BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pemberlakuan Hukum Pidana di Indonesia
1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Sebelum
kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596,
orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum
pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya
diberlakukan di wilayah adat tertentu.
Hukum adat
tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum
perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana
yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di
Indonesia.
Dalam
ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan
oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi
satu.
Di beberapa
wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang dijadikan agama
resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum
pidana adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan
nilai-nilai hukum Islamnya.
Begitu juga
hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaranajaran Hindu.Di
samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh
mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum
pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan
mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita,
perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang
bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang
terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh
khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang
berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera
Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.
2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
a.
Masa
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-1799
Masa
pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke
wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan
pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah
kongsi dagang Belanda yang diberikan
“kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda.
Hak
keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli
pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan
kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian
memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan
Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan
aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.
Setiap
peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu
tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa
disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan
yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk
mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu
disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun
1642.
Pada tahun 1766
Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta
itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang
asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan
lain. Walaupun statute tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun
belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara
sistematis.
Dalam
perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga
diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di
peradilan-peradilan adat.[8]
Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal,
antara lain: i) sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai
untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati peraturanperaturan; ii)
sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu menyelesaikan perkara pidana
yang terjadi karena permasalahan alat bukti; dan iii) adanya perbedaan
pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran antara hukum pidana adat dengan
hukum pidana yang dibawa VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang
menurut hokum pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut
pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu dipidana
yang setimpal.
Bentuk campur
tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang
digunakan para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi
antara lain mengenai system pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai,
dan lain sebagainya.
Pada tahun 1750
VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang berisi
himpunan hukum pidana Islam.
Pada tanggal 31
Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah
Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur
Jenderal Raflles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah
koloni Inggris di Nusantara tidak mengadakan
perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap
sangat menghormati hukum adat.
b. Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855)
Setelah Inggris
meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki kembali wilayah
Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan kepada raja
sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan kepada kongsi dagang sebagaimana
terjadi pada masa VOC.
Dengan dasar
Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD Negeri Belanda, raja
mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah daerah jajahan. Dengan
demikian ngara Belanda pada masa itu menggunakan sistem pemerintahan monarkhi
konstitusional. Raja berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah
konstitusi.
Untuk
mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang
ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia
Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Van dr Capellen. Mereka tetap
memberlakukan peraturan-peraturan yang yang berlaku pada masa Inggris dan tidak
mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum.
Dalam usaha untuk mengisi
kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de Gisignes menerapkan
politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman dipaksakan untuk
kerja paksa (dwang arbeid).
Dengan adanya
keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak memberlakukan
hukum pidana baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundang-undangan di
luar hukum pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de Rechtilijke
Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen
van Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk
Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Wetboek van Koopenhandel
(WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke
Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata.
c. Masa Regering Reglement (1855-1926)
Masa Regering
Reglement dimulai karena adanya perubahan system pemerintahan di negara
Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer. Perubahan
ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD)
Belanda.
Perubahan ini
mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, karena parlemen (Staten
Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan prundangundangan di
wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya
Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja mempunyai kekuasaan
tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di bagian dari dunia. Aturan
tentang kebijakan pemerintah ditetapkan melalui undang-undang. Sistem keuangan
ditetapkan melalui undang-undang. Hal hal lain yang menyangkut mengenai
daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur dengan
undang-undang”.
Dengan
ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan raja Belanda terhadap daerah
jajahan di Indonesia berkurang. Peraturanperaturan yang menata daerah jajahan
tidak semata-mata ditetapkan raja dengan
Koninklijk Besluit, namun harus melalui mekanisme perundangundangan di tingkat
parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk
mengatur pemerintahan negara jajahan adalah Regeling Reglement (RR). RR ini
berbentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855.
Selanjutnya RR disebut sebagai UUD Pemerintah Jajahan Belanda.
Pada masa
berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi hukum pidana berhasil
diundangkan, yaitu:
- Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 Tahun 1866.
- Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa.
- wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan denbgan Staatblad No. 85 Tahun1872.
- Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
- Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No. 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.
d. Masa Indische Staatregeling (1926-1942)
Indische
Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling Reglement (RR) yang mulai
berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui Staatblad Nomor 415
Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia
Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet negera Belanda pada tahun 1922.
Perubahan Grond
Wet tahun 1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda.
Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan
ditentukan dengan undang-undang. Pada masa ini, keberadaan sistem hukum di
Indonesia semakin jelas khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang
menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku.
Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor
Netherlands-Indie) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal
131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakuan hokum
pidana Belanda semenjak diberlakukan 1 Januari 1918.
e. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada masa
pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku
di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan
bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda
dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei.
Pertama kali,
pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal
3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan
kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui
sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan
militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur
pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap menggunakan
hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Psal 163 Indische
Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua
golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling,
dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling.
Untuk
melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang
di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25
Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun
1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan
hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang
pengadilan di Hindia Belanda. Pada
masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia
Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak
saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut
Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat di bawah
kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam
berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing
wilayah.[13]
3. Masa Setelah Kemerdekaan
Masa
pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum
Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu
pertama masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah
Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia
Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950),
dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945.
a. Tahun 1945-1949
Dengan
diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17
Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain
itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak sistem hukum
kolonial menjadi sistem hokum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian
bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur
negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam
penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945.
Mewujudkan
cita-cita bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial
menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat
dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu
pembicaraan yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada
sekedar memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Oleh karena itu,
untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukum nasional belum
dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan
agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini.
Ketentuan ini menjelaskan
bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah
peraturan-peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum
merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan
hukum yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan
sementara.
Hal ini juga
berarti funding fathers bangsa Indonesia mengamanatkan kepada generasi
penerusnya untuk memperbaharui tata hukum colonial menjadi tata hukum nasional.[14]
Presiden
Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan kembali Peraturan Presiden
Nomor 2 Tahun 1945 tangal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1 : Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang
ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,
sebelum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar, masih tetap berlaku
asal saja tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang Dasar tersebut.
Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945.
Sekilas ini Penpres
ini hampir sama dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, namun dalam Penpres
ini dengan tegas dinyatakan tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945.
Sebagai dasar
yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan colonial sebagai hukum pidana positif
di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Pasal 1 undang-undang tersebutsecara tegas menyatakan:
Dengan
menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10
Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang
berlaku sekarang adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal
8 Maret 1942.[15]
Dengan titik
tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia
ini berarti semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintahan
militer Jepang dan yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia
Belanda (NICA) setelah tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku.
Pasal 2 undang-undang tersebut juga
dinyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima
tertinggi bala tentara Hindia Belanda dicabut.
Pasal 2 ini
diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara
Hindia Belanda mengeluarkan Verordeningen van het militer gezag.
Secara lengkap
bunyi Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai berikut. Semua
peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia
Belanda dulu (Verordeningen van het militer gezag) dicabut.[16]
Pemberlakuan
hukum pidana Indonesia dengan ditetapkannya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawab persoalan. Kenyataan ini
disebabkan karena perjuangan fisik bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda
belum selesai. Secara de jure memang Indonesia telah memproklamirkan diri
sebagai bangsa yang merdeka, namun secara de facto penjajahan Belanda atas
Indonesia masih saja berkelanjutan. Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh
NICA Belanda maupun negara-negara boneka yang berhasil dibentuknya, Belanda
sebenarnya belum selesai atas aksi kolonialismenya di Indonesia. Bahkan pada
tanggal 22 September 1945, Belanda mengeluarkan kembali aturan pidana yang
berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht
(Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum Pidana) dengan
Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlaku tanggal 7 Oktober 1945.
Ketentuan ini antara lain mengatur tentang diperberatnya ancaman pidana untuk
tindak pidana yang menyangkut ketatanegaraan, keamanan dan ketertiban,
perluasan daerah berlakunyapasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta dibekukannya
Pasal 1 KUHP agar peraturan ini dapat berlaku surut. Nampak jelas bahwa maksud
ketentuan ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan.
Dengan adanya
dua peraturan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia oleh dua “penguasa”
yang bermusuhan ini, maka munculah dua hukum pidana yang diberlakukan
bersama-sama di Indonesia. Oleh para ahli hukum pidana, adanya dua hukum pidana
ini disebut masa dualism KUHP.[17]
b. Tahun 1949-1950
Tahun 1949-1950
negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai konsekuensi atas syarat
pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda. Dengan perubahan bentuk negara ini,
maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan Konstitusi Republik
Indonesia Serikat. Sebagai aturan peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS
menyebutkan:
Peraturan-peraturan
undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat
Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikat sendiri,
selama dan sekadar
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau
diubah oleh undang-undang dan ketentuanketentuan tata usaha atas kuasa
Konstitusi ini.[18]
Dengan adanya
ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama
dengan dahulu, yaitu Wetboek van Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2)
UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang muncul setelah Belanda dating
kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung pada masa ini.
c. Tahun 1950-1959
Setelah negara
Indonesia menjadi negara yang berbentuk Negara serikat selama 7 bulan 16 hari, sebagai trik politik agar Belanda
mengakui kedaulatan Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia
kembali menjadi negara republik-kesatuan. Dengan perubahan ini, maka konstitusi
yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan UUD Sementara.
Sebagai
peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hokum pidana masa sebelumnya pada
masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara menyebutkan:
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah
ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai
peraturan-peraturan dan ketentuan ketentuan Republik Indonesia sendiri, selama
dan sekedar peraturan peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut,
ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa
Undang Undang Dasar ini.[19]
Dengan adanya
ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini makan hukum pidana yang berlaku pun masih
tetap sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang
Hukum Pidana). Namun demikian, permasalahan dualime KUHP yang muncul pada tahun
1945 sampai akhir masa berlakunya UUD Sementara ini diselesaikan dengan
dikeluarkannya UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1
Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik
Indonesia dan Mengubah Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan
undang-undang tersebut
dinyatakan:
“Adalah
dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut UU
Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia (Staatblad 1915 Nomor
732 seperti
beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak beralasan. Dengan adanya
undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam Pasal 1 ditentukan
bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik
Indonesia.” Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di
Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia.
d. Tahun 1959-sekarang
Setelah
keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah satunya berisi
mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Indonesia menjadi negara
kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya. Oleh
karena itu, Pasal II Aturan Peralihan yang memberlakukan kembali aturan lama
berlaku kembali, termasuk di sini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidana
Indonesia dengan dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai
sekarang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesia telah
mengalami empat pergantian mengenai bentuk negara dan konstitusi, ternyata
sumber utama hukum pidana tidak mengalami perubahan, yaitu tetap
pada Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) walaupun
pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan peralihan pada
masing-masing konstitusi.
B.
Sejarah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Wetboek van Strafrecht)
Induk peraturan
hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undang undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini
mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang
diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja)
Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918.
WvSNI merupakan
turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di
negara Belanda pada tahun 1886.[20] Walaupun
WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada
saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di
negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan
misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.
Jika diruntut
lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum
pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809 pada saat pemerintahan
Lodewijk Napoleon.
Kodifikasi
hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het
Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis
menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang
dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun
1813, Perancis meninggalkan
negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal
itu sampai tahun 1886.[21]
Setelah perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan
hukum pidananya (Code Penal) selama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881).
Selama usaha pembaharuan hukum pidana itu, Code Penal mengalami bebarapa
perubahan, terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap
bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih
lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan
nama Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon dan mulai
diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886.
Sebelum negara
Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal
Napoleon pada tahun 1886, di wilayah Hindia- Belanda sendiri ternyata pernah
diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Eropa) dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak
1 Januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht
voor Inlander (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad Tahun
1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 73.[22]
Dengan
demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat juga dualisme hukum
pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidana bagi golongan
non-Eropa. Kenyataan ini dirasakan Idenburg (Minister van Kolonien) sebagai
permasalahan yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha
pada tahun 1915 keluarlah Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober
1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dan berlaku
tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 Januari 1918. Dengan gambaran sejarah
demikian, runtutan sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia dapat dilustrasikan dalam bagan berikut.
Tahun Peristiwa
Selisih Waktu 1810 Code Penal
diberlakukan di Perancis 1 tahun, 1811
Code Penal diberlakukan di Belanda 56 tahun, 1867
Wetboek van Strafrecht voor Europeanen berlaku di Hindia-Belanda 6 tahun, 1873
Wetboek van Strafrecht voor Inlander diberlakukan di Hindia-Belanda 8 tahun, 1881
Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda 5 tahun, 1886
Wetboek van Strafrecht diberlakukan di Belanda 29 tahun, 1915
Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disahkan untuk Hindia-Belanda 3 tahun, 1918
Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie diberlakukan di Hindia-Belanda 28
tahun, 1946
Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disebut sebagai KUHP Indonesia Total
selisih waktu 136 tahun.
C.
Problematika
Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (Wetboek van Strafrecht)
Seperti yang
telah dipaparkan di atas bahwa hukum pidana Indonesia merupakan warisan hukum
kolonial ketika Belanda melakukan penjajahan atas Indonesia. Jika Indonesia
menyatakan dirinya sebagai bangsa yang merdeka sejak 17 Agustus 1945, maka
selayaknya hokum pidana Indonesia adalah produk dari bangsa Indonesia sendiri.
Namun idealisme ini ternyata tidak sesuai dengan realitasnya. Hukum pidana
Indonesia sampai sekarang masih mempergunakan hukum pidana warisan Belanda.
Secara politis dan sosiologis, pemberlakuan hukum pidana kolonial ini jelas
menimbulkan problem tersendiri bagi bangsa Indonesia. Problematika tersebut
antara lain sebagai berikut.
- Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan sejak 59 tahun lalu merupakan awal pendobrakan hukum kolonial menjadi hokum yang bersifat nasional. Namun pada realitasnya, hukum pidana positif (KUHP) Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda. Secara politis ini menimbulkan masalah bagi bangsa yang merdeka.[23] Dengan kata lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka, namun hukum pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penjajahan.
- Wetboek van Strafrecht atau bisa disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918. Ini berarti KUHP telah berumur lebih dari 87 tahun. Jika umur KUHP dihitung sejak dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka KUHP telah berumur lebih dari 124 tahun. Oleh karena itu, KUHP dapat dianggap telah usang dan sangat tua, walaupun Indonesia sendiri telah beberapa kali merubah materi KUHP ini. Namun demikian, perubahan ini tidak sampai kepada masalah substansial dari KUHP tersebut. KUHP Belanda sendiri pada saat ini telah banyak mengalami perkembangan.[24]
- Wujud asli hukum pidana Indonesia adalah Wetboek van Strafrecht yang menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan KUHP. Hal ini menandakan bahwa wujud asli KUHP adalah berbahasa Belanda.[25] KUHP yang beredar di pasaran adalah KUHP yang diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh beberapa pakar hukum pidana, seperti terjemahan Mulyatno, Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, R. Susilo, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Tidak ada teks resmi terjemahan Wetboek van Strafrecht yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia. Oleh karena itu, sangat mungkin dalam setiap terjemahan memiliki redaksi yang berbeda-beda.[26]
- KUHP warisan kolonial Belanda memang memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda ini berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David disebut dengan the Romano-Germanic Family. The Romano Germanic family ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and individual right).[27] Hal ini sangat berbeda dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan kejahatan-kejahatan baru.
- Jika KUHP dilihat dari tiga sisi masalah dasar[28] dalam hukum pidana, yaitu pidana, tindak pidana, dan pertanggungjawaban pidana, maka masalah-masalah dalam KUHP antara lain:
a.
Pidana
KUHP tidak
menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan bagi hakim atau penegak hukum yang
lain, sehingga arah pemidanaan tidak tertuju kepada tujuan dan pola yang sama.
Pidana dalam
KUHP juga bersifat kaku dalam arti tidak dimungkinkannya modifikasi pidana yang
didasarkan pada perubahan atau perkembangan diri pelaku. Sistem pemidanaan
dalam KUHP juga lebih kaku sehingga tidak member keleluasaan bagi hakim untuk
memilih pidana yang tepat untuk pelaku tindak pidana. Sebagai contoh mengenai
jenis-jenis pidana, pelaksanaan pidana pidana mati,[29]
pidana denda,[30]
pidana penjara,[31]
dan pidana bagi anak.
b.
Tindak
pidana
Dalam
menetapkan dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP bersifat positifis dalam
arti harus dicantumkan dengan undangundang (asas legalitas formil). Dengan
demikian, KUHP tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup di tengah-tengah
masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-undangan.[32]
Di samping itu,
KUHP menganut pada Daadstrafrecht yaitu hokum pidana yang berorientasi pada
perbuatan. Aliran ini pada sekarang sudah banyak ditinggalkan, karena hanya
melihat dari aspek perbuatan (Daad) dan menafikan aspek pembuat (Dader).[33]
KUHP masih menganut pada pembedaan kejahatan dan pelanggaran yang sekarang
telah ditinggalkan. Tindak pidanatindak pidana yang muncul di era modern ini,
seperti money laundering, cyber criminal, lingkungan hidup, dan beberapa
perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai tindak pidana belum tercover
di dalam KUHP. Oleh karena itu, secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman
dan sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
c. Pertanggungjawaban pidana
Beberapa
masalah yang muncul dalam aspek pertanggungjawaban pidana ini antara lain
mengenai asas kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara tegas
dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai
penjelasan WvS.[34]
Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan
dalam Pasal 1 ayat (1), yang berarti bahwa seseorang dapat dipidana karena
secara obyektif memang telah melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan asas legalitas)
dan secara subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi
rumusan asas culpabilitas). Masalah lainnya adalah masalah yang terkait dengan
pertanggungjawaban pidana anak. Anak di dalam KUHP (Pasal 45-47) adalah mereka
yang berumur di bawah 16 tahun. Pasal-pasal
tersebut tidak mengatur secara rinci tentang aturan pemidanaan bagi anak. Pasal
45 hanya menyebutkan beberapa alternatif yang dapat diambil oleh hakim jika
terdakwanya adalah anak di bawah umur 16 tahun.[35]
Selain itu, KUHP tidak menyebutkan pertanggungjawaban pidana korporasi. Pada
dataran realitas, sering kali beberapa tindak pidana terkait dengan korporasi
seperti pencemaran lingkungan.
[2] Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, (Jakarta:
Alumni AHM-PTHM, 1982), p. 43.
[3] Pemisahan tegas antara hukum perdata dan hukum pidana ini dikenal
juga dalam hukum Islam,
yaitu adanya muamalah dan jinayah.
[4] Laporan
Penelitian, (Jakarta: LPHN, 1973) dan BPHN, Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama
terhadap Hukum Pidana, (Bandung: Bina Cipta, 1973).
[5] Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni, 1989).
[7] Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana…, p. 43. Lihat juga J.
B. Daliyo, Pengantar Hukum
Indonesia, (Jakarta: Prenhalindo, 2001), p. 14.
[8] J. B.
Daliyo, Pengantar ..., p. 13.
[9] Kanter
dan Sianturi, Asas-asas ..., p. 43.
[10] Ibid.,
p. 44.
[11] Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana…, p. 44. Lihat juga J.
B. Daliyo, Pengantar...,
p. 15.
[12] Ibid,
p. 17.
[13] Kanter
dan Sianturi, Asas-asas…, p. 46.
[14] Moh. Koesnoe, "Pokok Permasalahan Hukum Dewasa
Ini", dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, (Jakarta:
Rajawali, 1986), p. 100.
[15] K.
Wantjik Saleh, Pelengkap KUHP: Perubahan KUH Pidana dan UU Pidana Sampai dengan
Akhir 1980, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), p. 25.
[16] Ibid.
[17] Ibid,
p. 47-48.
[18] Engelbrecht,
Kitab Undang Undang, Undang-undang, Peraturan-peraturan serta Undang Undang Dasar
1945 Republik Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1960), p. 67.
[19] Ibid.,
p. 17.
[20]
Sudarto, Hukum Pidana I, p. 15.
[21] Kanter
dan Sianturi, Asas-asas…, p. 42.
[22] Ibid.,
p. 44.
[23] Sudarto,
Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), p. 70-71.
[24] Lihat The
Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar and Stafford Wadswoth, (Colorado:
Fred B. Rothman, 1997). Perubahan dalam KUHP Belanda antara lain dalam
principal penalties (pidana pokok) yang menghilangkan pidana mati dan
menambahkan pidana kerja sosial serta denda yang dibuat dengan kategorisasi.
[25] Sudarto,
Hukum dan Hukum Pidana..., p. 71.
[26] Dalam pandangan peneliti, kecuali KUHP terjemahan BPHN, KUHP
terjemahan Mulyatno, R. Susilo dan yang lain terkadang belum mencantumkan
beberapa perubahan parsial dalam KUHP, seperti jenis pidana ditambahkan pidana
tutupan, pengkalian 15 kali untuk pidana denda, dan perluasan wilayah
berlakunya hukum pidana menurut tempat. Di samping itu, terdapat juga perbedaan
dalam menerjemahkan suatu istilah, seperti overspel yang diterjemahkan menjadi
beberapa kata, seperti zina, mukah, dan gendak. Yang lebih fatal lagi adalah
ancaman pidana pada Pasal 386 tentang pemerasan. Di dalam KUHP versi BPHN dan
terjemahan dari Engelbrecht, ancaman pidananya 9 bulan,
sedangkan dalam KUHP versi Mulyatno dan R. Susilo ancaman pidananya 9 tahun. KUHP
aslinya (WvS) yang berbahasa Belanda menyebutnya dengan "jaren" yang berarti
"tahun". Bandingkan Mulyatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
(Jakarta: Bina Aksara, 1994),
Engelbrecht, Kitab Undang Undang..., Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1988), dan R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, tth.).
[27] Rene
David, John E. C. Brierley, Major Legal System in The World Today, (London,
Stevens and Sons, 1978), p. 24.
[28] Dalam
istilah yang lain, Sudarto menyebutkan tiga problem pokok dalam hukum pidana
yaitu kesalahan, sifat melawan hukumnya perbuatan, dan pidana. Sudarto, Hukum
Pidana I, p. 86. Sedangkan dalam pengertian Barda Nawawi Arief, tiga
substansi/materi/masalah pokok dalam hukum pidana adalah masalah tindak pidana,
masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan masalah pidana dan
pemidanaan. Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1996), p. 87.
[29]
Di hukum
pidana beberapa negara, seperti Venezuela, Columbia, Rumania, Brazilia,
Costarica, Uruguay, Chili, Denmark, dan Belanda sendiri, pidana mati telah
dihapuskan karena dianggap tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan berupa
pembinaan kepada pelaku kejahatan. Dalam KUHP Indonesia, pidana mati dianggap
masih diperlukan namun pelaksanaannya belum manusiawi karena tetap dianggap
sebagai sebuah "harga mati" walaupun terpidana telah menanti eksekusi
selama puluhan tahun. Lihat Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan
Indonesia: dari Retribusi ke Reformasi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), p.
26-27. Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985), Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi tentang
Pendapat-pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984).
[30]
Masalah
pidana denda dalam KUHP terutama terkait dengan jumlah denda yang sangat minim,
karena penyesuaian kurs pidana denda terakhir kali dilakukan dengan UU Nomor 18
Prp Tahun 1960. Sebagai contoh adalah ketentuan tentang pidana kurungan
pengganti denda. Dalam KUHP, persamaan pidana denda dengan pidana kurungan
adalah Rp. 7,50 (tujuh, lima puluh rupiah) disamakan dengan 1 hari kurungan.
[31]
Pembahasan,
kritik dan usulan perubahan mengenai pidana penjara diulas dalam R. Achmad S.
Soema di Pradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia,
(Jakarta: BPHN/Bina Cipta, 1979), Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara
dengan Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), Barda Nawawi Arief,
Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,
(Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994), Muladi, Lembaga Pidana
Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985).
[32]
Permasalahan
seperti ini sedikit terobati dengan dikenalnya asas legalitas materiel yang
mengakui adanya nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam perundang undangan
seperti UU Drt Nomor 1 Tahun 1951 dan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan..., p. 109.
[33]
Selanjutnya,
dapat dilihat dalam Muladi, "Perbandingan Sistem Pidana dan Kemungkinan
Aplikasinya di Indonesia", dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem
Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), p.
152.
[34]
Sudarto,
Hukum Pidana I, p. 85.
[35]
Terkait
dengan kesepakatan internasional yang diselenggarakan oleh United Nations di
Beijing tahun 1985 tentang Standard Minimum Rules for The Administration of
Juvenile Justice (Beijing Rules) yang salah satu materinya mengatur tentang
pertanggungjawaban pidana anak (age of criminal responsibility) agar tidak
ditentukan terlalu rendah dengan mempertimbangkan kematangan emosional, mental
dan intelektual, Indonesia mengeluarkan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan
Anak. Menurut
0 komentar:
Posting Komentar