BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah
satu hasil karya anak bangsa terbaik, paling monumental, sekaligus
revolusioner, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria
(Undang-Undang Pokok Agararia) merupakan Undang-Undang yang pertama kalinya
memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.[1]
Inilah dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok
Agraria (Undang-Undang Pokok Agararia). Dua hal pokok dari pasal ini adalah
sejak awal telah diterima bahwa Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya
alam sebagai alat produksi, dan pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penghubungan keduanya bersifat saling berkait
sehingga penerapan yang satu tidak mengabaikan yang lain.
Setelah
proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Pokok Agararia yang berlangsung
beberapa lama, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria saat itu mengucapkan pidato
pengantarnya. Dikatakan dengan jelas bahwa:
“...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat
dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari
cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat
tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan
pemerasan kaum modal asing...”.
Semangat
untuk mengisi stelsel negara baru pasca kemerdekaan ini dipengaruhi oleh
dinamika dari pelbagai ideologi dan kekuatan sosial-politik yang memberi
sumbangan dalam pergerakan anti kolonialisme.[3]
Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan:[4]
“...yang sangat dipentingkan pada saat itu memang bukan
resultat-resultat hukum perundang-undangan yang dibuat. Dalam suasana Demokrasi
Terpimpin yang hendak lebih ditegaskan dan diungkapkan pada waktu itu adalah
kerevolusineran tekad untuk menolak pikiran-pikiran yang berasal dari
negeri-negeri liberal kapitalis yang dituduh akan meracuni jiwa bangsa...”.
Semangat
menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah menyebabkan
terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation de l’homme par
l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang
dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi
landasan ideologis dan filosofis pembentukan Undang-Undang Pokok Agararia.
Dalam
Penjelasan Umumnya, dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya
Undang-Undang Pokok Agararia adalah:[5]
- Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
- Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
- Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Hal
penting lainnya adalah bahwa Undang-Undang Pokok Agararia sebenarnya tidak
lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan
struktur agraria saat itu. Paket peraturan
perundang-undanganlandreform ini telah dimulai dengan Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang dikeluarkan untuk mengawasi
adat tentang praktek bagi hasil.[6]
Ini bertujuan menegakkan keadilan dalam hubungan pemilik tanah yang tidak dapat
mengerjakan tanahnya sendiri, dengan penggarap. Perlindungan ini terutama
ditujukan kepada penggarap yang umumnya secara ekonomis lebih lemah sekaligus
memacunya untuk menambah produksi.[7]
Demikian juga Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah
pertanian.
Salah
satu konsepsi terpenting dalam Undang-Undang Pokok Agararia yang kemudian
mendasari berbagai peraturan lainnya adalah Hak Menguasai Negara dan fungsi
sosial hak atas tanah. Berikut ini diuraikan secara umum tentang kedua asas
terpenting ini.
1. Hak Menguasai Negara
Ini
dirumuskan untuk pertama kalinya secara formal dalam Undang-Undang Pokok
Agararia 1960 dengan memberi wewenang kepada Negara untuk:[8]
- mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
- menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
- menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Kewenangan
HMN tersebut dipahami dalam kerangka hubungan antara negara dengan bumi, air
dan kekayaan alam di dalamnya sebagai hubungan penguasaan, bukan hubungan
pemilikan seperti di negara Barat maupun di negara –negara komunis. Negara
dalam hal ini sebagai Badan Penguasa yang pada tingkatan tertinggi berwenang
mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur
hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai penerima
kuasa, maka negara harus mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat sebagai
pemberi kuasa.[9]
Dengan ini AP. Parlindungan menyebutnya sebagai hak rakyat pada tingkat Negara.[10]
Prof.
Maria SW Sumardjono mengatakan bahwa kewenangan negara ini harus dibatasi dua
hal: pertama, oleh UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh
berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Peraturan
yang bias terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain
adalah salah satu bentuk pelanggaran tersebut. Seseorang yang melepas haknya
harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanan
tersebut. Kedua, pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang
dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan kewenangan ini tidak dapat didelegasikan
kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi
pelayanan. Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat
akan menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan.
2. Fungsi Sosial Hak atas Tanah
Dianutnya
prinsip fungsi sosial dalam Undang-Undang Pokok Agararia tidak lepas dari
konteks landreform yang menjadi agenda pokok saat itu. Agar tidak
terjadi akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir orang, dimasukkan unsur
masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaannya. Sehingga dalam hak individu
ada hak kebersamaan. Negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum
dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, karena itu lahirlah
peraturanlandreform. Pengaturan batas pemilikan atas tanah oleh perseorangan
dilakukan sehingga pemilikan itu hanya dihubungkan dengan usaha mencari nafkah
dan penghidupan yang layak, atau hanya digunakan untuk pemukiman, pertanian dan
perindustrian rumah.
B. Perumusan Masalah
- Bagaimana sejarah pemberlakuan hukum pertanahan di Indonesia Pada Orde Lama?
- Bagaimana sejarah pemberlakuan hukum pertanahan di Indonesia Pada Orde Baru?
- Bagaimana sejarah pemberlakuan hukum pertanahan di Indonesia Pada Orde Reformasi?
C. Mekanisme Proses
Data yang
sudah dikumpulkan dalam tulisan ini sebelum
dianalisis, terlebih dahulu data yang diperoleh dikumpulkan, dikualifikasi
sesuai dengan kelompok pembahasan, dianalisis secara mendalam selanjutnya hasil analisis dideskripsikan kemudian
disimpulkan secara deduktif yang merupakan jawaban dari perumusan masalah yang diteliti sesuai dengan tujuan penulisan tersebut.
D. Manfaat Secara Praktis/Ilmiah
Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis dan
praktis, yaitu:
- Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai literatur di bidang hukum khususnya bagi penataan hukum pertanahan di Indonesia.
- Secara praktis, melalui tulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih pemikiran dan masukan bagi mahasiswa fakultas hukum, civitas akademika, praktisi hukum, dan masyarakat luas pada umumnya, serta meningkatkan wawasan dalam pengembangan pengetahuan bagi penulis akan sejarah lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria di Indonesia.
E. Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui sejarah pemberlakuan hukum pertanahan di Indonesia Pada Orde Lama.
- Untuk mengetahui sejarah pemberlakuan hukum pertanahan di Indonesia Pada Orde Baru.
- Untuk mengetahui sejarah pemberlakuan hukum pertanahan di Indonesia Pada Orde Reformasi.
>>>selanjutnya klik di bawah<<<
0 komentar:
Posting Komentar