Rabu, 02 Juli 2014

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Harmonisasi Hukum Penanaman Modal
Harmonisasi hukum penanaman modal berarti menyelaraskan berbagai peraturan hukum di bidang penanaman modal, yang berarti adanya satu kesatuan berbagai peraturan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun ketentuan-ketentuan internasional di bidang penanaman modal. Satu kesatuan berarti adanya sistem yang dipergunakan.
Harmonisasi hukum menurut L.M. Gandhi ialah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hukum, sistem hukum dan asas-asas hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum
Usaha untuk melakukan harmonisasi sistem hukum berkenaan dengan terjadinya ketidakseimbangan antara perbedaan unsur-unsur sistem hukum, dapat dilakukan dengan cara menghilangkan keseimbangan dan melakukan penyesuaian terhadap unsur-unsur sistem hukum yang berbeda itu.
Harmonisasi hukum penanaman modal tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum, dan hal ini merupakan nilai yang tidak dapat ditinggalkan oleh negara manapun di dunia. Kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum akan dirasakan sebagai kebutuhan yang hanya dapat terwujud melalui harmonisasi hukum. Hukum tidak semata-mata melindungi kepentingan nasional, tetapi harus juga melindungi kepentingan lintas negara. Pengertian perlindungan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan nasional disamakan dengan kepentingan global. Kepentingan nasional tetap menjadi tanggung jawab masing-masing negara oleh sebab itu kepentingan nasional harus tetap terlindungi dan tidak sekedar menyelaraskan/meresepsi hukum-hukum asing secara langsung, akan tetapi memilih dan menentukan norma-norma asing, regional atau internasional yang mana yang dapat diterima dan yang mana hendaknya tidak diterima ke dalam sistem hukum nasional, atau bahkan harus ditolak demi pelestarian jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia. Hukum yang bersendikan Pancasila tetap harus menjadi fondasi dalam sistem hukum yang diterapkan dalam menyelaraskan dengan kepentingan-kepentingan asing.
Sistem hukum yang demikian akan menunjukkan karakter hukum Indonesia untuk mampu menghadapi globalisasi, dan mampu mewujudkan harmonisasi dengan sistem hukum internasional sebagai karakter hukum modern. Penanaman modal di Indonesia merupakan satu kesatuan, yang didalamnya terdapat hubungan hukum para pihak, pendirian perseroan terbatas, bidang usaha, badan hukum (perseroan terbatas), lembaga yang memberi izin, kewenangan, pengelolaan, sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme dari penegakan hukum. Peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal merupakan satu kesatuan yang dapat diterapkan secara keseluruhan, tanpa memperhatikan perbedaan antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing, yang memperoleh kesempatan, perlindungan, keamanan, kepastian hukum dan bidang-bidang usaha yang sama. Hal ini selam menunjukkan adanya sikap non diskriminasi, juga merupakan sifat transparansi yang melekat dalam UUPM.
Penanam modal asing berarti penanam modal yang berasal dari atau bukan berkewarganegaraan Indonesia, sehingga dalam pengaturannya tidak dapat dilepaskan dari  ketentuan-ketentuan hukum negara penanam modal asing yang bersangkutan maupun ketentuan-ketentuan hukum internasional. Unsur asing ini menempatkan harmonisasi hukum penanaman modal Indonesia tidak dapat dilepaskan dari ketentuan-ketentuan hukum yang berasal dari luar hukum Indonesia, dan/atau ketentuan-ketentuan hukum Internasional. Perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan yang timbul dari peraturan perundang-undangan penanaman modal Indonesia dengan hukum internasional akan memberikan keselarasan dalam pengaturan penanaman modal di Indonesia dan merupakan satu kesatuan untuk mengatur penanaman modal di Indonesia. Satu kesatuan ini tidak berarti mengaburkan kewenangan negara Indonesia untuk mengatur penanaman modal, karena sebagai negara yang berdaulat, Indonesia tetap berkewajiban untuk melindungi kepentingan-kepentingan negara dan masyarakatnya.
Pengaturan dan penanganan yang baik dalam satu kesatuan sistem, akan memberikan arah dan perhitungan besar kecilnya penanganan penanaman modal, sehingga dapat diprediksi penanaman modal yang masuk ke Indonesia. Harmonsasi hukum dapat dilakukan terhadap sistem maupun substansinya. Harmonisasi hukum ini didasarkan pada keselarasan asas, nilai, kaidah/ norma-norma yang diterapkan dalam bidang yang diatur. Pembentukan, perubahan, penambahan dan/ atau penggantian peraturan perundang-undangan yang baru, dapat dilakukan dengan pendekatan penggunaan norma penunjuk pada norma dalam undang-undang yang telah ada, dengan menyesuaikan perkembangan di masyarakat maupun dalam tata pergaulan internasional. Peraturan perundang-undangan yang baru hendaknya memberikan perubahan/ penambahan/ penggantian dalam mengatur sesuatu hal yang sebelumnya memang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Di samping itu juga dimungkinkan pemanfaatan hukum internasional sesuai dengan materi yang diaturnya. Pemanfaatan ketentuan-ketentuan hukum internasional tidak boleh bertentangan atau menghilangkan dasar, falsafah dan nilai-nilai yang dimiliki oleh negara, artinya peraturan perundang-undangan yang baru harus tetap mengakomodasi kebutuhan hukum nasional. Hal ini karena globalisasi tidak mungkin dihindarkan oleh negara manapun dan akan memberikan pengaruh pada hukum nasional negara.
Negara berkembang termasuk Indonesia tidak mungkin melawan arus globalisasi. Langkah yang harus ditempuh adalah melakukan harmonisasi hukum nasional yang diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum interasional, yaitu melakukan harmonisasi hukum antara peraturan perundang-undangan nasional dengan instrumen-instrumen internasional.
Di era globalisasi, hukum tidak semata-mata melindungi kepentingan nasional, tetapi harus juga melindungi kepentingan lintas negara. Suatu hal yang menjadi perhatian adalah menentukan ukuran masalah global tersebut benar-benar merupakan suatu tuntutan global. Suatu perhatian yang menyangkut ukuran tuntutan global tersebut tidak akan menyentuh dasar atau paradigma yang menjadi sendi bangunan negara seperti tertuang dalam staatsidee dan rechtsidee Negara.
Kepentingan nasional harus tetap terlindungi dan tidak sekedar menyelaraskan/meresepsi hukum-hukum asing secara langsung, akan tetapi memilih dan menentukan norma-norma asing, regional atau internasional yang mana yang dapat diterima dan yang mana hendaknya tidak diterima ke dalam sistem hukum nasional, atau bahkan harus ditolak demi pelestarian jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia
Hukum yang bersendikan Pancasila tetap harus menjadi fondasi dalam hukum yang diterapkan dalam menyelaraskan dengan kepentingan-kepentingan asing. Kerangka hukum yang demikian akan menunjukkan karakter hukum Indonesia untuk mampu menghadapi globalisasi, dan mampu mewujudkan harmonisasi dengan hukum internasional sebagai karakter hukum modern. Dalam konteks ini sistem hukum nasional sebagai “suatu himpunan bagian hukum atau subsistem hukum yang salmg berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang remit atau kompleks tetapi merupakan satu kesatuan”, dengan tolok ukur Pancasila dan titik tolak UUD 1945 sebagai konsep dasar sistem hukum nasional. Sila-sila Pancasila sebagai dasar negara merupakan satu kesatuan, kebulatan dan keseluruhan (entity), nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan yang menentukan sistem nilai di dalam sistem hukum nasional.
Pancasila sebagai konsep dasar sistem hukum nasional berarti bahwa Pancasila merupakan tuntunan nilai yang menunjukkan arah dan tujuan yang akan dicapai, dan semua sebagai muara untuk menyelesaikan segala pertentangan yang mungkin timbul dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertentangan yang mungkin timbul dapat di mulai sejak saat penyusunan peraturan perundang-undangan dan juga pada saat pemberlakuan perundang-undangan.
Sistem hukum nasional menganut sistem yuridis yang dinamakan sistem yuridis-idealis. Sistem hukum nasional berdasar dan berjiwa Pancasila dan UUD 1945, menentukan suatu bentuk tatanan segenap peraturan dan keputusan yang dapat dinamakan hukum yang sesuai dengan cita-rasa yang dibimbing oleh filsafat hukum Pancasila sebagai sistem yuridis yang idealistis.
Sistem hukum nasional mengenal adanya hierarki perundang-undangan, oleh sebab itu dengan adanya perubahan UUD 1945, maka harus pula ada perubahan terhadap perundang-undangan dalam sistem hukum tersebut, serta pelaksanaannya oleh pihak yang berwenang. Peraturan perundang-undangan yang ada sebelum adanya perubahan UUD 1945, harus ditinjau kesesuaiannya dengan ketentuan hasil perubahan UUD 1945.
Salah satu perubahan dan/atau pembaharuan di bidang hukum, adalah di bidang ekonomi dan dunia usaha. Bidang ekonomi dan dunia usaha, khususnya di bidang penanaman modal sudah banyak dilakukan, khususnya untuk penanaman modal langsung. Penanaman modal langsung, baik untuk penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri tidak dapat dilepaskan dari peraturan perundang-undangan perseroan terbatas, bidang bidang usaha yang diperbolehkan dan hukum perjanjian yang menyangkut kepentingan para pihak. Perubahan dan/atau pembaharuan hukum di bidang penanaman modal juga tidak dapat dilepaskan dari ketentuan-ketentuan internasional, terutama untuk konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian internasional yang telah di ratifikasi oleh Indonesia. Hal ini berarti harus ada harmonisasi antara hukum nasional di bidang penanaman modal dengan konvensi-konvensi internasional.
Harmomsasi hukum, merupakan upaya pengharmonisan atau penyesuaian yang harmonis hukum tertentu, menjadi hukum yang bersifat global yang dapat diakui dan diterima oleh berbagai negara dalam melaksanakan transaksi-transaksi perdagangan internasional dan penanaman modal asing. Harmonisasi hukum nasional dilakukan dengan menyelaraskan peraturan perundang-undangan dengan berbagai konvensi atau perjanjian internasional, yang disusun oleh lembaga-lembaga internasional, seperti ICC, UNCITRAL, UNCTAD, UNIDROIT, WTO tentang uniform laws dan model laws dan lainnya. Harmonisasi hukum internasional, ialah pengharmonisan hukum yang sangat pluralitas untuk membentuk uniformitas hukum yang dapat disetujui dan diterima oleh semua negara dalam bidang tertentu, misalnya bidang penanaman modal.
Harmonisasi hukum di bidang penanaman modal, berarti upaya untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum merupakan nilai yang tidak dapat ditinggalkan oleh negara manapun di dunia. Berkenaan dengan hal itu, dalam melakukan upaya harmonisasi hukum yang bersifat nasional harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang bersifat global dengan tidak mengabaikan prinsip kedaulatan negara.
Harmonisasi hukum nasional di bidang penanaman modal merupakan suatu pengaturan di bidang penanaman modal yang didasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. Keberadaan UUPM untuk menggantikan undang-undang yang lama di bidang penanaman modal merupakan bentuk akomodatif terhadap kebutuhan-kebutuhan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal yang selaras dengan konvensi-konvensi internasional, tanpa meninggalkan kepentingan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Dalam perspektif demikian masalah kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum akan dirasakan sebagai kebutuhan yang hanya dapat terwujud melalui harmonisasi sistem hukum.

B.  Harmonisasi Hukum Nasional dan Hukum Internasional di Bidang Penanaman Modal.
Sebagai bagian dari satu sistem hukum nasional, maka Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) bukanlah satu peraturan perundang-undangan yang berdiri sendiri atau sebagai Undang-Undang yang mampu untuk mengatur segala hal yang menyangkut pengaturan penanaman modal di Indonesia. UUPM tidak dapat dapat diberlakukan, apabila dipisahkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, demikian juga sebaliknya. Misalnya: UUPM. dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT), kedua UU tersebut merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan dalam pengaturan penanaman modal di Indonesia. Demikian juga hubungannya dengan ketentuan-ketentuan internasional yang menyangkut penanaman modal, merupakan hal yang harus diperhatikan.
Konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian internasional yang telah di ratifikasi oleh Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penyusunan dan pemberlakuan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini selain Indonesia lidak dapat memisahkan din dari globalisasi, juga karena dalam perdagangan dan mvestasi, Indonesia tidak dapat membuat peraturan yang lepas dan kepentingan negara-negara lain, utamanya yang berhubungan dengan Indonesia dan dunia internasional.
Pengkajian hukum dalam kaitan dengan pembaruan hukum yang diharmonisasikan dengan era globalisasi tersebut sesuai dengan prinsip globalisasi. Prinsip globalisasi menuntut negara-negara melakukan harmonisasi hukumnya sesuai dengan tuntutan era globalisasi dengan cara melakukan berbagai structural adjustment placies yang berupa serangkaian deregulasi, liberalisasi, debirokratisasi dan swastanisasi.
Sebagai negara berkembang, Indonesia sangat membutuhkan penanaman modal asing untuk mengolah potensi ekonomi dan sumber daya yang dimilikinya, dan Indonesia tidak mungkin menolak pengaruh dan ketentuan-ketentuan internasional, terutama di bidang perdagangan dan penanaman modal asing, namun pada sisi lain harus mampu membuat aturan-aturan yang tetap melindungi kepentingan nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi : “....dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”. kalimat yang sebagian dikutip dari Pembukaan HUD 1945, merupakan pegangan negara Indonesia untuk tetap tegak dalam melindungi kepentingan nasional yang selaras dengan ketentuan-ketentuan internasional.
Menurut Kindleberger, bahwa aspek yang paling sensitif dalam perekonomian internasional adalah aspek investasi langsung. Negara-negara Industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada dan negara-negara Eropa lainnya pada dasamya berusaha membatasi investasi asing langsung. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menekan neraca pembayaran, pengawasan terhadap sumber-sumber daya dalam negeri agar tidak sirna karena pemilikan asing dan lain-lain. Di Amerika, masih ada pandangan yang menyatakan bahwa penanaman modal yang dilakukan ke Amerika dianggap sebagai perusak kesempatan kerja dan meningkatkan tekanan atas penanaman modal di dalam negeri. Sementara itu, jika tindakan-tindakan proteksionis meningkat, maka Jepang akan terdesak, untuk menanam modal di negara-negara industri seperti Amerika dan untuk mempertahankan bagiannya dalam pasar di negara-negara industri tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kekhawatiran adanya investasi asing tidak saja dialami oleh negara-negara berkembang, tetapi negara-negara majupun juga mengkhawatirkannya. Amerika Serikat melakukan proteksi untuk melindungi produk-produk dalam negerinya. Indonesia pernah merasakan imbas proteksi Amerika Serikat pada akhir tahun 1990 an, khususnya di bidang tekstil.
Harmonisasi hukum nasional dan hukum internasional di bidang penanaman modal tidak dapat dilepaskan dari peran tiga organisasi ekonomi dunia yaitu World Trade organization (WTO), Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF). Tujuan World Trade Organization (WTO), adalah seperti termuat dalam Annex la) adalah meningkatkan standar hidup dan pendapatan, menciptakan lapangan kerja yang luas (full employment), memperluas produksi dan perdagangan serta memanfaatkan secara optimal sumber kekayaan dunia. Tujuan-tujuan tersebut kemudian memperkenalkan pemikiran pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan mengupayakan pembagian yang lebih merata bagi negara-negara berkembang dalam perdagangan internasional.
Peningkatan standar hidup dan pendapatan, menciptakan lapangan kerja yang luas, memperluas produksi dan perdagangan ini selaras dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UUPM. Konsiderans UUPM menyebutkan adanya pengembangan bagi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dan mempercepat pembangunan ekonomi melalui peningkatan penanaman modal yang kemudian dijabarkan dalam tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain:
  1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
  2. Menciptakan lapangan kerja;
  3. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
  4. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
  5. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;
  6. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;
  7. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan
  8. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat (pasal 3 ayat (2) uupm).

Sebagian harmonisasi hukum nasional (dalam hal ini UUPM) dengan WTO belum sepenuhnya terpenuhi, karena pemanfaatan secara optimal sumber daya alam dan pemikiran pembangunan berkelanjutan berkelanjutan (sustainable development) tidak ditemukan pengaturannya dalam UUPM. Untuk itu perlu dipikirkan Peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana UUPM untuk mengatur aspek pembangunan berkelanjutan dan pemanfaatan secara optimal sumber daya alam tersebut.
Peranan Bank Dunia di dalam mengembangkan aturan-aturan internasional mengenai penanaman modal juga cukup besar. Bank Dunia membantu penyelesaian sengketa mengenai penanaman modal dan di dalam memberikan jaminan bagi penanaman modal. Perjanjian multilateral pertama[12]  yang berhasil dibuat adalah the Convention on the Establishment of an International Centre for Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (ICSID). Konvensi mil berlangsung tanggal 14 Oktober 1966. ICSID mengatur prosedur penyelesaian sengketa penanaman modal. ICSID juga memiliki suatu daftar nama-nama orang yang berkualitas sebagai konsiliator atau arbitrator yang dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa.
Perjanjian multilateral kedua yang dibuat oleh Bank Dunia adalah the Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). Konvensi ini berlangsung pada tanggal 12 April 1988. Tujuan utama dari lembaga MIGA ini adalah untuk memberikan jaminan kepada investor terhadap risiko non ekonomis khususnya di Negara sedang berkembang. Disamping itu, MIGA berperan dalam menggalakkan aliran penanaman modal untuk tujuan-tujuan produktif ke Negara-negara sedang berkembang, bantuan teknik terutama untuk pembangunan infrastruktur.
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian multilateral yang dibuat oleh Bank Dunia tentang penyelesaian sengketa penanaman modal dan memberikan jaminan kepada investor terhadap risiko non ekonomis sudah selaras dengan UUPM karena sudah diatur di dalamnya. Pasal 32 UUPM mengatur tentang penyelesaian sengketa di bidang penanaman modal, baik antara Pemerintah dengan penanam modal asing terlebih dahulu dilakukan melalui musyawarah dan mufakat. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka dapat dilakukan melalui arbitrase internasional.
Jaminan kepada investor terhadap risiko non ekonomis telah diatur Pasal 7 UUPM, yang pada prinsipnya Pemerintah tidak akan melakukan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, apabila tindakan nasionalisasi dilakukan, Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Harga pasar adalah harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk para pihak.
Sejak tahun 1990-an, IMF telah memprioritaskan usahanya pertumbuhan ekonomi kepada negara-negara berkembang. Prioritas ini sudah selaras dengan UUPM, karena salah satu tujuan UUPM adalah pertumbuhan ekonomi. Deklarasi Bogor sebagai basil pertemuan APEC bulan Nopember 1994, para pemimpin Negara anggota APEC menyepakati sejumlah asas yang tidak mengikat dalam bidang penanaman modal (non binding investment principles), antara lain:
  1. Transperancy (keterbukaan);
  2. Nondiscriminacy between source economics (non diskriminasi antar sumber-sumber ekonomi);
  3. National treatment (perlakuan nasional);
  4. Investment intensives (rangsangan penanaman modal);
  5. Performance requirement (persyaratan kinerja) ;
  6. Dispute settlement (penyelesaian sengketa);
  7. Avoidance of double taxation (penghindaran pajak berganda);
  8. Investor behaviour (perilaku penanam modal);
  9. Removal of barriers to foreign capital (penghapusan rintangan modal asing);
  10. penyelesaian sengketa penanaman modal asing melalui arbitrase;

Prinsip-prinsip ini pada dasarnya tidak mengikat, namun apabila Prinsip-prinsip ini telah diadopsi oleh suatu Negara, maka prinsip-prinsip mi mempunyai kekuatan mengikat. Prinsip-prinsip ini tidak jauh berbeda dengan asas-asas yang diatur dalam UUPM. Pasal 3 ayat (1) UUPM menyatakan bahwa penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas:
  1. Kepastian hukum;
  2. Keterbukaan;
  3. Akuntabilitas;
  4. Perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara;
  5. Kebersamaan;
  6. Efisiensi berkeadilan;
  7. Berkelanjutan;
  8. Berwawasan lingkungan;
  9. Kemandirian; dan
  10. Keseimbangan kemajuan kesatuan ekonomi nasional.

Harmonisasi antara hukum nasional dan hukum internasional, dapat diselaraskan sebagai berikut:
  1. Perlindungan hukum dan kepastian hukum;
  2. Keterbukaan;
  3. Non diskriminasi;
  4. Kebersamaan;
  5. Fasilitas/insentif penanaman modal;
  6. Pemberlakuan nasional (national treatment);
  7. Persyaratan kinerja; dan
  8. Penyelesaian sengketa persyaratan kinerja.


C.  Prinsip-prinsip yang mendasari harmonisasi sistem hukum Indonesia dan sistem hukum internasional.
1.    Perlindungan Hukum dan Kepastian Hukum.
Jaminan terhadap perlindungan hukum dan kepastian hukum menjadi persyaratan pokok bagi para penanam modal yang akan menanamkan modalnya di negara lain dan hal ini menjadi salah satu pilar utama yang diatur dalam UUPM. Pengertian perlindungan hukum tidak dapat diketemukan pengertiannya dalam UUPM, namun maksud dan tujuannya baik secara eksplisit maupun implisit diatur didalamnya. Prinsip perlindungan hukum adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila.[14] Kepastian hukum adalah jaminan Pemerintah untuk menempatkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan utama dalam setiap tindakan dan kebijakan bagi penanaman modal. dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam penanaman modal (Penjelasan Pasal 14 huruf a UUPM). UUPM menyebutkan adanya kepastian hak dan kepastian perlindungan. Kepastian hak adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh hak sepanjang penanam modal telah melaksanakan kewajiban yang ditentukan. Pengertian kepastian perlindungan adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh perlindungan dalam melaksanakan kegiatan penanaman modal.
Jaminan terhadap perlindungan dan kepastian hukum akan menghindari penanam modal dari risiko, baik risiko komersial maupun non komersial, dalam melakukan penanaman modalnya di negara lain, terutama risiko politik yang dapat membawa kerugian besar bagi penanam modal. Risiko non komersial (risiko politik) dapat terjadi karena adanya ketidakpastian peraturan perundang-undangan untuk melindungi kepentingannya, perubahan-perubahan drastis di bidang usaha,  tekanan politik yang besar, perubahan kebijakan yang cukup mendasar, dan faktor keamanan dalam melakukan usahanya yang tidak optimal.
UUPM menjamm untuk adanya risiko non komersial (risiko politik) yang mungkin timbul di bidang usaha. Jaminan bahwa Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, dan apabila tindakan nansionalisasi dilakukan, maka Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar (Pasal 7 ayat (1) dan (2) UUPM). Perlindungan terhadap penanam modal asing secara konkrit dapat diberikan apabila penanaman modal asing tersebut dalam bentuk perseroan terbatas, yaitu apabila dilakukan tindakan nasionalisasi, maka perhitungan kompensasi terhadap hak kepemilikan penanaman modal akan mudah dilakukan, karena antara kekayaan pribadi dengan kekayaan perusahaan terpisah. Dengan demikian bentuk perseroan terbatas bagi penanaman modal asing dapat diartikan pula untuk menghindari risiko penanaman modal (termasuk risiko politik) akibat adanya tmdakan nasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah.
2.    Keterbukaan (Transperancy).
Keterbukaan (transperancy) merupakan salah satu asas yang diatur dalam UUPM dan juga menjadi pegangan/kesepakatan masyarakat internasional, khususnya di bidang penanaman modal. Asas ketemukaan adalah asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal. Asas ini tidak hanya diperuntukan untuk warga Negara Indonesia, tetapi juga untuk warga Negara asing yang menginginkan informasi tentang penanaman modal di Indonesia.
Untuk kegiatan penanaman modal, khususnya bidang-bidang usaha yang dapat dilakukan penanaman modal, maka UUPM telah mengatumya dalam Pasal 12 UUPM dan dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 jo Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 jo Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 jo Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan. Bidang-bidang usaha yang tidak dicantumkan dalam peraturan tersebut kepemilikan modalnya dapat dimiliki oleh penanam modal asing, penanam modal dalam negeri sebesar 100 %.
Bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal. bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.
Penentuan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan menggunakan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:
a.    penyederhanaan;
b.    kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen internasional;
c.    transparansi;
d.   kepastian hukum;
e.    kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar tunggal.
Prinsip penyederhanaan adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berlaku secara nasional dan bersifat sederhana serta terbatas pada bidang usaha yang terkait dengan kepentingan nasional sehingga merupakan bagian kecil dari keseluruhan ekonomi dan bagian kecil dari setiap sektor ekonomi. Pengertian sederhana ini masih kurang jelas, karena pengertian sederhana adalah sesuatu yang tidak terlalu rumit. Namun apabila dikaitkan dengan bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan, sebenarnya merupakan sesuatu yang prinsip untuk melindungi kepentingan nasional.
Prinsip kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen internasional adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan kewajiban Indonesia yang termuat dalam perjanjian atau komitmen internasional yang telah diratifikasi.
Prinsip transparansi adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan harus jelas, rinci, dapat diukur, dan tidak multi tafsir serta berdasarkan kriteria tertentu. Prinsip kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar tunggal adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan tidak menghambat kebebasan arus barang, jasa, modal, sumber daya manusia dan informasi di dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia.
Bidang-bidang usaha yang tertutup menurut Pasal 8 Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 Bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri ditetapkan dengan berdasarkan kriteria kesehatan, keselamatan, pertahanan dan keamanan, lingkungan hidup dan moral/ budaya (K3LM) dan kepentingan nasional lainnya. Pasal 8 ini secara tegas tidak membedakan antara penanam modal asing maupun penanam modal dalam negeri untuk dapat melakukan usahanya di bidang-bidang yang dinyatakan tertutup. Kepentingan nasional tetap lebih diutamakan, sehingga bidang-bidang usaha yang menyangkut K3LM tetap ditangani oleh Pemerintah. 



[3]  L.M. Gandhi. 2006. Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Specialis Suatu Masalah). Surabaya: JP Books. halaman 30.
[4]  Sunaryati Hartono. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni. halaman 74-75.
[5] L.M. Gandhi. Op. Cit. halaman 30.
[6] Bagir Manan. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum Di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media. halaman 237.
[7] Sunaryati Hartono. Op. Cit. halaman 74-75.
[8] M. Solly Lubis. 1992. Hukum Tata Negara. Bandung: Mandar Maju. halaman  9.
[9] Ibid.
[10] Jimly Asshidigie. 2006. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press. Halaman 16.
[11]  Ilmar Aminuddin. Op. Cit. halaman 63.
[12] Adolf Huala. 2004. Hukum Ekonomi Internasional, Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. halaman 36.
[13] Sembiring, Sentosa. 2007. Hukum Investasi, Pembahasan Dilengkapi Dengan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Jakarta: Nuansa Aulia. halaman  47.
[14]  M. Philippus Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan
Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara. Surabaya: Bina Ilmu. halaman 20.

0 komentar:

Posting Komentar