Senin, 20 Mei 2013

HUKUM ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN
DALAM PELAYANAN KESEHATAN

Pendahuluan

    Dalam era global yang terjadi waktu ini, profesi kedokteran merupakan salah satu profesi yang mendapatkan sorotan masyarakat. Masyarakat banyak yang menyoroti profesi dokter, baik sorotan yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia sebagai induk organisasi para dokter, maupun yang disiarkan melalui media cetak maupun media elektronik. Ikatan Dokter Indonesia menganggap sorotan-sorotan tersebut sebagai suatu kritik yang baik terhadap profesi kedokteran, agar para dokter dapat meningkatkan pelayanan profesi kedokterannya terhadap masyarakat. Ikatan Dokter Indonesia menyadari bahwa kritik yang muncul tersebut merupakan “puncak suatu gunung es”, artinya masih banyak kritik yang tidak muncul ke pemukaan karena keengganan pasien atau keluarganya menganggap apa yang dialaminya tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Bagi Ikatan Dokter Indonesia, banyaknya sorotan masyarakat terhadap profesi dokter menggambarkan bahwa masyarakat belum puas dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh para dokter.
    Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi dokter merupakan satu pertanda bahwa saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan medis dan pengabdian profesi dokter di masyarakat. Pada umumnya ketidakpuasan para pasien dan keluarga pasien terhadap pelayanan dokter karena harapannya yang tidak dapat dipenuhi oleh para dokter, atau dengan kata lain terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang didapatkan oleh pasien.
    Memperoleh pelayanan kesehatan adalah hak asasi setiap manusia. Pemerintah menyadari rakyat yang sehat merupakan aset dan tujuan utama dalam mencapai masyarakat adil makmur. Penyelenggaraan upaya kesehatan dilakukan secara serasi dan seimbang oleh pemerintah dan masyarakat termasuk swasta. Agar penyelenggaraan upaya kesehatan itu berhasil guna dan berdaya guna, maka pemerintah perlu mengatur, membina dan mengawasi baik upayanya maupun sumber dayanya.
      Mula-mula profesi dokter dianggap sebagai suatu profesi yang sangat disanjung-sanjung karena kemampuannya untuk mengetahui hal-hal yang tidak tampak dari luar. Bahkan seorang dokter dianggap sebagai rohaniawan yang dapat menyembuhkan pasien dengan doa-doa1.
      Dewasa ini dokter lebih dipandang sebagai ilmuwan yang pengetahuannya sangat diperlukan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Kedudukan dan peran dokter tetap dihormati, tetapi tidak lagi disertai unsur pemujaan. Dari dokter dituntut suatu kecakapan ilmiah tanpa melupakan segi seni dan artistiknya.
      Kesenjangan yang besar antara harapan pasien dengan kenyataan yang diperolehnya menyusul dilakukannya merupakan predisposing faktor. Kebanyakan orang kurang dapat memahami bahwa sebenarnya masih banyak faktor lain di luar kekuasaan dokter yang dapat mempengaruhi hasil upaya medis, seperti misalnya stadium penyakit, kondisi fisik, daya tahan tubuh, kualitas obat dan juga kepatuhan pasien untuk mentaati nasehat dokter. Faktor-faktor tadi dapat mengakibatkan upaya medis (yang terbaik sekalipun) menjadi tidak berarti apa-apa. Oleh sebab itu, tidaklah salah jika kemudian dikatakan bahwa hasil suatu upaya medis penuh dengan uncertainty dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik.
    Dari beberapa uraian tersebut, diajukan pokok permasalahan sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan hubungan hukum antara dokter dengan pasien.
2.      Bagaimana bentuk pertanggungjawaban dokter terhadap pasien dalam upaya pelayanan medis.

PEMBAHASAN

A.    Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien (Transaksi Terapeutik)
1.      Pola Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
      Hubungan hukum antara dokter dengan pasien telah terjadi sejak dahulu (jaman Yunani kuno), dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter yang disebut dengan transaksi terapeutik2. Hubungan yang sangat pribadi itu oleh Wilson3 digambarkan seperti halnya hubungan antara pendeta dengan jemaah yang sedang mengutarakan perasaannya. Pengakuan pribadi itu sangat penting bagi eksplorasi diri, membutuhkan kondisi yang terlindung dalam ruang konsultasi.
      Hubungan hukum antara dokter dengan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik seperti antara bapak dengan anak yang bertolak dari prinsip “father knows best” yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik4.

       Dalam hubungan ini kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat5 yaitu kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya di tangan dokter.
      Hubungan hukum timbul bila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya, dan memberikan bantuan pertolongan. Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien, dan peranannya lebih penting daripada pasien.
      Sebaliknya, dokter berdasarkan prinsip “father knows best” dalam hubungan paternatistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai ‘bapak yang baik’, yang secara cermat, hati-hati untuk menyembuhkan pasien. Dalam mengupayakan kesembuhan pasien ini, dokter dibekali oleh Lafal Sumpah dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
      Pola hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap pasien ini mengandung baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya dapat juga timbul dampak negatif, apabila tindakan dokter yang berupa langkah-langkah dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan tindakan-tindakan dokter yang membatasi otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Pola hubungan yang vertikal paternalistik ini bergeser pada pola horizontal kontraktual.
      Hubungan ini melahirkan aspek hukum horisontal kontraktual yang bersifat “inspanningsverbintenis6 yang merupakan hubungan hukum antara 2 (dua) subyek hukum (pasien dan dokter) yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau kematian), karena obyek dari hubungan hukum itu berupa upaya dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien. 
2.      Saat Terjadinya Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
    Hubungan hukum kontraktual yang terjadi antara pasien dan dokter tidak dimulai dari saat pasien memasuki tempat praktek dokter sebagaimana yang diduga banyak orang7, tetapi justru sejak dokter menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan (oral statement) atau yang tersirat (implied statement) dengan menunjukkan sikap atau tindakan yang menyimpulkan kesediaan; seperti misalnya menerima pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan serta mencatat rekam medisnya dan sebagainya. Dengan kata lain hubungan terapeutik juga memerlukan kesediaan dokter. Hal ini sesuai dengan asas konsensual dan berkontrak. 
3.      Sahnya Transaksi Terapeutik
    Mengenai syarat sahnya transaksi terapeutik didasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat sebagai berikut8 :
a.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van degene die zich verbinden)
     Secara yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan adalah tidak adanya kekhilafan, atau paksaan, atau penipuan (Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
    Saat terjadinya perjanjian bila dikaitkan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dengan pasien yaitu pada saat pasien menyatakan keluhannya dan ditanggapi oleh dokter. Di sini antara pasien dengan dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian terapeutik yang obyeknya adalah upaya penyembuhan. Bila kesembuhan adalah tujuan utama maka akan mempersulit dokter karena tingkat keparahan penyakit maupun daya tahan tubuh terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat yang sama tidak pasti dapat hasil yang sama pada masing-masing penderita.
b.      Kecakapan untuk membuat perikatan (bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan)
     Secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini didasarkan Pasal 1329 dan 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
     Menurut Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kemudian, di dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan orang-orang yang dinyatakan tidak cakap yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang dibuat perjanjian tertentu.
     Di dalam transaksi terapeutik, pihak penerima pelayanan medis, terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak, yang memerlukan persetujuan dari pengampunya, anak yang berada di bawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau walinya.
     Di Indonesia ada berbagai peraturan yang menyebutkan batasan usia dewasa diantaranya :
1.      Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330 dikatakan bahwa belum dewasa ialah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak / belum menikah. Berarti dewasa ialah telah berusia 21 tahun atau telah menikah walaupun belum berusia 21 tahun, bila perkawinannya pecah sebelum umur 21 tahun, tidak kembali dan keadaan belum dewasa.
2.      Undang-Undang Nomor 1  tahun 1974  tentang Perkawinan, pasal 47 ayat (1), menyatakan bahwa anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasannya. Ayat (2), menyatakan bahwa orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Kemudian pasal 50 ayat (1), menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Ayat (2), menyatakan bahwa perwalian ini mengenai pribadi anak maupun harta bendanya.
3.      Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XIV yang disebarluaskan berdasarkan instruksi presiden nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 tentang Pemeliharaan Anak pasal 98 tercantum :
a)  Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri / dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik atau mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan (ayat (1)).
b) Orang tua yang mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (ayat (2)).
c) Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat dekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu (ayat (3)). 
    Dari berbagai peraturan tersebut di atas ternyata ada beberapa peraturan yang menyebutkan usia 21 tahun sebagai suatu batasan usia dewasa. Demikian juga batasan dewasa yang ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989, yang ditindaklanjuti dengan SK Dirjen Yan.Med 21 April 1999 yang menyatakan bahwa pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah telah berumur 21 tahun atau telah menikah.
c.      Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp)
    Hal tertentu ini yang dapat dihubungkan dengan obyek perjanjian / transaksi terapeutik ialah upaya penyembuhan. Oleh karenanya obyeknya adalah upaya penyembuhan, maka hasil yang diperoleh dari pencapaian upaya tersebut tidak dapat atau tidak boleh dijamin oleh dokter. Lagi pula pelaksanaan upaya penyembuhan itu tidak hanya bergantung kepada kesungguhan dan keahlian dokter dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tetapi banyak faktor lain yang ikut berperan, misalnya daya tahan pasien terhadap obat tertentu, tingkat keparahan penyakit dan juga peran pasien dalam melaksanakan perintah dokter demi kepentingan pasien itu sendiri.
d.      Suatu sebab yang sah (geoorloofde oorzaak)
    Di dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan demikian, yang dimaksud dengan sebab yang sah adalah sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum. 
4.      Informed Consent
    Persetujuan tindakan medis (informed consent) mencakup tentang informasi dan persetujuan, yaitu persetujuan yang diberikan setelah yang bersangkutan mendapat informasi terlebih dahulu atau dapat disebut sebagai persetujuan berdasarkan informasi. Berdasarkan Permenkes 585/1989 dikatakan bahwa informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
    Pada hakekatnya, hubungan antar manusia tidak dapat terjadi tanpa melalui komunikasi, termasuk juga hubungan antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis. Oleh karena hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan interpersonal, maka adanya komunikasi atau yang lebih dikenal dengan istilah wawancara pengobatan itu sangat penting. Hasil penelitian King9 membuktikan  bahwa essensi dari hubungan antara dokter dan pasien terletak dalam wawancara pengobatan. Pada wawancara tersebut para dokter diharapkan untuk secara lengkap memberikan informasi kepada pasien mengenai bentuk tindakan yang akan atau perlu dilaksanakan dan juga risikonya.
    Bahasa kedokteran banyak menggunakan istilah asing  yang tidak dapat dimengerti oleh orang yang awam dalam bidang kedokteran. Pemberian informasi dengan menggunakan bahasa kedokteran, tidak akan membawa hasil apa-apa, malah akan membingungkan pasien. Oleh karena itu seyogyanya informasi yang diberikan oleh dokter terhadap pasiennya disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh pasien.
    Setelah informasi diberikan, maka diharapkan adanya persetujuan dari pasien, dalam arti ijin dari pasien untuk dilaksanakan tindakan medis. Pasien mempunyai hak penuh untuk menerima atau menolak pengobatan untuk dirinya, ini merupakan hak asasi pasien yang meliputi hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi.
    Oleh karena itu sebelum pasien memberikan persetujuannya diperlukan beberapa masukan sebagai berikut10 : 1) Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan) yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan), 2) Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak dinginkan yang mungkin timbul, 3) Diskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pasien, 4) Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung, 5) Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya. 6) Prognosis mengenai kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis tertentu (percobaan) tersebut.
    Mengenai bentuk informed consent dapat dilakukan secara tegas atau diam-diam. Secara tegas dapat disampaikan dengan kata-kata langsung baik secara lisan ataupun tertulis dan informed consent yang dilakukan secara diam-diam yaitu tersirat dari anggukan kepala ataupun perbuatan yang mensiratkan tanda setuju.
    Informed consent dilakukan secara lisan apabila tindakan medis itu tidak berisiko, misalnya pada pemberian terapi obat dan pemeriksaan penunjang medis. Sedangkan untuk tindakan medis yang mengandung risiko misalnya pembedahan, maka informed consent dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh pasien.
    Yang paling aman bagi dokter kalau persetujuan dinyatakan secara tertulis, karena dokumen tersebut dapat dijadikan bukti jika suatu saat muncul sengketa. Cara yang terakhir ini memang tidak praktis sehingga kebanyakan dokter hanya menggunakan cara ini jika tindakan medis yang akan dilakukannya mengandung risiko tinggi atau menimbulkan akibat besar yang tidak menyenangkan.
    Di negara-negara maju, berbagai bentuk formulir persetujuan tertulis sengaja disediakan di setiap rumah sakit. Rupanya pengalaman menuntut dan digugat menjadikan mereka lebih berhati-hati. Pada prinsipnya formulir yang disediakan tersebut memuat pengakuan bahwa yang bersangkutan telah diberi informasi serta telah memahami sepenuhnya dan selanjutnya menyetujui tindakan medis yang disarankan dokter.
    Jadi, pada hakekatnya informed consent adalah untuk melindungi pasien dari segala kemungkinan tindakan medis yang tidak disetujui atau tidak diijinkan oleh pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter (secara hukum) terhadap kemungkinan akibat yang tak terduga dan bersifat negatif.
    Yang tidak boleh dilupakan adalah dalam memberikan informasi tidak boleh bersifat  memperdaya, menekan atau menciptakan ketakutan sebab ketiga hal itu akan membuat persetujuan yang diberikan menjadi cacat hukum. Sudah seharusnya informasi diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan medis tertentu, sebab hanya ia sendiri yang tahu persis mengenai kondisi pasien dan segala seluk beluk dari tindakan medis yang akan dilakukan. Memang dapat didelegasikan kepada dokter lain atau perawat, namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan informasi maka yang harus bertanggung jawab atas kesalahan itu adalah dokter yang melakukan tindakan medis. Lagi pula dalam proses mendapatkan persetujuan pasien, tidak menutup kemungkinan terjadi diskusi sehingga memerlukan pemahaman yang memadai dari pihak yang memberikan informasi.
    Ada sebagian dokter menganggap bahwa informed consent merupakan sarana yang dapat membebaskan mereka dari tanggung jawab hukum jika terjadi malpraktek. Anggapan seperti ini keliru besar dan menyesatkan mengingat malpraktek adalah masalah lain yang erat kaitannya dengan pelaksanaan pelayanan medis  yang tidak sesuai dengan standar. Meskipun sudah mengantongi informed consent tetapi jika pelaksanaannya tidak sesuai standar maka dokter tetap harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.
    Dari sudut hukum pidana informed consent harus dipenuhi hal ini berkait dengan adanya Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tentang penganiayaan. Suatu pembedahan yang dilakukan tanpa ijin pasien, dapat disebut sebagai penganiayaan dan dengan demikian merupakan pelanggaran terhadap Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (1, 2, 9). Leenen memberikan contoh (sebagaimana dikutip oleh Ameln)11, apabila A menusuk / menyayat pisau ke B sehingga timbul luka, maka tindakan tersebut dapat disebut sebagai penganiayaan. Apabila A adalah seorang dokter, tindakan tersebut tetap merupakan penganiayaan, kecuali : 1) Orang yang dilukai (pasien) telah menyetujui. 2) Tindakan medis tersebut (pembedahan yang pada hakekatnya juga menyayat, menusuk, memotong tubuh pasien) berdasarkan suatu indikasi medis. 3) Tindakan medis tersebut dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu kedokteran yang diakui dalam dunia kedokteran.
    Dari sudut hukum perdata informed consent wajib dipenuhi. Hal ini terkait bahwa hubungan antara dokter dengan pasien adalah suatu perikatan (transaksi terapeutik) untuk syahnya perikatan tersebut diperlukan syarat syah dari perjanjian yaitu Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, di antaranya adalah adanya kesepakatan antara dokter dengan pasien. Pasien dapat menyatakan sepakat apabila telah diberikan informasi dari dokter yang merawatnya terhadap terhadap terapi yang akan diberikan serta efek samping dan risikonya. Juga terkait dengan unsur ke-2 (dua) mengenai kecakapan dalam membuat perikatan. Hal ini terkait dengan pemberian informasi  dokter terhadap pasien yang belum dewasa atau yang ditaruh di bawah pengampuan agar diberikan kepada orang tua, curator atau walinya.
    Pada prinsipnya, persyaratan untuk memperoleh informed consent dalam tindakan medis tertentu tidak dibedakan dengan Informed consent yang diperlukan dalam suatu eksperimen. Hanya saja, dalam eksperimen suatu penelitian baik yang bersifat terapeutik maupun non-terapeutik yang menggunakan pasien sebagai naracoba, maka informed consent harus lebih dipertajam, sebab menyangkut perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, pencegahan terjadinya paksaan dan kesesatan serta penyalahgunaan keadaan.


DAFTAR PUSTAKA



Achadiat, Chrisdiono. M. 1996. Pernik-Pernik Hukum Kedokteran , Melindungi Pasien dan Dokter. Widya Medika , Jakarta.
Adji, Umar Seno. 1991. “Profesi Dokter Etika Profesional dan Hukum Pertangungjawaban Pidana Dokter” Erlangga Jakarta.
Ameln, Fred. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta : Grafikatama  Jaya.
Anderson & Foster. 1986. “Antropologi Kesehatan” Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Apeldoorn, LJ Van. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. PT. Pradya Paramita, Jakarta.
Arras, John & Hans, Robert. 1983. Ethical Issues In Modern Medicine. Mayfield Publising Company, USA.
Bertens, K.  2001. Dokumen Etika dan Hukum Kedokteran. Universitas Atmajaya , Jakarta.
Dahlan, Sofwan. 2000. Hukum Kesehatan. Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter. BP UNDIP, Semarang.
Dupuis, Heleen, M. Tengker , F. 1990 . Apa Yang Laik Bagi Dokter Dan Pasien. Nova, Bandung.

0 komentar:

Posting Komentar