Kamis, 10 April 2014

 Abstrak
Asma yang dicetuskan latihan fisik (exercise-induced asthma) merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan terjadinya bronkospasme serta hipersekresi mukosa bronkus yang dicetuskan oleh kegiatan olahraga atau aktifitas fisik. Kami melaporkan satu kasus seorang atlet putri karate, umur 24 tahun yang sudah menekuni olahraga selama 10 tahun. Serangan sesak nafas yang kadang menimbulkan mengi dan dada terasa berat seringkali timbul saat melakukan latihan. Pada umumnya sesak dan dada berat akan berkurang setelah latihan dihentikan. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada saat serangan yang terakhir serta adanya catatan medis yang sempat terdokumentasi. Perlu dilakukan kajian yang mendalam terhadap kasus ini karena serangan tersebut sangat mengganggu program latihan yang diberikan untuk atlet tersebut. Penelusuran terhadap faktor pencetus serta pemahaman karakteristik serangan akan sangat membantu pelatih dalam menyiapkan program latihan untuk atlet ini guna memperoleh prestasi terbaik.

Kata kunci: exercise induced asthma – diagnosis - program latihan 

Abstract
            Asthma triggered by physical exercise (exercise-induced asthma) is a marked disorder with the occurrence of bronchospasm and hypersecretion of bronchial mucous triggered by sports or physical activity. We report a case of a karate sportswoman, aged 24 years old who has engaged in sports for 10 years. Shortness of breath attacks that sometimes followed with wheezing and chest heaviness often occurs during exercise. In general, shortness of breath and chest heaviness will decrease after the training is stopped. Diagnosis by interview and physical examination conducted at the time of the attack, and documented n the medical record. In-depth study of the case need to be performed because the attack seriously affects training provided to the athlete. Studying the triggering factors and understanding the characteristics of the attack will greatly help trainers in preparing the training program for athletes in order to achieve their best performance.

Keywords: exercise induced asthma - diagnosis - training program


PENDAHULUAN
Exercise-induced asthma (EIA) adalah suatu kelainan berupa terjadinya keadaan hiperresponsif saluran nafas yang ditandai dengan terjadinya spasme dan hipersekresi mukosa bronkus. Secara umum pada pembahasan topik yang me-nyangkut EIA fokus pembicaraan banyak tertuju pada asma karena secara pato-genesis, klinis serta penatalaksanaan dasar sama dengan kasus asma pada umumnya. Perbedaan yang menarik tentunya adalah masalah pencetus serangan asma. Kalau asma umumnya dicetus oleh adanya kon-tak dengan bahan allergen tetapi pada EIA serangan dicetus oleh kegiatan olahraga atau latihan fisik.(1,2)
Bronkospasme yang terjadi pada EIA dicetus oleh adanya kegiatan olahraga atau aktivitas fisik saat berolahraga. Akibatnya istilah EIA oleh para pakar disebut juga exercise-induced broncho-spasm. Perbedaan pemakaian istilah dalam pokok pembahasan ini tidak akan diperdebatkan, karena secara substansial kedua istilah ini dianggap sama.(2)
Walaupun sampai saat ini, kasus EIA jarang ditemukan tetapi mengingat penatalaksanaan kasus tersebut relatif ma-sih sulit, pembicaraan mengenai EIA tak pernah berhenti. Di dunia olahraga pres-tasi, adanya EIA menjadi momok yang sangat menakutkan karena timbulnya tidak dapat diprediksi, sehingga akan mengganggu kegiatan latihan. Bahkan timbulnya serangan sesaat atau selama pertandingan tentulah akan membuyarkan semua impian dan program yang telah disiapkan berbulan-bulan atau bertahun-tahun lamanya. Mengingat kenyataan di atas maka penulis ingin mempublikasikan suatu kasus yang dicurigai sebagai pen-derita EIA pada seorang atlet putri level nasional yang berdomisili di Sumatera Barat.

EXERCISE-INDUCED ASTHMA
Epidemiologi
            Asma pertama kali dikenali oleh Hippocrates lebih 2000 tahun yang lalu. Dalam beberapa dekade terakhir terjadi peningkatan yang sangat dramatis. Diper-kirakan lebih dari 15 juta penduduk Amerika mendapat serangan asma setiap tahunnya. WHO memperkirakan 180.000 orang meninggal di seluruh dunia akibat serangan asma. Asma ditemukan 3-5% pada dewasa dan 7%-10% pada anak-anak. Di Taiwan didapatkan prevalence rate asma tahun 1985 mencapai 5,8%. Tahun 90-an dari 56 negara yang diteliti didapatkan prevalence rate 2%-3% di Eropa Timur, Indonesia, Uzbekistan, India dan Etopia, sampai 20% di Inggris, Australia, dan New Zeland.(1,2)
Berdasarkan Survei Kesehatan Ru-mah Tangga (SKRT) pada tahun 1995 di-temukan prevalensi asma di Indonesia se-besar 13 per seribu penduduk. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi pre-valensi asma pada siswa SLTP se- Jakarta Timur, ditemukan prevalensi asma sebesar 8,9%. Berasumsi dengan prevalensi di atas, maka diperkirakan setidak-tidaknya 200 ribu masyarakat Indonesia menderita asma dengan asumsi jumlah penduduk 200 juta jiwa.(3)
Belum diketahuinya angka kejadi-an pasti EIA menandakan sedikitnya kasus EIA di Indonesia atau masih sedikitnya usaha untuk mengidentifikasi pencetus serangan asma itu sendiri. Selain itu susahnya menegakkan diagnosis EIA menjadikan usaha dokumentasi kasus menjadi susah dilakukan oleh pusat-pusat pelayanan yang ada. Dapat diperkirakan bahwa pada lebih dari separoh penderita asma, serangan dapat tercetus oleh aktifitas fisik berat.(3) 

Patogenesis
Patogenesis timbulnya bronko-spasme pada penderita EIA belum banyak diketahui. Bertitik tolak dari mekanisme terjadinya serangan asma maka hal yang dicurigai sebagai faktor yang memulai mekanisme asma adalah (1) besarnya alir-an udara yang melalui saluran nafas, (2) terjadinya perubahan biokimia darah aki-bat meningkatnya metabolisme dalam tubuh sebagai akibat meningkatnya ke-butuhan energi selama melakukan latihan atau aktifitas fisik.
Peningkatan aliran udara selama melakukan latihan fisik yang merupakan kompensasi meningkatnya kebutuhan akan oksigen selama latihan fisik, me-rupakan faktor eksogen yang memberikan trauma langsung terhadap mukosa bron-kus. Trauma yang diterima dapat berupa trauma fisik misalnya suhu, bahan polutan dan kelembaban.
Dalam waktu yang bersamaan terjadi perubahan biokimia darah, sebagai akibat terjadinya peningkatan metabolis-me yang sangat besar. Peningkatan meta-bolisme selama melakukan latihan berat bisa terjadi melebihi 400% dari keadaan normal. Konsekuensi ini akan menimbul-kan perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit darah. Peningkatan CO2, penuru-nan O2 serta penurunan pH darah selama melakukan aktifitas fisik tentu dapat berkontribusi terhadap timbulnya serangan asma.
Dua faktor di atas, dipandang se-bagai keadaan yang bertanggung jawab terhadap dimulainya serangan asma, se-hingga proses ini akan berlanjut kepada mekanisme timbulnya asma. Ada dua teori yang sampai saat ini diterima dalam menerangkan mekanisme asma, pertama, teori inflamasi dan kedua teori airway remodeling.(2,3)

Gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul pada EIA sama dengan asma umumnya. Gejala asma bervariasi dan kadang tidak di-temukan kelainan atau pada pemeriksaan jasmani bisa normal. Pada sebagian pen-derita dapat ditemukan tanda-tanda obs-truksi bronkus dengan karakteristik mengi selama ekspirasi pada saat auskultasi, sumbatan akibat kontraksi otot polos, edema mukosa bronkus dan hipersekresi. Keadaan ini akan dikompensasi tubuh dengan melakukan pernafasan pada vo-lume paru yang lebih besar.
Pada serangan ringan, mengi ha-nya dapat terpantau pada saat ekspirasi paksa. Sedangkan pada serangan yang sa-ngat berat mengi bisa saja tidak terdengar tetapi biasanya disertai dengan gejala lain seperti sianosis, gelisah, sukar bicara, taki-kardi, dan hiperventilasi dengan menggu-nakan otot-otot pernafasan secara mak-simal.
Kebanyakan penderita mendapat kesulitan dalam melakukan penilaian ter-hadap beratnya gejala dan persepsi me-ngenai asma yang di derita. Kesulitan ini juga sering ditemukan oleh dokter, sehi-ngga akurasi penilaian terhadap derajat dispnoe dan mengi. Sehingga pemeriksaan yang objektif mutlak diperlukan dalam menilai beratnya asma. Salah satu peme-riksaan yang diperlukan adalah menilai faal paru, yang dapat menilai obstruksi jalan nafas, reversibiliti dan variabiliti kelainan faal paru.
Banyak parameter dan metode yang dapat di periksa dalam menilai faal paru, tetapi yang telah dapat diterima secara luas (standar) dan mungkin untuk dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE). Kedua pemeriksaan ini dapat memberikan gam-baran derajat obstruksi, resevisibiliti, dan variabiliti.
Pemeriksaan APE dapat selain dengan menggunakan spirometri, dapat juga menggunakan peak expiratory flow meter (PEF meter). Pemeriksaan APE dengan PEF meter relatif lebih murah dan mudah dilakukan. Pemeriksaan dengan PEF meter ini dapat dilakukan pada semua tingkat layanan kesehatan termasuk Pus-kesmas atau layanan unit darurat.
Selain pemeriksaan di atas pada pasien asma dapat juga dilakukan peme-riksaan uji provokasi bronkus dan pengu-kuran status alergi. Khusus pada EIA, uji provokasi bronkus dapat dilakukan de-ngan memodifikasi provokasi yaitu digu-nakan latihan. Kalau ini dapat dilakukan setidaknya dapat mengarahkan kebenaran bahwa terjadinya spasme bronkus me-mang di cetus oleh kegiatan olahraga.

Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma mengalami under diagnosed di seluruh dunia, hal ini disebabkan ber-bagai hal, diantaranya adalah gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya pe-nyakit sangat bervariasi, serta adanya ge-jala yang episodik yang menjadikan pen-derita tidak merasa perlu untuk ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik berupa batuk, sesak nafas, mengi, rasa berat di dada dan varia-bilitas yang berkaitan dengan cuaca/ling-kungan dan aktivitas fisik. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diag-nosis, di tambah dengan pemeriksaan jasmani dengan adanya mengi ekspirasi. Pengukuran fungsi faal paru akan me-nambah nilai diagnostik. Pemeriksaan terhadap fungsi paru akan dapat mem-bantu menilai beratnya penyakit serta untuk monitoring perkembangan penyakit.

Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan EIA ham-pir sama dengan prinsip penatalaksanaan asma secara umum. Tujuan utama pena-talaksanaan asma adalah untuk menghi-langkan dan mengendalikan gejala asma serta berupaya untuk mempertahankan atau meningkatkan fungsi paru seoptimal mungkin. Mengupayakan pasien dapat se-lalu beraktivitas serta menghindari peng-gunaan obat-obatan dalam menangani serangan juga termasuk tujuan dalam me-lakukan penatalaksanaan penderita asma.
Program penatalaksanaan asma, meliputi tujuh komponen, yaitu:
1.      Edukasi.
2.      Menilai dan memonitor berat asma secara berkala.
3.      Identifikasi dan pengendalian faktor pencetus.
4.      Perencanaan pengobatan jangka pan-jang.
5.      Pengobatan serangan akut.
6.      Kontrol teratur.
7.      Pola hidup teratur.
            Identifikasi dan pengendalian faktor pencetus dalam penatalaksanaan EIA menjadi hal yang sangat signifikan dan bermanfaat dalam membantu penata-laksanaan di lapangan. Sebagian penderita dengan mudah dapat mengenali faktor pencetus akan tetapi sebagian lain sangat sulit diketahui. Demikian juga dengan EIA, banyaknya faktor pencetus yang ditemui di lapangan seperti beban psikologis, lingkungan berdebu ataupun kelelahan yang dialami atlet dapat mencetus serangan asma. 

KASUS
Seorang atlet Karate putri, umur 24 tahun, mengalami sesak nafas saat lati-han berjalan lebih kurang 30 menit. Lati-han dilakukan di tempat terbuka pada sore hari dengan kondisi cuaca cerah pada lin-tasan trek yang berdebu. Oleh pelatih, atlet di suruh istirahat dengan posisi tidur telentang, dan dianjurkan untuk mengatur nafas dan tenang. Keputusan latihan di luar di ambil secara mendadak oleh pela-tih karena para atlet harus mendapat tegu-ran. Hasil pemeriksaan fisik yang dilaku-kan setelah 1 jam kejadian ditemukan frekwensi nafas 24 kali permenit, dengan ekspirasi memanjang, serta adanya mengi ringan saat ekspirasi. Pemeriksaan labora-torium : urine dan darah rutin dalam batas normal. Ronsen foto tidak dilakukan kare-na selama observasi keluhan berkurang, sesak menjadi sangat minimal. Serangan sesak nafas seperti ini bukanlah serangan yang pertama. Dalam enam tahun terakhir sudah ada serangan sesak yang hampir semua terjadi saat pasien sedang mela-kukan latihan tetapi dapat hilang dengan sendirinya setelah pasien istirahat, tanpa mendapatkan obat. Serangan yang agak berat dialami saat mengikuti event nasio-
nal lebih kurang 4 tahun lalu. Pada saat itu, serangan terjadi setelah melakukan latihan jaga kondisi pada pagi hari. Serangan saat itu mengharuskan atlet di bawa ke Rumah Sakit dan mendapat pe-ngobatan menggunakan obat-obat secara intra vena dan di rawat selama satu hari. Di peroleh keterangan bahwa tidak ada satupun anggota keluarga (ibu, bapak dan saudara) yang menderita penyakit asma.

DISKUSI
Menilik kepada kasus di atas, seti-daknya ada 3 pertanyaan yang muncul. Pertama, apakah diagnosis EIA untuk pa-sien ini sudah tepat?. Kedua, apa benar latihan fisik saja sebagai pencetus timbul-nya serangan asma pada pasien ini?. Ketiga, Persiapan apa yang diperlukan untuk mengantisipasi timbulnya serangan dalam latihan ?.
Pertanyaan pertama, tentang kete-patan dalam diagnosis. Pada pasien ini diagnosis ditegakkan berdasarkan hanya pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pa-da saat serangan terakhir. Adanya bukti sumbatan jalan nafas pada saat dilakukan pemeriksaan fisik yang ditandai dengan adanya mengi pada sewaktu ekspirasi ser-ta di tambah dengan waktu ekspirasi me-manjang. Temuan adanya mengi saat eks-pirasi dan perpanjangan ekspirasi meru-pakan salah satu gejala yang patogno-monis untuk adanya sumbatan bronkus.(1-3) Terjadinya spasme bronkus pada pasien ini tidak diragukan lagi tetapi apakah pada pasien ini memang hanya latihan fisik ya-ng mencetus timbulnya spasme bronkus ?.
Pertanyaan ini jadi penting, karena EIA merupakan serangan asma yang di-kaitkan dengan latihan fisik. Keadaan ini dapat dicurigai sebgai salah satu faktor eksternal yang juga dapat memicu tim-bulnya serangan asma pada pasien ini. Kalau kita hubungkan dengan kejadian serangan 4 tahun yang lalu, di mana pada saat itu, pasien memiliki beban psikologis yang sangat berat dalam menghadapi

event berskala nasional, sehingga sera-ngan pada waktu itu lebih berat di banding serangan yang lainnya. Tekanan psikolo-gis dapat mencetuskan serangan asma pa-da orang yang berbakat untuk asma.(4,5)
Pasien ini juga terpapar dengan faktor eksternal lainnya, yakni lingkungan lapangan yang berabu. Beberapa kepus-takaan sudah sepakat bahwa bahan-bahan
abu dapat mencetuskan serangan asma.(5) Keadaan inilah yang menjadikan diagno-sis pasti pasien ini mengalami keraguan. Dengan beban psikologis serta kondisi lapangan berabu memungkinkan faktor yang berperan dalam serangan yang te-rakhir ini.
Ditemuinya riwayat serangan berulang yang hampir selalu terjadi saat pasien melakukan aktifitas fisik/latihan, merupakan temuan yang sangat penting dalam kasus ini. Temuan ini memberikan sugesti kuat bahwa pasien ini didiagnosis sebagai EIA. Tak dapat dipungkiri bahwa penelusuran terhadap faktor pencetus serangan asma sangatlah sulit karena begitu banyaknya faktor-faktor yang berkaitan dengan asma. Namun demikian untuk lebih mengarahkan diagnosis pada pasien ini sebaiknya dilakukan tes provokasi dengan menggunakan latihan sebagai triggernya.(3,6,7)
Kembali kepada permasalahan pa-sien dengan serangan yang hampir selalu terjadi saat melakukan latihan. Pasien ada-lah seorang atlet yang masih muda dan cukup potensial dalam meraih prestasi terbaik. Pemantauan serta evaluasi secara berkala mutlak diperlukan. Dan yang tak kalah penting adalah memberikan edukasi yang benar tentang penyakitnya. Penelu-suran terhadap faktor-faktor pencetus yang mencetus serangan asma perlu di gali lebih jauh, mengingat bahwa pen-cegahan dengan penelusuran faktor pen-cetus merupakan bagian dari pinatalak-sanaan asma secara umum.(3) Selain peme-
riksaan provokasi, pengukuran status aler-gi sebaiknya dilakukan pada pasien ini.

KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang pasien yang didiagnosis sebagai EIA berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik setelah serangan. Adanya sumbatan jalan nafas karena spasme bronkus pada pasien ini dapat dibuktikan tetapi penelusuran terhadap faktor pencetus tidak dapat dipastikan. Adanya riwayat serangan terjadi hampir selalu saat melakukan latihan menguatkan penulis menegakkan diagnosis EIA pada pasien ini. Diperlukan pemeriksaan provokasi dan pengukuran status alergi pada pasien ini.

KEPUSTAKAAN
  1. Schirner, WA. Exercise induced  broncho spasm. In. Lillegard, WA and Rucker, KS editors. Hand book of Sorts Medicine. Boston: Andover Mdical Publisher, 1993; 187-191. 
  1. Jardins, TD, Burtons, GG. Clinical manifestations and assessment of respiratory disease. United States: Mosby Elsevier, 2006; 196-206. 
  1. Boushey, HA, Corry, DB, Fahy, JV, Burchard, EG, Woodruff, PG.  Asthma. In. Mason RJ, et.al, editors. Text book of Respiratory Medicine. Vol 1. United State: Elsevier Saunders: 1168- 201. 
  1. Mangunegoro, H., Widjaja, A., Sutoyo DK, dkk. Asma. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006: 1-79. 
  2. Kenney, WL. ACSM’s guidelines for exercise testing and prescription. 5th Ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1994. 
  1. Bayles, C. Frailty. In. Durstine JL, et.al. Editors. ACSM’s Exercise Management for Persons with Chronic Disseases and Disabilities. New York: Human Kinetics, 1997. 
  1. Sherwood, L. Human physiology. New York: West Publishing Company, 2000. 
  1. Morrow, JR., et. al. Measurement and evaluation in human performance. New York, Human Kinetics: 222- 71.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     Pada kasus ini setelah 4 hari pemasangan IV Catheter, emfisema subkutis mulai membaik, hal ini juga di dukung dengan hasil ronsen torak yang normal pada tanggal 9 Agustus. Hal ini sama dengan 

0 komentar:

Posting Komentar