Senin, 20 Mei 2013


KEADILAN DAN HUKUM YANG BENAR DAN ADIL

Tujuan Instruksional Umum:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat :
1.    Memahami bermacam-macam arti keadilan.
2.    Memahami pengertian hukum yang benar dan adil.

Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:
1.      Menyebutkan bermacam-macam arti keadilan.
2.      Menyebutkan kriteria hukum yang benar dan adil.

1.      Arti Keadilan
      Membicarakan hukum tidak lepas dari kata “keadilan” yang sudah ada sejak jaman Yunani Kuno. Masalah keadilan sudah mulai disinggung pada saat Plato dan Aristoteles melontarkan pemikiran-pemikirannya yang menjadi latar belakang perenungan tentang keadilan yang menguasai filsafat hukum.[1] Plato mencoba mengemukakan konsepsinya tentang keadilan dari “inspirasi”, sedang Aristoteles mencoba mendekatinya dan menganalisis berdsarkan ilmu dan prinsip-prinsip rasional dengan latar belakang type masyarakat politik dan peraturan-peraturan hukum yang ada pada waktu itu. Hal yang menghubungkan mereka adalah concept of virtue, yaitu sifat baik, yang meliputi suatu pengertian yang sudah mencakup segala-galanya dan darimana keadilan merupakan suatu bagiannya. Concept of virtue inilah yang menghadirkan pengertian keimbangan (balance) dan harmoni sebagai suatu ukuran pada masyarakat maupun perorangan yang adil, sehingga dari sini tidak jarang pula antara keimbangan  dan harmoni terpisah jalan keadilannya. Dengan perkataan lain, keadilan merupakan pengertian yang tercipta pada perpaduan antara keimbangan  dan harmoni sebagai suatu ukuran.
      Menurut Plato, harmoni adalah suatu keadaan dari dalam yang tidak dapat dianalisis dengan akal. Sedang menurut Aristoteles, harmoni adalah suatu yang ada di tengah-tengah antara dua keadaan yang ekstrem. Pertanyaan tentang apa keadilan mulai dijawab oleh Ulpianus (200 M) yang mengatakan bahwa keadilan adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya. Kata adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding. Hal senada juga dikatakan oleh Aristoteles bahwa seorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang tersebut mengambil lebih dari bagian yang semestinya ia terima. Demikian pula kata tidak adil dapat ditujukan kepada orang yang mengabaikan hukum, oleh karena itu keadilan menurut hukum dikatakan sebagai keadilan umum.[2]
      Keadilan dapat pula diartikan sebagai keutamaan moral khusus, yang menentukan sikap manusia pada bidang tertentu, yang ditandai dengan sifat-sifat berikut ini:[3]
  1. Keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara orang-orang yang satu dengan yang lain;
  2. Keadilan berada di tengah dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar keuntungan tercipta keseimbangan antara dua belah pihak;
  3. Untuk mengutamakan dimanakah letak keseimbangan yang tepat antara orang-orang digunakan ukuran kesamaan yang dihitung secara aritmetis dan geometris.

Dalam menganalisis keadilan, Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu:[4]
  • Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi petunjuk tentang pembagian barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang menurut tempatnya.
  • Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice),terutama untuk ukuran prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum, untuk itu harus ada ukuran umum guna memperbaiki akibat-akibat tindakan tanpa memperhatikan siapa orangnya yang berkepentingan. Oleh karena itu tindakan-tindakan tersebut harus diukur dengan ukuran yang obyektif.

Selain membagi keadilan menjadi dua, Aristoteles juga memberikan kontribusi lain, yatu membuat perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat dan hukum poisitif. Hukum kodrat mendasrkan kekuatannya pada pembawaan manusia yang sama di manapun juga dan untuk waktu kapanpun, karana hal ini adalah masalah keabadian dari filsafat hukum. Sedang hukum positif mendapat kekuatannya karena ditentukan sebagai hukum, adil atau tidak adil, memberi penjelasan adanya bermacam-macam hukum positif.
      Kontribusi Aristoteles berikutnya, ialah pembedaan antara keadilan abstrak dan kepatutan (equity). Perbedaannya ialah, hukum terpaksa membuat aturan-aturan yang berlaku umum, dan seringkali bertindak kejam terhadap soal-soal perseorangan. Sedang equity melunakkan kekerasan dengan memperhatikan hal-hal yang benar tentang sesuatu undang-undang.
      Pemikir aliran hukum alam lainnya ialah Thomas Aquino, membagi keadilan menjadi 2, yaitu:
  1. Keadialan Umum (Justitia Generali); adlah keadilan menurut kehendak masing-masing yang harus ditunaikan menurut kepentingan umum.
  2. Keadilan Khusus; yaitu keadilan atas dasar kesamaan, yang dibedakan lagi menjadi 3, yaitu:

1)      keadilan distributif;
2)      keadilan komutatif;
3)      keadilan vindikatif.
      Kaum Positivis  (aliran Positivisme) memandang keadilan sebagai tujuan hukum. Namun relativitas keadilan sering mengaburkan tujuan hukum lain, yaitu kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan adagium “Summun jus, summa injuria, summa lex, summa crux”, yaitu hukum yang keras akan dalam melukai kecuali keadilan dapat menolongnya. Ungkapan tersebut berawal dari ketidakpercayaan kaum positivis terhadap keadilan yang sebenarnya, karena keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilannyang tertinggi pula.

3.    Hukum Yang Adil dan Benar
      Gambaran mengenai hukum yang adil dan benar dapat diketemukan dalam pemikiran yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, seorang politikus dan sarjana hukum dari Jerman. Ia berusaha menyeberangi jurang bidang “ada” (sein) dan bidang “harus” (sollen) dengan menerima bahwa suatu bidang terkandung kedua bidang tersebut untuk mencapai apa yang disebut dengan kebenaran. Menurut Radbruch, bidang kebudayaan tidak hanya terletak di antara dua bidang tersebut, tetapi menggabungkan kedua bidang itu juga, sebab kebudayaan merupakan perwujudan dari nilai-nilai realitas alam, dan Radbruch hendak menerapkan teori ini pada hukum.[5]
      Alasan yang dipergunakan Radbruch ialah bahwa hukum merupakan unsur kebudayaan, maka seperti unsur-unsur kebudayaan lain, hukum diwujudkan dalam satu nilai, yakni nilai keadilan. Sehingga hukum merupakan perwujudan dari keadilan, sedikitnya merupakan usaha ke arah terwujudnya keadilan. Sedangkan tolok ukur adil atau tidak adilnya tata hukum dibentuk dalam masyarakat, namun tolok ukur tersebut belumlah cukup, karena ada dasar lain, yaitu dasar hukum sebagai hukum.
      Dalam mewujudkan adanya hukum yang benar dan adil ini, Radbruch membagi keadilan menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu:
  1. Keadilan dalam arti sempit, artinya keadilan merupakan persamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.
  2. Tujuan keadilan atau finalitas, aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
  3. Kepastian hukum atau legalitas, aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.

Dengan adanya pembagian keadilan ke dalam tiga aspek tersebut, kita dapat mengetahui bahwa suatu hukum yang adil haruskah hukum memenuhi unsur konstitutif hukum atau hanya unsur regulatif sebagimana dikatakan oleh Huijbers.[6] Apabila adil merupakan unsur konstitutif hukum, maka suatu peraturan tidak adil bukan hanya hukum yang buruk, tetapi karena faktor non hukum (non yuridis), seperti politik. Sebaliknya apabila adil merupakan unsur regulatif bagi hukum, maka suatu peraturan yang tidak adil tetap merupakan hukum walaupun buruk, dan tetap berlaku dan mewajibkan masyarakat untuk mentaatinya.

2.    Latihan Soal
  • Sebutkan pengertian keadilan menurut para penganut aliran hukum alam dan positivisme !
  • Bagaimana pendapat Sdr. Tentang suatu hukum yang adil dan benar? Bagaimana pula kaitannya dengan keberadaan UU No. 23 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia jika dikaitkan dengan teori tentang hukum yang benar dan adil? Jelaskan!


DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.

_________________, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.

Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.


      [1] Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, halaman 11.
      [2] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 154.
      [3] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 29.
      [4] Bandingkan dengan Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 155.

      [5] Theo Huijbers, Op. Cit., halaman 162.
      [6] Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995, halaman 48.

0 komentar:

Posting Komentar