BAB II
PEMBAHASAN
A. Harmonisasi Hukum Penanaman Modal
Harmonisasi
hukum penanaman modal berarti menyelaraskan berbagai peraturan hukum di bidang
penanaman modal, yang berarti adanya satu kesatuan berbagai peraturan, baik
yang berasal dari dalam negeri maupun ketentuan-ketentuan internasional di
bidang penanaman modal. Satu kesatuan berarti adanya sistem yang dipergunakan.
Harmonisasi
hukum menurut L.M. Gandhi ialah mencakup penyesuaian peraturan
perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hukum, sistem hukum dan
asas-asas hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum,
keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan
mengorbankan pluralisme hukum
Usaha untuk
melakukan harmonisasi sistem hukum berkenaan dengan terjadinya ketidakseimbangan
antara perbedaan unsur-unsur sistem hukum, dapat dilakukan dengan cara menghilangkan
keseimbangan dan melakukan penyesuaian terhadap unsur-unsur sistem hukum yang
berbeda itu.
Harmonisasi
hukum penanaman modal tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk memberikan
jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum, dan hal ini merupakan nilai
yang tidak dapat ditinggalkan oleh negara manapun di dunia. Kepastian hukum,
ketertiban hukum dan perlindungan hukum akan dirasakan sebagai kebutuhan yang
hanya dapat terwujud melalui harmonisasi hukum. Hukum tidak semata-mata
melindungi kepentingan nasional, tetapi harus juga melindungi kepentingan
lintas negara. Pengertian perlindungan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan
nasional disamakan dengan kepentingan global. Kepentingan nasional tetap menjadi
tanggung jawab masing-masing negara oleh sebab itu kepentingan nasional harus
tetap terlindungi dan tidak sekedar menyelaraskan/meresepsi hukum-hukum asing
secara langsung, akan tetapi memilih dan menentukan norma-norma asing, regional
atau internasional yang mana yang dapat diterima dan yang mana hendaknya tidak
diterima ke dalam sistem hukum nasional, atau bahkan harus ditolak demi
pelestarian jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia. Hukum yang bersendikan Pancasila tetap harus menjadi fondasi dalam sistem hukum
yang diterapkan dalam menyelaraskan dengan kepentingan-kepentingan asing.
Sistem hukum
yang demikian akan menunjukkan karakter hukum Indonesia untuk mampu menghadapi
globalisasi, dan mampu mewujudkan harmonisasi dengan sistem hukum internasional
sebagai karakter hukum modern. Penanaman
modal di Indonesia merupakan satu kesatuan, yang didalamnya terdapat hubungan
hukum para pihak, pendirian perseroan terbatas, bidang usaha, badan hukum (perseroan
terbatas), lembaga yang memberi izin, kewenangan, pengelolaan, sarana dan prasarana
pendukung dan mekanisme dari penegakan hukum. Peraturan perundang-undangan di bidang
penanaman modal merupakan satu kesatuan yang dapat diterapkan secara
keseluruhan, tanpa memperhatikan perbedaan antara penanam modal dalam negeri
dan penanam modal asing, yang memperoleh kesempatan, perlindungan, keamanan,
kepastian hukum dan bidang-bidang usaha yang sama. Hal ini selam menunjukkan
adanya sikap non diskriminasi, juga merupakan sifat transparansi yang melekat
dalam UUPM.
Penanam
modal asing berarti penanam modal yang berasal dari atau bukan berkewarganegaraan
Indonesia, sehingga dalam pengaturannya tidak dapat dilepaskan dari ketentuan-ketentuan hukum negara penanam
modal asing yang bersangkutan maupun ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Unsur asing ini menempatkan harmonisasi hukum penanaman modal Indonesia tidak
dapat dilepaskan dari ketentuan-ketentuan hukum yang berasal dari luar hukum Indonesia,
dan/atau ketentuan-ketentuan hukum Internasional. Perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan
yang timbul dari peraturan perundang-undangan penanaman modal Indonesia dengan
hukum internasional akan memberikan keselarasan dalam pengaturan penanaman
modal di Indonesia dan merupakan satu kesatuan untuk mengatur penanaman modal di
Indonesia. Satu kesatuan ini tidak berarti mengaburkan kewenangan negara
Indonesia untuk mengatur penanaman modal, karena sebagai negara yang berdaulat,
Indonesia tetap berkewajiban untuk melindungi kepentingan-kepentingan negara
dan masyarakatnya.
Pengaturan
dan penanganan yang baik dalam satu kesatuan sistem, akan memberikan arah dan
perhitungan besar kecilnya penanganan penanaman modal, sehingga dapat
diprediksi penanaman modal yang masuk ke Indonesia. Harmonsasi hukum dapat
dilakukan terhadap sistem maupun substansinya. Harmonisasi hukum ini didasarkan
pada keselarasan asas, nilai, kaidah/ norma-norma yang diterapkan dalam bidang
yang diatur. Pembentukan, perubahan, penambahan dan/ atau penggantian peraturan
perundang-undangan yang baru, dapat dilakukan dengan pendekatan penggunaan
norma penunjuk pada norma dalam undang-undang yang telah ada, dengan
menyesuaikan perkembangan di masyarakat maupun dalam tata pergaulan internasional.
Peraturan perundang-undangan yang baru hendaknya memberikan perubahan/
penambahan/ penggantian dalam mengatur sesuatu hal yang sebelumnya memang belum
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Di samping
itu juga dimungkinkan pemanfaatan hukum internasional sesuai dengan materi yang
diaturnya. Pemanfaatan ketentuan-ketentuan hukum internasional tidak boleh
bertentangan atau menghilangkan dasar, falsafah dan nilai-nilai yang dimiliki
oleh negara, artinya peraturan perundang-undangan yang baru harus tetap
mengakomodasi kebutuhan hukum nasional. Hal ini karena globalisasi tidak
mungkin dihindarkan oleh negara manapun dan akan memberikan pengaruh pada hukum
nasional negara.
Negara
berkembang termasuk Indonesia tidak mungkin melawan arus globalisasi. Langkah
yang harus ditempuh adalah melakukan harmonisasi hukum nasional yang
diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum interasional, yaitu
melakukan harmonisasi hukum antara peraturan perundang-undangan nasional dengan
instrumen-instrumen internasional.
Di era
globalisasi, hukum tidak semata-mata melindungi kepentingan nasional, tetapi harus
juga melindungi kepentingan lintas negara. Suatu hal yang menjadi perhatian
adalah menentukan ukuran masalah global tersebut benar-benar merupakan suatu tuntutan
global. Suatu perhatian yang menyangkut ukuran tuntutan global tersebut tidak
akan menyentuh dasar atau paradigma yang menjadi sendi bangunan negara seperti
tertuang dalam staatsidee dan rechtsidee Negara.
Kepentingan
nasional harus tetap terlindungi dan tidak sekedar menyelaraskan/meresepsi
hukum-hukum asing secara langsung, akan tetapi memilih dan menentukan
norma-norma asing, regional atau internasional yang mana yang dapat diterima
dan yang mana hendaknya tidak diterima ke dalam sistem hukum nasional, atau
bahkan harus ditolak demi pelestarian jati diri dan kepribadian bangsa
Indonesia
Hukum yang
bersendikan Pancasila tetap harus menjadi fondasi dalam hukum yang diterapkan dalam
menyelaraskan dengan kepentingan-kepentingan asing. Kerangka hukum yang
demikian akan menunjukkan karakter hukum Indonesia untuk mampu menghadapi
globalisasi, dan mampu mewujudkan harmonisasi dengan hukum internasional
sebagai karakter hukum modern. Dalam konteks ini sistem hukum nasional sebagai
“suatu himpunan bagian hukum atau subsistem hukum yang salmg berkaitan yang
membentuk satu keseluruhan yang remit atau kompleks tetapi merupakan satu
kesatuan”, dengan tolok ukur Pancasila dan titik tolak UUD 1945 sebagai konsep
dasar sistem hukum nasional. Sila-sila Pancasila sebagai dasar negara merupakan
satu kesatuan, kebulatan dan keseluruhan (entity), nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan yang menentukan sistem nilai di dalam
sistem hukum nasional.
Pancasila
sebagai konsep dasar sistem hukum nasional berarti bahwa Pancasila merupakan
tuntunan nilai yang menunjukkan arah dan tujuan yang akan dicapai, dan semua sebagai
muara untuk menyelesaikan segala pertentangan yang mungkin timbul dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertentangan yang mungkin timbul
dapat di mulai sejak saat penyusunan peraturan perundang-undangan dan juga pada
saat pemberlakuan perundang-undangan.
Sistem hukum
nasional menganut sistem yuridis yang dinamakan sistem yuridis-idealis. Sistem
hukum nasional berdasar dan berjiwa Pancasila dan UUD 1945, menentukan suatu bentuk
tatanan segenap peraturan dan keputusan yang dapat dinamakan hukum yang sesuai dengan
cita-rasa yang dibimbing oleh filsafat hukum Pancasila sebagai sistem yuridis
yang idealistis.
Sistem hukum
nasional mengenal adanya hierarki perundang-undangan, oleh sebab itu dengan
adanya perubahan UUD 1945, maka harus pula ada perubahan terhadap perundang-undangan
dalam sistem hukum tersebut, serta pelaksanaannya oleh pihak yang berwenang. Peraturan
perundang-undangan yang ada sebelum adanya perubahan UUD 1945, harus ditinjau kesesuaiannya
dengan ketentuan hasil perubahan UUD 1945.
Salah satu
perubahan dan/atau pembaharuan di bidang hukum, adalah di bidang ekonomi dan
dunia usaha. Bidang ekonomi dan dunia usaha, khususnya di bidang penanaman modal sudah
banyak dilakukan, khususnya untuk penanaman modal langsung. Penanaman modal
langsung, baik untuk penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri
tidak dapat dilepaskan dari peraturan perundang-undangan perseroan terbatas,
bidang bidang usaha yang diperbolehkan dan hukum perjanjian yang menyangkut kepentingan
para pihak. Perubahan dan/atau pembaharuan hukum di bidang penanaman modal juga
tidak dapat dilepaskan dari ketentuan-ketentuan internasional, terutama untuk
konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian internasional yang telah di
ratifikasi oleh Indonesia. Hal ini berarti harus ada harmonisasi antara hukum
nasional di bidang penanaman modal dengan konvensi-konvensi internasional.
Harmomsasi
hukum, merupakan upaya pengharmonisan atau penyesuaian yang harmonis hukum
tertentu, menjadi hukum yang bersifat global yang dapat diakui dan diterima
oleh berbagai negara dalam melaksanakan transaksi-transaksi perdagangan
internasional dan penanaman modal asing. Harmonisasi hukum nasional dilakukan
dengan menyelaraskan peraturan perundang-undangan dengan berbagai konvensi atau
perjanjian internasional, yang disusun oleh lembaga-lembaga internasional,
seperti ICC, UNCITRAL, UNCTAD, UNIDROIT, WTO tentang uniform laws dan model
laws dan lainnya. Harmonisasi hukum internasional, ialah pengharmonisan
hukum yang sangat pluralitas untuk membentuk uniformitas hukum yang dapat disetujui
dan diterima oleh semua negara dalam bidang tertentu, misalnya bidang penanaman
modal.
Harmonisasi
hukum di bidang penanaman modal, berarti upaya untuk memberikan jaminan dan
kepastian hukum dan perlindungan hukum merupakan nilai yang tidak dapat ditinggalkan
oleh negara manapun di dunia. Berkenaan dengan hal itu, dalam melakukan upaya harmonisasi
hukum yang bersifat nasional harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang bersifat
global dengan tidak mengabaikan prinsip kedaulatan negara.
Harmonisasi
hukum nasional di bidang penanaman modal merupakan suatu pengaturan di bidang
penanaman modal yang didasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan dijabarkan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. Keberadaan UUPM untuk menggantikan
undang-undang yang lama di bidang penanaman modal merupakan bentuk akomodatif
terhadap kebutuhan-kebutuhan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal
yang selaras dengan konvensi-konvensi internasional, tanpa meninggalkan
kepentingan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Dalam perspektif demikian
masalah kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum akan dirasakan
sebagai kebutuhan yang hanya dapat terwujud melalui harmonisasi sistem hukum.
B. Harmonisasi Hukum Nasional dan Hukum
Internasional di Bidang Penanaman Modal.
Sebagai
bagian dari satu sistem hukum nasional, maka Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal (UUPM) bukanlah satu peraturan perundang-undangan yang berdiri
sendiri atau sebagai Undang-Undang yang mampu untuk mengatur segala hal yang menyangkut
pengaturan penanaman modal di Indonesia. UUPM tidak dapat dapat diberlakukan, apabila
dipisahkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, demikian juga sebaliknya.
Misalnya: UUPM. dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
(UUPT), kedua UU tersebut merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan dalam
pengaturan penanaman modal di Indonesia. Demikian juga hubungannya dengan ketentuan-ketentuan
internasional yang menyangkut penanaman modal, merupakan hal yang harus diperhatikan.
Konvensi-konvensi
atau perjanjian-perjanjian internasional yang telah di ratifikasi oleh Indonesia
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penyusunan dan pemberlakuan perundang-undangan
di Indonesia. Hal ini selain Indonesia lidak dapat memisahkan din dari globalisasi,
juga karena dalam perdagangan dan mvestasi, Indonesia tidak dapat membuat peraturan
yang lepas dan kepentingan negara-negara lain, utamanya yang berhubungan dengan
Indonesia dan dunia internasional.
Pengkajian
hukum dalam kaitan dengan pembaruan hukum yang diharmonisasikan dengan era
globalisasi tersebut sesuai dengan prinsip globalisasi. Prinsip globalisasi
menuntut negara-negara melakukan harmonisasi hukumnya sesuai dengan tuntutan
era globalisasi dengan cara melakukan berbagai structural adjustment placies
yang berupa serangkaian deregulasi, liberalisasi, debirokratisasi dan
swastanisasi.
Sebagai
negara berkembang, Indonesia sangat membutuhkan penanaman modal asing untuk
mengolah potensi ekonomi dan sumber daya yang dimilikinya, dan Indonesia tidak mungkin
menolak pengaruh dan ketentuan-ketentuan internasional, terutama di bidang perdagangan
dan penanaman modal asing, namun pada sisi lain harus mampu membuat aturan-aturan
yang tetap melindungi kepentingan nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pembukaan
UUD 1945 yang berbunyi : “....dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”. kalimat yang
sebagian dikutip dari Pembukaan HUD 1945, merupakan pegangan negara Indonesia
untuk tetap tegak dalam melindungi kepentingan nasional yang selaras dengan
ketentuan-ketentuan internasional.
Menurut
Kindleberger, bahwa aspek yang paling sensitif dalam perekonomian internasional
adalah aspek investasi langsung. Negara-negara Industri seperti Amerika
Serikat, Inggris, Kanada dan negara-negara Eropa lainnya pada dasamya berusaha
membatasi investasi asing langsung. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk
menekan neraca pembayaran, pengawasan terhadap sumber-sumber daya dalam negeri
agar tidak sirna karena pemilikan asing dan lain-lain. Di Amerika, masih ada pandangan yang menyatakan bahwa penanaman modal yang
dilakukan ke Amerika dianggap sebagai perusak kesempatan kerja dan meningkatkan
tekanan atas penanaman modal di dalam negeri. Sementara itu, jika tindakan-tindakan
proteksionis meningkat, maka Jepang akan terdesak, untuk menanam modal di negara-negara
industri seperti Amerika dan untuk mempertahankan bagiannya dalam pasar di negara-negara
industri tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kekhawatiran adanya investasi asing
tidak saja dialami oleh negara-negara berkembang, tetapi negara-negara majupun
juga mengkhawatirkannya. Amerika Serikat melakukan proteksi untuk melindungi
produk-produk dalam negerinya. Indonesia pernah merasakan imbas proteksi
Amerika Serikat pada akhir tahun 1990 an, khususnya di bidang tekstil.
Harmonisasi
hukum nasional dan hukum internasional di bidang penanaman modal tidak dapat
dilepaskan dari peran tiga organisasi ekonomi dunia yaitu World Trade
organization (WTO), Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF). Tujuan
World Trade Organization (WTO), adalah seperti termuat dalam Annex la)
adalah meningkatkan standar hidup dan pendapatan, menciptakan lapangan kerja
yang luas (full employment), memperluas produksi dan perdagangan serta memanfaatkan
secara optimal sumber kekayaan dunia. Tujuan-tujuan tersebut kemudian
memperkenalkan pemikiran pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
dan mengupayakan pembagian yang lebih merata bagi negara-negara berkembang
dalam perdagangan internasional.
Peningkatan
standar hidup dan pendapatan, menciptakan lapangan kerja yang luas, memperluas
produksi dan perdagangan ini selaras dengan ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam UUPM. Konsiderans UUPM menyebutkan adanya pengembangan bagi usaha mikro,
kecil, menengah dan koperasi dan mempercepat pembangunan ekonomi melalui
peningkatan penanaman modal yang kemudian dijabarkan dalam tujuan
penyelenggaraan penanaman modal, antara lain:
- Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
- Menciptakan lapangan kerja;
- Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
- Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
- Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;
- Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;
- Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan
- Meningkatkan kesejahteraan masyarakat (pasal 3 ayat (2) uupm).
Sebagian
harmonisasi hukum nasional (dalam hal ini UUPM) dengan WTO belum sepenuhnya terpenuhi,
karena pemanfaatan secara optimal sumber daya alam dan pemikiran pembangunan
berkelanjutan berkelanjutan (sustainable development) tidak ditemukan pengaturannya
dalam UUPM. Untuk itu perlu dipikirkan Peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana
UUPM untuk mengatur aspek pembangunan berkelanjutan dan pemanfaatan secara optimal
sumber daya alam tersebut.
Peranan Bank
Dunia di dalam mengembangkan aturan-aturan internasional mengenai penanaman
modal juga cukup besar. Bank Dunia membantu penyelesaian sengketa mengenai penanaman
modal dan di dalam memberikan jaminan bagi penanaman modal. Perjanjian multilateral
pertama[12] yang berhasil dibuat adalah the Convention
on the Establishment of an International Centre for Settlement of Investment
Disputes between States and Nationals of Other States (ICSID). Konvensi mil
berlangsung tanggal 14 Oktober 1966. ICSID mengatur prosedur penyelesaian
sengketa penanaman modal. ICSID juga memiliki suatu daftar nama-nama orang yang
berkualitas sebagai konsiliator atau arbitrator yang dapat dipilih oleh para
pihak yang bersengketa.
Perjanjian
multilateral kedua yang dibuat oleh Bank Dunia adalah the Convention Establishing
the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). Konvensi ini
berlangsung pada tanggal 12 April 1988. Tujuan utama dari lembaga MIGA ini
adalah untuk memberikan jaminan kepada investor terhadap risiko non ekonomis
khususnya di Negara sedang berkembang. Disamping itu, MIGA berperan dalam
menggalakkan aliran penanaman modal untuk tujuan-tujuan produktif ke
Negara-negara sedang berkembang, bantuan teknik terutama untuk pembangunan
infrastruktur.
Ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam perjanjian multilateral yang dibuat oleh Bank Dunia tentang
penyelesaian sengketa penanaman modal dan memberikan jaminan kepada investor
terhadap risiko non ekonomis sudah selaras dengan UUPM karena sudah diatur di dalamnya.
Pasal 32 UUPM mengatur tentang penyelesaian sengketa di bidang penanaman modal,
baik antara Pemerintah dengan penanam modal asing terlebih dahulu dilakukan
melalui musyawarah dan mufakat. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan
mufakat tidak tercapai, maka dapat dilakukan melalui arbitrase internasional.
Jaminan
kepada investor terhadap risiko non ekonomis telah diatur Pasal 7 UUPM, yang
pada prinsipnya Pemerintah tidak akan melakukan nasionalisasi atau
pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, apabila tindakan nasionalisasi
dilakukan, Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan
berdasarkan harga pasar. Harga pasar adalah harga yang ditentukan menurut cara yang
digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk para
pihak.
Sejak tahun
1990-an, IMF telah memprioritaskan usahanya pertumbuhan ekonomi kepada
negara-negara berkembang. Prioritas ini sudah selaras dengan UUPM, karena salah
satu tujuan UUPM adalah pertumbuhan ekonomi. Deklarasi Bogor sebagai basil
pertemuan APEC bulan Nopember 1994, para pemimpin Negara anggota APEC
menyepakati sejumlah asas yang tidak mengikat dalam bidang penanaman modal (non
binding investment principles), antara lain:
- Transperancy (keterbukaan);
- Nondiscriminacy between source economics (non diskriminasi antar sumber-sumber ekonomi);
- National treatment (perlakuan nasional);
- Investment intensives (rangsangan penanaman modal);
- Performance requirement (persyaratan kinerja) ;
- Dispute settlement (penyelesaian sengketa);
- Avoidance of double taxation (penghindaran pajak berganda);
- Investor behaviour (perilaku penanam modal);
- Removal of barriers to foreign capital (penghapusan rintangan modal asing);
- penyelesaian sengketa penanaman modal asing melalui arbitrase;
Prinsip-prinsip
ini pada dasarnya tidak mengikat, namun apabila Prinsip-prinsip ini telah diadopsi
oleh suatu Negara, maka prinsip-prinsip mi mempunyai kekuatan mengikat. Prinsip-prinsip
ini tidak jauh berbeda dengan asas-asas yang diatur dalam UUPM. Pasal 3 ayat
(1) UUPM menyatakan bahwa penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas:
- Kepastian hukum;
- Keterbukaan;
- Akuntabilitas;
- Perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara;
- Kebersamaan;
- Efisiensi berkeadilan;
- Berkelanjutan;
- Berwawasan lingkungan;
- Kemandirian; dan
- Keseimbangan kemajuan kesatuan ekonomi nasional.
Harmonisasi
antara hukum nasional dan hukum internasional, dapat diselaraskan sebagai berikut:
- Perlindungan hukum dan kepastian hukum;
- Keterbukaan;
- Non diskriminasi;
- Kebersamaan;
- Fasilitas/insentif penanaman modal;
- Pemberlakuan nasional (national treatment);
- Persyaratan kinerja; dan
- Penyelesaian sengketa persyaratan kinerja.
C. Prinsip-prinsip yang mendasari harmonisasi
sistem hukum Indonesia dan sistem hukum internasional.
1. Perlindungan Hukum dan Kepastian Hukum.
Jaminan
terhadap perlindungan hukum dan kepastian hukum menjadi persyaratan pokok bagi
para penanam modal yang akan menanamkan modalnya di negara lain dan hal ini
menjadi salah satu pilar utama yang diatur dalam UUPM. Pengertian perlindungan
hukum tidak dapat diketemukan pengertiannya dalam UUPM, namun maksud dan
tujuannya baik secara eksplisit maupun implisit diatur didalamnya. Prinsip perlindungan
hukum adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia yang bersumber pada Pancasila.[14]
Kepastian hukum adalah jaminan Pemerintah untuk menempatkan hukum dan ketentuan
peraturan perundang-undangan sebagai landasan utama dalam setiap tindakan dan
kebijakan bagi penanaman modal. dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam
penanaman modal (Penjelasan Pasal 14 huruf a UUPM). UUPM menyebutkan adanya
kepastian hak dan kepastian perlindungan. Kepastian hak adalah jaminan Pemerintah
bagi penanam modal untuk memperoleh hak sepanjang penanam modal telah
melaksanakan kewajiban yang ditentukan. Pengertian kepastian perlindungan
adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh perlindungan
dalam melaksanakan kegiatan penanaman modal.
Jaminan
terhadap perlindungan dan kepastian hukum akan menghindari penanam modal dari
risiko, baik risiko komersial maupun non komersial, dalam melakukan penanaman modalnya
di negara lain, terutama risiko politik yang dapat membawa kerugian besar bagi penanam
modal. Risiko non komersial (risiko politik) dapat terjadi karena adanya
ketidakpastian peraturan perundang-undangan untuk melindungi kepentingannya,
perubahan-perubahan drastis di bidang usaha, tekanan politik yang besar, perubahan
kebijakan yang cukup mendasar, dan faktor keamanan dalam melakukan usahanya
yang tidak optimal.
UUPM menjamm
untuk adanya risiko non komersial (risiko politik) yang mungkin timbul di
bidang usaha. Jaminan bahwa Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi
atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, dan apabila tindakan
nansionalisasi dilakukan, maka Pemerintah akan memberikan kompensasi yang
jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar (Pasal 7 ayat (1) dan (2) UUPM).
Perlindungan terhadap penanam modal asing secara konkrit dapat diberikan
apabila penanaman modal asing tersebut dalam bentuk perseroan terbatas, yaitu
apabila dilakukan tindakan nasionalisasi, maka perhitungan kompensasi terhadap
hak kepemilikan penanaman modal akan mudah dilakukan, karena antara kekayaan
pribadi dengan kekayaan perusahaan terpisah. Dengan demikian bentuk perseroan terbatas
bagi penanaman modal asing dapat diartikan pula untuk menghindari risiko
penanaman modal (termasuk risiko politik) akibat adanya tmdakan nasionalisasi
yang dilakukan oleh Pemerintah.
2. Keterbukaan (Transperancy).
Keterbukaan
(transperancy) merupakan salah satu asas yang diatur dalam UUPM dan juga
menjadi pegangan/kesepakatan masyarakat internasional, khususnya di bidang
penanaman modal. Asas ketemukaan adalah asas yang terbuka terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif
tentang kegiatan penanaman modal. Asas ini tidak hanya diperuntukan untuk warga
Negara Indonesia, tetapi juga untuk warga Negara asing yang menginginkan
informasi tentang penanaman modal di Indonesia.
Untuk
kegiatan penanaman modal, khususnya bidang-bidang usaha yang dapat dilakukan penanaman
modal, maka UUPM telah mengatumya dalam Pasal 12 UUPM dan dijabarkan dalam
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 jo Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun
2007 jo Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 jo Peraturan Presiden Nomor 77
Tahun 2007 tentang bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan.
Bidang-bidang usaha yang tidak dicantumkan dalam peraturan tersebut kepemilikan
modalnya dapat dimiliki oleh penanam modal asing, penanam modal dalam negeri
sebesar 100 %.
Bidang usaha
yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai
kegiatan penanaman modal. bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang
usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan
syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK, bidang usaha
yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan
kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu,
dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.
Penentuan
bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan menggunakan
prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:
a. penyederhanaan;
b. kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen
internasional;
c. transparansi;
d. kepastian hukum;
e. kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar
tunggal.
Prinsip
penyederhanaan adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan bidang usaha
yang terbuka dengan persyaratan berlaku secara nasional dan bersifat sederhana
serta terbatas pada bidang usaha yang terkait dengan kepentingan nasional
sehingga merupakan bagian kecil dari keseluruhan ekonomi dan bagian kecil dari
setiap sektor ekonomi. Pengertian sederhana ini masih kurang jelas, karena
pengertian sederhana adalah sesuatu yang tidak terlalu rumit. Namun apabila
dikaitkan dengan bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan,
sebenarnya merupakan sesuatu yang prinsip untuk melindungi kepentingan nasional.
Prinsip
kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen internasional adalah bahwa bidang usaha
yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan tidak boleh
bertentangan dengan kewajiban Indonesia yang termuat dalam perjanjian atau
komitmen internasional yang telah diratifikasi.
Prinsip
transparansi adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan
persyaratan harus jelas, rinci, dapat diukur, dan tidak multi tafsir serta
berdasarkan kriteria tertentu. Prinsip kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar
tunggal adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan
persyaratan tidak menghambat kebebasan arus barang, jasa, modal, sumber daya
manusia dan informasi di dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia.
Bidang-bidang
usaha yang tertutup menurut Pasal 8 Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 Bidang
usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri ditetapkan
dengan berdasarkan kriteria kesehatan, keselamatan, pertahanan dan keamanan,
lingkungan hidup dan moral/ budaya (K3LM) dan kepentingan nasional lainnya. Pasal
8 ini secara tegas tidak membedakan antara penanam modal asing maupun penanam
modal dalam negeri untuk dapat melakukan usahanya di bidang-bidang yang dinyatakan
tertutup. Kepentingan nasional tetap lebih diutamakan, sehingga bidang-bidang
usaha yang menyangkut K3LM tetap ditangani oleh Pemerintah.
[3] L.M.
Gandhi. 2006. Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex
Specialis Suatu Masalah). Surabaya: JP Books. halaman 30.
[4] Sunaryati Hartono. 1991. Politik Hukum
Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni. halaman 74-75.
[5] L.M.
Gandhi. Op. Cit. halaman 30.
[6] Bagir
Manan. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum Di Indonesia. Yogyakarta: Gama
Media. halaman 237.
[7]
Sunaryati Hartono. Op. Cit. halaman 74-75.
[8] M.
Solly Lubis. 1992. Hukum Tata Negara. Bandung: Mandar Maju. halaman 9.
[9] Ibid.
[10] Jimly
Asshidigie. 2006. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press.
Halaman 16.
[11] Ilmar Aminuddin. Op. Cit. halaman 63.
[12] Adolf
Huala. 2004. Hukum Ekonomi Internasional, Suatu Pengantar. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. halaman 36.
[13] Sembiring, Sentosa. 2007. Hukum Investasi, Pembahasan Dilengkapi Dengan UndangUndang Nomor 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Jakarta: Nuansa Aulia. halaman 47.
[14] M. Philippus Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah
Studi Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam
Lingkungan
Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi
Negara. Surabaya: Bina Ilmu. halaman 20.
0 komentar:
Posting Komentar