Hukum Acara Perdata
I.
PENDAHULUAN
1.1. Pengertian Hukum Acara Perdata
Prof. Dr. Sudikno mertokusumo, SH
Hukum
Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang mengatur bagaimana cara
ditaatinya Hukum perdata materiil dengan peraturan hakim. Lebih kongkrit
dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata mengatur tentang bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, memeriksa, memutuskan, dan pelaksanaan daripada
putusannya.
Abdul
kadir Muhamad
Hukum
Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang berfungsi untuk
mempertahankan berlakunya Hukum perdata sebagaimana mestinya. Hukum Acara
Perdata dirumuskan sebagai peraturan Hukum yang mengatur proses
penyelesaian perkara perdata melalui Pengadilan(hakim), sejak diajukan gugatan
sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.
Retnowulan
Hukum
Acara Perdata Hukum Perdata Formil adalah kesemuanya kaidah Hukum
yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam Hukum Perata
Materiil.
R.
Soesilo
Hukum
Acara Perdata /Hukum Perdata Formal yaitu kumpulan
peraturan-peraturan Hukum yang menetapkan cara memelihara Hukum perdata
material karena pelanggaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari
Hukum perdata material itu, atau dengan perkataan lain kumpulan
peraturan-peraturan Hukum yang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi
pada melangsungkan persengketaan dimuka hakim perdata, supaya memperoleh suatu
keputusan daripadanya, dan selanjutnya yang menentukan cara pelaksaan putusan
hakim itu.
Dari beberapa pengertian di atas bahwa Hukum
Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang memiliki karakteristik :
- Menentukan dan mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya Hukum Perdata Materiil.
- Menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk beracara di muka persidangan pengadilan, mulai dari pengajuan gugatan, pengambilan keputusan sampai pelaksanaan putusan pengadilan.
1.2. Sejarah Terbentuknya Hukum Acara
Perdata
Tanggal 5 Desember 1846 Gubernur Jendral Ijan
Jacob Rochussen member tugas kerua MA dan MA Tentara untuk membuat sebuah Reglemen
bagi golongan Indonesia.
Tanggal 6 Agustus 1847 Jhr. Mr. H.L Wichers/ Ketua
MA dan MA Tentara telah selesai dengan rancangannya serta peraturan
penjelasannya.
Tanggal 5 April 1848, Stbl. 1848 No. 16 Rancangan
Wichers diterima dan di umumkan oleh Gubernur Jendral dengan diberi nama
“Het Inlands reglement” I.R. dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.
1.3. Azas-asas Hukum Acara Perdata
1.3.1. Pengertian
Paul
Scholten mendefinisikan asas Hukum sebagai pikiran-pikiran dasar yang dapat
didalam dan dibelakang system Hukum masing-masing dirumuskan dalam
aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenan
denganya, ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang
sebagai jabarannya.
Harjono
memberikan pengertian atas Hukum yang mempunyai fungsi sebagai normal
pemberi nilai. Jadi dengan singkat system Hukum dibagin (secara substantive/
atas dasar nilai-nilai yang dikandung dalam asas Hukum.
1.3. Asas-Asas Hukum Acara Perdata
Sudikno
Mertokusumo Hukum Acara Perdata menyebut ada 7 asas yaitu :
1.
Hakim Bersifat Menunggu. Pasal 118 HIR
dan Pasal 142 RBg.
Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan
sepeuhnya kepada yang bersangkutan. Jadi apakah aka nada proses atau tidak,
apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak semua
diserahkan kepada pihak yang berkepentingan, sedangkan Hakim bersifat menunggu
datagnya tuntutan hak diajukan kepadanya.
Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, Hakim
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih
bahwa Hukum tidak atau kurang jelas (Pasal 16 UU No. 4/2004). Larangan untuk
menolak memeriksa perkara sebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya ( ius curi novit ), kalau sekiranya
ia tidak dapat menemukan Hukum tertulis, maka ia wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai Hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 UU No.
4/2004).
2.
Hakim Pasif. Pasal 178 (3) HIR dan Pasal 154 RBg.
Ruang lingkup atau luas pokok
sengketa yang diajukan kepada Hakim untuk diperiksa pada dasarnya ditentukan
oleh para pihak yang berperkara dan bukan Hakim. Hakim hanya membantu para
pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapainya Peradilan (Pasal 28 UU No. 4/2004).
Hakim harus aktif memimpin sidang,
melancarkan jalane persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari
kebenaran, tetapi dalam memeriksa perkara perdata hakim harus bersikap Tut
wuri, hakim terikat pada peritiwa yang diajukan oleh para pihak.
Para pihak dapar secara bebas
mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya ke muka pengadilan,
sedangkan hakim tidak dapat menghalaginya. Hal ini dapat berupa perdamaian atau
pencabutan gugatan (Pasal 130 HIR, 154 RBg).
Hakim wajib mengadili semua gugatan
dan larangan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak di tuntut, atau
mengabulkan lebih dari yang di tuntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, Pasal 189
ayat 2 dan 3 RBg.) apakah yang bersangkutan mengajukan banding atau tidak
itupun bukan kepentingan Hakim (Pasal 6 UU No. 20/1047, Pasal 199 RBg).
3.
Sifat Terbuka Persidangan. Pasal 19 (1) dan Pasal 20 UU No. 4 Tahun
2004.
Bahwa setiap orang dibolehkan
hadir, mendengar, dan menyaksikan pemeriksaan persidangan (kecuali di tuntut
lain oleh UU). Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi
manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas
peradilan dengan pertanggungjawaban pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta
putusan yang adik kepada masyarakat, (Pasal 19 ayat 1 UU No. 4/2004).
Namun ada juga persidangan yang
sifatnya tertutup, misalnya perkara perceraian, akan tetapi sidang pembacaan
putusan harus terbuka, jika tidak dinyatakan terbuka untuk umum keputusan itu
tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukuk serta mengakibatkan batalnya
putusan itu menurut Hukum.
4.
Mendengan Kedua Belah Pihak. Pasal 5 (1) UU No. 4/2004 dan Pasal 132a, 121
(2) HIR dan Pasal 145 (2), 157 RBg serta Pasal 47 RV.
Bahwa kedua belah pihak haruslah
diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa
Pengadilanmengadili menurut Hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 5
UU No. 4/2004).
Bahwa hakim tidak boleh menerima
keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar
dan diberi kesempatan untuk mengeluarkan
pendapatnya, hal itu berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di
muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 132a, 121 Yt 2 HIR, Pasal
145 ayat 2, 157 RBg dan Pasal 47 Rv).
5.
Putusan Harus Disertai Alasan-alasan. Pasal 25 UU No. 1/2004 Pasal 184
(1), 319 HIR dan Pasal 195, 618 RBg.
Semua putusan hakim harus memuat
alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 25 ayat 1 UU
No.4/2004, Pasal 184 ayat 1, 319 HIR, Pasal 195, 618RBg).
Betapa pentingnya alasan-alasan
sebagai dasar putusan dapat kita lihat dari beberapa putusan MA yang
menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan
alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.
6.
Beracara dikenakan Biaya, Pasal 4 (2), 5 (2) UU No. 4/2004. Pasal 121
(4), 182, 183 HIR, Pasal 145 (4), 192 RBg, kecuali Pasal 237 HIR, Pasal 273
RBg. Untuk berperkara pada asanya dikenakan biaya (Pasal 4 ayat 2,5 ayat 2 UU
No. 4/2004).
Biaya perkara ini meliputi biaya
kepaniteraan dan biaya untuk penggalian pemberitahuan para pihak serta biaya
materai. Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara maka harus
pula dikeluarkan biaya.
Bagi mereka yang tidak mampu untuk
membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo)
dengan mendapatkan ijin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan
mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh Kepala Polisi (Pasal
237 HIR, 237 RBg). Akan tetapi dalam praktek surat keterangan tidak mampu
dibuat oleh Camat daerah tempat tinggal yang berkepentingan.
7.
Tidak ada keharusan mewakilkan. Pasal 123 HIR, 147 RBg.
HIR tidak mewajibkan para pihak
untuk mewakili kapada orang lain, sehingga pemeriksaan dipersidangan terjadi
secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi
para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya
(Pasal 123 HIR, 147 RBg).
Setiawan
menyebutkan ada 8 asas yaitu :
1. Asas
kesederhanaan. Pasal 4 (2), 5 (2) UU No. 4/2004
2. Pengadilanmengadili
menurut Hukum dengan tidak membedakan orang, Pasal 5 (1) UU No. 4/2004.
3. Hakim aktif
memimpin proses. Pasal 132 HIR, Pasal 156 RBg.
4. Memberikan
perlakuan yang sama kepada para pihak
yang berperkara.
5. Para pihak
memiliki kedudukan yang sama.
6. Suatu
putusan Pengadilanharus diberi suatu pertimbangan yang cukup.
7. Penyelesaian
perkara dalam waktu yang pantas.
8. Hukum acara
itu sendiri bukan tujuan.
1.4. Sumber Hukum Acara Perdata
A. Pengertian Sumber Hukum Acara Perdata
Secara sederhana Sumber Hukum adalah segala sesuatu
yang dapat menimbulkan aturan dan tepat ditemukannya aturan-aturan Hukum.
B. Macam-macam Sumber Hukum Acara
Perdata
1. Peraturan Perundang-undangan
- HIRHet Herzein Indonesisch Reglement Stb. 1848 No. 16 Jonto Stb, 1941 No. 44 berlaku untuk daerah jawa dan Madura.
- RBgRechtsreglement Buitengewesten Stb. 1927 No. 227 Untuk luar jawa dan Madura.
- BW Buku ke IV
Burgelijke Wetboek Voor Indonesisch - RVReglement op de Burgelijk Rechtsvordering Stb. 1847 No. 52 Jo. Stb. 1849 No. 63 Hukum Acara Perdata untuk golongan eropa.
- UU No. 20/1947, UU tentang Peradilan Ulangandi Jawa dan Madura.
- UU No. 04/2004, UU tentang Kekuasaan Kehakiman.
- UU No. 14/1985 Jo, UU No. 5/2004.
- UU No. 2/1986 Jo, UU No. 8/2004 UU tentang Lingkungan Peradilan Umum.
- UU No. 7/1989 UU tentang Peradilan Agama.
- UU No. 1/1974 dan PP No. 9/1975
- PERMA dan SEMA.
2. Yurisprudensi
3. Adat
kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan Pemeriksaan Perkara
Perdata.
4. Doktrin
5. Perjanjian International
Perjanjian kerjasama di bidang peradilan antara RI
dan Kerajaan Thailand.
Selanjutnya.....
0 komentar:
Posting Komentar