Dengan persetujuan
bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG KETENAGAKERJAAN.
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan
tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan
hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5. Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
6. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik
orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana
ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam
penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan
analisis data yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang
mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk
memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja,
produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan
keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu
yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai
dengan standar yang ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian dari
sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di
lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan
pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses
produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai
keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk
mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat
memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan
pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang
visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan
kewajiban para pihak
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan,
upah, dan perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang
terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang
dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar
perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan
konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu
perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat
buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi,
konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya
terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan
yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan
tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian
yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau
beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa
pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja serta perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah tindakan
pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau
oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat
pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha
untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan
pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran
hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak
dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan
belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan
pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat)
jam.
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan
dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan
kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung
dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan
sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan
menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan
melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan
bertujuan:
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara
optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan
tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan.
Pasal 6
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa
diskriminasi dari pengusaha.
Pasal 7
(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah
menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi:
a. perencanaan tenaga kerja makro; dan
b. perencanaan tenaga kerja mikro.
(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan
program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus
berpedoman pada perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi
ketenagakerjaan yang antara lain meliputi:
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diperoleh dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun
swasta.
(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi
ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali,
meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan,
produktivitas, dan kesejahteraan.
Pasal 10
(1)
Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan
dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2)
Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu
pada standar kompetensi kerja.
(3)
Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau
mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
melalui pelatihan kerja.
Pasal 12
(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau
pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja.
(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang
diatur dengan Keputusan Menteri.
(3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk
mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 13
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan
kerja pemerintah dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan
atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan
swasta.
Pasal 14
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan
hukum Indonesia atau perorangan.
(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh
instansi pemerintah mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran
lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 15
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan:
(a) tersedianya tenaga kepelatihan;
(b) adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
(c) tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
(d) tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan
penyelenggaraan pelatihan kerja.
Pasal 16
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin
dan lembaga pelatihan kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh
akreditasi dari lembaga akreditasi.
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersifat independen terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 17
(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
di kabupaten/kota dapat menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan
pelatihan kerja, apabila di dalam pelaksanaannya ternyata:
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9; dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.
(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan
pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disertai alasan dan saran
perbaikan dan berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan
pelatihan kerja hanya dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam)
bulan tidak memenuhi dan melengkapi saran perbaikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dikenakan sanksi penghentian program pelatihan.
(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan
tetap melaksanakan program pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan
pendaftaran penyelenggara pelatihan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara,
penghentian, pencabutan izin, dan pembatalan pendaftaran diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 18
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja
setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja
pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui sertifikasi kompetensi kerja.
\
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat pula diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk
badan nasional sertifikasi profesi yang independen.
(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang
independen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja
penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan,
dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.
Pasal 20
(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka
pembangunan ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pelatihan kerja nasional
yang merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau
sektor.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan
sistem pelatihan kerja nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.
Pasal 22
(1) Pemagangan dilaksanakan atas
dasar perjanjian pemagangan antara peserta
dengan pengusaha yang dibuat secara tertulis.
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat ketentuan hak dan kewajiban
peserta dan pengusaha serta jangka waktu pemagangan.
(3) Pemagangan yang diselenggarakan
tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi
pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 23
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas
pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga
sertifikasi.
Pasal 24
Pemagangan dapat dilaksanakan
di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau
perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.
Pasal 25
(1) Pemagangan yang dilakukan di
luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelenggara pemagangan harus berbentuk
badan hukum Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 26
(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah
Indonesia harus memperhatikan:
a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan ibadahnya.
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan
pelaksanaan pemagangan di luar wilayah Indonesia
apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 27
(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi
persyaratan untuk melaksanakan program pemagangan.
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri harus memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat, dan
negara.
Pasal 28
(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan
kebijakan serta melakukan koordinasi pelatihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga
koordinasi pelatihan kerja nasional.
(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga
koordinasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 29
(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan
pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan.
(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah
peningkatan relevansi, kualitas, dan efisiensi penyelenggaraan pelatihan kerja
dan produktivitas.
(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dilakukan melalui pengembangan budaya produktif, etos kerja, teknologi,
dan efisiensi kegiatan ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.
Pasal 30
(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (2) dibentuk lembaga produktivitas yang bersifat nasional.
(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berbentuk jejaring kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang
bersifat lintas sektor maupun daerah.
(3) Pembentukan, keanggotan, dan tata kerja lembaga
produktivitas nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di
dalam atau di luar negeri.
Pasal 32
(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas
terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan
tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan,
bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi,
dan perlindungan hukum.
(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan
pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan
program nasional dan daerah.
Pasal 33
Penempatan tenaga kerja terdiri dari:
a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
b. penempatan tenaga kerja di luar negeri.
Pasal 34
Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.
Pasal 35
(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut
sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga
kerja.
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan
tenaga kerja
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup
kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga
kerja.
Pasal 36
(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelayanan
penempatan tenaga kerja.
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bersifat terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang
meliputi unsur-unsur:
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk
terwujudnya penempatan tenaga kerja.
Pasal 37
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari:
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga
kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 38
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik
langsung maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja
dan pengguna tenaga kerja.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan
tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan
jabatan tertentu.
(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 39
(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan
kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan
perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di
setiap sektor diarahkan untuk mewujudkan perluasan kesempatan kerja baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja.
(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan
dunia usaha perlu membantu dan memberikan kemudahan bagi setiap kegiatan
masyarakat yang dapat menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan
kerja.
Pasal 40
(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja
dilakukan melalui penciptaan kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan
mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi
tepat guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga
kerja mandiri, penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna,
dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong
terciptanya perluasan kesempatan kerja.
Pasal 41
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan
perluasan kesempatan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi
pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat dibentuk badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan
unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan
pembentukan badan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan
ayat (3) dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja
asing wajib memiliki
izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan
tenaga kerja asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja
asing sebagai pegawai
diplomatik dan konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya
dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
yang masa kerjanya habis dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh
tenaga kerja asing lainnya.
Pasal 43
(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki
rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan:
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur
organisasi perusahaan yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai
pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi istansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan
negara asing.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana
penggunaan tenaga kerja asing diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 44
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati
ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 45
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai
tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan
untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga
kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan
kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki
jabatan direksi dan/atau komisaris.
Pasal 46
(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang
mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu.
(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Keputusan Menteri
Pasal 47
(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap
tenaga kerja asing yang
dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing,
badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan
jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan
tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.
Pasal 49
Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan
Presiden.
0 komentar:
Posting Komentar