Rabu, 02 Juli 2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Salah satu hasil karya anak bangsa terbaik, paling monumental, sekaligus revolusioner, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agararia) merupakan Undang-Undang yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.[1] Inilah dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agararia). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima bahwa Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga penerapan yang satu tidak mengabaikan yang lain.
Setelah proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Pokok Agararia yang berlangsung beberapa lama, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria saat itu mengucapkan pidato pengantarnya. Dikatakan dengan jelas bahwa: 
“...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing...”. 
Semangat untuk mengisi stelsel negara baru pasca kemerdekaan ini dipengaruhi oleh dinamika dari pelbagai ideologi dan kekuatan sosial-politik yang memberi sumbangan dalam pergerakan anti kolonialisme.[3] Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan:[4] 
“...yang sangat dipentingkan pada saat itu memang bukan resultat-resultat hukum perundang-undangan yang dibuat. Dalam suasana Demokrasi Terpimpin yang hendak lebih ditegaskan dan diungkapkan pada waktu itu adalah kerevolusineran tekad untuk menolak pikiran-pikiran yang berasal dari negeri-negeri liberal kapitalis yang dituduh akan meracuni jiwa bangsa...”. 
Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan Undang-Undang Pokok Agararia.
Dalam Penjelasan Umumnya, dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agararia adalah:[5]
  1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
  2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
  3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Hal penting lainnya adalah bahwa Undang-Undang Pokok Agararia sebenarnya tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan struktur agraria saat itu. Paket peraturan perundang-undanganlandreform ini telah dimulai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang dikeluarkan untuk mengawasi adat tentang praktek bagi hasil.[6] Ini bertujuan menegakkan keadilan dalam hubungan pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri, dengan penggarap. Perlindungan ini terutama ditujukan kepada penggarap yang umumnya secara ekonomis lebih lemah sekaligus memacunya untuk menambah produksi.[7] Demikian juga Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian.
Salah satu konsepsi terpenting dalam Undang-Undang Pokok Agararia yang kemudian mendasari berbagai peraturan lainnya adalah Hak Menguasai Negara dan fungsi sosial hak atas tanah. Berikut ini diuraikan secara umum tentang kedua asas terpenting ini.
1.    Hak Menguasai Negara
Ini dirumuskan untuk pertama kalinya secara formal dalam Undang-Undang Pokok Agararia 1960 dengan memberi wewenang kepada Negara untuk:[8]
  1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
  2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
  3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Kewenangan HMN tersebut dipahami dalam kerangka hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya sebagai hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti di negara Barat maupun di negara –negara komunis. Negara dalam hal ini sebagai Badan Penguasa yang pada tingkatan tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai penerima kuasa, maka negara harus mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat sebagai pemberi kuasa.[9] Dengan ini AP. Parlindungan menyebutnya sebagai hak rakyat pada tingkat Negara.[10]
Prof. Maria SW Sumardjono mengatakan bahwa kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal: pertama, oleh UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Peraturan yang bias terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah satu bentuk pelanggaran tersebut. Seseorang yang melepas haknya harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanan tersebut. Kedua, pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan.
2.   Fungsi Sosial Hak atas Tanah
Dianutnya prinsip fungsi sosial dalam Undang-Undang Pokok Agararia tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok saat itu. Agar tidak terjadi akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir orang, dimasukkan unsur masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaannya. Sehingga dalam hak individu ada hak kebersamaan. Negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, karena itu lahirlah peraturanlandreform. Pengaturan batas pemilikan atas tanah oleh perseorangan dilakukan sehingga pemilikan itu hanya dihubungkan dengan usaha mencari nafkah dan penghidupan yang layak, atau hanya digunakan untuk pemukiman, pertanian dan perindustrian rumah. 
B.  Perumusan Masalah
  1. Bagaimana sejarah pemberlakuan hukum pertanahan di Indonesia Pada Orde Lama?
  2. Bagaimana sejarah pemberlakuan hukum pertanahan di Indonesia Pada Orde Baru?
  3. Bagaimana sejarah pemberlakuan hukum pertanahan di Indonesia Pada Orde Reformasi?
C.  Mekanisme Proses
Data yang sudah dikumpulkan dalam tulisan ini sebelum dianalisis, terlebih dahulu data yang diperoleh dikumpulkan, dikualifikasi sesuai dengan kelompok pembahasan, dianalisis secara mendalam selanjutnya hasil analisis dideskripsikan kemudian disimpulkan secara deduktif yang merupakan jawaban dari perumusan masalah yang diteliti sesuai dengan tujuan penulisan tersebut. 

D.  Manfaat Secara Praktis/Ilmiah
Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis, yaitu:
  1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai literatur di bidang hukum khususnya bagi penataan hukum pertanahan di Indonesia.
  2. Secara praktis, melalui tulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih pemikiran dan masukan bagi mahasiswa fakultas hukum, civitas akademika, praktisi hukum, dan masyarakat luas pada umumnya, serta meningkatkan wawasan dalam pengembangan pengetahuan bagi penulis akan sejarah lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria di Indonesia. 
E.  Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui sejarah pemberlakuan hukum pertanahan di Indonesia Pada Orde Lama.
  2. Untuk mengetahui sejarah pemberlakuan hukum pertanahan di Indonesia Pada Orde Baru.
  3. Untuk mengetahui sejarah pemberlakuan hukum pertanahan di Indonesia Pada Orde Reformasi.
>>>selanjutnya klik di bawah<<<

0 komentar:

Posting Komentar