Rabu, 02 Juli 2014

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Sejarah Pemberlakuan Hukum Pidana di Indonesia
1.    Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu.
Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.
Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu.
Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya.
Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaranajaran Hindu.Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.
2.    Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
a.    Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-1799
Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda.
Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.
Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip.  Sesudah diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.
Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statute tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis.
Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.[8] Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain: i) sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati peraturanperaturan; ii) sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu menyelesaikan perkara pidana yang terjadi karena permasalahan alat bukti; dan iii) adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran antara hukum pidana adat dengan hukum pidana yang dibawa VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hokum pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu dipidana yang setimpal.
Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai system pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam.
Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat.
b.    Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855)
Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan kepada kongsi dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC.
Dengan dasar Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD Negeri Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah daerah jajahan. Dengan demikian ngara Belanda pada masa itu menggunakan sistem pemerintahan monarkhi konstitusional. Raja berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi.
Untuk mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Van dr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).
Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundang-undangan di luar hukum pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de Rechtilijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata. 
c.    Masa Regering Reglement (1855-1926)
Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan system pemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda.
Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, karena parlemen (Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan prundangundangan di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di bagian dari dunia. Aturan tentang kebijakan pemerintah ditetapkan melalui undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur dengan undang-undang”.
Dengan ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan raja Belanda terhadap daerah jajahan di Indonesia berkurang. Peraturanperaturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan raja dengan Koninklijk Besluit, namun harus melalui mekanisme perundangundangan di tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur pemerintahan negara jajahan adalah Regeling Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Selanjutnya RR disebut sebagai UUD Pemerintah Jajahan Belanda.
Pada masa berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi hukum pidana berhasil diundangkan, yaitu:
  1. Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 Tahun 1866.
  2. Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa.
  3. wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan denbgan Staatblad No. 85 Tahun1872.
  4. Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
  5. Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No. 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.

d.   Masa Indische Staatregeling (1926-1942)
Indische Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling Reglement (RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui Staatblad Nomor 415 Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet negera Belanda pada tahun 1922.
Perubahan Grond Wet tahun 1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan undang-undang. Pada masa ini, keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakuan hokum pidana Belanda semenjak diberlakukan 1 Januari 1918.
e.    Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei.
Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling.
Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.[13]
3.    Masa Setelah Kemerdekaan
Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945.
a.    Tahun 1945-1949
Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi sistem hokum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945.
Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukum nasional belum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini.
Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara.
Hal ini juga berarti funding fathers bangsa Indonesia mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata hukum colonial menjadi tata hukum nasional.[14]
Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan kembali Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tangal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1 : Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang Dasar tersebut.
Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945.

Sekilas ini Penpres ini hampir sama dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, namun dalam Penpres ini dengan tegas dinyatakan tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945.
Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan colonial sebagai hukum pidana positif di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebutsecara tegas menyatakan:
Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942.[15]
Dengan titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA) setelah tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2 undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dicabut.
Pasal 2 ini diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda mengeluarkan Verordeningen van het militer gezag.
Secara lengkap bunyi Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai berikut. Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het militer gezag) dicabut.[16]
Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan ditetapkannya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawab persoalan. Kenyataan ini disebabkan karena perjuangan fisik bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai. Secara de jure memang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja berkelanjutan. Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun negara-negara boneka yang berhasil dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi kolonialismenya di Indonesia. Bahkan pada tanggal 22 September 1945, Belanda mengeluarkan kembali aturan pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlaku tanggal 7 Oktober 1945. Ketentuan ini antara lain mengatur tentang diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkut ketatanegaraan, keamanan dan ketertiban, perluasan daerah berlakunyapasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta dibekukannya Pasal 1 KUHP agar peraturan ini dapat berlaku surut. Nampak jelas bahwa maksud ketentuan ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan.
Dengan adanya dua peraturan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia oleh dua “penguasa” yang bermusuhan ini, maka munculah dua hukum pidana yang diberlakukan bersama-sama di Indonesia. Oleh para ahli hukum pidana, adanya dua hukum pidana ini disebut masa dualism KUHP.[17]
b.    Tahun 1949-1950
Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai konsekuensi atas syarat pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda. Dengan perubahan bentuk negara ini, maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sebagai aturan peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan:

Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuanketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini.[18]

Dengan adanya ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek van Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang muncul setelah Belanda dating kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung pada masa ini.
c.    Tahun 1950-1959
Setelah negara Indonesia menjadi negara yang berbentuk Negara serikat selama 7 bulan 16  hari, sebagai trik politik agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara republik-kesatuan. Dengan perubahan ini, maka konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan UUD Sementara.
Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hokum pidana masa sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara menyebutkan: Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan ketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekedar peraturan peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang Dasar ini.[19]
Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini makan hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Namun demikian, permasalahan dualime KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai akhir masa berlakunya UUD Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan:

“Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia (Staatblad 1915 Nomor 732 seperti beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak beralasan. Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.” Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.

d.   Tahun 1959-sekarang
Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Indonesia menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya. Oleh karena itu, Pasal II Aturan Peralihan yang memberlakukan kembali aturan lama berlaku kembali, termasuk di sini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai sekarang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesia telah mengalami empat pergantian mengenai bentuk negara dan konstitusi, ternyata sumber utama hukum pidana tidak mengalami perubahan, yaitu tetap pada Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) walaupun pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan peralihan pada masing-masing konstitusi.

B.  Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Wetboek van Strafrecht)
Induk peraturan hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undang undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918.
WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886.[20] Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.
Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809 pada saat pemerintahan Lodewijk Napoleon.
Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886.[21] Setelah perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya (Code Penal) selama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881). Selama usaha pembaharuan hukum pidana itu, Code Penal mengalami bebarapa perubahan, terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886.
Sebelum negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, di wilayah Hindia- Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 73.[22]
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini dirasakan Idenburg (Minister van Kolonien) sebagai permasalahan yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915 keluarlah Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 Januari 1918. Dengan gambaran sejarah demikian, runtutan sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia dapat dilustrasikan dalam bagan berikut.
Tahun Peristiwa Selisih Waktu 1810 Code Penal diberlakukan di Perancis 1 tahun, 1811 Code Penal diberlakukan di Belanda 56 tahun, 1867 Wetboek van Strafrecht voor Europeanen berlaku di Hindia-Belanda 6 tahun, 1873 Wetboek van Strafrecht voor Inlander diberlakukan di Hindia-Belanda 8 tahun, 1881 Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda 5 tahun, 1886 Wetboek van Strafrecht diberlakukan di Belanda 29 tahun, 1915 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disahkan untuk Hindia-Belanda 3 tahun, 1918 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie diberlakukan di Hindia-Belanda 28 tahun, 1946 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disebut sebagai KUHP Indonesia Total selisih waktu 136 tahun.

C.  Problematika Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (Wetboek van Strafrecht)
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa hukum pidana Indonesia merupakan warisan hukum kolonial ketika Belanda melakukan penjajahan atas Indonesia. Jika Indonesia menyatakan dirinya sebagai bangsa yang merdeka sejak 17 Agustus 1945, maka selayaknya hokum pidana Indonesia adalah produk dari bangsa Indonesia sendiri. Namun idealisme ini ternyata tidak sesuai dengan realitasnya. Hukum pidana Indonesia sampai sekarang masih mempergunakan hukum pidana warisan Belanda. Secara politis dan sosiologis, pemberlakuan hukum pidana kolonial ini jelas menimbulkan problem tersendiri bagi bangsa Indonesia. Problematika tersebut antara lain sebagai berikut.
  1. Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan sejak 59 tahun lalu merupakan awal pendobrakan hukum kolonial menjadi hokum yang bersifat nasional. Namun pada realitasnya, hukum pidana positif (KUHP) Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda. Secara politis ini menimbulkan masalah bagi bangsa yang merdeka.[23] Dengan kata lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka, namun hukum pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penjajahan.
  2. Wetboek van Strafrecht atau bisa disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918. Ini berarti KUHP telah berumur lebih dari 87 tahun. Jika umur KUHP dihitung sejak dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka KUHP telah berumur lebih dari 124 tahun. Oleh karena itu, KUHP dapat dianggap telah usang dan sangat tua, walaupun Indonesia sendiri telah beberapa kali merubah materi KUHP ini. Namun demikian, perubahan ini tidak sampai kepada masalah substansial dari KUHP tersebut. KUHP Belanda sendiri pada saat ini telah banyak mengalami perkembangan.[24]
  3. Wujud asli hukum pidana Indonesia adalah Wetboek van Strafrecht yang menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan KUHP. Hal ini menandakan bahwa wujud asli KUHP adalah berbahasa Belanda.[25] KUHP yang beredar di pasaran adalah KUHP yang diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh beberapa pakar hukum pidana, seperti terjemahan Mulyatno, Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, R. Susilo, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Tidak ada teks resmi terjemahan Wetboek van Strafrecht yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia. Oleh karena itu, sangat mungkin dalam setiap terjemahan memiliki redaksi yang berbeda-beda.[26]
  4. KUHP warisan kolonial Belanda memang memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda ini berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David disebut dengan the Romano-Germanic Family. The Romano Germanic family ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and individual right).[27] Hal ini sangat berbeda dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan kejahatan-kejahatan baru.
  5. Jika KUHP dilihat dari tiga sisi masalah dasar[28] dalam hukum pidana, yaitu pidana, tindak pidana, dan pertanggungjawaban pidana, maka masalah-masalah dalam KUHP antara lain:

a.    Pidana
KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan bagi hakim atau penegak hukum yang lain, sehingga arah pemidanaan tidak tertuju kepada tujuan dan pola yang sama.
Pidana dalam KUHP juga bersifat kaku dalam arti tidak dimungkinkannya modifikasi pidana yang didasarkan pada perubahan atau perkembangan diri pelaku. Sistem pemidanaan dalam KUHP juga lebih kaku sehingga tidak member keleluasaan bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat untuk pelaku tindak pidana. Sebagai contoh mengenai jenis-jenis pidana, pelaksanaan pidana pidana mati,[29] pidana denda,[30] pidana penjara,[31] dan pidana bagi anak.
b.    Tindak pidana
Dalam menetapkan dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP bersifat positifis dalam arti harus dicantumkan dengan undangundang (asas legalitas formil). Dengan demikian, KUHP tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-undangan.[32]
Di samping itu, KUHP menganut pada Daadstrafrecht yaitu hokum pidana yang berorientasi pada perbuatan. Aliran ini pada sekarang sudah banyak ditinggalkan, karena hanya melihat dari aspek perbuatan (Daad) dan menafikan aspek pembuat (Dader).[33] KUHP masih menganut pada pembedaan kejahatan dan pelanggaran yang sekarang telah ditinggalkan. Tindak pidanatindak pidana yang muncul di era modern ini, seperti money laundering, cyber criminal, lingkungan hidup, dan beberapa perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai tindak pidana belum tercover di dalam KUHP. Oleh karena itu, secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
c.    Pertanggungjawaban pidana
Beberapa masalah yang muncul dalam aspek pertanggungjawaban pidana ini antara lain mengenai asas kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara tegas dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS.[34] Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1), yang berarti bahwa seseorang dapat dipidana karena secara obyektif memang telah melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan asas legalitas) dan secara subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi rumusan asas culpabilitas). Masalah lainnya adalah masalah yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana anak. Anak di dalam KUHP (Pasal 45-47) adalah mereka yang berumur di bawah 16 tahun. Pasal-pasal tersebut tidak mengatur secara rinci tentang aturan pemidanaan bagi anak. Pasal 45 hanya menyebutkan beberapa alternatif yang dapat diambil oleh hakim jika terdakwanya adalah anak di bawah umur 16 tahun.[35] Selain itu, KUHP tidak menyebutkan pertanggungjawaban pidana korporasi. Pada dataran realitas, sering kali beberapa tindak pidana terkait dengan korporasi seperti pencemaran lingkungan.



[2] Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), p. 43.
[3] Pemisahan tegas antara hukum perdata dan hukum pidana ini dikenal juga dalam hukum Islam, yaitu adanya muamalah dan jinayah.
[4] Laporan Penelitian, (Jakarta: LPHN, 1973) dan BPHN, Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, (Bandung: Bina Cipta, 1973).
[5] Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni, 1989).
[6] I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: Eresco, 1993), p. 14.
[7] Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana…, p. 43. Lihat juga J. B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Prenhalindo, 2001), p. 14.
[8] J. B. Daliyo, Pengantar ..., p. 13.
[9] Kanter dan Sianturi, Asas-asas ..., p. 43.
[10] Ibid., p. 44.
[11] Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana…, p. 44. Lihat juga J. B. Daliyo, Pengantar..., p. 15.
[12] Ibid, p. 17.
[13] Kanter dan Sianturi, Asas-asas…, p. 46.
[14] Moh. Koesnoe, "Pokok Permasalahan Hukum Dewasa Ini", dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawali, 1986), p. 100.
[15] K. Wantjik Saleh, Pelengkap KUHP: Perubahan KUH Pidana dan UU Pidana Sampai dengan Akhir 1980, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), p. 25.
[16] Ibid.
[17] Ibid, p. 47-48.
[18] Engelbrecht, Kitab Undang Undang, Undang-undang, Peraturan-peraturan serta Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1960), p. 67.
[19] Ibid., p. 17.
[20] Sudarto, Hukum Pidana I, p. 15.
[21] Kanter dan Sianturi, Asas-asas…, p. 42.
[22] Ibid., p. 44.
[23] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), p. 70-71.
[24] Lihat The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar and Stafford Wadswoth, (Colorado: Fred B. Rothman, 1997). Perubahan dalam KUHP Belanda antara lain dalam principal penalties (pidana pokok) yang menghilangkan pidana mati dan menambahkan pidana kerja sosial serta denda yang dibuat dengan kategorisasi.
[25] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana..., p. 71.
[26] Dalam pandangan peneliti, kecuali KUHP terjemahan BPHN, KUHP terjemahan Mulyatno, R. Susilo dan yang lain terkadang belum mencantumkan beberapa perubahan parsial dalam KUHP, seperti jenis pidana ditambahkan pidana tutupan, pengkalian 15 kali untuk pidana denda, dan perluasan wilayah berlakunya hukum pidana menurut tempat. Di samping itu, terdapat juga perbedaan dalam menerjemahkan suatu istilah, seperti overspel yang diterjemahkan menjadi beberapa kata, seperti zina, mukah, dan gendak. Yang lebih fatal lagi adalah ancaman pidana pada Pasal 386 tentang pemerasan. Di dalam KUHP versi BPHN dan terjemahan dari Engelbrecht, ancaman pidananya 9 bulan, sedangkan dalam KUHP versi Mulyatno dan R. Susilo ancaman pidananya 9 tahun. KUHP aslinya (WvS) yang berbahasa Belanda menyebutnya dengan "jaren" yang berarti "tahun". Bandingkan Mulyatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1994), Engelbrecht, Kitab Undang Undang..., Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), dan R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, tth.).
[27] Rene David, John E. C. Brierley, Major Legal System in The World Today, (London, Stevens and Sons, 1978), p. 24.
[28] Dalam istilah yang lain, Sudarto menyebutkan tiga problem pokok dalam hukum pidana yaitu kesalahan, sifat melawan hukumnya perbuatan, dan pidana. Sudarto, Hukum Pidana I, p. 86. Sedangkan dalam pengertian Barda Nawawi Arief, tiga substansi/materi/masalah pokok dalam hukum pidana adalah masalah tindak pidana, masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan masalah pidana dan pemidanaan. Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), p. 87.
[29] Di hukum pidana beberapa negara, seperti Venezuela, Columbia, Rumania, Brazilia, Costarica, Uruguay, Chili, Denmark, dan Belanda sendiri, pidana mati telah dihapuskan karena dianggap tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan berupa pembinaan kepada pelaku kejahatan. Dalam KUHP Indonesia, pidana mati dianggap masih diperlukan namun pelaksanaannya belum manusiawi karena tetap dianggap sebagai sebuah "harga mati" walaupun terpidana telah menanti eksekusi selama puluhan tahun. Lihat Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: dari Retribusi ke Reformasi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), p. 26-27. Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984).
[30] Masalah pidana denda dalam KUHP terutama terkait dengan jumlah denda yang sangat minim, karena penyesuaian kurs pidana denda terakhir kali dilakukan dengan UU Nomor 18 Prp Tahun 1960. Sebagai contoh adalah ketentuan tentang pidana kurungan pengganti denda. Dalam KUHP, persamaan pidana denda dengan pidana kurungan adalah Rp. 7,50 (tujuh, lima puluh rupiah) disamakan dengan 1 hari kurungan.
[31] Pembahasan, kritik dan usulan perubahan mengenai pidana penjara diulas dalam R. Achmad S. Soema di Pradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, (Jakarta: BPHN/Bina Cipta, 1979), Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994), Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985).
[32] Permasalahan seperti ini sedikit terobati dengan dikenalnya asas legalitas materiel yang mengakui adanya nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam perundang undangan seperti UU Drt Nomor 1 Tahun 1951 dan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan..., p. 109.
[33] Selanjutnya, dapat dilihat dalam Muladi, "Perbandingan Sistem Pidana dan Kemungkinan Aplikasinya di Indonesia", dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), p. 152.
[34] Sudarto, Hukum Pidana I, p. 85.
[35] Terkait dengan kesepakatan internasional yang diselenggarakan oleh United Nations di Beijing tahun 1985 tentang Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) yang salah satu materinya mengatur tentang pertanggungjawaban pidana anak (age of criminal responsibility) agar tidak ditentukan terlalu rendah dengan mempertimbangkan kematangan emosional, mental dan intelektual, Indonesia mengeluarkan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Menurut

0 komentar:

Posting Komentar