Rabu, 02 Juli 2014

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Sejarah Pemberlakuan Hukum Pertanahan Di Indonesia Pada Orde Lama
1.    Panitia Agraria Yogyakarta
Pada tahun 1948 sudah dimulai usaha kongkret untuk menyusun dasar – dasar hukum agraria yang baru, yang akan menggantikan hukum agraria warisan pemerintah jajahan, dengan pembentukan Panitia Agraria yang berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta. Panitia dibentuk dengan penetapan Presiden Republik Indonesia tanggal 21 Mei 1948 Nomor 16, diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo (Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri) dan beranggotakn pejabat-pejabat dari berbagai kementerian dan jawatan, anggota-anggota badan pekerja KNIP yang mewakili organisasi-organisasi tani dan daerah, ahli-ahli hukum adat dan wakil dari serikat buruh perkebunan. Panitia ini dikenal dengan panitia Agraria Yogyakarta.[11]
Panitia Jogja bertugas untuk:
  1. memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal hukum
  2. pemerintahan
  3. merancangkan dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria.
  4. Serta merancang perubahan, pergantian, pencatutan peraturan lama baik dari sudut legislatif baik dari sudut praktek yang menyelidiki soal-soal hukum tanah.

Panitia mengusulkan asas-asas yang akan merupakan dasar dari hukum agraria baru:
  1. Dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat.
  2. Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebabi hak tanggungan.
  3. Suapaya diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan-peraturan negara-negara lain, terutama negara-negara tetangga, sebelum menetukan apakah apakah orang-orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.
  4. Perlunya diadakan penepan luas minimum tanah untuk menghindarkan pauparisme diantara petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang patut sekalipun sederhana.
  5. Perlunya ada penetapan luas maksimum.
  6. Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak tanah.
  7. Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting (annex kadaster).

2.    Panitia Jakarta
Kemudian setelah negara RI sebagai negara Kesatuan Republik Indonesia maka berdasarkan Kepres tertanggal 19 Maret 1951 No. 36 tahun 1951 Panitia Yogya dibubarkan kemudian dibentuk “PANITIA JAKARTA” yang diketuai oleh “Sarimin Reksodiharjo” pada tahun 1953 yang pada saat itu berjabat sebagai pejabat politik. Panitia ini beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai kementrian, dan jawatan serta wakil-wakil dari organisasi tani. Pada tahun 1953 Sarimin Reksodiharjo digantikan oleh Singgih Praptodiharjo, karena Sarimin diangkat sebagai Gubernur di Nusa Tenggara.
Adapun usulan yang dapat diberikan dalam pembentukan agraria:
  1. mengadakan batasan minimal luas tanah yaitu 2 hektar.
  2. ditentukan luas batas adalah 25 hektar.
  3. yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil adalah warga negara asli dan warga negara bukan asli.
  4. Badan hukum tidak diberikan kesempatan untuk mengerjakan tanah pertanian, untuk pertanian kecil diterima bangunan hak milik, hak pakai, hak usaha.
  5. Hak ulayat disetujui untuk diatur atas kuasa UUD Dasar Pokok Agraria. Pada tanggal 29 Maret 1951 dikeluarkan Keppres No. 5/1955 yaitu dengan dibentuknya Kementrian agraria, dengan tugas : untuk mempersiapkan perundang-undangan agraria nasional dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Ketentuan UUD 1950.

3.    Panitia Soewahjo
Dengan dibentuknya Kementrian agraria nasional yang diketuai oleh Goenawan.  Nampak hasil pemerintah yang sungguh-sungguh untuk membentuk pembaharuan hukum agraria. Namun susunan dan cara kerjanya panitia ini tidak dapat diharapkan sebagaimana mestinya. Maka Kementrian Nasional dibubarkan sesuai dengan Keppres No. 1 tahun 1956 pada tanggal 14 Januari 1956 dan dibentuk Panitia Urusan Negara Agraria yang berkedudukan di Jakarta yang diketuai oleh Soewatijo Soemodilogo yang menjabat pada saat itu sebagai Sekjend Kementrian Agraria.- Panitia ini beranggotakan:
  1. Pejabat-pejabat dari berbagai kementrian dan jawatan
  2. Ahli-ahli hukum adat
  3. Wakil-wakil dari beberapa organisasi tani

Panitia ini bertugas : untuk mempersiapkan Rancangan Undang-undang Pokok Agraria dalam jangka waktu 1 tahun harus selesai pada tahun 1951. Ada beberapa hal pokok yang penting dalam RUUPA:
  1. dihapusnya azas domein dan diakuinya hak ulayat yang harus tunduk kepada kepentingan umum atau negara.
  2. Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara .
  3. Dualisme hukum agraria dihapuskan.
  4. hak-hak atas tanah, hak milik sebagai hak yang terkuat mempunyai fungsi
  5. sosial, hak usaha, hak bangunan dan hak pakai.
  6. hak milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang WNI tidak dibedakan warga negara asli atau warga negara tidak asli, serta badan hukum pada dasarnya tidak dibolehkan memiliki hak atas tanah.
  7. perlu diadakan penetapan batas minimum dan maksimum tanah yang boleh dipakai oleh Badan Hukum.
  8. tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan diusakan sendirian dan diusahakan oleh pemiliknya.
  9. perlu diadakan pendaftaran tanah dan rencana penggunaan tanah.


4.    Rancangan Soenarjo
Dengan adanya perubahan sistematik dan perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan “Panitia Soewahjo” tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada Dewan Menteri pada tanggal 14 Maret 1958. Rancangan undang-undang ini dikenal kemudiab sebagai “Rancangan Soenarjo”, disetujui oleh Dewan Menteri dalam sidangnya ke 94 pada tanggal 1 April 1958 dan kemudian diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan amanat Presiden tanggal 24 April 1958 Nomor 1307/HK.
Rancangan Soenarjo menggunakan lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang baik untuk hukum agraria yang baru, baik yang terdapat dalam hukum adat maupun hukum Barat, yang disesuaikan dengan kesadaran hukum rakyat dan kebutuhan dalam hubungan perekonomian. Sifat ketentuan dari hak-hak tertentu, dalam rancangan Soenarjo, dianggap telah merupakan suatu pengertian yang erat hubungannya dengan soal kepastian hukum, karenanya sangat diperhatikan.
Disebutkan dalam penjelasan umum bahwa rumusan mengenai hak miliknya mempersatukan ketentuan hak eigendom atas tanah (menurut hukum Barat) dan hak milik menurut hukum adat.

5.    Rancangan Sadjarwo
Setelah disesuaikan dengan UUD 1945 dan Pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959, dalam bentuk lebih sempurna dan lengkap diajukanlah Rancangan undang-Undang Pokok Agraria yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo sehingga dikenal sebagai “Rancangan Sadjarwo”.
Rancangan Soejarwo berbeda prinsipiil dari rancangan Soenarjo. Ia hanya menggunakan hukum adat sebagai dasar hukum agraria baru dan ia tidak mengoper pengertian-pengertian “hak kebendaan” dan “hak perorangan” yang tidak dikenal daam hukum adat, Rumusan bahwa hak milik, hak usaha dan hak bangunan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga “dari rancangan Soenarjo, diubah dengan sengaja dalam rancangan Sadjarwo menjadi hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, karena tidak berkehendak untuk memasukkannya pengertian-pengertian “hak kebendaan” dan “hak perorangan” ke dalam hukum agraria yang baru Sebagaimana disebut sebelumnya, peraturan mengenai redistribusi tanah telah diawali dengan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian. Secara historis, Orde Lama telah menempatkan landreformsebagai kebijakan revolusioner dalam pembangunan semestanya. Bahwa syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah antara lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan melaksanakan landreformmenurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. TAP MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan pada masa ini yaitu: anti penghisapan atas manusia oleh manusia (Iâ exploitation de Iâ homme per Iâ homme); kemandirian ekonomi; dan anti kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan landreform sebagai agenda pokoknya.
Demikian juga dari jumlah Peraturan Perundang-Undangan bidang Hukum Pertanahan Periode 1960-1966, sebagian besar dari keseluruhan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pada masa ini adalah tentang landreform dan pengurusan hak atas tanah.[12] Tampak jelas bahwa era pemerintahan ini meletakkan isu agraria sebagai pokok bidang yang harus segera diprioritaskan.Landreform sebagai bagian mutlak daripada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan sebagai alat penghisapan.
Menurut Utrecht, landreform merupakan strategi politik agraria yang dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama kepentingan para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan tanah.[13] Kepentingan dari dua golongan ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan, dimana terbentuk tiga golongan yaitu golongan radikal yang mengusulkan pembagian tanah berdasar prinsip “tanah bagi mereka yang benar-benar menggarapnya”. Sedangkan mereka yang memiliki tanah luas adalah telah melakukan penghisapan terhadap manusia lainnya. Golongan ini terdiri dari PKI, PNI dan Partai Murba. Golongan kedua adalah golongan konservatif yang terdiri dari Partai-partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari pendapat golongan ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai penghisapan. Sedangkan golongan ketiga adalah golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka menerima pendapat golongan radikal tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam golongan inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam perumusan Undang-Undang Pokok Agararia menjadi anggotanya.[14]
Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih (melebihi batas maksimum pemilikan) yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Tetapi ketiga program tersebut mengalami hambatan sebagaimana dikatakan oleh Sadjarwo bahwa kelemahan administrasi yang tidak sempurna yang menyulitkan redistribusi tanah; dan kurangnya dukungan baik itu dari rakyat, organisasi petani, organisasi politik, tokoh-tokoh dan panitia landreform sendiri. Hal ini kemudian menyebabknan terjadinya aksi sepihak, baik itu oleh petani yang lapar tanah maupun tuan tanah.Akibat banyaknya aksi sepihak ini, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform.
Sehingga dapat dikatakan bahwa program landreform sebagai awalan pelaksanaan tujuan tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan. Hal itu karena:
  1. Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam pelaksanaan Hak Menguasai Negara;
  2. Tuntutan organisasi dan massa petani yang ingin meredistribusikan tanah secara segera sehingga kemudian timbul aksi sepihak;
  3. Unsur-unsur anti landreform yang melakukan berbagai mobilisasi kekuatan tanding dan siasat mengelak dari dan untuk menggagalkanlandreform;
  4. Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua pihak yaitu yang pro dan kontralandreform. Konflik ini bahkan memuncak dan menimbulkan konflik yang lebih besar di dalam konflik elite politik yang berujung pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan jatuhnya rezim Orde Lama.

Akan halnya hasil dari program landreform masa ini—menurut Utrecht—adalah diredistribusikannya sekitar 450.000 hektar, yaitu sejak program ini dicanangkan pertama kalinya hingga akhir tahun 1964. Perinciannya adalah tahap I sejumlah 296.566 hektar dan tahap II sejumlah 152.502 hektar karena tahap II ini belum selesai. Pembagian ini terutama baru dilaksanakan di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan tanah kelebihan yang telah ditentukan adalah 337.445 hektar.

B.  Sejarah pemberlakuan hukum pertanahan di Indonesia Pada Orde Baru
Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Soeharto ini memfokuskan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan memulai kebijakan pembangunan ekonominya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber daya alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi) perusahaan asing pada tahun 1967 yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh pemerintahan Soekarno pada tahun 1958. Hal ini dengan alasan kondisi perekonomian yang kritis dan defisit sebagai peninggalan Orde Lama. Bahkan sebelumnya dilakukan negosiasi penjadwalan ulang atas utang-utang luar negeri sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman baru.[19]
Stigma “PKI” atau subversif sering dicapkan kepada orang-orang atau organisasi-organisasi yang tidak se-ide dengan rezim ini sehingga terjadi pembekuan gerakan-gerakan revolusioner. Sebagaimana landreform yang merupakan salah satu kebijakan Orde Lama yang populis, dianggap sebagai produk PKI sehingga dihentikan secara total. Bahkan perebutan kembali tanah-tanah yang semula dientukan sebagai tanah kelebihan dan karenanya menjadi objek redistribusi tanah dilakukan oleh sejumlah tuan tanah.
Kebijakan landreform pada masa ini hanya sebagai masalah tehnis, atau sebagai program rutin birokrasi pembangunan. Rezim ini menghapus peraturan perundang-undangan yang menjadi pokok landreform, terutama dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 yang menghapus Undang-Undang tentang Pengadilan Landreform dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil yang secara sosiologis tidak diberlakukan pada era ini.
Konsepsi hukum agraria Orde Lama yang cenderung populis sebagaimana dalam Undang-Undang Pokok Agararia, diganti dengan konsepsi yang berorientasi pada pembangunan ekonomi. Landreform yang menjadi program pokok Orde Lama dalam pemerataan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi terabaikan. Kebijakan pertanahan Orde Baru lebih ditujukan pada pemusatan penguasaan atas tanah dan pembangunan ekonomi yaitu dengan peningkatan produksi pertanian sehingga tercapai swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan bahkan ekspor hasil pertanian ke sejumlah negara lain.
Dari data yang diperoleh pada Sensus Pertanian yang dilakukan tahun 1993, didapatkan data penguasaan tanah pertanian sebagai berikut: (1) 22, 41% dari 19.713.806 rumah tangga tani hanya menguasai tanah seluas 0,25 sampai 0,49 hektar lahan pertanian; (2) 48,61% memguasai lahan lebih dari 0,5 hektar. Tetapi terdapat perincian yang menunjukkan ketimpangan yang tajam dalam penguasaan dan pemilikan tanah pertanian tersebut, yaitu: (1) 8.726.343 atau 48,54% dari keseluruhan rumah tangga tani hanya menguasai 13,6% dari keseluruhan lahan pertanian; (2) 217.720 atau 1,21% dari keseluruhan rumah tangga tani menguasai 1.457.477,46 hektar atau 9,44% dari keseluruhan lahan pertanian yang ada. Dari data tersebut, berarti kelompok pertama hanya menguasai lahan pertanian rata-rata seluas 0,24 hektar, sedangkan kelompok kedua rata-rata penguasaannya adalah sekitar 22,174 hektar. Data tersebut menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah pada rezim ini yang didominasi oleh para pemilik modal. Demikian juga dalam hal penguasaan akan hutan dan sumber daya agraria lainnya.
Selain itu, dalam hal pendaftaran tanah, rezim ini juga kemudian mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak merupakan agenda Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda dengan produk Orde Lama yang bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan tanah melalui landreform, produk hukum Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini adalah demi yang disebut kepastian hukum dari pemilikan hak atas tanah melalui sertifikat.
Perbedaan lainnya adalah jika Undang-Undang Pokok Agararia dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 lebih mendasarkan pada pendaftaran tanah dengan stelsel negatif. Bahwa apa-apa yang terdaftar tidak secara otomatis dan mutlak menjamin kebenaran akan pemilikan tanah. Sebaliknya dalam stelsel positif, apa-apa yang terdaftar merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Dalam stelsel negatif, orang yang sebenarnya berhak atas tanah dapat mengajukan gugatan pada pengadilan atas tanah miliknya meskipun tanah tersebut telah didaftarkan sebagai hak orang lain. Dalam peraturan yang baru disebutkan bahwa masih digunakan stelsel negatif sesuai dengan UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA. Tapi diakomodir juga stelsel positif, yang diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan kebenaran dari data yang terdaftar itu.
Ketika ini dikaitkan dengan LAP (Proyek Administrasi Pertanahan) yang mengatakan: ...permasalahan tanah selama ini terletak pada sistem administrasi yang pluralistik yang dimiliki masyarakat adat... terlihat bahwa peraturan ini bertujuan untuk menciptakan homogenitas administrasi pertanahan akan memudahkan kepentingan bisnis untuk memperoleh tanah yang selama ini dimiliki masyarakat adat secara komunal. Dan inilah yang kemudian dinilai banyak pihak semakin mengeliminir keberadaan tanah ulayat.
Hasil redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998 adalah dari 1.397.167 hektar yang menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah 787.931 hektar (56,4%) yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah tangga tani.
2.    
3.   Pemberlakuan Hukum Pertanahan Di Indonesia Pada Orde Reformasi
Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin menguat, dan dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan agraria juga menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap Undang-Undang Pokok Agararia. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agraria) dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-peraturan sebelumnya.
Landreform kembali masuk dalam program penting pembaruan agraria, yaitu disebutkan dalam pasal 5 TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan agraria adalah:
1.    melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah oleh rakyat;
2.    menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sisematis dalam rangka pelaksanaanlandreform.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, redistribusi tanah pun kembali diagendakan. Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja.



[11] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999, hlm. 4 dst.
[12] Perinciannya adalah sebagai berikut: Land Reform terdiri dari 4 Undang-Undang, 2 Peraturan Pemerintah, 3 Keputusan Presiden, 10 Peraturan Menteri, 12 Keputusan Menteri, 9 Surat Edaran Menteri (40 peraturan); dan tentang Pengurusan Hak Tanah terdiri dari 1 Undang-Undang, 3 Peraturan Pemerintah, 2 Keputusan Presiden, 1 Instruksi Presiden, 4 Peraturan Menteri, 10 Keputusan Menteri, 7 Surat Edaran Menteri (28 peraturan), dari keseluruhan yang berjumlah 92 peraturan. Lihat dalam Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hlm. 2006, 185.
[13] Noer Fauzi, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia, kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 141.
[14] Ibid.
[15] Noer Fauzi, Op. Cit., hlm. 143-144.
[16] Terjadinya aksi sepihak, baik itu dalam arti aksi sepihak yang dilakukan oleh petani (di bawah naungan BTI) maupun oleh tuan tanah karena keduanya sama-sama tidak memperhatikan prosedur normal landreform.
[17] Noer Fauzi, Op. Cit., hlm. 124.
[18] Ibid., hlm. 147.
[19] Rikardo Simarmata, Op. Cit., hlm. 64-65.
[20] Biro Pusat Statistik 1993.
[21] Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi revisi, Kompas, Jakarta, 2001, hlm. 51 .
[22] Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30 Januari 2007

0 komentar:

Posting Komentar