Abstrak
Asma yang dicetuskan latihan fisik (exercise-induced
asthma) merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan terjadinya
bronkospasme serta hipersekresi mukosa bronkus yang dicetuskan oleh kegiatan
olahraga atau aktifitas fisik. Kami melaporkan satu kasus seorang atlet putri
karate, umur 24 tahun yang sudah menekuni olahraga selama 10 tahun. Serangan
sesak nafas yang kadang menimbulkan mengi dan dada terasa berat seringkali
timbul saat melakukan latihan. Pada umumnya sesak dan dada berat akan
berkurang setelah latihan dihentikan. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang dilakukan pada saat serangan yang terakhir serta adanya
catatan medis yang sempat terdokumentasi. Perlu dilakukan kajian yang mendalam
terhadap kasus ini karena serangan tersebut sangat mengganggu program latihan
yang diberikan untuk atlet tersebut. Penelusuran terhadap faktor pencetus serta
pemahaman karakteristik serangan akan sangat membantu pelatih dalam menyiapkan
program latihan untuk atlet ini guna memperoleh prestasi terbaik.
Kata kunci: exercise induced asthma –
diagnosis - program latihan
Abstract
Asthma triggered by physical
exercise (exercise-induced asthma) is a marked disorder with the occurrence of bronchospasm
and hypersecretion of bronchial mucous triggered by sports or physical
activity. We report a case of a karate sportswoman, aged 24 years old who has engaged
in sports for 10 years. Shortness of breath attacks that sometimes followed
with wheezing and chest heaviness often occurs during exercise. In general,
shortness of breath and chest heaviness will decrease after the training is stopped.
Diagnosis by interview and physical examination conducted at the time of the
attack, and documented n the medical record. In-depth study of the case need to
be performed because the attack seriously affects training provided to the
athlete. Studying the triggering factors and understanding the characteristics
of the attack will greatly help trainers in preparing the training program for
athletes in order to achieve their best performance.
Keywords: exercise induced asthma -
diagnosis - training program
PENDAHULUAN
Exercise-induced asthma (EIA) adalah suatu kelainan berupa terjadinya keadaan
hiperresponsif saluran nafas yang ditandai dengan terjadinya spasme dan
hipersekresi mukosa bronkus. Secara umum pada pembahasan topik yang me-nyangkut
EIA fokus pembicaraan banyak tertuju pada asma karena secara pato-genesis,
klinis serta penatalaksanaan dasar sama dengan kasus asma pada umumnya.
Perbedaan yang menarik tentunya adalah masalah pencetus serangan asma. Kalau
asma umumnya dicetus oleh adanya kon-tak dengan bahan allergen tetapi pada EIA
serangan dicetus oleh kegiatan olahraga atau latihan fisik.(1,2)
Bronkospasme yang terjadi
pada EIA dicetus oleh adanya kegiatan olahraga atau aktivitas fisik saat
berolahraga. Akibatnya istilah EIA oleh para pakar disebut juga exercise-induced broncho-spasm. Perbedaan
pemakaian istilah dalam pokok pembahasan ini tidak akan diperdebatkan, karena
secara substansial kedua istilah ini dianggap sama.(2)
Walaupun sampai saat ini, kasus EIA jarang ditemukan tetapi mengingat
penatalaksanaan kasus tersebut relatif ma-sih sulit, pembicaraan mengenai EIA
tak pernah berhenti. Di dunia olahraga pres-tasi, adanya EIA menjadi momok yang
sangat menakutkan karena timbulnya tidak dapat diprediksi, sehingga akan
mengganggu kegiatan latihan. Bahkan timbulnya serangan sesaat atau selama
pertandingan tentulah akan membuyarkan semua impian dan program yang telah
disiapkan berbulan-bulan atau bertahun-tahun lamanya. Mengingat kenyataan di atas
maka penulis ingin mempublikasikan suatu kasus yang dicurigai sebagai pen-derita
EIA pada seorang atlet putri level nasional yang berdomisili di Sumatera Barat.
EXERCISE-INDUCED
ASTHMA
Epidemiologi
Asma pertama kali dikenali oleh Hippocrates
lebih 2000 tahun yang lalu. Dalam beberapa dekade terakhir terjadi peningkatan yang sangat dramatis. Diper-kirakan
lebih dari 15 juta penduduk Amerika mendapat serangan asma setiap tahunnya. WHO memperkirakan 180.000 orang
meninggal di seluruh dunia akibat serangan asma. Asma ditemukan 3-5% pada
dewasa dan 7%-10% pada anak-anak. Di Taiwan didapatkan prevalence rate asma
tahun 1985 mencapai 5,8%. Tahun 90-an dari 56 negara yang diteliti didapatkan
prevalence rate 2%-3% di Eropa Timur, Indonesia, Uzbekistan, India dan Etopia,
sampai 20% di Inggris, Australia, dan New Zeland.(1,2)
Berdasarkan Survei Kesehatan Ru-mah Tangga (SKRT) pada tahun 1995 di-temukan
prevalensi asma di Indonesia se-besar 13 per seribu penduduk. Tahun
2001, Yunus dkk melakukan studi pre-valensi asma pada siswa SLTP se- Jakarta
Timur, ditemukan prevalensi asma sebesar 8,9%. Berasumsi dengan prevalensi di atas,
maka diperkirakan setidak-tidaknya 200 ribu masyarakat Indonesia menderita asma
dengan asumsi jumlah penduduk 200 juta jiwa.(3)
Belum diketahuinya angka kejadi-an pasti EIA menandakan sedikitnya kasus
EIA di Indonesia atau masih sedikitnya usaha untuk mengidentifikasi pencetus
serangan asma itu sendiri. Selain itu susahnya menegakkan diagnosis EIA
menjadikan usaha dokumentasi kasus menjadi susah dilakukan oleh pusat-pusat
pelayanan yang ada. Dapat diperkirakan bahwa pada lebih dari separoh penderita
asma, serangan dapat tercetus oleh aktifitas fisik berat.(3)
Patogenesis
Patogenesis timbulnya bronko-spasme pada penderita EIA belum banyak
diketahui. Bertitik tolak dari mekanisme terjadinya serangan asma maka hal yang
dicurigai sebagai faktor yang memulai mekanisme asma adalah (1) besarnya alir-an
udara yang melalui saluran nafas, (2) terjadinya perubahan biokimia darah aki-bat
meningkatnya metabolisme dalam tubuh sebagai akibat meningkatnya ke-butuhan
energi selama melakukan latihan atau aktifitas fisik.
Peningkatan aliran udara selama melakukan latihan fisik yang merupakan
kompensasi meningkatnya kebutuhan akan oksigen selama latihan fisik, me-rupakan
faktor eksogen yang memberikan trauma langsung terhadap mukosa bron-kus. Trauma
yang diterima dapat berupa trauma fisik misalnya suhu, bahan polutan dan
kelembaban.
Dalam waktu yang bersamaan terjadi perubahan biokimia darah, sebagai akibat
terjadinya peningkatan metabolis-me yang sangat besar. Peningkatan meta-bolisme
selama melakukan latihan berat bisa terjadi melebihi 400% dari keadaan normal.
Konsekuensi ini akan menimbul-kan perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
darah. Peningkatan CO2, penuru-nan O2 serta penurunan pH
darah selama melakukan aktifitas fisik tentu dapat berkontribusi terhadap
timbulnya serangan asma.
Dua faktor di atas, dipandang se-bagai keadaan yang bertanggung jawab
terhadap dimulainya serangan asma, se-hingga proses ini akan berlanjut kepada
mekanisme timbulnya asma. Ada dua teori yang sampai saat ini
diterima dalam menerangkan mekanisme asma, pertama, teori inflamasi dan kedua
teori airway remodeling.(2,3)
Gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul pada EIA sama dengan asma umumnya. Gejala asma
bervariasi dan kadang tidak di-temukan kelainan atau pada pemeriksaan jasmani
bisa normal. Pada sebagian pen-derita dapat ditemukan tanda-tanda obs-truksi
bronkus dengan karakteristik mengi selama ekspirasi pada saat auskultasi, sumbatan
akibat kontraksi otot polos, edema mukosa bronkus dan hipersekresi. Keadaan ini
akan dikompensasi tubuh dengan melakukan pernafasan pada vo-lume paru yang
lebih besar.
Pada serangan ringan, mengi ha-nya dapat terpantau pada saat ekspirasi
paksa. Sedangkan pada serangan yang sa-ngat berat mengi bisa saja tidak
terdengar tetapi biasanya disertai dengan gejala lain seperti sianosis,
gelisah, sukar bicara, taki-kardi, dan hiperventilasi dengan menggu-nakan
otot-otot pernafasan secara mak-simal.
Kebanyakan penderita mendapat kesulitan dalam melakukan penilaian ter-hadap
beratnya gejala dan persepsi me-ngenai asma yang di derita. Kesulitan ini juga sering
ditemukan oleh dokter, sehi-ngga akurasi penilaian terhadap derajat dispnoe dan mengi. Sehingga pemeriksaan
yang objektif mutlak diperlukan dalam menilai beratnya asma. Salah satu peme-riksaan
yang diperlukan adalah menilai faal paru, yang dapat menilai obstruksi jalan
nafas, reversibiliti dan variabiliti kelainan faal paru.
Banyak parameter dan metode yang dapat di periksa dalam menilai faal paru,
tetapi yang telah dapat diterima secara luas (standar) dan mungkin untuk
dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE). Kedua
pemeriksaan ini dapat memberikan gam-baran derajat obstruksi, resevisibiliti,
dan variabiliti.
Pemeriksaan APE dapat selain dengan menggunakan spirometri, dapat juga
menggunakan peak expiratory flow meter (PEF meter). Pemeriksaan APE dengan PEF
meter relatif lebih murah dan mudah dilakukan. Pemeriksaan dengan PEF meter ini
dapat dilakukan pada semua tingkat layanan kesehatan termasuk Pus-kesmas atau
layanan unit darurat.
Selain pemeriksaan di atas pada pasien asma dapat juga dilakukan peme-riksaan
uji provokasi bronkus dan pengu-kuran status alergi. Khusus pada EIA, uji
provokasi bronkus dapat dilakukan de-ngan memodifikasi provokasi yaitu digu-nakan
latihan. Kalau ini dapat dilakukan setidaknya dapat mengarahkan kebenaran bahwa
terjadinya spasme bronkus me-mang di cetus oleh kegiatan olahraga.
Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma mengalami under diagnosed di seluruh dunia, hal ini disebabkan ber-bagai hal,
diantaranya adalah gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya pe-nyakit
sangat bervariasi, serta adanya ge-jala yang episodik yang menjadikan pen-derita
tidak merasa perlu untuk ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang
bersifat episodik berupa batuk, sesak nafas, mengi, rasa berat di dada dan varia-bilitas
yang berkaitan dengan cuaca/ling-kungan dan aktivitas fisik. Anamnesis yang
baik cukup untuk menegakkan diag-nosis, di tambah dengan pemeriksaan jasmani
dengan adanya mengi ekspirasi. Pengukuran fungsi faal paru akan me-nambah nilai
diagnostik. Pemeriksaan terhadap fungsi paru akan dapat mem-bantu menilai
beratnya penyakit serta untuk monitoring perkembangan penyakit.
Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan EIA ham-pir sama dengan prinsip penatalaksanaan
asma secara umum. Tujuan utama pena-talaksanaan asma adalah untuk
menghi-langkan dan mengendalikan gejala asma serta berupaya untuk
mempertahankan atau meningkatkan fungsi paru seoptimal mungkin. Mengupayakan
pasien dapat se-lalu beraktivitas serta menghindari peng-gunaan obat-obatan
dalam menangani serangan juga termasuk tujuan dalam me-lakukan penatalaksanaan
penderita asma.
Program
penatalaksanaan asma, meliputi tujuh komponen, yaitu:
1. Edukasi.
2.
Menilai dan memonitor berat asma secara
berkala.
3.
Identifikasi dan pengendalian faktor pencetus.
4.
Perencanaan pengobatan jangka pan-jang.
5. Pengobatan serangan akut.
6. Kontrol teratur.
7. Pola hidup teratur.
Identifikasi
dan pengendalian faktor pencetus dalam penatalaksanaan EIA menjadi hal yang
sangat signifikan dan bermanfaat dalam membantu penata-laksanaan di lapangan.
Sebagian penderita dengan mudah dapat mengenali faktor pencetus akan tetapi
sebagian lain sangat sulit diketahui. Demikian juga dengan EIA, banyaknya
faktor pencetus yang ditemui di lapangan seperti beban psikologis, lingkungan
berdebu ataupun kelelahan yang dialami atlet dapat mencetus serangan asma.
KASUS
Seorang atlet Karate putri, umur 24 tahun, mengalami sesak nafas saat lati-han
berjalan lebih kurang 30 menit. Lati-han dilakukan di tempat terbuka pada sore
hari dengan kondisi cuaca cerah pada lin-tasan trek yang berdebu. Oleh pelatih,
atlet di suruh istirahat dengan posisi tidur telentang, dan dianjurkan untuk
mengatur nafas dan tenang. Keputusan latihan di luar di ambil secara mendadak
oleh pela-tih karena para atlet harus mendapat tegu-ran. Hasil pemeriksaan
fisik yang dilaku-kan setelah 1 jam kejadian ditemukan frekwensi nafas 24 kali
permenit, dengan ekspirasi memanjang, serta adanya mengi ringan saat ekspirasi.
Pemeriksaan labora-torium : urine dan darah rutin dalam batas normal. Ronsen
foto tidak dilakukan kare-na selama observasi keluhan berkurang, sesak menjadi
sangat minimal. Serangan sesak nafas seperti ini bukanlah serangan yang
pertama. Dalam enam tahun terakhir sudah ada serangan sesak yang hampir semua
terjadi saat pasien sedang mela-kukan latihan tetapi dapat hilang dengan
sendirinya setelah pasien istirahat, tanpa mendapatkan obat. Serangan yang agak
berat dialami saat mengikuti event nasio-
nal lebih kurang
4 tahun lalu. Pada saat itu, serangan terjadi setelah melakukan latihan jaga
kondisi pada pagi hari. Serangan saat itu mengharuskan atlet di bawa ke Rumah
Sakit dan mendapat pe-ngobatan menggunakan obat-obat secara intra vena dan di rawat
selama satu hari. Di peroleh keterangan bahwa tidak ada satupun anggota
keluarga (ibu, bapak dan saudara) yang menderita penyakit asma.
DISKUSI
Menilik kepada kasus di atas, seti-daknya ada 3 pertanyaan yang muncul.
Pertama, apakah diagnosis EIA untuk pa-sien ini sudah tepat?. Kedua, apa benar
latihan fisik saja sebagai pencetus timbul-nya serangan asma pada pasien ini?. Ketiga,
Persiapan apa yang diperlukan untuk mengantisipasi timbulnya serangan dalam
latihan ?.
Pertanyaan pertama, tentang kete-patan dalam diagnosis. Pada pasien ini
diagnosis ditegakkan berdasarkan hanya pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pa-da
saat serangan terakhir. Adanya bukti sumbatan jalan nafas pada saat dilakukan
pemeriksaan fisik yang ditandai dengan adanya mengi pada sewaktu ekspirasi ser-ta
di tambah dengan waktu ekspirasi me-manjang. Temuan adanya mengi saat eks-pirasi
dan perpanjangan ekspirasi meru-pakan salah satu gejala yang patogno-monis
untuk adanya sumbatan bronkus.(1-3) Terjadinya spasme bronkus pada
pasien ini tidak diragukan lagi tetapi apakah pada pasien ini memang hanya
latihan fisik ya-ng mencetus timbulnya spasme bronkus ?.
Pertanyaan ini jadi penting, karena EIA merupakan serangan asma yang di-kaitkan
dengan latihan fisik. Keadaan ini dapat dicurigai sebgai salah satu faktor
eksternal yang juga dapat memicu tim-bulnya serangan asma pada pasien ini.
Kalau kita hubungkan dengan kejadian serangan 4 tahun yang lalu, di mana pada
saat itu, pasien memiliki beban psikologis yang sangat berat dalam menghadapi
event berskala
nasional, sehingga sera-ngan pada waktu itu lebih berat di banding serangan
yang lainnya. Tekanan psikolo-gis dapat mencetuskan serangan asma pa-da orang
yang berbakat untuk asma.(4,5)
Pasien ini juga terpapar dengan faktor eksternal lainnya, yakni lingkungan
lapangan yang berabu. Beberapa kepus-takaan sudah sepakat bahwa bahan-bahan
abu dapat
mencetuskan serangan asma.(5) Keadaan inilah yang menjadikan diagno-sis
pasti pasien ini mengalami keraguan. Dengan beban psikologis serta kondisi
lapangan berabu memungkinkan faktor yang berperan dalam serangan yang te-rakhir
ini.
Ditemuinya riwayat serangan berulang yang hampir selalu terjadi saat pasien
melakukan aktifitas fisik/latihan, merupakan temuan yang sangat penting dalam
kasus ini. Temuan ini
memberikan sugesti kuat bahwa pasien ini didiagnosis sebagai EIA. Tak
dapat dipungkiri bahwa penelusuran terhadap faktor pencetus serangan asma
sangatlah sulit karena begitu banyaknya faktor-faktor yang berkaitan dengan
asma. Namun demikian untuk lebih mengarahkan diagnosis pada pasien ini
sebaiknya dilakukan tes provokasi dengan menggunakan latihan sebagai triggernya.(3,6,7)
Kembali kepada permasalahan pa-sien dengan serangan yang hampir selalu
terjadi saat melakukan latihan. Pasien ada-lah seorang atlet yang masih muda
dan cukup potensial dalam meraih prestasi terbaik. Pemantauan serta evaluasi secara
berkala mutlak diperlukan. Dan yang tak kalah penting adalah
memberikan edukasi yang benar tentang penyakitnya. Penelu-suran terhadap
faktor-faktor pencetus yang mencetus serangan asma perlu di gali lebih jauh,
mengingat bahwa pen-cegahan dengan penelusuran faktor pen-cetus merupakan
bagian dari pinatalak-sanaan asma secara umum.(3) Selain peme-
riksaan
provokasi, pengukuran status aler-gi sebaiknya dilakukan pada pasien ini.
KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang pasien yang
didiagnosis sebagai EIA berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik setelah
serangan. Adanya sumbatan jalan nafas karena spasme bronkus pada pasien ini
dapat dibuktikan tetapi penelusuran terhadap faktor pencetus tidak dapat
dipastikan. Adanya riwayat serangan terjadi hampir selalu saat
melakukan latihan menguatkan penulis menegakkan diagnosis EIA pada pasien ini. Diperlukan
pemeriksaan provokasi dan pengukuran status alergi pada pasien ini.
KEPUSTAKAAN
- Schirner, WA. Exercise induced broncho spasm. In. Lillegard, WA and Rucker, KS editors. Hand book of Sorts Medicine. Boston: Andover Mdical Publisher, 1993; 187-191.
- Jardins, TD, Burtons, GG. Clinical manifestations and assessment of respiratory disease. United States: Mosby Elsevier, 2006; 196-206.
- Boushey, HA, Corry, DB, Fahy, JV, Burchard, EG, Woodruff, PG. Asthma. In. Mason RJ, et.al, editors. Text book of Respiratory Medicine. Vol 1. United State: Elsevier Saunders: 1168- 201.
- Mangunegoro, H., Widjaja, A., Sutoyo DK, dkk. Asma. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006: 1-79.
- Kenney, WL. ACSM’s guidelines for exercise testing and prescription. 5th Ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1994.
- Bayles, C. Frailty. In. Durstine JL, et.al. Editors. ACSM’s Exercise Management for Persons with Chronic Disseases and Disabilities. New York: Human Kinetics, 1997.
- Sherwood, L. Human physiology. New York: West Publishing Company, 2000.
- Morrow, JR., et. al. Measurement and evaluation in human performance. New York, Human Kinetics: 222- 71. Pada kasus ini setelah 4 hari pemasangan IV Catheter, emfisema subkutis mulai membaik, hal ini juga di dukung dengan hasil ronsen torak yang normal pada tanggal 9 Agustus. Hal ini sama dengan
0 komentar:
Posting Komentar