang wajib dilakukannya, disamakan dengan seorang yang melakukan suatu perbuatan terlarang dan karenanya melanggar hukum.
Upaya perumusan norma dalam konsep
Mariam Darus Badrulzaman ini telah mengabsorbsi perkembangan pemikiran yang
baru mengenai perbuatan melawan hukum, karena dalam konsepnya tersebut
pengertian melawan hukum tidak hanya diartikan sebagai melawan undang-undang
(hukum tertulis) tetapi juga bertentangan dengan kepatutan yang harus
diindahkan dalam pergaulan masyarakat (hukum tidak tertulis).
Secara historis perbuatan melawan hukum
dalam pasal 1365 KUHPerdata pada awalnya mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme,
yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut
undang-undang. Ajaran Legisme mengatakan bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)
sama dengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatigedaad). Aliran
ini ditandai dengan Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer
Naaimachine. Perkara bermula dari seorang pedagang menjual mesin jahit dengan nama mesin
jahit Singer yang telah disempurnakan. Padahal mesin itu sama sekali bukan
produk dari Singer. Kata-kata “Singer” ditulis dengan huruf-huruf yang besar,
sedang kata-kata yang lain ditulis kecil-kecil sehingga sepintas yang terbaca
adalah ‘Singer’nya saja. Ketika pedagang itu digugat di muka Pengadilan, oleh
H.R. antara lain dikatakan bahwa perbuatan pedagang itu bukanlah merupakan tindakan
melawan hukum karena tidak setiap tindakan dalam dunia usaha, yang bertentangan
dengan tata krama dalam masyarakat dianggap sebagai tindakan melawan hukum.[3]
Berikutnya Arrest Hoge Raad, tanggal 10 Juni 1910
dalam perkara Zutphense Juffrouw. Perkaranya bermula dari sebuah gudang di Zutphen
karena iklim yang sangat dingin pipa air dalam gudang tersebut pecah. Sementara
kran induknya berada dalam rumah di tingkat atas namun penghuninya tidak
bersedia memenuhi permintaan untuk menutup kran induk (mematikan) tersebut;
sekalipun padanya telah dijelaskan bahwa dengan tidak ditutupnya kran induk
maka akan timbul kerusakan besar pada barang yang tersimpan dalam gudang karena tergenang air. Akhirnya barang-barang
dalam gudang itu tergenang air. Maatschappij pertanggungan telah membayar
ganti kerugian dan kemudian menuntut
penghuni rumah tingkat atas di muka
Pengadilan, tapi ditolak oleh H.R.
dengan alasan bahwa tidak terdapat suatu ketentuan Undang-undang yang
mewajibkan penghuni dari rumah tingkat atas tersebut untuk mematikan kran induk
untuk kepentingan pihak ketiga.[4] Dengan
kata lain Hoge Raad di Belanda memandang perbuatan melawan hukum secara
legistis. Pengertian legistis itu kemudian berubah pada tahun 1919 dengan putusan H.R. 31 Januari
1919 dalam perkara Cohen melawan Lindenbaum yang dikenal sebagai Drukkers
Arrest. Dalam perkara ini, seorang pengusaha percetakan bernama Cohen telah
membujuk karyawan pengusaha percetakan Lindenbaum untuk memberikan copy-copy
pesanan-pesanan dari langganan-langganannya. Cohen memanfaatkan informasi ini
sehingga Lindenbaum mengalami kerugian karena para langganannya lari ke
perusahaan Cohen. Selanjutnya, Cohen dituntut membayar ganti kerugian kepada
Lindenbaum. Tuntutan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri (Rechtbank).
Pengadilan Tinggi (Hof) sebaliknya membatalkan keputusan Pengadilan
Negeri dengan mempertimbangkan bahwa sekalipun karyawan tersebut melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, yakni telah melanggar suatu
kewajiban hukum, namun tidak berlaku bagi Cohen karena Undang-undang tidak
melarang dengan tegas bahwa mencuri informasi adalah melanggar hukum. Hoge
Raad membatalkan keputusan tersebut atas dasar pertimbangan bahwa dalam
keputusan Pengadilan Tinggi makna
tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) dipandang
secara sempit sehingga yang termasuk di
dalamnya hanyalah perbuatan-perbuatan yang secara langsung dilarang oleh
undang-undang. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang tidak dilarang oleh
undang-undang, sekalipun perbuatan-perbuatan ini bertentangan dengan keharusan
dan kepatutan, yang diharuskan dalam pergaulan masyarakat bukan merupakan
perbuatan melawan hukum.[5]
Dengan adanya Arrest ini
maka pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas. Perbuatan melawan
hukum diartikan setiap perbuatan yang
melanggar kaidah-kaidah tertulis yaitu bersifat bertentangan dengan kewajiban
hukum si pelaku dan melanggar hak subyektif orang lain. Termasuk didalamnya
suatu perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaidah yang
mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang seharusnya
dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta
benda warga masyarakat.
Penilaian apakah suatu
perbuatan termasuk perbuatan melawan hukum (ataukah tidak), tidak cukup apabila
hanya didasarkan pada pelanggaran terhadap kaidah hukum, tetapi, perbuatan
tersebut harus juga dinilai dari sudut pandang kepatutan. Fakta bahwa seseorang
telah melakukan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum dapat menjadi faktor
pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan yang menimbulkan kerugian tadi
sesuai atau tidak dengan kepatutan yang seharusnya dimiliki seseorang dalam
pergaulan dengan sesama warga masyarakat.[6]
Terminologi perbuatan melawan hukum merupakan terjemahan dari
kata onrechtmatigedaad, yang di diatur dalam KUHPerdata Buku III tentang
Perikatan, pasal 1365 sampai dengan pasal 1380. Beberapa sarjana ada yang
mempergunakan istilah ‘melanggar’ dan ada yang mempergunakan istilah
‘melawan’. Wirjono Projodikoro menggunakan
istilah Perbuatan Melanggar hukum, dengan mengatakan : “Istilah ‘onrechtmatige daad’ dalam bahasa Belanda lazimnya
mempunyai arti yang sempit, yaitu arti
yang dipakai dalam pasal 1365 Burgelijk Wetboek dan yang hanya
berhubungan dengan penafsiran dari pasal tersebut, sedang kini istilah Perbuatan
Melanggar Hukum ditujukan kepada hukum yang pada umumnya berlaku di
Indonesia dan yang sebagian terbesar merupakan Hukum Adat. [7]
Subekti juga menggunakan istilah Perbuatan Melanggar Hukum[8].
Terminologi
Perbuatan Melawan Hukum
menurut Mariam Darus Badrulzaman. Mariam Darus Badrulzaman adalah sebagai berikut :
“Pasal 1365
KUH Perdata menentukan bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang
membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang karena salahnya
menerbitkan kerugian ini mengganti kerugian tersebut’”[9]
Selanjutnya dikatakan bahwa :
“Pasal 1365
KUH Perdata ini sangat penting artinya karena melalui pasal ini hukum yang
tidak tertulis diperhatikan oleh Undang-Undang.”[10]
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan[11] dan I.S. Adiwimarta[12] dalam menerjemahkan
bukunya H.F.A. Vollmar juga mempergunakan istilah perbuatan melawan hukum.
Selain itu
terminologi perbuatan melawan hukum juga digunakan oleh M.A. Moegni
Djojodirdjo,[13]
dan Setiawan[14]. M.A. Moegni Djojodirdjo mengatakan :
“Pasal 1365 KUH Perdata tidaklah
memberikan perumusan melainkan hanya mengatur bilakah seseorang yang mengalami
kerugian karena perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh orang lain
terhadap dirinya, akan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian pada Pengadilan
Negeri dengan succes”.
Mengapa
menggunakan terminologi Melawan Hukum bukan Melanggar Hukum,
menurut M.A. Moegni Djojodirdjo dalam
kata “melawan” melekat sifat aktif dan pasif.[15] Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan sebagai sifat positif dan
negatif.[16]
Dalam Nieuw
Nederlands Burgerlijk Wetboek,[17]
konsep onrechtmatigedaad terdapat dalam buku 6 titel 3 artikel 162. Perbuatan Melawan Hukum dirumuskan sebagai
: “Als onrechtmatige daad worden
aangemerkt een inbreuk op een recht en een doen of nalaten in strijd met een
wettelijke plicht of met hetgeen volgens ongeschreven recht in het
maatschappelijk verkeer betaamt, een
ander behoudens de aanwezigheid van een rechtvaardigingsgrond”.
(Terjemahannya bebasnya
yaitu : Perbuatan melawan hukum adalah
perbuatan yang melanggar hak (subyektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak
berbuat) bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan
dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh
seorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat dengan mengingat
adanya alasan pembenar menurut hukum).
Code
Civil Perancis mengaturnya dalam
titel IV Chapter II artikel 1382 sampai dengan artikel 1386 dengan judul Delicts
and Quasi-Delicts[18].
Dalam artikel 1382 dikatakan
bahwa :
‘Any act whatever of man which
causes damage to another obliges him by whose fault it accorred to make
reparatio’
Kemudian
mengenai tanggung jawab terhadap kelalaian atau kurang hati-hati di atur dalam
artikel 1383 sebagai berikut :
‘Each one is liable for the
damage which he causes not only by his own act but also by his negligence or
imprudence’
Selanjutnya
artikel 1384 menentukan :
‘He is liable not only for the
damage which he caused by his own act , but also for that which is caused by
the act of persons for whom he is
responsible, or by things which he has in his keeping’
Artikel 1382,
1383 dan 1384 Code Civil Perancis tersebut sama persis bunyinya dengan
pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata.
Konsep perbuatan melawan hukum dalam
sistem Common Law disebut the law of tort. Beberapa sarjana Inggris memberikan definisi Tort
sebagai berikut :
Sir John
Salmond mengatakan bahwa : [19]
“A. Tort is a civil wrong for
which the remedy is a common law action for unliquidated damages and which is
not exclusivey the breach of contract or a breach of a trust or other merely
equitable obligation”
Sir P.
Wienfield mengatakan bahwa :[20]
“Tortious liability arises from
the breach of duty primarily fixed by law, such duty is towards persons
generally and its breach is redressible by an action for unliquidated damages”
L.B. Curzon
memberikan definisi Tort sebagai berikut :[21]
“The Law of Tort is concerned
with the determination of disputes which arise where one person alleges wrong conduct against another. It
should be noted that some torts, e.g. assault and battery are tort and crime”.
Berdasarkan definisi tersebut di
atas dapat disimpulkan bahwa tort adalah suatu kesalahan perdata, dimana
seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu yang mengakibatkan kerugian pada
orang lain dengan melanggar hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh hukum
yang bukan timbul dari contract atau trust, yang dapat dimintakan ganti rugi
terhadap kerugian yang diakibatkannya.
Oleh karenanya dalam mengajukan gugatan berdasarkan tort
law harus ada perbuatan aktif dan pasif yang dilakukan oleh tergugat yang
mengakibatkan kerugian terhadap kepentingan penggugat yang dilindungi oleh
hukum.
Tort Law memberikan perlindungan
hukum terhadap berbagai kepentingan, seperti keamanan pribadi, harta benda dan
kepentingan ekonomi. Perlindungan tersebut diberikan melalui system kompensasi
berupa ganti rugi secara perdata. Berdasarkan teori klasik tort law,
ganti rugi diberikan untuk mengembalikan
penggugat kepada posisi ketika perbuatan melawan hukum itu belum
terjadi.
Hal ini berbeda dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan hubungan
kontraktual dimana ganti rugi itu bertujuan untuk menempatkan si penggugat pada
posisi seandainya perjanjian itu terlaksana. Berdasarkan hubungan kontraktual,
penggugat dapat menuntut kehilangan keuntungan yang diharapkan atau Expectation
loss. Teori klasik ini telah mengalami perubahan, karena sekarang gugatan tort law juga
dapat diajukan untuk economic lost.[22]
Konsep
perbuatan melawan hukum di Indonesia telah dimasukkan dalam satu kitab
undang-undang yang terkodifikasi yaitu dalam KUH Perdata. Sedangkan Tort, konsep dan pengaturannya tersebar dalam
yurisprudensi-yurisprudensi dan dalam undang-undang tertentu seperti Occupier’s
Liability Act 1957, Defective Premises Act 1972 dan sebagainya. Perbedaan
pengaturan konsep tersebut dipengaruhi oleh perbedaan sistem hukum yang dianut
KUH Perdata dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontinental yang cenderung pada
paham kodifikasi (Enacted Law) sedangkan Inggris menganut Sistem Common
Law dimana hukumnya berkembang dari kebiasaan dan yurisprudensi.
Konsep
perbuatan melawan hukum Indonesia yang merupakan bagian hukum Eropa Kontinental
diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata sampai dengan pasal 1380 KUH Perdata. Dalam
pasal-pasal tersebut diatur bentuk tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum
yang terbagi atas: Pertama, Tanggung jawab tidak hanya atas perbuatan melawan
hukum diri sendiri tetapi juga atas perbuatan melawan hukum orang lain dan
terhadap barang.
Pasal 1367 ayat (1) KUH
Perdata menyatakan bahwa:
“Seseorang tidak hanya bertanggung jawab untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri tetapi juga disebabkan
karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.
Berdasarkan ketentuan
pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata, yang merupakan rumusan umum, maka pertanggung
jawaban dibagi menjadi:
a.
Tanggung jawab
terhadap perbuatan orang lain
- Tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang menjadi tanggungannya secara umum;
- Tanggung jawab orang tua dan wali terhadap anak-anak yang belum dewasa (pasal 1367 ayat 2 KUH Perdata);
- Tanggung jawab majikan dan orang yang mewakilkan urusannya terhadap orang yang diperkerjakannya (pasal 1367 ayat 3 KUH Perdata);
- Tanggung jawab guru sekolah dan kepala tukang terhadap murid dan tukangnya (pasal 1367 ayat 4 KUH Perdata).
b.
Tanggung jawab
terhadap barang dalam pengawasannya.
- Tanggung jawab terhadap barang pada umumnya (pasal 1367 ayat 1 KUH Perdata);
- Tanggung jawab terhadap binatang (pasal 1368 KUH Perdata);
- Tanggung jawab pemilik terhadap gedung (pasal 1369 KUHPerdata).
Kedua, Perbuatan melawan hukum terhadap tubuh dan jiwa manusia. Pasal
1370 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal terjadi pembunuhan dengan sengaja
atau kelalaiannya, maka suami atau istri, anak, orang tua korban yang lazimnya
mendapat nafkah dari pekerjaan korban, berhak untuk menuntut ganti rugi yang
harus dinilai menurut keadaan dan kekayaan kedua belah pihak.
Ketiga, Perbuatan melawan hukum
terhadap nama baik. Masalah penghinaan diatur dalam pasal 1372 sampai dengan
pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1372 menyatakan bahwa tuntutan terhadap
penghinaan adalah bertujuan untuk mendapat ganti rugi dan pemulihan nama baik,
sesuai dengan kedudukan dan keadaan para pihak.
Beberapa tuntutan yang dapat diajukan
karena perbuatan melawan hukum ialah :
1. Ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang
ditimbulkan;
2. Ganti rugi dalam bentuk natura atau dikembalikan
dalam keadaan semula;
3. Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah
melawan hukum;
4. Melarang dilakukannya perbuatan tertentu.
Dalam perspektif RUU Kesehatan dalam pasal 14 ditegaskan
Setiap orang berhak menuntut kompensasi dan/atau ganti rugi terhadap seseorang
atau tenaga kesehatan dalam memberikan layanan kesehatan yang menimbulkan
kerugian.
Namun tuntutan
ini tidak berlaku dalam hal tindakan seseorang atau tenaga kesehatan tersebut
dilakukan dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa atau badan orang
tersebut.
Baru-baru ini ada berita
bila salah satu rumah sakit dilaporkan ke Polda karena dianggap menelantarkan
pasiennya dan dianggap menjadi tertular penyakit karena dimasukan dalam satu
ruangan dengan penderita penyakit menular. Dalam RUU Kesehatan (pasal 20 dan
21) akan diatur ketentuan yang harus dipatuhi dimana setiap orang termasuk Rumah Sakit dan Dokter/Dokter Gigi
dilarang mengabaikan atau menelantarkan orang lain yang memerlukan pertolongan
kesehatan, padahal orang tersebut mampu memberikan pertolongan kesehatan. Hal
ini tidak diatur dalam UU No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, dalam pasal 55
hanya diatur adanya pemberian ganti rugi bila ada pihak yang dirugikan.
Dan
adanya larangan bagi setiap orang dengan
sengaja untuk melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan
orang lain atau dengan sengaja menularkan suatu penyakit yang ada pada dirinya
atau yang ada pada orang lain yang membahayakan jiwa orang tersebut.
Dengan adanya ketentuan
tersebut maka pihak Rumah Sakit maupun Dokter yang berwenang menagani pasien
tersebut harus hati-hati dengan adanya ketentuan tersebut.
- R.Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2003) hal.346.
- St.Remy Sjahdeini dkk., Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan tentang Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman RI, 1993/1994) hal.18.
- Mr.M.F..H.J.Bolweg, Pitlo Het Nederlands Burgerlijk Wetboek, Deel 3 Algemeen deel van het Verbintenissen recht (Arnhem: Gouda Quint BV., 1979) hal.308.
- Ibid.
- L.E.H. Rutten, Mr.C.Asser ‘s Handleiding Tot De Bedefening Van Het Nederlands Burgerlijk Recht, Derde Deel verbintenissenrecht (Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1968) hal.418.
- Setiawan, Empat Kriteria Perbuatan Melanggar Hukum dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, (Varia Peradilan No.16, Desember 1986).
- Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum (Bandung: Sumur Bandung, 1993), hal.7.
- Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 1970.
- [9]Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata – Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan (Bandung : Alumni, 1983) hal.146.
- Ibid.
- Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perutangan, (Yogyakarta: Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM, 1980) hal.55.
- H.F.A. Vollmar, Pengantar /Studi Hukum Perdata Jilid II (Jakarta: C.V. Rajawali, 1984), hal.183.
- M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982) hal.17.
- Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: Alumni, 1982) hal.8
- M.A. Moegni Djojodirdjo, Ibid.
- Mariam Darus Badrulzaman, Ibid.
- P.P.C. Haanapel, Ejan Mackaay, Nieuw Nederlands Bugerlijk Wetboek, Het Vermogensrecht (Deventer: Kluwer Law and Taxation, 1990) hal.298.
- John H.Crabb, The French Civil Cod, (as amanded to July 1, 1976) Translated with an Introduction, (New Jersey: Fred B.Rothman & co., 1977) P.253.
- P.W.D. Redmond, General Principles of English Law, (Plymouth: Mac. Donald and Evans, 1974), hal.164.
- Ibid.
- L.B. Curzon, Basic Law, (Plymouth: Mac Donald and Evans, 1981), hal.113.
- DR. Rosa Agustina, SH.MH. Perbuatan Melawan Hukum. (Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal.14.
0 komentar:
Posting Komentar