Sabtu, 18 Mei 2013

 Hukum Acara Perdata

I.       PENDAHULUAN
1.1.    Pengertian Hukum Acara Perdata
Prof. Dr. Sudikno mertokusumo, SH
Hukum Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang mengatur bagaimana cara ditaatinya Hukum perdata materiil dengan peraturan hakim. Lebih kongkrit dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa, memutuskan, dan pelaksanaan daripada putusannya.

Abdul kadir Muhamad
Hukum Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya Hukum perdata sebagaimana mestinya. Hukum Acara Perdata dirumuskan sebagai peraturan Hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui Pengadilan(hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.

Retnowulan
Hukum Acara Perdata Hukum Perdata Formil adalah kesemuanya kaidah Hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam Hukum Perata Materiil.

R. Soesilo
Hukum Acara Perdata /Hukum Perdata Formal yaitu kumpulan peraturan-peraturan Hukum yang menetapkan cara memelihara Hukum perdata material karena pelanggaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari Hukum perdata material itu, atau dengan perkataan lain kumpulan peraturan-peraturan Hukum yang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pada melangsungkan persengketaan dimuka hakim perdata, supaya memperoleh suatu keputusan daripadanya, dan selanjutnya yang menentukan cara pelaksaan putusan hakim itu.
Dari beberapa pengertian di atas bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang memiliki karakteristik :
  • Menentukan dan mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya Hukum Perdata Materiil.
  • Menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk beracara di muka persidangan pengadilan, mulai dari pengajuan gugatan, pengambilan keputusan sampai pelaksanaan putusan pengadilan.
1.2.    Sejarah Terbentuknya Hukum Acara Perdata
Tanggal 5 Desember 1846 Gubernur Jendral Ijan Jacob Rochussen member tugas kerua MA dan MA Tentara untuk membuat sebuah Reglemen bagi golongan Indonesia.
Tanggal 6 Agustus 1847 Jhr. Mr. H.L Wichers/ Ketua MA dan MA Tentara telah selesai dengan rancangannya serta peraturan penjelasannya.
Tanggal 5 April 1848, Stbl. 1848 No. 16 Rancangan Wichers diterima dan di umumkan oleh Gubernur Jendral dengan diberi nama “Het Inlands reglement” I.R. dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.

1.3.    Azas-asas Hukum Acara Perdata
1.3.1.  Pengertian
Paul Scholten mendefinisikan asas Hukum sebagai pikiran-pikiran dasar yang dapat didalam dan dibelakang system Hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenan denganya, ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai jabarannya.
Harjono memberikan pengertian atas Hukum yang mempunyai fungsi sebagai normal pemberi nilai. Jadi dengan singkat system Hukum dibagin (secara substantive/ atas dasar nilai-nilai yang dikandung dalam asas Hukum.

1.3.   Asas-Asas Hukum Acara Perdata
Sudikno Mertokusumo Hukum Acara Perdata  menyebut ada 7 asas yaitu :

1.      Hakim Bersifat Menunggu. Pasal 118 HIR  dan Pasal 142 RBg.
Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepeuhnya kepada yang bersangkutan. Jadi apakah aka nada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak semua diserahkan kepada pihak yang berkepentingan, sedangkan Hakim bersifat menunggu datagnya tuntutan hak diajukan kepadanya.
Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih bahwa Hukum tidak atau kurang jelas (Pasal 16 UU No. 4/2004). Larangan untuk menolak memeriksa perkara sebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya ( ius curi novit ), kalau sekiranya ia tidak dapat menemukan Hukum tertulis, maka ia wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai Hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 UU No. 4/2004).

2.      Hakim Pasif. Pasal 178 (3) HIR dan Pasal 154 RBg.
Ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada Hakim untuk diperiksa pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan Hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya Peradilan (Pasal 28 UU No. 4/2004).
Hakim harus aktif memimpin sidang, melancarkan jalane persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran, tetapi dalam memeriksa perkara perdata hakim harus bersikap Tut wuri, hakim terikat pada peritiwa yang diajukan oleh para pihak.
Para pihak dapar secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya ke muka pengadilan, sedangkan hakim tidak dapat menghalaginya. Hal ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan gugatan (Pasal 130 HIR, 154 RBg).
Hakim wajib mengadili semua gugatan dan larangan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak di tuntut, atau mengabulkan lebih dari yang di tuntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, Pasal 189 ayat 2 dan 3 RBg.) apakah yang bersangkutan mengajukan banding atau tidak itupun bukan kepentingan Hakim (Pasal 6 UU No. 20/1047, Pasal 199 RBg).

3.      Sifat Terbuka Persidangan. Pasal 19 (1) dan Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004.
Bahwa setiap orang dibolehkan hadir, mendengar, dan menyaksikan pemeriksaan persidangan (kecuali di tuntut lain oleh UU). Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradilan dengan pertanggungjawaban pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adik kepada masyarakat, (Pasal 19 ayat 1 UU No. 4/2004).
Namun ada juga persidangan yang sifatnya tertutup, misalnya perkara perceraian, akan tetapi sidang pembacaan putusan harus terbuka, jika tidak dinyatakan terbuka untuk umum keputusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukuk serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut Hukum.

4.      Mendengan Kedua Belah Pihak.  Pasal 5 (1) UU No. 4/2004 dan Pasal 132a, 121 (2) HIR dan Pasal 145 (2), 157 RBg serta Pasal 47 RV.
Bahwa kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa Pengadilanmengadili menurut Hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 5 UU No. 4/2004).
Bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar dan diberi kesempatan  untuk mengeluarkan pendapatnya, hal itu berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 132a, 121 Yt 2 HIR, Pasal 145 ayat 2, 157 RBg dan Pasal 47 Rv).

5.      Putusan Harus Disertai Alasan-alasan. Pasal 25 UU No. 1/2004 Pasal 184 (1), 319 HIR dan Pasal 195, 618 RBg.
Semua putusan hakim harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 25 ayat 1 UU No.4/2004, Pasal 184 ayat 1, 319 HIR, Pasal 195, 618RBg).
Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat kita lihat dari beberapa putusan MA yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.

6.      Beracara dikenakan Biaya, Pasal 4 (2), 5 (2) UU No. 4/2004. Pasal 121 (4), 182, 183 HIR, Pasal 145 (4), 192 RBg, kecuali Pasal 237 HIR, Pasal 273 RBg. Untuk berperkara pada asanya dikenakan biaya (Pasal 4 ayat 2,5 ayat 2 UU No. 4/2004).
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk penggalian pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara maka harus pula dikeluarkan biaya.
Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo) dengan mendapatkan ijin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh Kepala Polisi (Pasal 237 HIR, 237 RBg). Akan tetapi dalam praktek surat keterangan tidak mampu dibuat oleh Camat daerah tempat tinggal yang berkepentingan.

7.      Tidak ada keharusan mewakilkan. Pasal 123 HIR, 147 RBg.
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakili kapada orang lain, sehingga pemeriksaan dipersidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 RBg).

Setiawan menyebutkan ada 8 asas yaitu :
1.    Asas kesederhanaan. Pasal 4 (2), 5 (2) UU No. 4/2004
2.    Pengadilanmengadili menurut Hukum dengan tidak membedakan orang, Pasal 5 (1) UU No. 4/2004.
3.    Hakim aktif memimpin proses. Pasal 132 HIR, Pasal 156 RBg.
4.    Memberikan perlakuan yang sama  kepada para pihak yang berperkara.
5.    Para pihak memiliki kedudukan yang sama.
6.    Suatu putusan Pengadilanharus diberi suatu pertimbangan yang cukup.
7.    Penyelesaian perkara dalam waktu yang pantas.
8.    Hukum acara itu sendiri bukan tujuan.

1.4.   Sumber Hukum Acara Perdata
A.   Pengertian Sumber Hukum Acara Perdata
Secara sederhana Sumber Hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan dan tepat ditemukannya aturan-aturan Hukum.

B.   Macam-macam Sumber Hukum Acara Perdata
1.    Peraturan Perundang-undangan
  1. HIRHet Herzein Indonesisch Reglement Stb. 1848 No. 16 Jonto Stb, 1941 No. 44 berlaku untuk daerah jawa dan Madura.
  2. RBgRechtsreglement Buitengewesten Stb. 1927 No. 227 Untuk luar jawa dan Madura.
  3. BW Buku ke IV
    Burgelijke  Wetboek Voor Indonesisch
  4. RVReglement op de Burgelijk Rechtsvordering Stb. 1847 No. 52 Jo. Stb. 1849 No. 63 Hukum Acara Perdata untuk golongan eropa.
  5. UU No. 20/1947, UU tentang Peradilan Ulangandi Jawa dan Madura.
  6. UU No. 04/2004, UU tentang Kekuasaan Kehakiman.
  7. UU No. 14/1985 Jo, UU No. 5/2004.
  8. UU No. 2/1986 Jo, UU No. 8/2004 UU tentang Lingkungan Peradilan Umum.
  9. UU No. 7/1989 UU tentang Peradilan Agama.
  10. UU No. 1/1974 dan PP No. 9/1975
  11. PERMA dan SEMA.

2.     Yurisprudensi
3.     Adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan Pemeriksaan Perkara Perdata.
4.     Doktrin
5.     Perjanjian International
Perjanjian kerjasama di bidang peradilan antara RI dan Kerajaan Thailand.

Selanjutnya.....

0 komentar:

Posting Komentar