BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pemberlakuan Hukum Pertanahan Di
Indonesia Pada Orde Lama
1. Panitia Agraria Yogyakarta
Pada
tahun 1948 sudah dimulai usaha kongkret untuk menyusun dasar – dasar hukum
agraria yang baru, yang akan menggantikan hukum agraria warisan pemerintah
jajahan, dengan pembentukan Panitia Agraria yang berkedudukan di Ibukota
Republik Indonesia, Yogyakarta. Panitia dibentuk dengan penetapan Presiden
Republik Indonesia tanggal 21 Mei 1948 Nomor 16, diketuai oleh Sarimin
Reksodihardjo (Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri) dan beranggotakn
pejabat-pejabat dari berbagai kementerian dan jawatan, anggota-anggota badan
pekerja KNIP yang mewakili organisasi-organisasi tani dan daerah, ahli-ahli
hukum adat dan wakil dari serikat buruh perkebunan. Panitia ini dikenal dengan
panitia Agraria Yogyakarta.[11]
Panitia
Jogja bertugas untuk:
- memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal hukum
- pemerintahan
- merancangkan dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria.
- Serta merancang perubahan, pergantian, pencatutan peraturan lama baik dari sudut legislatif baik dari sudut praktek yang menyelidiki soal-soal hukum tanah.
Panitia
mengusulkan asas-asas yang akan merupakan dasar dari hukum agraria baru:
- Dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat.
- Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebabi hak tanggungan.
- Suapaya diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan-peraturan negara-negara lain, terutama negara-negara tetangga, sebelum menetukan apakah apakah orang-orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.
- Perlunya diadakan penepan luas minimum tanah untuk menghindarkan pauparisme diantara petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang patut sekalipun sederhana.
- Perlunya ada penetapan luas maksimum.
- Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak tanah.
- Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting (annex kadaster).
2.
Panitia
Jakarta
Kemudian
setelah negara RI sebagai negara Kesatuan Republik Indonesia maka berdasarkan
Kepres tertanggal 19 Maret 1951 No. 36 tahun 1951 Panitia Yogya dibubarkan
kemudian dibentuk “PANITIA JAKARTA” yang diketuai oleh “Sarimin Reksodiharjo”
pada tahun 1953 yang pada saat itu berjabat sebagai pejabat politik. Panitia
ini beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai kementrian, dan jawatan serta
wakil-wakil dari organisasi tani. Pada tahun 1953 Sarimin Reksodiharjo
digantikan oleh Singgih Praptodiharjo, karena Sarimin diangkat sebagai Gubernur
di Nusa Tenggara.
Adapun
usulan yang dapat diberikan dalam pembentukan agraria:
- mengadakan batasan minimal luas tanah yaitu 2 hektar.
- ditentukan luas batas adalah 25 hektar.
- yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil adalah warga negara asli dan warga negara bukan asli.
- Badan hukum tidak diberikan kesempatan untuk mengerjakan tanah pertanian, untuk pertanian kecil diterima bangunan hak milik, hak pakai, hak usaha.
- Hak ulayat disetujui untuk diatur atas kuasa UUD Dasar Pokok Agraria. Pada tanggal 29 Maret 1951 dikeluarkan Keppres No. 5/1955 yaitu dengan dibentuknya Kementrian agraria, dengan tugas : untuk mempersiapkan perundang-undangan agraria nasional dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Ketentuan UUD 1950.
3.
Panitia
Soewahjo
Dengan
dibentuknya Kementrian agraria nasional yang diketuai oleh
Goenawan. Nampak hasil pemerintah yang sungguh-sungguh untuk
membentuk pembaharuan hukum agraria. Namun susunan dan cara kerjanya panitia
ini tidak dapat diharapkan sebagaimana mestinya. Maka Kementrian Nasional
dibubarkan sesuai dengan Keppres No. 1 tahun 1956 pada tanggal 14 Januari 1956
dan dibentuk Panitia Urusan Negara Agraria yang berkedudukan di Jakarta yang
diketuai oleh Soewatijo Soemodilogo yang menjabat pada saat itu sebagai Sekjend
Kementrian Agraria.- Panitia ini beranggotakan:
- Pejabat-pejabat dari berbagai kementrian dan jawatan
- Ahli-ahli hukum adat
- Wakil-wakil dari beberapa organisasi tani
Panitia
ini bertugas : untuk mempersiapkan Rancangan Undang-undang Pokok Agraria dalam
jangka waktu 1 tahun harus selesai pada tahun 1951. Ada beberapa hal pokok yang
penting dalam RUUPA:
- dihapusnya azas domein dan diakuinya hak ulayat yang harus tunduk kepada kepentingan umum atau negara.
- Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara .
- Dualisme hukum agraria dihapuskan.
- hak-hak atas tanah, hak milik sebagai hak yang terkuat mempunyai fungsi
- sosial, hak usaha, hak bangunan dan hak pakai.
- hak milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang WNI tidak dibedakan warga negara asli atau warga negara tidak asli, serta badan hukum pada dasarnya tidak dibolehkan memiliki hak atas tanah.
- perlu diadakan penetapan batas minimum dan maksimum tanah yang boleh dipakai oleh Badan Hukum.
- tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan diusakan sendirian dan diusahakan oleh pemiliknya.
- perlu diadakan pendaftaran tanah dan rencana penggunaan tanah.
4.
Rancangan
Soenarjo
Dengan
adanya perubahan sistematik dan perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan
“Panitia Soewahjo” tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada Dewan
Menteri pada tanggal 14 Maret 1958. Rancangan undang-undang ini dikenal
kemudiab sebagai “Rancangan Soenarjo”, disetujui oleh Dewan Menteri dalam
sidangnya ke 94 pada tanggal 1 April 1958 dan kemudian diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dengan amanat Presiden tanggal 24 April 1958 Nomor 1307/HK.
Rancangan
Soenarjo menggunakan lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang baik untuk hukum
agraria yang baru, baik yang terdapat dalam hukum adat maupun hukum Barat, yang
disesuaikan dengan kesadaran hukum rakyat dan kebutuhan dalam hubungan
perekonomian. Sifat ketentuan dari hak-hak tertentu, dalam rancangan Soenarjo,
dianggap telah merupakan suatu pengertian yang erat hubungannya dengan soal
kepastian hukum, karenanya sangat diperhatikan.
Disebutkan
dalam penjelasan umum bahwa rumusan mengenai hak miliknya mempersatukan
ketentuan hak eigendom atas tanah (menurut hukum Barat) dan hak milik menurut
hukum adat.
5. Rancangan Sadjarwo
Setelah
disesuaikan dengan UUD 1945 dan Pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17
Agustus 1959, dalam bentuk lebih sempurna dan lengkap diajukanlah Rancangan
undang-Undang Pokok Agraria yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo sehingga
dikenal sebagai “Rancangan Sadjarwo”.
Rancangan
Soejarwo berbeda prinsipiil dari rancangan Soenarjo. Ia hanya menggunakan hukum
adat sebagai dasar hukum agraria baru dan ia tidak mengoper
pengertian-pengertian “hak kebendaan” dan “hak perorangan” yang tidak dikenal
daam hukum adat, Rumusan bahwa hak milik, hak usaha dan hak bangunan dapat
dipertahankan terhadap siapapun juga “dari rancangan Soenarjo, diubah dengan
sengaja dalam rancangan Sadjarwo menjadi hak milik, hak guna usaha dan hak guna
bangunan, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, karena tidak
berkehendak untuk memasukkannya pengertian-pengertian “hak kebendaan” dan “hak
perorangan” ke dalam hukum agraria yang baru Sebagaimana disebut sebelumnya,
peraturan mengenai redistribusi tanah telah diawali dengan Undang-Undang Nomor
56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian. Secara historis, Orde Lama
telah menempatkan landreformsebagai kebijakan revolusioner dalam
pembangunan semestanya. Bahwa syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian
adalah antara lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya
dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan
melaksanakan landreformmenurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya
meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan
industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. TAP MPRS RI Nomor
II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan
pada masa ini yaitu: anti penghisapan atas manusia oleh manusia (Iâ
exploitation de Iâ homme per Iâ homme); kemandirian ekonomi; dan anti
kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme
dengan landreform sebagai agenda pokoknya.
Demikian
juga dari jumlah Peraturan Perundang-Undangan bidang Hukum Pertanahan Periode
1960-1966, sebagian besar dari keseluruhan peraturan perundang-undangan yang
diterbitkan pada masa ini adalah tentang landreform dan pengurusan
hak atas tanah.[12]
Tampak jelas bahwa era pemerintahan ini meletakkan isu agraria sebagai pokok
bidang yang harus segera diprioritaskan.Landreform sebagai bagian mutlak
daripada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan
prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan sebagai alat
penghisapan.
Menurut
Utrecht, landreform merupakan strategi politik agraria yang
dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama kepentingan
para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan tanah.[13]
Kepentingan dari dua golongan ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan,
dimana terbentuk tiga golongan yaitu golongan radikal yang mengusulkan
pembagian tanah berdasar prinsip “tanah bagi mereka yang benar-benar
menggarapnya”. Sedangkan mereka yang memiliki tanah luas adalah telah melakukan
penghisapan terhadap manusia lainnya. Golongan ini terdiri dari PKI, PNI dan
Partai Murba. Golongan kedua adalah golongan konservatif yang terdiri dari
Partai-partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari pendapat golongan ini adalah
penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah dan tuduhan
pemilikan tanah luas sebagai penghisapan. Sedangkan golongan ketiga adalah
golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka menerima
pendapat golongan radikal tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam golongan
inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam
perumusan Undang-Undang Pokok Agararia menjadi anggotanya.[14]
Pelaksanaan
program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasar Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum
tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih
(melebihi batas maksimum pemilikan) yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada
sebanyak mungkin petani tidak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Tetapi
ketiga program tersebut mengalami hambatan sebagaimana dikatakan oleh Sadjarwo
bahwa kelemahan administrasi yang tidak sempurna yang menyulitkan redistribusi
tanah; dan kurangnya dukungan baik itu dari rakyat, organisasi petani,
organisasi politik, tokoh-tokoh dan panitia landreform sendiri. Hal
ini kemudian menyebabknan terjadinya aksi sepihak, baik itu oleh petani yang
lapar tanah maupun tuan tanah.Akibat banyaknya aksi sepihak ini, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun
1964 tentang Pengadilan Landreform.
Sehingga
dapat dikatakan bahwa program landreform sebagai awalan pelaksanaan
tujuan tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan. Hal itu karena:
- Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam pelaksanaan Hak Menguasai Negara;
- Tuntutan organisasi dan massa petani yang ingin meredistribusikan tanah secara segera sehingga kemudian timbul aksi sepihak;
- Unsur-unsur anti landreform yang melakukan berbagai mobilisasi kekuatan tanding dan siasat mengelak dari dan untuk menggagalkanlandreform;
- Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua pihak yaitu yang pro dan kontralandreform. Konflik ini bahkan memuncak dan menimbulkan konflik yang lebih besar di dalam konflik elite politik yang berujung pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan jatuhnya rezim Orde Lama.
Akan
halnya hasil dari program landreform masa ini—menurut Utrecht—adalah
diredistribusikannya sekitar 450.000 hektar, yaitu sejak program ini dicanangkan pertama kalinya hingga akhir tahun 1964.
Perinciannya adalah tahap I sejumlah 296.566 hektar dan tahap II sejumlah
152.502 hektar karena tahap II ini belum selesai. Pembagian ini terutama baru
dilaksanakan di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan tanah
kelebihan yang telah ditentukan adalah 337.445 hektar.
B.
Sejarah pemberlakuan hukum pertanahan di Indonesia Pada Orde Baru
Berbeda
dengan Orde Lama, pemerintahan Soeharto ini memfokuskan pembangunan pada pertumbuhan
ekonomi, dan memulai kebijakan pembangunan ekonominya dengan mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing untuk menarik
investasi asing dalam pengelolaan sumber daya alam. Terjadi denasionalisasi
(privatisasi) perusahaan asing pada tahun 1967 yang sebelumnya telah
dinasionalisasi oleh pemerintahan Soekarno pada tahun 1958. Hal ini dengan
alasan kondisi perekonomian yang kritis dan defisit sebagai peninggalan Orde
Lama. Bahkan sebelumnya dilakukan negosiasi penjadwalan ulang atas utang-utang
luar negeri sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman baru.[19]
Stigma
“PKI” atau subversif sering dicapkan kepada orang-orang atau
organisasi-organisasi yang tidak se-ide dengan rezim ini sehingga terjadi
pembekuan gerakan-gerakan revolusioner.
Sebagaimana landreform yang merupakan salah satu kebijakan Orde Lama
yang populis, dianggap sebagai produk PKI sehingga dihentikan secara total.
Bahkan perebutan kembali tanah-tanah yang semula dientukan sebagai tanah
kelebihan dan karenanya menjadi objek redistribusi tanah dilakukan oleh
sejumlah tuan tanah.
Kebijakan landreform pada
masa ini hanya sebagai masalah tehnis, atau sebagai program rutin birokrasi
pembangunan. Rezim ini menghapus peraturan perundang-undangan yang menjadi
pokok landreform, terutama dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970
yang menghapus Undang-Undang tentang Pengadilan Landreform dan
Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil yang secara sosiologis tidak diberlakukan
pada era ini.
Konsepsi
hukum agraria Orde Lama yang cenderung populis sebagaimana dalam Undang-Undang
Pokok Agararia, diganti dengan konsepsi yang berorientasi pada pembangunan
ekonomi. Landreform yang menjadi program pokok Orde Lama dalam
pemerataan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi terabaikan.
Kebijakan pertanahan Orde Baru lebih ditujukan pada pemusatan penguasaan atas
tanah dan pembangunan ekonomi yaitu dengan peningkatan produksi pertanian
sehingga tercapai swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan bahkan ekspor
hasil pertanian ke sejumlah negara lain.
Dari
data yang diperoleh pada Sensus Pertanian yang dilakukan tahun 1993, didapatkan
data penguasaan tanah pertanian sebagai berikut: (1) 22, 41% dari 19.713.806
rumah tangga tani hanya menguasai tanah seluas 0,25 sampai 0,49 hektar lahan
pertanian; (2) 48,61% memguasai lahan lebih dari 0,5 hektar. Tetapi terdapat
perincian yang menunjukkan ketimpangan yang tajam dalam penguasaan dan
pemilikan tanah pertanian tersebut, yaitu: (1) 8.726.343 atau 48,54% dari
keseluruhan rumah tangga tani hanya menguasai 13,6% dari keseluruhan lahan
pertanian; (2) 217.720 atau 1,21% dari keseluruhan rumah tangga tani menguasai
1.457.477,46 hektar atau 9,44% dari keseluruhan lahan pertanian yang ada. Dari
data tersebut, berarti kelompok pertama hanya menguasai lahan pertanian
rata-rata seluas 0,24 hektar, sedangkan kelompok kedua rata-rata penguasaannya
adalah sekitar 22,174 hektar. Data tersebut menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah pada rezim ini yang
didominasi oleh para pemilik modal. Demikian juga dalam hal penguasaan akan
hutan dan sumber daya agraria lainnya.
Selain
itu, dalam hal pendaftaran tanah, rezim ini juga kemudian mengganti Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak merupakan agenda Bank
Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda dengan produk
Orde Lama yang bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan tanah
melalui landreform, produk hukum Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini
adalah demi yang disebut kepastian hukum dari pemilikan hak atas tanah melalui
sertifikat.
Perbedaan
lainnya adalah jika Undang-Undang Pokok Agararia dan Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961 lebih mendasarkan pada pendaftaran tanah dengan stelsel negatif.
Bahwa apa-apa yang terdaftar tidak secara otomatis dan mutlak menjamin
kebenaran akan pemilikan tanah. Sebaliknya dalam stelsel positif, apa-apa yang
terdaftar merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Dalam stelsel negatif, orang
yang sebenarnya berhak atas tanah dapat mengajukan gugatan pada pengadilan atas
tanah miliknya meskipun tanah tersebut telah didaftarkan sebagai hak orang
lain. Dalam peraturan yang baru disebutkan bahwa masih digunakan stelsel
negatif sesuai dengan UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA. Tapi diakomodir juga stelsel
positif, yang diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan kebenaran dari data
yang terdaftar itu.
Ketika
ini dikaitkan dengan LAP (Proyek Administrasi Pertanahan) yang mengatakan:
...permasalahan tanah selama ini terletak pada sistem administrasi yang
pluralistik yang dimiliki masyarakat adat... terlihat bahwa peraturan ini
bertujuan untuk menciptakan homogenitas administrasi pertanahan akan memudahkan
kepentingan bisnis untuk memperoleh tanah yang selama ini dimiliki masyarakat
adat secara komunal. Dan inilah yang kemudian dinilai banyak pihak semakin
mengeliminir keberadaan tanah ulayat.
Hasil
redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998 adalah dari 1.397.167 hektar
yang menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah 787.931
hektar (56,4%) yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah tangga tani.
2.
3. Pemberlakuan Hukum Pertanahan Di Indonesia
Pada Orde Reformasi
Seiring
dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin menguat, dan
dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan agraria juga
menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang
merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap Undang-Undang
Pokok Agararia. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan
sumber daya alam (agraria) dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi
pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah
maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-peraturan
sebelumnya.
Landreform kembali
masuk dalam program penting pembaruan agraria, yaitu disebutkan dalam pasal 5
TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan agraria
adalah:
1. melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah oleh rakyat;
2. menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan
registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara
komprehensif dan sisematis dalam rangka pelaksanaanlandreform.
Selanjutnya
pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, redistribusi tanah pun kembali
diagendakan. Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar lahan ini
akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar
lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan
kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah
yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa,
Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan
produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya
habis, maupun tanah bekas swapraja.
[11] Boedi
Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999, hlm. 4 dst.
[12]
Perinciannya
adalah sebagai berikut: Land Reform terdiri dari 4 Undang-Undang, 2
Peraturan Pemerintah, 3 Keputusan Presiden, 10 Peraturan Menteri, 12 Keputusan
Menteri, 9 Surat Edaran Menteri (40 peraturan); dan tentang Pengurusan Hak
Tanah terdiri dari 1 Undang-Undang, 3 Peraturan Pemerintah, 2 Keputusan
Presiden, 1 Instruksi Presiden, 4 Peraturan Menteri, 10 Keputusan Menteri, 7
Surat Edaran Menteri (28 peraturan), dari keseluruhan yang berjumlah 92
peraturan. Lihat dalam Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan
Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi pada Program Doktor Ilmu
Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hlm. 2006, 185.
[13]
Noer
Fauzi, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di
Indonesia, kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999,
hlm. 141.
[14]
Ibid.
[15]
Noer
Fauzi, Op. Cit., hlm. 143-144.
[16]
Terjadinya
aksi sepihak, baik itu dalam arti aksi sepihak yang dilakukan oleh petani (di
bawah naungan BTI) maupun oleh tuan tanah karena keduanya sama-sama tidak
memperhatikan prosedur normal landreform.
[17]
Noer
Fauzi, Op. Cit., hlm. 124.
[18]
Ibid.,
hlm. 147.
[19]
Rikardo Simarmata, Op.
Cit., hlm. 64-65.
[20]
Biro
Pusat Statistik 1993.
[21]
Maria SW
Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi
revisi, Kompas, Jakarta, 2001, hlm. 51 .
[22]
Pembagian
Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30 Januari 2007
0 komentar:
Posting Komentar