PENGERTIAN DAN TUJUAN
HUKUM
SECARA FILOSOFIS
Tujuan Instruksional Umum:
Setelah mempelajari pokok
bahasan ini mahasiswa dapat:
1. Memahami berbagai pengertian hukum
secara filosofis.
2. Memahami berbagai tujuan hukum secara
filosofis.
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Menyebutkan dan menjelaskan konsepsi
hukum menurut Roscoe Pound.
2. Menyebutkan dan menjelaskan tujuan
hukum secara tradisional.
3. Menyebutkan dan menjelaskan tujuan
hukum secara modern.
1.
Konsepsi Hukum Menurut Roscoe Pound
Roscoe Pound sebagai salah seorang
pendasar aliran Sociological
Jurisprudence yang tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat, memiliki 12
(dua belas) konsepsi tentang hukum. Kedua belas konsepsi hukum yang dikemukakan
oleh Pound tersebut dipergunakan untuk menjelaskan gagasan tentang hak-hak
asasi yang sebenarnya berguna untuk menerangkan untuk apa sebenarnya hukum itu,
dan menunjukkan bahwa seberapa mungkin harruslah sedikit hukum itu, karena
hukum merupakan satu kekangan terhadap kebebasan manusia, dan kekangan itu
walaupun hanya sedikit menuntut pembenaran yang kuat. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya 12
konsepsi Pound tentang hukum, karena gagasan untuk apa hukum itu terkandung
sebagian besarnya di dalam gagasan tentang apa hukum itu, maka satu tinjauan
pendek mengenai gagasan tentang sifat hukum dipandang dari pendirian ini akan
sangat berguna dalam mepelajari tujuan hukum dari segi filososfis. Adapun ke-12
konsepsi Pound tentang hukum tersebut terdiri dari:[1]
a. Pertama, boleh kita kemukakan gagasan
tentang satu kaidah atau sehimpunan kaidah yang diturunkan oleh Tuhan untuk
mengatur tindakan manusia, misalnya undang-undang Nabi Musa, atau undang-undang
Hammurabi, yang diturunkan oleh Dewa Matahari setelah selesai disusun, atau
undang-undang Manu yang didiktekan kepada para budiman oleh putra Manu, Bhrigu
namanya, di depan Manu sendiri dan atas petunjuknya.
b. Ada satu gagasan tentang hukum
sebagai satu tradisi dari kebiasaan lama yang ternyata dapat diterima oleh
dewa-dewa dan karena itu menunjukkan jalan yang boleh ditempuh manusia dengan
amannya. Sebab manusia primitif, yang menganggap dirinya dilingkungi oleh
kekuatan gaib di dalam alam yang banyak tingkah dan suka membalas dendam,
terus-menerus dalam ketakutan kalau-kalau ia melanggar sesuatu yang dilarang
oleh mahkluk gaib. Dengan demikian ia dan orang sekampungnya akan dimarahi oleh
mahkluk gaib tersebut. Kesalahan umum menuntut supaya orang melakukan hanya apa
yang diperbolehkan, dan melakukan menurut cara yang digariskan oleh kebiasaan
yang sudah lama dituruti, setidaknya jangan melakukan apa yang tidak disenangi
oleh dewa-dewa. Hukum adalah himpunan perintah yang tradisional akan dicatat,
yang di alam kebiasaan itu dipelihara dan dinyatakan. Bilamana kita menjumpai
sehimpunan hukum primitif yang merupakan tradisi golongan dipunyai oleh satu oligarchi politik, boleh jadi ia akan
dianggap sebagai tradisi golongan, persis seperti sehimpunan tradisi yang sama
tetapi dipelihara oleh ulama atau pendeta, pasti akan dipandang sebagai yang
telah diwahyukan oleh Tuhan.
c. Gagasan ini rapat dengan yang kedua,
yakni memahamkan hukum sebagai kebijaksanaan yang dicatat dari para budiman di masa lalu yang telah
dipelajari. Jalan yang selamat, atau jalan kelakuan manusia yang disetujui oleh
Tuhan. Apabila satu kebiasaan tradisional dari keputusan dan kebiasaan tindakan
telah dituliskan dalam kitab undang-undang primitif, mungkin dia akan dianggap
sebagai hukum. Demosthenes yang hidup dalam abad kekempat sebelum Masehi dapat
melukiskan hukum Athena dengan kata-kata tadi.
d. Hukum dapat dipahamkan sebagai satu
sistem asas-asas yang ditemukan secara filasaft, yang menyatakan sifat
benda-benda, dan karena itu manusia harus menyesuaikan kelakuannya dengan sifat
benda-benda itu. Demikianlah, gagasan sarjana hukum Romawi, yang sebenarnya
merupakan cangkokan dari gagasan kedua dan ketiga tadi, dan dari satu teori
politik tentang hukum sebagai perintah dari bangsa Romawi; dan semuanya
dirukunkan dengan memahamkan tradisi dan kebijaksanaan yang tercatat dan
perintah bangsa-bangsa yang semata-mata sebagai pernyataan atau pencerminan
dari asas-asas yang dicari kepastiannya secara filsafat, harus diukur,
dibentuk, ditafsirkan , dan ditambah oleh yang tigta tadi. Setelah diolah oleh
ahli-ahli filsafat ini, konsepsi yang tersebut tadi kerapkali mendapat bentuk
lain,
e. Sehingga kelima hukum dipandang
sebagai satu himpunan penegasan dan pernyataan dari satu undang-undang
kesusilaan yang abadi dan tidak berubah-ubah.
f. Ada satu gagasan mengenai hukum
sebagai satu himpunan persetujuan yang dibuat manusia di dalam masyarakat yang
diatur secara politik, persetujuan yang mengatur hubungan antara yang seorang
dengan yang lainnya. Ini adalah suatu pandangan demokratis tentang identifikasi
hukum dengan kaidah hukum, dan karena itu dengan pengundangan dekrit dari
negara kota yang diperbincangkan di
dalam buku Minos dari Plato. Sudah sewajarnyalah Demosthenes menganjurkan
kepada satu juri di Athena. Sangat mungkin dengan teori serupa itu, satu
gagasan filsafat akan menyokong gagasan politik dan kewajiban moril yang
melekat pada suatu janji akan dipergunakan untuk menunjukkan mengapa orang
harus menepati persetujuan yang mereka buat di dalam majelis rakyat.
g. Hukum dipikirkan sebagai satu
pencerminan dari akal Illahi yang menguatkan alam semesta ini; satu pencerminan
dari bagian yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai
satuan yang berkesusilaan, yang berbeda dengan yang masih dilakukan, yang
ditujukan kepada mahkluk lain selain manusia.
Begitulah konsepsi Thomas Aquino, yang mempunyai penganut banyak sampai
abad ke-17 dan semenjak itu masih besar pengaruhnya.
h. Hukum telah dipahamkan sebagai satu
himpunan perintah dari penguasa yang berdaulat di dalam satu masyarakat yang
disusun menurut satu sistem kenegaraan, tentang bagaimana orang harus bertindak
di dalam masyarakat itu, dan perintah itu pada tingkat terakhir berdasarkan apa
saja yang dianggap terdapat di belakang wewenang dari yang berdaulat.
Demikianlah anggapan-anggapan sarjana-sarjana Romawi pada masa republik dan
masa klasik mengenai hukum positif. Dan karena Kaisar memegang kedaulatan
rakyat Romawi yang diserahkan kepada baginda, maka Institutiones dari Kaisar Justinianus dapat menetapkan bahawa
kemauan kaisar mempunyai keuatan satu undang-undang. Cara berfikir serupa itu
cocok dengan pikiran-pikiran ahli-ahli hukum yang giat menyokong kekuasaan raja
dalam memusatkan kerajaan Perancis pada abad ke-16 dan ke-17, dan dengan
perantaraan ahli-ahli hukum itu masuklah cara berfikir itu ke dalam hukum
publik. Rupanya dia sesuai dengan keadaan di sekitar kekuasaan tertinggi
Parlemen di tanah Inggris sesudah tahun 1688 dan menjadi teori hukum Inggris
yang kolot. Demikianlah dia dicocokkan dengan satu teori politik tentang
kedaulatan rakyat yang menurut teori itu, rakyat dianggap sebagai pengganti
parlemen untuk memegang kedaulatan pada waktu Revolusi Amerika, atau sebagai
pengganti Raja Perancis pada waktu Revolusi Perancis.
i. Satu gagasan yang menganggap hukum
sebagai satu sistem pemerintah, ditemukan oleh pengalaman manusia yang
menunjukkan, bahwa kemauan tiap manusia perseorangan akan mencapai kebebasan
sesempurna mungkin yang sejalan dengan kebebasan serupa itu pula, yang diberikan kepada
kemauan orang-orang lain. Gagasan ini yang dianut dalam salah satu bentuk oleh
mazhab sejarah, telah membagi ksetiaan sarjana hukum kepada teori hukum sebagai
perintah dari pemegang kedaulatan, dan hal in terjadi hampir di sepanjang abad
yang lalu. Menurut anggapan pada masa itu, pengalaman manusia yang menemukan
prinsip hukum ditentukan dengan sesuatu cara yang tak dapat dielakkan lagi. Ini
bukanlah soal daya upaya manusia yang dilakukannya dengan sadar. Prosesnya
ditentukan oleh pengembangan suatu gagasan mengenai hak dan keadilan, satu
gagasan tentang kebebasan yang mewujudkan dirinya di dalam pelaksanaan peradilan
oleh manusia, atau oleh kerja-kerja hukum yang biologis atau psikologis atau
tentang sifat-sifat jenis bangsa, yang kemudian menghasilkan sistem hukum daru
suatu masa dan suatu bangsa yang bersangkutan.
j. Orang menganggap hukum itu sebagai
satu sistem asas-asas, yang ditemukan secara filsafat dan dikembangkan sampai
pada perinciannya oleh tulisan-tulisan sarjana hukum dan putusan pengadilan,
yang dengan perantaraan tulisan dan putusan itu kehidupan lahir manusia diukur
oleh akal, atau pada taraf lain, dengan tulisan dan putusan itu kemauan tiap
orang yang bertindak diselaraskan dengan kehendak orang lain. Cara berfikir ini
muncul pada abad ke-19 sesudah ditinggalkan teori hukum alam dalam bentuk yang
mempengaruhi pikiran hukum selama dua abad, dan filsafat diminta untuk
memberikan satu terhadap kritik susunan sistematik dan perkembangan detail.
k. Hukum dipahamkan sebagai sehimpunan
atau sistem kaidah yang dipikulkan atas manusia di dalam masyarakat oleh satu
kelas yang berkuasa untuk sementara buat memajukan kepentingan kelas itu
sendiri, baik dilakukan dengan sadar maupun tidak sadar. Interpretasi ekonomis
dari hukum ini banyak bentuknya. Di dalam satu bentuk yang idealistis, yang
dipikirkannya adalah pengembangan satu gagasan ekonomi yang tak dapat dihindarkan.
Di dalam satu bentuk sosiologis mekanis, pikirannya dihadapkan pada perjuangan
kelas atau satu perjuangan untuk hidup di lapangan perekonomian, dan hukum
adalah akibat dari pekerjaan tenaga atau hukum yang terlibat atau menentukan
perjuangan serupa itu. Di dalam betuk Positivistis-Analistis, hukum dipandang
sebagai perintah dari pemegang kedaulatan, tetapi perintah itu seperti yang
ditentukan isi ekonomisnya oleh kemauan kelas yang berkuasa, pada gilirannya
ditentukan oleh kepentingan mereka sendiri. Semua bentuk ini terdapat dalam
masa peralihan dari stabilitas kematangan hukum ke satu masa pertumbuhan baru.
Apabila gagasan bahwa hukum dapat mencukupkan keperluan sendiri telah
ditinggalkan, dan orang mulai mencoba menghubungkan ilmu hukum dengan ilmu-ilmu
sosial lainnya, yang lebih dulu menonjol ialah hubungan dengan ilmu ekonomi.
Tambahan lagi pada masa undang-undang banyak dibuat peraturan
perundang-undangan yang dundangkan mudah dianggap orang sebagai type
darimperintah hukum, dan satu percobaan hendak membentuk satu teori tentang
pembuatan undang-undang oleh badan legislatif dianggap memberikan uraian
tentang semua hukum.
l. Akhirnya ada satu gagasan tentang
hukum sebagai perintah dari undang-undang ekonomi dan sosial yang berhubungan
dengan tindak-tanduk manusia di dalam masyarakat, yang ditemukan oleh
pengamatan, dinyatakan dalam perintah yang disempurnakan oleh pengalaman
manusia mengenai apa yang akan terpakai dan apa yang tidak terpakai di dalam
penyelenggaraan peradilan. Teori type ini terdapat pada akhir abad ke-19,
tatkala orang mulai mencari dasar fisik dan biologis, yang dapat ditemukan oleh
pengamatan, dan bukan lagi dasar metafisik, yang ditemukan oleh perenungan
filsafat. Satu bentuk lain menemukan satu kenyataan sosial yang terakhir dengan
pengamatan dan mengembangkan kesmpulan yang logis dari kenyataan itu, mirip
seperti yang dilakukan oleh sarjana hukum metafisika. Ini adalah akibat lagi
dari suatu kecenderungan dalam tahun mutakhir yang hendak mempersatukan
ilmu-ilmu sosial, yang lebih besar kepada teori-teori sosiologi.
Keduabelas konsepsi tentang hukum
tersebut terkait dengan teorinya yang dikenal dengan “Law as a tool of social engineering”. Untuk itu, Pound membuat
penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum
sebagai berikut:[2]
1) Kepentingan Umum (Public Interest), terdiri dari:
a) kepentingan negara sebagai badan
hukum;
b) kepentingan negara sebagai penjaga
kepentingan masyarakat.
2) Kepentingan Masyarakat (Social Interest):
a) kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
b) perlindungan lembaga-lembaga sosial;
c) pencegahan kemerosotan akhlak;
d) pencegahan pelanggaran hak;
e) kesejahteraan sosial.
3) Kepentingan Pribadi (Private Recht):
a) kepentingan individu;
b) kepentingan keluarga;
c) kepentingan hak milik.
Dari klasifikasi tersebut
dapat ditarik dua hal penting, yaitu: Pertama, Pound mengikuti garis pemikiran
yang berasal dari von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap
hukum sebagai ke arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial.
Penggolongan kepentingan tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan dari apa yang
telah dilakukan Jhering. Oleh karena itu, dilihat dari hal tersebut, Pound
dapat pula digolongkan ke dalam alairan Utilitarianisme dalam kapasitasnya
sebagai penerus Jhering dan Bentham.
Kedua, klasifikasi tersebut membantu
menjelaskan premis-premis hukum, sehingga membuat pembentuk undng-undang,
hakim, pengacara, dan pengajar hukum menyadari prinsip-prinsip dan nilai-nilai
yang terkait dalam tiap-tiap persoalan khusus. Dengan kata lain, klasifikasi
tersebut membantu menghubungkan antara prinsip hukum dan praktiknya.
2. Tujuan Hukum Secara Tradisional
Tujuan hukum sudah timbul di dalam
pemikiran yang sadar, kita mengenal tiga gagasan dalam sejarah hukum.
a.
Ketertiban
Hukum
Tujuan hukum
yang paling sederhana ialah hukum diadakan supaya terjaga ketenteraman dalam
masyarakat tertentu, tujuan hukum yang demikian ini sangat penting artinya bagi
masyarakat, karena dalam masyarakat yang disusun dalam suatu kekerabatan, yang
acapkali di dalamnya terjadi benturan-benturan kepentingan sehingga timbul
perselisihan.
b.
Menjaga
Perdamaian:
Tujuan hukum
ialah untuk menjga perdamaian dalam keadaan bagaimana saja, dan dipelihara
dengan mengorbankan apa saja. Pengertian hukum yang demikian ini disebut
sebagai hukum yang primitif, alasannya ialah bahwa perdamaian antara
kekerabatan yang satu dengan kekerabatan lain , antara orang-orang yang sekutu,
dan penduduk yang bertambah banyak. Sehingga dimungkinkan terjadi
benturan-benturan kepentingan. Oleh karena itu, hukum dibentuk.
c.
Mencegah
Pergeseran dalam Masyarakat:
Tujuan hukum
ketiga ini timbul, untuk mencegah pergeseran anatar sesama masyarakat. Hal ini
disebabkan sistem kekerabatan semakin hilang dan digeser oleh orang-orang yang
kehilangan kekerabatan serta para pendatang, sementara itu orang-orang yang
memiliki kekerabatan masih berkuasa, sehingga gagasan mengenai tujuan hukum
ketiga dapat juga disebut untuk menjaga ketertiban sosial.
3. Tujuan Hukum Secara Modern
Seiring dengan perkembangan ekonomi dalam
masyarakat, semakin terasa akan adanya perlindungan hukum untuk kegiatan yang
terkait ekonomi, yaitu:
a.
Tujuan
Penyingkiran Pembatasan Kegiatan Ekonomi yang Bebas:
Hukum
ditujukan untuk menyingkirkan pembatasan terhadap kegiatan ekonomi yang bebas,
yang bertumpuk-tumpuk selama jaman pertengahan sebagai insiden dari sistem
kewajiban di dalam hubungan antar manusia dan sebagai pengucapan dari gagasan
tentang penetapan orang di tempatnya
masing-masing di dalam suatu masyarakat yang statis.
b.
Tujuan
Konstruktif:
Tujuan ini berkembang
pada saat hukum dagang memberikan efek kepada apa yang dilakukan orang menurut
kehendaknya, yang menilik niat bukan bentuknya, yang menafsirkan keamanan umum
sebagai keamanan bagi transaksi dan mencoba melaksanakan kemauan tiap orang
untuk menciptakan akibat hukum. Tujuan konstruktif ini dikembangkan dari hukum
Romawi dan kebiasaan saudagar dengan perantaraan teori hukum mengenai hukum
alam.
c.
Menjaga
Kestabilan:
Pada akhir
abad ke-19, timbul pandangan hukum adalah keburukan, karena pada hakekatnya
hukum mengekang kebebasan orang, sehingga para sarjana hukum dan pembuat
undang-undang dengan senang hati membiarkan masyarakat melakukan kemauannya
untuk mencapai kesenangannya maupun kesengsaraannya. Oleh karena itu pada akhir
abad ke-19 gagasan hukum yang ada dipergunakan untuk mencapai kebebasan secara
maksimum.
3.
Latihan Soal
a. Ada berapa konsepsi hukum yang
dikemukakan oleh Roscoe Pound?
b. Sebut dan jelaskan secara singkat
keduabelas konsepsi hukum yang dikemukakan oleh Roscoe Pound!
c. Mengapa Roscoe Pound juga digolongkan
ke dalam tokoh aliran Utilitarianisme? Jelaskan!
d. Di mana letak perbedaan tujuan hukum
yang tradisional dan yang modern?
DAFTAR PUSTAKA
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.)
Muhammad radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996.
Darmodiharjo, Darji &
Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum,
Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1995.
[1] Roscoe
Pound, Pengantar Filsafat Hukum,
(Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta , 1996, halaman 28-32.
[2] Darji
Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 129-130.
0 komentar:
Posting Komentar