Jumat, 17 Mei 2013

Bab I
Pendahuluan

A.     Latar Belakang

Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan melakukan malpraktek makin meningkat dimana-mana, termasuk di negara kita. Ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran hukum masyarakat, dimana masyarakat lebih menyadari akan haknya. Disisi lain para dokter dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab. Seorang dokter hendaknya dapat menegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur, memberikan terapi dan melakukan tindakan  medik sesuai  standar pelayanan medik, dan tindakan itu memang wajar dan diperlukan.
      Di negara-negara maju tiga besar dokter spesialis menjadi sasaran utama tuntutan ketidaklayakan dalam praktek, yaitu spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi dan spesialis kebidanan & penyakit kandungan. Maka disini perlu lebih diketahui lagi bagaimana aspek hukum dan upaya yang dapat  dilakukan  dalam  kaitannya  dengan  malpraktek.
Dari permasalahan diatas, penulis tertarik untuk menulis suatu tulisan yang berbentuk paper dengan judul “Aspek-Aspek Hukum Malpraktek di Indonesia”.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan diatas, dapat diajukan dua rumusan permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah aspek hukum yang mengatur mengenai malpraktik di Indonesia
2.      Upaya apakah yang dapat dilakukan dalam rangka penegakkan hukum Malpraktik?


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Malpraktek Medik

      Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim di pergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini adalah sikap kekurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medik.
Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “De minimis noncurat lex,” yang berarti hukum tidak mencampuri hal‑hal yang dianggap sepele. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminil. Tolak ukur culpa lata adalah: 
1. Bertentangan dengan hukum.
2. Akibatnya dapat dibayangkan.
3. Akibatnya dapat dihindarkan.
4. Perbuatannya dapat dipersalahkan.

B.     Aspek Hukum Yang Mengatur Tentang Malpraktek Di Indonesia a. UU RI No.29 thn. 2004 tentang praktek Kedokteran
b. KUHP
c. UUD 1945
      Jadi malpraktek medik merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran di bawah standar. Malpraktek medik murni (criminal malpractice) sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau  adanya  Dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik, (appendektomi, histerektomi dan sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata-mata untuk mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi materialistis, hedonistis dan konsumtif, dimana kalangan dokter turut terimbas, malpraktek diatas dapat meluas. 
      Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:
1.      Dokter kurang menguasai Iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi kedokteran.
2.      Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi (tidak lege artis)
3.      Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati.

4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.
      Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian kerena kelalaian, maka  Penggugatan harus dapat membuktikan adanya 4 unsur berikut:
1.      Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien.
2.      Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan.
3.      Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
4.      Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar

                  Kadang-kadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian yang tergugat. Dalam hukum terdapat suatu kaidah yang berbunyi “Res Ipsa Loquitur”, yang berarti faktanya telah berbicara, misalnya terdapatnya kain kasa yang tertinggal dirongga perut pasien, sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini maka dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.
Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti pidana (kriminil), kelalaian menunjukkan kepada adanya suatu sikapyang sifatnya lebih serius, yaitu sikap yang sangat sembarangan atau sikap sangat tidak hati‑hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko yang bisa menyebabkan  orang lain terluka atau mati, sehingga harus bertanggung jawabterhadap tuntutan kriminal oleh Negara.
Contoh Kasus
1.      Seorang dokter memberi cuti sakit berulang-ulang kepada seorang tahanan, padahal orang tersebut mampu menghadiri sidang pengadilan perkaranya. Dalam hal ini dokter terkena pelanggaran Kode Etik Kedokteran (KODEKI) Bab-I pasal 7 dan KUHP pasal 267. KODEKI Bab I pasal 7; “Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapatyang dapat dibuktikan kebenarannya”. KUHP pasal 267 Dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang adanya atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dihukum dengan hukuman penjara selama 4 tahun.

2.      Seorang penderita gawat darurat dirawat di suatu rumah sakit dan ternyata memerlukan pembedahan segera. Ternyata pembedahan tertunda tunda, sehingga penderita meninggal dunia.
Pelanggaran etik dan hukum kasus ini ada 2 kemungkinan:
1.      Jika tertundanya penbedahan tersebut disebabkan kelalaian dokter, maka sikap dokter tersebut bertentangan dengan lafal sumpah dokter, KODEKI Bab II pasal 10 dan KUHP pasal 304 dan 306. Lafal sumpah dokter:”Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita”. KODEKI Bab II pasal 10: Seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas kemanusiaan.KUHP pasal 304 “Barang siapa yang dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan seseorang dalam kesengsaraan, sedangkan ia wajib memberi kehidupan, perawatan dan pemeliharaan berdasarkan hukum yang berlaku baginya atau karena suatu perjanjian, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 2 tahun 8 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-KUHP pasal 306(2) jika salah satu perbuatan tersebut berakibat kematian, maka bersalah dihukum dengan hukuman perjara selama-lamanya 9 tahun.”
2.      Jika tertundanya pembedahan tersebut disebabkan keluarga penderita belum membayar uang panjar untuk rumah sakit, maka rumah sakitlahyang terkena pasal-pasal KUHP 304 dan 306, sedang dokter terkena pelanggaran KODEKI. Jadi walaupun kesadaran hukum meningkat akhir-akhir ini, namun untuk menegakkan hukum itu di tengah-tengah masyarakat, masih menghadapi hambatan-hambatan. Hambatanlain tentunnya, bahwa unsur-unsur penegak hukum kadang kala belum siap menangani kasus-kasus yang diajukan, karena terbatasnya pengetahuan dalam bidang medik dan belum adanya perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kasus-kasus yang diajukan.

      Dalam etik sebenarnya tidak ada batas-batas yang jelas antara boleh atau tidak, oleh karena itu kadang kala sulit memberikan sanksi-sanksinya.Di negara-negara maju terdapat Dewan Medis (Medical Council)yang bertugas melakukan pembinaan etika profesi dan menanggulangi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap etik kedokteran. Di Negara kita IDI telah mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang. Walaupun demikian, MKEK ini belum lagi dimanfaatkan dengan baik oleh para dokter maupun masyarakat.
      Masih banyak kasus yang keburu diajukan ke pengadilan sebelum ditangani oleh MKEK. Oleh karena fungsi MKEK ini belum memuaskan, maka pada tahun 1982 Departeman Kesehatan membentuk Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK) yang terdapat pula di pusat dan di tingkat propinsi. Tugas P3EK ialah menangani kasus-kasus malpraktek etik yang tidak dapat ditanggulangi oleh MKEK, dan memberi pertimbangan serta usul-usul kepada pejabat berwenang.Jadi instansi pertama yang akan menangani kasus-kasus malpraktek etik ialah MKEK cabang atau wilayah. Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh MKEK dirujuk ke P3EK Propinsi dan jika P3EK Propinsi tidak mampu menanganinya maka kasus tersebut diteruskan ke P3EK Pusat. Begitu juga kasus-kasus malpraktek etik yang dilaporkan kepada propinsi, diharapkan dapat diteruskan lebih dahulu ke MKEK Cabang atau Wilayah. Dengan demikian diharapkan bahwa semua kasus pelanggaran etik dapat diselesaikan secara tuntas.
      Tentulah jika sesuatu pelanggaran merupakan malpraktek hukum pidana atau perdata, maka kasusnya diteruskan kepada pengadilan. Dalam hal ini perlu dicegah bahwa oleh karena kurangnya pengetahuan pihak penegak hukum tentang ilmu dan teknologi kedokteran menyebabkan dokter yang ditindak menerima hukuman yang dianggap tidak adil.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Malpraktek dalam kaitan dengan standard profesi kedokteran ada berbagai perumusan dari ahli hukum yaitu bahwa berbuat secara teliti/seksama berdasarkan ukuran medik. Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim di pergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Dimana sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata dalam sarana yang sama dan kondisi yang sama. Upaya yang sebanding dengan tujuan konkrit tindakan perbuatan medik tersebut. Aspek hukum yang mengatur tentang malpraktek di Indonesia adalah;
1.      UU RI No.29 thn. 2004 tentang praktek Kedokteran
2.      KUHP
3.      UUD 1945
Upaya hukum yang dapat dilakukan terkait dengan masalah malpraktek diatur dalam ketentuan pidana dalam UU praktek Kedokteran No.29 tahun 2004. Seorang dokter yang melakukan malpraktek harus memerlukan pembuktian. Adanya unsure kelalaian (Culva Lata) dan juga adanya akibat fatal dari malpraktek tersebut dapat dipidana.

0 komentar:

Posting Komentar