Sabtu, 18 Mei 2013

GUGATAN DAN PERMOHONAN
A. Gugatan Kontentiosa/Gugatan Perdata/Gugatan/Gugat

1.  Pengertian
Gugatan Kontentiosa adalah gugatan perdata yang mengandung sengketa diatara pihak yang berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan kepada pengadilan dengan posisi para pihak :
  • Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat.
  • Sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian disebut dan berkedudukan sebagai tergugat.
  • Permasalahan Hukum yang diajukan ke Pengadilan mengandung sengketa.
  • Sengketa terjadi diantara para pihak.
  • Berarti gugatan perdata bersifat partai.


2.  Bentuk Gugatan.
a.  Bentuk lisan (Pasal 120 HIR/ Pasal RBg).
Syarat formil gugatan lisan : bila penggugat tidak bisa membaca dan menulisan.
Cara pengajuan gugatan lisan :
-     Diajukan dengan lisan
-     Kepada Ketua PN dan
-     Menjelaskan dan menerangkan isi dan maksud gugatan.

Fungsi Ketua PN
-     Ketua PN wajib memberikan layanan.
-     Pelayanan yang harus diberikan Ketua PN.
-     Mencatat dan menyuruh catatan gugatan yang disampaikan penggugat.
-     Merumuskan sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai dengan yang diterangkan oleh penggugat.

Sehubungan dengan ini Ketua PN pperlu diperhatikan putusan MA tentang ini yang menegaskan “adalah tugas Hakim Pengadilan Negeri untuk menyempurnakan gugatan tulisan tersebut dengan jalan melengkapinya dengan petitum, sehingga dapat mencapai apa sebetulnya yang dimaksud dengan opeh Penggugat.

b.  Bentuk Tulisan.
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalan bentuk tertulis. (Pasal 118 ayat 1 HIR, Pasal 142 RBg dan yang berhak dan berwenang membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah :
-     Penggugat sendiri (Pasal 118 ayat 1 HIR)
-     Kuasa/ wakil (Pasal 123 ayat 1 HIR)

3.  Formulasi Surat Gugatan
a.    Ditujukan kepada Ketua PN sesuai dengan kopetensi relative.
b.    Diberi tanggal
c.    Ditandatangani oleh penggugat atau kuasa.
d.    Identitas para pihak.
-     Nama lengkap.
-     Alamat/ tempat tinggal
-     Penyebutan identitas lain tidak imperative.

e.    Alamat/ tempat tinggal.
Mengenai perumusan Posita gugatan muncul 2 teori yaitu :

  1. Substcntierings Theorie : dalil dugagatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa Hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus dijelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa Hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa Hukum tersebut.
  2. Teori Individualisasi (individualisering theorie) : peristiwa atau kejadian Hukum yang dikemukakan dalam gugatan, harus dengan jelas memperlihatkan hubungan Hukum yang menjadi dasar tuntutan, namun tidak perlu di kemukakan dasar dan sejarah terjadinya hubungan Hukum, karena hal itu dapat diajukan berikutnya dalam proses permeriksaan sidang pengadilan.

Unsur Fundamentum Petendi/ Posita Gugatan :
(1)  Posita berdasarkan fakta.
(2)  Posita berdasarkan Hukum.

f.     Petitum Gugatan : hal-hal yang diminta agar diputuskan oleh hakim.

Bentuk Petitum sebagai berikut :
  1. (1)   Bentuk tunggal
    Petitum yang hanya menyantumkan mohon keadilan atau ex-acquo (mohon keadilan)
  • Tidak memenuhi syarat formil dan meteriil Petitum.
  • Akibat hukumnya, gugatan dianggap mengandtng cacat formil, sehingga gugatan harus dinyatakan tidak diterima.
  1. Bentuk Alternatif


4.  Tata Cara Pemeriksaan Gugatan Kontentiosa.
a.     Sistem Pemeriksaan Secara Contradictoir
1.    Dihadiri oleh kedua belah pihak secara in person atau kuasa.
2.    Proses pemeriksaan berlangsung secara optegnspraak proses pemeriksaan perkara berlangsung dengan saling sanggah menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik maupun konklusi.

b.     Asas Pemeriksaan.
  1. Mempertahankan tata Hukum perdata. Hakim berperan dan bertugas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
  2. Menyerahkan sepenuhnya kewajiban mengemukakan fakta dan kebenaran kepada para pihak.
  3. Tugas hakim menemukan kebenaran formil.
  4. Persidangan terbuka untuk umum.
  5. Aiudi Alterem Partem ( Pemeriksaan persidangan harus mendengar kedua belah pihak secara seimbang).

6.    Asas Imparsialitas
Mengandung pengertian luas yaitu :
-       Tidak memihak.
-       Bersikap jujur dan adil.
-       Tidak bersikap diskriminatif.

5.  Pengecualian Terhadap Acara pemeriksaan Contradictoir
a.    Dalam proses Verstek.
b.    Gugatan gugur.

6.  Pencabutan Gugatan (Pasal 271-272 RV)
a.    HIR dan RBg. Tidak mengatur pencabutan gugatan.
b.    Pencabutan gugatan merupakan hak penggugat
1.    Pencabutan mutlak hak penggugat selama pemeriksaan belum berlangsung.
2.    Atas persetujuan tergugat apabila pemeriksaan telah berlangsung.

c.    Cara pencabutan
1.    Yang berhak melakukan pencabutan adalah penggugat sendiri secara pribadi atau kuasanya.
2.    Pencabutan gugatan yang belum diperiksa dilakukan dengan surat.
3.    Pencabutan gugatan yang sudah diperiksa dilakukan dalam sidang.

7.  Komulasi Gugatan/ Penggabungan Gugatan.
1.    Pengertian
Kumulasi gugatan adalah penggabungan lebih dari satu tuntutan hukuk kedalam satu gugatan.
2.    Tujuan penggabungan Gugatan.
a.    Mewujudkan peradilan sederhana.
b.    Menghindari putusan yang saling bertentangan.

3.    Syarat Penggabungan.
a.    Terdapat hubungan erat.
b.    Terdapat hubungan Hukum.

4.    Bentuk Penggabungan.
a.    Kumulasi subyektif
b.    Kumulasi Obyektif

5.    Pengabungan yang tidak dibenarkan :
a.    Pemilik obyek gugatan berbeda.
b.    Gugatan yang digabungkan tunduk pada Hukum acara yang berbeda.
c.    Gugatan tunduk pada kompetensi absolute yang berbeda.
d.    Gugatan rekonvensi tidak ada hubungan dengan gugatan kovensi.


6.    Penggabungan gugatan cerai dengan pembagian harta bersama diataur dalam Pasal 86 (1) UU No.7/1989, dalam hal ini diperkenankan.
A, B, dan C menggugat DEF dalam hal warisan juga ternyata DEF punya hutang bersama pada A, B, dan C dalam hal ini, komulasi gugat diperkenankan.
Penggugat (A) bertindak sebagai wali dan anaknya yang belum dewasa menggugat (B), kemudian digabungkan dengan gugatan mengenai utang pribadi (B) kepada (A), dalam hal ini komulasi gugat tidak diperkenankan.

8.  Perubahan Gugatan.
a.    HIR tidak mengatur, sehingga Hakim leluasa menentukan. Sebagai patokan dapat dipergunakan ketentuan bahwa perubahan atau penambahan gugat diperkenankan asalkan kepentingan penggugat terutama tergugat jangan sampai dirugikan.
b.    MA dalam putusannya tanggal 6 Maret 1971 No. 209 K/SIP/1970 menentukan bahwa suatu perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan asas-asas Hukum secara perdata, asalkan tidak merubah atau menyimpang dari kejadian meteriil walaupun tidak ada tuntutan subsidair untuk peradilan yang adil, terutama dalam yurisprudensi Indonesia, penerbit I, II, III, IV.1972 hal. 470 MA RI.
c.    Perubahan gugatan dilarang dilarang apabila berdasar atas keadaan Hukum yang sama domohon pelaksanaan suatu hak yang lain. Misalnya :
  1. Semula dimohon ganti rugi berdasar ingkar janji gugat dirubah, berdasar ingkar janji agar tergugat dipaksa untuk memenuhi janjinya.
  2. Semula dasar gugatan perceraian adalah peryizinahan, kemudian dirubah dasar gugatan menjadi keretakan yang tidak dapat diperbaiki.

d.    Penggugat berhak merubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh merubah atau menambah pokok gugatannya (pasal 127 RV).
e.    Yurisprudensi No. 1043 K/SIP/1971, Perubahan surat gugatan diperbolehkan asal tidak mengakibatkan perubahan Posita dan tergugat tidak dirugikan haknya membela diri.

B.     Gugatan Rekonvensi
1.    Pengertian Gugatan Rekonvensi.
Pasal 132 ayat (1) HIR hanya memberikan pengertian singkat. Maknanya menurut pasal ini adalah sebagai berikut :
  • Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya, dan
  • Gugagatan Rekonvensi itu, diajukan tergugat kepada PN, pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat;
Contoh :
A menggugat B untuk menyerahkan tanah yang telah dibelinya dari B sesuai dengan transaksi jual beli yang dibuat di PPAT. Terhadap gugatan itu Pasal 032 ayat (1) HIR member hak kepada B mengajukan gugatan rekonvensi terhadap A untuk melunasi pembayaran yang masih tersisa ditambah ganti rugi bunga atas perbuatan Wanprestasi yang dilakukannya.

2.    Komposisi Para Pihak Dihubungkan Dengan Gugatan Rekonvensi.
Dalam keadaan normal, komposisi para pihak dalam gugatan biasa terdiri dari :
  • Pengugat sebagai pihak yang berinisiatif mengajukan gugatan.
  • Tergugat sebagai pihak yang ditarik dan di dudukan sebagai orang digugat.
  • Gugatan hanya tunggal derdiri dari gugatan yang diajukan penggugat saja.
  • Oleh karena itu dasar dan landasan pemeriksaan perkara, di sidang pengadilan sepenuhnya bertitik tolak dari gugatan penggugat tersebut.
a.    Komposisi Gugatan.
Dengan adanya gugatan rekonvensi, komposisi gugatan menjadi :
  1. Gugatan penggugat disebut gugatan rekonvensi yang bermaksa sebagai gugatan asal yang ditunjukan penggugat kepada tergugat.
  2. Gugatan tergugat disebut gugatan rekonvensi yang bermakna gugatan balik yang ditujukan tergugat kepada tergugat.

b.    Komposisi Para Pihak.
Selain muncul dan saling berhadapan gugatan konvensi dan rekonvensi, serta merta hal itu menimbulkan komposisi yang menempatkan para pihak dalam kedudukan :
  • Penggugat asal sebagai penggugat Konvensi pada saat yang bersamaan berkedudukan menjadi Tergugat Rekonvensi terhadap gugatan Rekonvensi.
  • Penggugat asal sebagai Tergugat Rekonvensi pada saat yang bersamaan berkedudukan sebagai Tergugat Konvensi.

c.    Gugatan Rekonvensi Bersifat Eksepsional.
1.    Prinsip Umum gugatan adalah : setiap gugatan yang diajukan seseorang kepada orang lain, memiliki sifat individual yang terpisah dan berdiri sendiri dari gugatan yang lain.
Pasal 121 (1) HIR atau Pasal 1 Rv :
  • Setiap gugatan di register dan diberi nomer terdiri oleh Panitera dalam buku yang disediakan untuk itu;
  • Pendaftaran perkara dalam buku register dilakukan dengan tertib dan cermat dengan mencantumkan seluruh data gugatan yang bersangkutan.
  • Selanjutnya Ketua PN atau Ketua Majelis menentukan hari sidang pemeriksaan perkara dengan jalan memanggil para pihak.

2.    Gugatan Rekonvensi mengenyampingkan ketentuan Pasal 121 (1) tersebut diatas, hal ini bisa dilihat dati ketentuan Pasal 132a HIR memberikan hak kepada tergugat melakukan komulasi gugatan Rekonvensi dengan gugatan konvensi dalam proses pemeriksaan gugatan perkara yang sedang berjalan :
  • Mengajukan gugatan Rekonvensi sebagai gugatan balik atas gugatan penggugat, dan
  • Gugatan Rekonvensi itu dikomulasi Tergugat dengan gugatan konvensi penggugat.

d.    Tujuan Gugatan Rekonvensi.
  • Menegakkan Asas Peradilan Kesederhanaan.
  • Menghemat biaya dan waktu.

e.    Syarat Materiil Gugatan Rekonvensi.
1.    Undang-undang Tidak Mengatur Syarat Materiil.
Tidak ada ketentuan syarat materiil, Pasal 132a HIR hanya berisi penegasan, bahwa :
  • Tergugat dalam setiap perkara berhak mengajukan gugatan Rekonvensi;
  • Tidak disyaratkan antara keduanya mesti mempunyai hubungan yang erat atau koneksitas yang substansial.

2.    Praktek Peradilan cenderung masyarakat koneksitas
Gugatan Rekonvensi baru dianggap sah dan dapat diterima untuk diakumulasi dengan Konvensi apabila terpenuhi syarat :
  • Terdapat factor pertautan hubungan mengenai dasar Hukum dan kejadian yang relevan antara gugatan konvensi dan Rekonvensi.
  • Hubungan pertautan itu harus sangat erat sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan secara efektif da;a, satu proses dan putusan.

f.     Syarat Formil Gugatan Rekonvensi
1.      Gugatan Rekonvensi di formulasi secara tegas ;
2.      Yang dianggap ditarik sebagai tergugat Rekonvensi hanya terbatas Penggugat Konvensi :
  • Yang dapat ditarik senbagai tergugat.
  • Tidak mesti menarik semua penggugat Konvensi.
  • Dilarang menarik sesame tergugat Konvensi menjadi tergugat Rekonvensi.
3.      Gugatan Rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban.
Pasal 132b (1) HIR Berbunyi : “Tergugat wajib mengajukan gugatan melawan bersama-sama dengan menjawabnya baik dengan surat maupun dengan lisan”
Terhadap makna “jawaban” telah terjadi perbedaan pendapat yaitu :
a.    Rekonvensi wajib diajukan besama-sama dengan jawaban pertama.

  • Membolehkan atau member kebabasan bagi tergugat mengajukan gugatan Rekonvensi diluar jawaban pertama dapat menimbulkan kerugian bagi penggugat dalam mebela hak dan kepentingannya.
  • Selain itu membolehkan tergugat mengajukan gugtan Rekonvensi melampaui jawaban pertama dapar menimbulkan ketidak lancaran pemeriksaan dan penyelesaian perkara.
  • Rasio yang terkandung dalam pembatasan pengajuan mesti pada jawaban pertama agar tergugat tidak sewenang-wenang dalam mempergunakan haknya mengajukan gugatan Rekonvensi.

b.    Batas pengajuan Gugatan Rekonvensi sampai tahab pembuktian.
Hal ini sejalan dengan putusan MA No. 239 K/SIP/1968, menurut putusan tersebut gugatan Rekonvensi dapat diajukan selama proses jawab menjawab berlangsung. Karena Pasal 132b (1) dan Pasal 158 RBg, hanya menyebut jawaban, sendangkan replik, duplik juga merupakan jawaban meskipun bukan jawaban pertama, demikian pula putusan MA No.642 K/SIP/1972, bahwa atas pengajuan gugatan rekonvensi masih terbuka sampai dimasukinya tahap proses pemeriksaan saksi, pembahasan yang demikian disepakati oleh Prof. Soedikno Martokusumo. Yaitu apabila proses pemeriksaan telah memasuki tahap pembuktian tergugat tidak dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi.

g.    Larangan Mengajukan Gugatan Intervensi.

  1. Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi kepada diri orang yang bertindak berdasarkan suatu kualitas ( Pasal 132a (1) HIR.
  2. Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi diluar Yuridiksi PN yang memeriksa perkara. Pasal 118 (1) dan (3) HIR.
  3. Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi terhadap exsekusi pasal 132a (1) ke-3 HIR dan pasal 379Rv.
  4. Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi pada tingkat banding Pasal 132a (2) HIR dan putusan MA No.1250 K/Pdt/1986.
  5. Larangan mengajukan gugatan Rekonvensi pada tingkat kasasi Putusan MA No. 209 K/SIP/1970.

0 komentar:

Posting Komentar