HUKUM ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN
DALAM PELAYANAN KESEHATAN
Pendahuluan
Dalam
era global yang terjadi waktu ini, profesi kedokteran merupakan salah satu
profesi yang mendapatkan sorotan masyarakat. Masyarakat banyak yang menyoroti
profesi dokter, baik sorotan yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter
Indonesia sebagai induk organisasi para dokter, maupun yang disiarkan melalui
media cetak maupun media elektronik. Ikatan Dokter Indonesia menganggap
sorotan-sorotan tersebut sebagai suatu kritik yang baik terhadap profesi
kedokteran, agar para dokter dapat meningkatkan pelayanan profesi kedokterannya
terhadap masyarakat. Ikatan Dokter Indonesia menyadari bahwa kritik yang muncul
tersebut merupakan “puncak suatu gunung es”, artinya masih banyak kritik yang
tidak muncul ke pemukaan karena keengganan pasien atau keluarganya menganggap apa
yang dialaminya tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Bagi Ikatan Dokter
Indonesia, banyaknya sorotan masyarakat terhadap profesi dokter menggambarkan
bahwa masyarakat belum puas dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh para
dokter.
Sebenarnya
sorotan masyarakat terhadap profesi dokter merupakan satu pertanda bahwa saat
ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan medis dan pengabdian
profesi dokter di masyarakat. Pada umumnya ketidakpuasan para pasien dan
keluarga pasien terhadap pelayanan dokter karena harapannya yang tidak dapat
dipenuhi oleh para dokter, atau dengan kata lain terdapat kesenjangan antara
harapan dan kenyataan yang didapatkan oleh pasien.
Memperoleh
pelayanan kesehatan adalah hak asasi setiap manusia. Pemerintah menyadari
rakyat yang sehat merupakan aset dan tujuan utama dalam mencapai masyarakat
adil makmur. Penyelenggaraan upaya kesehatan dilakukan secara serasi dan
seimbang oleh pemerintah dan masyarakat termasuk swasta. Agar penyelenggaraan
upaya kesehatan itu berhasil guna dan berdaya guna, maka pemerintah perlu
mengatur, membina dan mengawasi baik upayanya maupun sumber dayanya.
Mula-mula
profesi dokter dianggap sebagai suatu profesi yang sangat disanjung-sanjung
karena kemampuannya untuk mengetahui hal-hal yang tidak tampak dari luar.
Bahkan seorang dokter dianggap sebagai rohaniawan yang dapat menyembuhkan
pasien dengan doa-doa1.
Dewasa
ini dokter lebih dipandang sebagai ilmuwan yang pengetahuannya sangat
diperlukan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Kedudukan dan peran dokter
tetap dihormati, tetapi tidak lagi disertai unsur pemujaan. Dari dokter
dituntut suatu kecakapan ilmiah tanpa melupakan segi seni dan artistiknya.
Kesenjangan
yang besar antara harapan pasien dengan kenyataan yang diperolehnya menyusul
dilakukannya merupakan predisposing faktor. Kebanyakan orang kurang
dapat memahami bahwa sebenarnya masih banyak faktor lain di luar kekuasaan
dokter yang dapat mempengaruhi hasil upaya medis, seperti misalnya stadium
penyakit, kondisi fisik, daya tahan tubuh, kualitas obat dan juga kepatuhan
pasien untuk mentaati nasehat dokter. Faktor-faktor tadi dapat mengakibatkan
upaya medis (yang terbaik sekalipun) menjadi tidak berarti apa-apa. Oleh sebab
itu, tidaklah salah jika kemudian dikatakan bahwa hasil suatu upaya medis penuh
dengan uncertainty dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik.
Dari
beberapa uraian tersebut, diajukan pokok permasalahan sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan hubungan hukum
antara dokter dengan pasien.
2.
Bagaimana bentuk pertanggungjawaban
dokter terhadap pasien dalam upaya pelayanan medis.
PEMBAHASAN
A.
Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan
Pasien (Transaksi Terapeutik)
1.
Pola Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan
Pasien
Hubungan
hukum antara dokter dengan pasien telah terjadi sejak dahulu (jaman Yunani
kuno), dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang
membutuhkannya. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena
didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter yang disebut dengan
transaksi terapeutik2. Hubungan yang sangat pribadi itu oleh Wilson3
digambarkan seperti halnya hubungan antara pendeta dengan jemaah yang sedang
mengutarakan perasaannya. Pengakuan pribadi itu sangat penting bagi eksplorasi
diri, membutuhkan kondisi yang terlindung dalam ruang konsultasi.
Hubungan
hukum antara dokter dengan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal
paternalistik seperti antara bapak dengan anak yang bertolak dari prinsip “father
knows best” yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik4.
Dalam hubungan ini kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat5
yaitu kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena dokter dianggap
mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan
penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga
pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya di tangan dokter.
Hubungan
hukum timbul bila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang
dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan
peringatan bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini dokterlah yang dianggapnya
mampu menolongnya, dan memberikan bantuan pertolongan. Jadi, kedudukan dokter
dianggap lebih tinggi oleh pasien, dan peranannya lebih penting daripada
pasien.
Sebaliknya,
dokter berdasarkan prinsip “father knows best” dalam hubungan
paternatistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai ‘bapak yang baik’,
yang secara cermat, hati-hati untuk menyembuhkan pasien. Dalam mengupayakan
kesembuhan pasien ini, dokter dibekali oleh Lafal Sumpah dan Kode Etik
Kedokteran Indonesia.
Pola
hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap pasien
ini mengandung baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola
vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu
pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya dapat juga timbul dampak
negatif, apabila tindakan dokter yang berupa langkah-langkah dalam mengupayakan
penyembuhan pasien itu merupakan tindakan-tindakan dokter yang membatasi
otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar
manusia telah ada sejak lahirnya. Pola hubungan yang vertikal paternalistik ini
bergeser pada pola horizontal kontraktual.
Hubungan
ini melahirkan aspek hukum horisontal kontraktual yang bersifat “inspanningsverbintenis”6
yang merupakan hubungan hukum antara 2 (dua) subyek hukum (pasien dan dokter)
yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang
bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau
kematian), karena obyek dari hubungan hukum itu berupa upaya dokter berdasarkan
ilmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien.
2. Saat Terjadinya Hubungan Hukum Antara
Dokter Dengan Pasien
Hubungan
hukum kontraktual yang terjadi antara pasien dan dokter tidak dimulai dari saat
pasien memasuki tempat praktek dokter sebagaimana yang diduga banyak orang7,
tetapi justru sejak dokter menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan
(oral statement) atau yang tersirat (implied statement) dengan
menunjukkan sikap atau tindakan yang menyimpulkan kesediaan; seperti misalnya
menerima pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan serta mencatat rekam
medisnya dan sebagainya. Dengan kata lain hubungan terapeutik juga memerlukan
kesediaan dokter. Hal ini sesuai dengan asas konsensual dan berkontrak.
3. Sahnya Transaksi Terapeutik
Mengenai
syarat sahnya transaksi terapeutik didasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan
4 (empat) syarat sebagai berikut8 :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya (toestemming van degene die zich verbinden)
Secara
yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan adalah tidak adanya kekhilafan, atau
paksaan, atau penipuan (Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Saat
terjadinya perjanjian bila dikaitkan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dengan pasien
yaitu pada saat pasien menyatakan keluhannya dan ditanggapi oleh dokter. Di
sini antara pasien dengan dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian
terapeutik yang obyeknya adalah upaya penyembuhan. Bila kesembuhan adalah
tujuan utama maka akan mempersulit dokter karena tingkat keparahan penyakit
maupun daya tahan tubuh terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat
yang sama tidak pasti dapat hasil yang sama pada masing-masing penderita.
b. Kecakapan untuk membuat perikatan (bekwaamheid
om eene verbintenis aan te gaan)
Secara
yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah
kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak dilarang oleh
undang-undang. Hal ini didasarkan Pasal 1329 dan 1330 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Menurut
Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa setiap orang adalah cakap
untuk membuat perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.
Kemudian, di dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan
orang-orang yang dinyatakan tidak cakap yaitu orang yang belum dewasa, mereka
yang ditaruh di bawah pengampuan, orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan
oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang dibuat perjanjian tertentu.
Di
dalam transaksi terapeutik, pihak penerima pelayanan medis, terdiri dari orang
dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap untuk
bertindak, yang memerlukan persetujuan dari pengampunya, anak yang berada di
bawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau walinya.
Di
Indonesia ada berbagai peraturan yang menyebutkan batasan usia dewasa
diantaranya :
1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Pasal 330 dikatakan bahwa belum dewasa ialah mereka yang belum mencapai
umur genap 21 tahun dan tidak / belum menikah. Berarti dewasa ialah telah
berusia 21 tahun atau telah menikah walaupun belum berusia 21 tahun, bila
perkawinannya pecah sebelum umur 21 tahun, tidak kembali dan keadaan belum
dewasa.
2. Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, pasal 47 ayat (1), menyatakan bahwa anak yang
belum mencapai 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasannya. Ayat (2),
menyatakan bahwa orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar pengadilan. Kemudian pasal 50 ayat (1), menyatakan
bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
kekuasaan wali. Ayat (2), menyatakan bahwa perwalian ini mengenai pribadi anak
maupun harta bendanya.
3. Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XIV
yang disebarluaskan berdasarkan instruksi presiden nomor 1 tahun 1991 tanggal
10 Juni 1991 tentang Pemeliharaan Anak pasal 98 tercantum :
a) Batas usia anak yang mampu
berdiri sendiri / dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak
bercacat fisik atau mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan (ayat
(1)).
b) Orang tua yang mewakili anak
tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (ayat
(2)).
c) Pengadilan agama dapat menunjuk
salah seorang kerabat dekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila
kedua orang tuanya tidak mampu (ayat (3)).
Dari berbagai
peraturan tersebut di atas ternyata ada beberapa peraturan yang menyebutkan
usia 21 tahun sebagai suatu batasan usia dewasa. Demikian juga batasan dewasa
yang ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
585/Men.Kes/Per/IX/1989, yang ditindaklanjuti dengan SK Dirjen Yan.Med 21 April
1999 yang menyatakan bahwa pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah
telah berumur 21 tahun atau telah menikah.
c. Suatu hal tertentu (een bepaald
onderwerp)
Hal tertentu
ini yang dapat dihubungkan dengan obyek perjanjian / transaksi terapeutik ialah
upaya penyembuhan. Oleh karenanya obyeknya adalah upaya penyembuhan, maka hasil
yang diperoleh dari pencapaian upaya tersebut tidak dapat atau tidak boleh
dijamin oleh dokter. Lagi pula pelaksanaan upaya penyembuhan itu tidak hanya
bergantung kepada kesungguhan dan keahlian dokter dalam melaksanakan tugas
profesionalnya, tetapi banyak faktor lain yang ikut berperan, misalnya daya
tahan pasien terhadap obat tertentu, tingkat keparahan penyakit dan juga peran
pasien dalam melaksanakan perintah dokter demi kepentingan pasien itu sendiri.
d. Suatu sebab yang sah (geoorloofde
oorzaak)
Di dalam
Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu sebab
adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan sebab yang sah adalah sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang,
kesusilaan atau ketertiban umum.
4. Informed Consent
Persetujuan
tindakan medis (informed consent) mencakup tentang informasi dan
persetujuan, yaitu persetujuan yang diberikan setelah yang bersangkutan
mendapat informasi terlebih dahulu atau dapat disebut sebagai persetujuan
berdasarkan informasi. Berdasarkan Permenkes 585/1989 dikatakan bahwa informed
consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas
dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut.
Pada
hakekatnya, hubungan antar manusia tidak dapat terjadi tanpa melalui
komunikasi, termasuk juga hubungan antara dokter dan pasien dalam pelayanan
medis. Oleh karena hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan
interpersonal, maka adanya komunikasi atau yang lebih dikenal dengan istilah
wawancara pengobatan itu sangat penting. Hasil penelitian King9
membuktikan bahwa essensi dari hubungan antara dokter dan pasien terletak
dalam wawancara pengobatan. Pada wawancara tersebut para dokter diharapkan
untuk secara lengkap memberikan informasi kepada pasien mengenai bentuk
tindakan yang akan atau perlu dilaksanakan dan juga risikonya.
Bahasa
kedokteran banyak menggunakan istilah asing yang tidak dapat dimengerti
oleh orang yang awam dalam bidang kedokteran. Pemberian informasi dengan
menggunakan bahasa kedokteran, tidak akan membawa hasil apa-apa, malah akan
membingungkan pasien. Oleh karena itu seyogyanya informasi yang diberikan oleh
dokter terhadap pasiennya disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan mudah
dimengerti oleh pasien.
Setelah
informasi diberikan, maka diharapkan adanya persetujuan dari pasien, dalam arti
ijin dari pasien untuk dilaksanakan tindakan medis. Pasien mempunyai hak penuh
untuk menerima atau menolak pengobatan untuk dirinya, ini merupakan hak asasi
pasien yang meliputi hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi.
Oleh karena
itu sebelum pasien memberikan persetujuannya diperlukan beberapa masukan
sebagai berikut10 : 1) Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang
akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya,
percobaan) yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil
dari upaya, percobaan), 2) Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat
yang tak dinginkan yang mungkin timbul, 3) Diskripsi mengenai
keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pasien, 4) Penjelasan mengenai
perkiraan lamanya prosedur berlangsung, 5) Penjelasan mengenai hak pasien untuk
menarik kembali persetujuan tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya
dengan dokter dan lembaganya. 6) Prognosis mengenai kondisi medis pasien bila
ia menolak tindakan medis tertentu (percobaan) tersebut.
Mengenai
bentuk informed consent dapat dilakukan secara tegas atau diam-diam.
Secara tegas dapat disampaikan dengan kata-kata langsung baik secara lisan
ataupun tertulis dan informed consent yang dilakukan secara diam-diam
yaitu tersirat dari anggukan kepala ataupun perbuatan yang mensiratkan tanda
setuju.
Informed consent
dilakukan secara lisan apabila tindakan medis itu tidak berisiko, misalnya pada
pemberian terapi obat dan pemeriksaan penunjang medis. Sedangkan untuk tindakan
medis yang mengandung risiko misalnya pembedahan, maka informed consent
dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh pasien.
Yang paling
aman bagi dokter kalau persetujuan dinyatakan secara tertulis, karena dokumen
tersebut dapat dijadikan bukti jika suatu saat muncul sengketa. Cara yang
terakhir ini memang tidak praktis sehingga kebanyakan dokter hanya menggunakan
cara ini jika tindakan medis yang akan dilakukannya mengandung risiko tinggi
atau menimbulkan akibat besar yang tidak menyenangkan.
Di
negara-negara maju, berbagai bentuk formulir persetujuan tertulis sengaja
disediakan di setiap rumah sakit. Rupanya pengalaman menuntut dan digugat
menjadikan mereka lebih berhati-hati. Pada prinsipnya formulir yang disediakan
tersebut memuat pengakuan bahwa yang bersangkutan telah diberi informasi serta
telah memahami sepenuhnya dan selanjutnya menyetujui tindakan medis yang
disarankan dokter.
Jadi, pada
hakekatnya informed consent adalah untuk melindungi pasien dari segala
kemungkinan tindakan medis yang tidak disetujui atau tidak diijinkan oleh
pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter (secara hukum) terhadap
kemungkinan akibat yang tak terduga dan bersifat negatif.
Yang tidak
boleh dilupakan adalah dalam memberikan informasi tidak boleh bersifat
memperdaya, menekan atau menciptakan ketakutan sebab ketiga hal itu akan
membuat persetujuan yang diberikan menjadi cacat hukum. Sudah seharusnya
informasi diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan medis tertentu,
sebab hanya ia sendiri yang tahu persis mengenai kondisi pasien dan segala
seluk beluk dari tindakan medis yang akan dilakukan. Memang dapat didelegasikan
kepada dokter lain atau perawat, namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan
informasi maka yang harus bertanggung jawab atas kesalahan itu adalah dokter
yang melakukan tindakan medis. Lagi pula dalam proses mendapatkan persetujuan
pasien, tidak menutup kemungkinan terjadi diskusi sehingga memerlukan pemahaman
yang memadai dari pihak yang memberikan informasi.
Ada sebagian
dokter menganggap bahwa informed consent merupakan sarana yang dapat
membebaskan mereka dari tanggung jawab hukum jika terjadi malpraktek. Anggapan
seperti ini keliru besar dan menyesatkan mengingat malpraktek adalah masalah
lain yang erat kaitannya dengan pelaksanaan pelayanan medis yang tidak
sesuai dengan standar. Meskipun sudah mengantongi informed consent
tetapi jika pelaksanaannya tidak sesuai standar maka dokter tetap harus
bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.
Dari sudut
hukum pidana informed consent harus dipenuhi hal ini berkait dengan
adanya Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tentang penganiayaan. Suatu
pembedahan yang dilakukan tanpa ijin pasien, dapat disebut sebagai penganiayaan
dan dengan demikian merupakan pelanggaran terhadap Pasal 351 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (1, 2, 9). Leenen memberikan contoh (sebagaimana
dikutip oleh Ameln)11, apabila A menusuk / menyayat pisau ke B
sehingga timbul luka, maka tindakan tersebut dapat disebut sebagai
penganiayaan. Apabila A adalah seorang dokter, tindakan tersebut tetap
merupakan penganiayaan, kecuali : 1) Orang yang dilukai (pasien) telah
menyetujui. 2) Tindakan medis tersebut (pembedahan yang pada hakekatnya juga
menyayat, menusuk, memotong tubuh pasien) berdasarkan suatu indikasi medis. 3)
Tindakan medis tersebut dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu kedokteran
yang diakui dalam dunia kedokteran.
Dari sudut
hukum perdata informed consent wajib dipenuhi. Hal ini terkait bahwa
hubungan antara dokter dengan pasien adalah suatu perikatan (transaksi
terapeutik) untuk syahnya perikatan tersebut diperlukan syarat syah dari
perjanjian yaitu Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, di antaranya
adalah adanya kesepakatan antara dokter dengan pasien. Pasien dapat menyatakan
sepakat apabila telah diberikan informasi dari dokter yang merawatnya terhadap
terhadap terapi yang akan diberikan serta efek samping dan risikonya. Juga
terkait dengan unsur ke-2 (dua) mengenai kecakapan dalam membuat perikatan. Hal
ini terkait dengan pemberian informasi dokter terhadap pasien yang belum
dewasa atau yang ditaruh di bawah pengampuan agar diberikan kepada orang tua, curator
atau walinya.
Pada
prinsipnya, persyaratan untuk memperoleh informed consent dalam tindakan
medis tertentu tidak dibedakan dengan Informed consent yang diperlukan
dalam suatu eksperimen. Hanya saja, dalam eksperimen suatu penelitian baik yang
bersifat terapeutik maupun non-terapeutik yang menggunakan pasien sebagai naracoba,
maka informed consent harus lebih dipertajam, sebab menyangkut
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, pencegahan terjadinya
paksaan dan kesesatan serta penyalahgunaan keadaan.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Achadiat, Chrisdiono. M. 1996. Pernik-Pernik
Hukum Kedokteran , Melindungi Pasien dan Dokter. Widya Medika , Jakarta.
Adji, Umar Seno. 1991. “Profesi
Dokter Etika Profesional dan Hukum Pertangungjawaban Pidana Dokter”
Erlangga Jakarta.
Ameln, Fred. 1991. Kapita Selekta
Hukum Kedokteran. Jakarta : Grafikatama Jaya.
Anderson & Foster. 1986. “Antropologi
Kesehatan” Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Apeldoorn, LJ Van. 2001. Pengantar
Ilmu Hukum. PT. Pradya Paramita, Jakarta.
Arras, John & Hans, Robert. 1983.
Ethical Issues In Modern Medicine. Mayfield Publising Company, USA.
Bertens, K. 2001. Dokumen
Etika dan Hukum Kedokteran. Universitas Atmajaya , Jakarta.
Dahlan, Sofwan. 2000. Hukum
Kesehatan. Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter. BP UNDIP, Semarang.
Dupuis, Heleen, M. Tengker , F. 1990
. Apa Yang Laik Bagi Dokter Dan Pasien. Nova, Bandung.
0 komentar:
Posting Komentar