Pemahaman kita tentang kausasi merupakan bagian terbesar dari kehidupan sehari-hari yang mana sangat mudha dilupakan bahwa sifat dari kasuasi adalah topik utama dalam ilmu pengetahuan dan secara khusus, konsep-konsep dari kasuasi penyakit telah berubah secara dramatis selama ini. Dalam penelitian kami dan dari praktek-praktek klinis, kami bertindak sesuai dengan bukti yang telah diperlihatkan oleh ilmu pengetahuan abad 21 ini dan menyelamatkan kami dari semua kesalahan konsepsi di masa lalu, dan kebenaran tersebut pada hari ini akan membawa kita ke arah kebenaran di masa depan. Tetapi, akan sangat berguna dan korektif jika kita mengamati bagaimana generasi pertama peneliti bisa memiliki pemikiran yang sekarnag dianggap keliru itu.
Pada
tahun 1950-an, di pertengahan dari apa yang kita kenal sebagai abad terakhir
milenium ke dua, para ahlimedis dan ahli ilmu pengetahuan lainnya telah
mencapai kemajuan yang, menurut Dubos (hal. 163), hampir semua klinisi, pejabat
kesehatan masyarakat, epidemiolog dan mikrobiolog dapat memproklamirkan diri
bahwa mereka telah mengalahkan penyakit-penyakit akibat infeksi. Para dekan dan
fakultas-fakultas ilmu pengobatan telah memulai praktek, sebagai ahli mikrobiologi
medis, biokimia dan genetika yang tidaklagi tertarik dengan mekanisme dari
proses infeksi. Ketika epidemiologi infeksi berlanjut hingga mencapai gelombang
popularitas, kita hanya dapat menggelengkan kepala dalam ketidakpercayaan
terhadap pandangan yang sangat pendek seperti itu dari ilmu medis dan
institusi-institusi kesehatan masyarakat dimana mereka melepaskan begitu saja
kemampuan mereka untuk mempelajari dan mengontrol penyakit-penyakit infeksi,
yang secara epidemis telah kembali berulang membinasakan populasi dan bahkan
merubah arah sejarah.
Di
satu sisi, kemungkinan hubungan seperti itu tidak terjadi secara langsung.
Menurut Dubos, penurunan tingkat kematian akibat penyakit-penyakit infeksi dan
malnutrisi di abad ke 19 kembali muncul pada pertengahan abad, beberapa dekade
sebelum penemuan medis dalam era keilmuan dapat berbalik arah menjadi
kebijaksanaan politik. Ilmu medis dan teori-teori kuman telah menerima
pembagian penghargaan yang sangat sedikit karena kemunduran tersebut tidak
diketahui hingga akhir abad. Lebihjauh lagi, Dubos, menyatakan, bahwa:
Generasi terbaru
(mungkin generasi pra-Perang Dunia II hingga ke tahun 1910-an) tetap lebih maju
dan sekarang diyakini bahwa kontrol terhadap penyakit-penyakit infeksi dan
malnutrisi bermual dari saat penyebar-luasan penggunaan obat-obat antibakterial
dan dari kemampuan dan ketersediaan vitamin-vitamin dan makanan olahan. Betapa
pendek dan piciknya ingatan kita!” (hal. 365)
Sementara
kita tetap mengingat betapa pentingnya peran dari dewan kesehatan lokal dan
semua dinas terkait lainnya, Dubos memasukkan hampir semua perbaikan kesehatan
ke dalam perbaikan kesejahteraan dan transportasi yang akan memungkinkan banyak
orang untuk mendapatkan “paling tidak satu kali makan sehat sehari”
Belum ada terobosan medis yang dilakukan selama dekade
terakhir yang dapat dibandingkan dengan kepentingan praktis dengan
memperkenalkan kesejahteraan sosial dan ekonomi dalam kehidupan manusia biasa.
Kemajuan terbesar dalam kesehatan dari masyarakat kemungkinan adalah hasil
langsung dari perumahan yang lebih baik dan kondisi kerja yang lebih sehat,
kemampuan umum untuk menyediakan sabun, dan linen untuk pakaian, bahan kaca
untuk jendela rumah, dan perhatian kemanusiaan terhadap standar hidup yang
lebih tinggi. (hal. 365)
Sebelum
melanjutkan penelitian kita terhadap kesimpulan kausal, akan sangat membantu
untuk melihat kembali sejenak sejarah kesehatan masyarakat dan penyakit di abad
ke 17 dan 19.
Pada
awal abad ke tujuhbelas, ilmu medis “baru saja lepas dari rawa-rawa Abad
Pertengahan” (Smillie, 1955:18). Penyakit yang paling mematikan pada
koloni-koloni di Amerika Serikat pada abad tersebut adalah cacar. Penyakit
tersebut bahkan lebih merusak pada populasi-populasi lokal dari Dunia baru
tersebut dan diyakini telah membunuh lebih dari setengah populasi Indian di
Mexico setelah penyerbuan Spanyol (Smillie, 1955:21). Di Eropa, cacar adalah
penyakit endemik pada anak-anak; tetapi pada situasi yang lebih terisolasi
dalam koloni, epidemik yang berulang akan menghancurkan pemukiman. Menurut
Smillie (hal. 22), epidemik cacar pada tahun 1633 di koloni Massachusetts bay
menyebar ke India dan dan membunuh “seluruh perkebunan” mereka. Epidemik pada
tahun 1689-1690 di New England telah membunuh 1.000 orang dalam waktu satu
tahun (sebagai perbandingan, pada masa itu total populasi di Boston adalah
sekitar 7.000 orang).
Selama
abad ke delapanbelas, praktek-praktek suntik cacar (dipublikasikan pertama kali
oleh Greek Timotius, tahun 1714) cukup berhasil dalam menunda epidemi di
koloni-koloni Amerika, walaupun praktek tesebut pada awalnya di tolak.
Penyuntikan cacar di cekal di luar Kota New York pada tahun 1747, membutuhkan
keputusan Gubernur di Carolina pada tahun 1764, dan membutuhkan pemungutan
suara di kota-kota Massachusetts (Smillie, 1955, hal. 28)
Tidak
kurang, suntikan cacar kemudian terbukti berhasil. Pada awal dari perang
Revolusi, tahun 1776, cacar tiba di Boston. penyuluhan yang herois untuk
penyuntikan terhadap 9.152 orang yang tidak kebal terhadap cacar dalam tiga
hari, dilaksanakan. Walaupun suntikan menghasilkan 8.114 kasus dengan 165
kematian (1.8%), 232 infeksi alami pada mereka yang rentan dan belum pernah
mendapatkan suntikan memberi hasil hanya 33 kematian (14.2%). Dua dekade
kemudian, Edward jenner, seornag praktisi dari desa di Inggris,
mendemonstrasikan kekebalan tubuh terhadap cacar pada sepuluh orang yang
sebelumnya telah terkena penyakit cacar. Walaupun suratnya kepada Royal Society
di tolak, dia tetap mempublikasikan monograf klasiknya pada tahun 1798 dan
dikenal sebagai bapak vaksinasi.
Penyakit
terbesar kedua setelah cacar pada abad ke sembilanbelas di Amerika Utara, demam
kuning, juga sangat ditakuti oleh masyarakat Dunia baru saat itu. Artikel
pertama dari Amerika untuk demam kuning (oleh Dr. John Lining dari Charleston)
menggambarkan penyakit tersebut sebagai sangat menular dan berasal dari luar
(Smillie, 1955, 35). Karantina terhadap orang sakit dan kapal yang dicurigai
membawa demam kuning di atasnya seringkali dilakukan untuk mencegah atau
menghentikan epidemi.
Pada
akhir abad ke sembilanbelas, walaupun, teori miasma mulai muncul-teori yang
menyatakan bahwa semua penyakit berasal dari udara yang buruk-kontaminasi
(miasma) berasal dari berbagai macam sumber. Pengaruh dari teori ini sangat
kuat, sehingga Dr. Benjamin Rush, ahli fisik Amerika terbesar pada saat itu,
yakin bahwa epidemi demam kuning tahun 1793 di Philadelphia merupakan penyakit
menular atau terbawa dari Hindia Belanda.
Pada
awal abad ke sembilanbelas, pergerakan kesehatan masyarakat dan medis didominasi
oleh teori miasma ini. Jalur-jalur penelitian dilakukan untuk membuktikan
efek-penyakit dari miasma ini: serangkaian pencegahan untuk melenyapkan sumber
penyakit miasma di daerah kumuh dan daerah dengan sanitasi buruk. Walaupun
konsep darimiasma, yang pada abad setelahnya telah dikalahkan, pada masa ini
dianggap sangat tidak masuk akal, ukuran-ukuran sanitasi yang diajukan oleh
teori miasma menunjukkan hasil yang cukup dramatis efektifitasnya dalam
menurunkan tingkat kematian. Selama abad ke sembilannbelas, seperti yang
ditulis oleh Susser, Jacob Henle merumuskan kondisi yang dibutuhkan untuk
membuktikan teori kuman, dan sekitar 20 tahun kemudian, Louis Pasteur
mendemontsrasikan kehadiran dari mikroorganisme. Masa kini, penyebab penyakit
dapat terlihat jelas-mikrobiologi telah berkembang maju dari ilmu kesimpulan
menjadi ilmu observasi langsung. Mikroorganisme kemudian berubah menjadi objek
untuk mencari penyebab penyakit. Penyimpanan mikroba yang menyebar telah
menjadi tujuan pencegahan. Asepsis, antisepsis, dan disinfeksi-merupakan ukuran
yang dipakai sebagai dasar dari teori kuman-juga terbukti efektif. Lebih jauh
lagi, paradigma baru terbukti sangat kuat dibanding dengan teori miasma melalui
spesifikasi yang lebih luas dan kemampuannya untuk menjelaskan dan
memprediksikan fenomena-fenomena tertentu di luar dari teori miasma, seperti
imunisasi dan kemoterapi.
Penemuan
mikroorganisme dan merebaknya teori kuman penyakit juga membawa pandangan bahwa
penyakit terdiri dari banyak sekali enititas klinis yang beragam, yang
masing-masing disebabkan oleh agen khusus, dan masing-masing memilki
manifestasi morbid berbeda yang menghasilkan sindrom yang berbeda pula. Konsep
ini telah bertahan hingga hari ini, seperti yang diilustrasikan dalam definisi
kamus yang ditunjukkan pada bab Fenomena Penyakit. Pencarian terhadap agen-agen
khusus telah mengarah pada gebrakan besar-besaran dalam ilmu medis dan ilmu
kesehatan masyarakat, seperti kontrol yang efektif terhadap beragam penyakit
infeksi yang berkembang di seluruh dunia dan pemberantasan cacar di seluruh
dunia. Bahkan dimana teori kuman tidak dipakai, mislanya dalam kasus defisiensi
vitamin, konsep-konsep spesifikasi penyebab juga terbukti efektif untuk
etiologi dan pengendalian penyakit.
Tetapi,
tetap saja ada yang menolak model satu-penyakit-satu-sebab ini. Tetapi
gelombang telah berpaling pada mereka. Seperti yang dikatakan Dubos (1965,
dikutip dalam Berkman dan Breslow, hal. 6):
Argumentasi yang tidak jelas ini tidak dapat mengalahkan
eksperimen yang tepat oleh Pasteur, Koch, dan penerus-penerus mereka yang
membela doktrin penyebab spesifik dari penyakit. Ilmu eksperimental telah
mengalahkan seni klinis, dan dalam satu dekade tepri etiologi spesifik telah
diterima secara universal, dan kemudian akan menjadi, seperti yang kita lihat
sekarang, kekuatan yang dominan dalam ilmu pengobatan.
Pada
saat yang sama, dorongan yang kuat dalam penelitian medis mengurangi
kewaspadaan terhadap kejadian langka hubungan-satu-ke-satu dan hubungan yang
kompleks antara penyebab dan efek yang terjadi di dunia. Bahkan hingga akhir
1950-an, sebagai contoh, sangat sulit untuk mengkonseptualkan
Lord
Bertrand Russel telah menulis, “setiap kemajuan dalam ilmu pengetahuan telah
membawa kiat semakin maju dari ketidak-seragaman pemahaman yang diamati pertama
kali ke arah perbedaan yang lebih besar dari antiseden dan konsekuen masuk ke
dalam lingkaran yang lebih luas dari antiseden yang lebih relevan”. Sejumlah
perkembangan yang mengurangi superioritas dari model satu-kausa-satu-penyakit.
Pernah
ada predominansi yang berkembang dari penyakit mikrobial pada suku-suku asli,
penyakit yang disebabkan oleh organisme yang dibawa oleh banyak sekali orang
dalam populasi mereka (Dubos, 176). Contoh-contoh kontemporer adalah infeksi
bakterial skeudner pada penyakit-penyakit viral akut, infeksi oportunistis pada
seseorang dengan AIDS, dan infeksi jalur uriner oleh E. colii. Yang
kedua adalah dikenalinya banyak patogen termasuk basil tubercle, yang dapat
dibawa dalam tubuh selama waktu yang sangat panjang, hanya untuk menyebabkan
penyakit ketika kekebvalan tubuh dari inang melemah. Ketiga adalah perpindahan
perhatian dari penyakit infeksi ke penyakit jantung dan kanker, dimana berbagai
macam faktor berhubungan dengan resiko tetapi tidak selalu dibutuhkan; karena
itu, istilah penyakit “multifaktor” muncul. (walaupun CHD adalah penyakit
multifaktor klasik, telah ada beberapa pendapat terbaruyangmenyatakan bahwa
proses infeksi mungkin merupakan dimensi yang penting). Akhirnya, ketika
epidemiologi telah berkembang menjadi kajian terhadap penyakit-penyakit
perilaku dna lingkungan (misalnya kecelakaan kendaraan bermotor, alkoholisme,
pembunuhan dan hubungan yang tidak aman), model unikausal belum berarti
dalam hal ini.
Tidak
kurang, dalam prakteknya banyak dari ahli epidemiologi berfokus pada satu
faktor tunggal saja. Secara ideal kita dapat memakai model umum yang
mengkombinasikan agen-agen etiologis ganda menjadi sistem yang komprehensif.
Tetapi, seringkali, penelitian epidemiologis memiliki peran utama dalam tahapan
penelitian sebelum didapatkan gambaran kausal yang komprehensif. Memang,
kajian-kajian epidemiologis merupakan salah satu dari awal utama dalam
mendefiniskan faktor-faktor yang mungkin akan membentuk gambaran tersedniri.
Maka, pendekatan yang sering dilakukan adalah untuk mengambil satu atau dua faktor
yang dicurigai pada satu saat dan melihat apakah, dengan memasukan apa saja
yang telah diketahui tentang penyakit, faktor-faktor yang dicurigai tersebut
meningkatkan daya ekspalnatoris atau prediktif dari penelitian yang dilakukan.
Pendekatan satu-faktor-satu-waktu ini adalah inti dari faktor resiko
epidemiologi, dari konsep-konsep yang membentuknya dna efek dari modifikasi
terhadap konsep tersebut kemudian, dan dari pendekatan-pendekatan epidemiologis
terhadap kesimpulan kausal.
0 komentar:
Posting Komentar