BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 176
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan
yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pasal 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176
ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 178
(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja
tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota.
(2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 179
(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 178 pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada
Menteri.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 180
Ketentuan mengenai persyaratan
penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 181
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 176 wajib:
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut
dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 182
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
juga kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus
sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta
keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenaga-kerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan
hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang
bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenaga-kerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain
tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup
bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 184
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000.00 (lima
ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80,
Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143,
dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 186
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal
138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 187
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat
(1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling
singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 188
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat
(1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148,
dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 189
Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan
kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga
kerja atau pekerja/buruh.
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 190
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi
administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1),
Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal
160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berupa:
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebahagian atau seluruh alat
produksi;
h. pencabutan ijin.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 191
Semua peraturan pelaksanaan yang
mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau
belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 192
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk
Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang
Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor
647);
3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang Muda Di
Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk
Mengatur Kegiatan-kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor
208);
5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau
Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja
Anak-anak (Staatsblad Tahun
1949 Nomor 8);
7. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia
Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
8. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian
Perburuhan Antara Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor
69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598a);
9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan
Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja
Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2270);
11. Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan
Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang
Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
12. Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969
Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan
Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 193
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Maret
2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
.
BAMBANG KESOWO
0 komentar:
Posting Komentar