Selasa, 30 April 2013

Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia

Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.

Seperti dikatakan oleh Andi Hamzah:
 bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon.

Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan hukum pidana materiil sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.



Apalagi, hasil wawancara yang dilakukan dengan dosen-dosen di Fakultas Hukum Universitas Mataram (UNRAM) menyatakan bahwa keadaanya Rancangan Undang Undang (RUU) yang sedang dibahas dan dipertimbangkan oleh anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tingkat nasional, akan tetapi RUU tersebut belum dapat disahkan. Menurut M. Lubis:


“’The new draft laws’, atau RUU KUHP baru itu telah disesuaikan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia termasuk nilai-nilai agama, nilai adat dan lagi pula disesuaikan dengan Pancasila.”

Namun RUU KUHP baru memunculkan beberapa hal yang sangat menarik terkait dengan perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada sistem hukum pidana dan patut didiskusikan, kenyataannya adalah sampai sekarang RUU tersebut belum dilaksanakan. Menurut keterangan dari beberapa sumber, RUU tersebut telah diajukan kepada DPR Jakarta selama kurang lebih dua puluh tahun dan belum dapat disepakati apalagi disahkan.

Maka dari itu, untuk sementara KUHAP dan KUHP merupakan undang-undang yang berlaku dan digunakan oleh lembaga lembaga penegak hukum untuk melaksanakan urusan sehari-hari dalam menerapkan hukum pidana di Indonesia.

KUHAP (dibedakan dari KUHP), menentukan prosedur-prosedur yang harus dianut oleh berbagai lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan misalnya hakim, jaksa, polisi dan lain-lainnya, sedangkan KUHP menentukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan yang berlaku dan dapat diselidiki ataupun dituntut oleh lembaga-lembaga tersebut.


Sebagai contoh hendaklah kita membaca Pasal 340 dari KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa orang, sebagai berikut:


Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.[5]

Dari Pasal tersebut dapat kita lihat bahwa isi KUHP adalah persyaratan dan ancaman (sanksi) substantif yang dapat diterapkan oleh penegak hukum. Sebaliknya KUHAP menentukan hal-hal yang terkait dengan prosedur; sebagai contoh Pasal 110 tentang peranan polisi dan jaksa:[

“Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum”.

Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Dedy Koesnomo dari Kejaksaan Tinggi, Propinsi Nusa Tenggara Barat dapat kita lihat bahwa dalam kenyataan, sebuah hasil penyidikan dalam bentuk berkas dari pihak kepolisian didahului dengan sebuah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atau SPDP. Itulah langkah pertama dari kepolisian untuk menjalankan sebuah perkara pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah berkas lengkap yang mengandung semua fakta dan bukti terkait dengan kasusnya. BAP tersebut akan menyusul SPDP biasanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Setelah diterima oleh pihak kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya pada tingkat kejaksaan negeri) barulah kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan menyatakan jika BAPnya lengkap dan patut dilimpahkan kepada pengadilan, atau dikembalikan kepada kepolisian disertai petunjuk-petunjuk supaya dapat diperbaiki dan diserahkan lagi.

Jika sebuah BAP telah diteliti oleh jaksa dan dinyatakan cukup bukti untuk melimpahkan perkaranya kepada pengadilan maka pertanggungjawaban untuk kasus tersebut beralih dari pihak kejaksaan kepada pihak kehakiman dan pengadilan


Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008) Hal 33

Wawancara terpisah dengan Dosen-dosen Fakultas Hukum UNRAM: Lalu Parman dan M. Lubis, SH.,M.Hum pada tanggal 27 Januari 2009.

Ibid.

 R. Sugandhi, SH, KUHP dan Penjelasannya (Usaha Nasional, Surabaya 1981) Hal 357

Dengan pemakaian kata “selama-lamanya” maka kita memahami bahwa itu adalah ancaman hukuman yang paling maksimal yang dapat hakim jatuhkan kepada terdakwa – sedangkan hukuman minimal tak ada sekalipun. Ialah merupakan salah satu perbedaan penting yang disampaikan oleh dosen hukum ketika diwawancarai, sebab RUU KUHP akan menentukan ancaman baik minimal maupun maksimal untuk setiap kejahatan masing masing. Menurut Bapak Lubis sesuai dengan KUHP sekarang “baik mencuri sapi maupun ayam, ancamannya sama. Minimalnya satu hari saja! Itu adalah kebebasan yang sangat besar. Para Hakim harus dikasih batas minimalnya. Kecuali dalam undang-undang khusus misalnya korupsi, narkotika ataupun money laundering dimana sudah tercatat ada minimal dan maksimalnya.”


Andi Hamzah Op. Cit. Hal 79
Wawancara dengan Dedy Koesnomo SH, MH, Kepala Bagian Tata Usaha Kejaksaan Tinggi NTB pada tanggal 5 Februari 2009.

0 komentar:

Posting Komentar